Bagaimana cara MEMANDIKAN jenazah korban mutilasi tabrakan atau hilang tubuh sebagian

Jenazah bisa dikuburkan secara massal.

Darmawan / Republika

Akibat gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada 28 September lalu, membuat Masjid Arkam Babu Rahman (masjid Apung) yang terletak di pantai Talise, Palu Sulawesi Tengah, nampak rusak, Sabtu (13/10).

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan agar suatu kaum mengurus jenazah anggotanya yang wafat. Jenazah Muslim hukumnya fardhu kifayah untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, hingga dikuburkan. QS Abasa:21 menunjukkan bahwa manusia harus dikuburkan saat meninggal dunia. "Kemudian, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur."

Rasulullah SAW pun melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan bahwa umat Islam harus segera mengurus jenazahnya. "Tidak pantas di antara mayat seorang Muslim untuk ditahan di antara keluarganya."

Dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Prosedur ini dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dalam syariat Islam. Dalam keadaan darurat, di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat di atas maka pengurusan jenazah dilakukan dengan cara darurat.

Ada kondisi di mana Nabi SAW pernah memerintahkan untuk mengubur para syuhada' Uhud dalam bercak-bercak darah. Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan (HR Al Bukhari). Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, merujuk pada Asy Syarhul Mumti (5/364), mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian orang yang mati karena wabah tha'un atau karena penyakit perut, mati tenggelam, atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah  mengeluarkan fatwa tentang pengurusan jenazah dalam keadaan darurat. Fatwa tersebut lahir pada 31 Desember 2004. Tidak lama setelah bencana tsunami di Aceh terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Ketika itu, tak kurang dari seratus ribu korban jiwa tewas. Saksi mata bahkan melihat setiap jarak 100 meter ada 70 mayat di Banda Aceh.

Untuk kondisi darurat tersebut, MUI pun berfatwa bahwa jenazah boleh tidak dimandikan saat hendak dikubur. Tapi, apabila memungkinkan, sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah. Meski kafan darurat itu terkena najis.

Tak hanya itu, menurut MUI, mayat boleh dishalatkan sesudah dikuburkan meski dari jarak jauh (shalat ghaib). Boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu'tamad (pendapat yang kuat). Jenazah pun wajib segera dikuburkan. Pemakaman tersebut bisa dilakukan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas. Meski terdiri atas satu atau beberapa liang kubur. Tak hanya itu, dalam kondisi seperti tsunami Aceh, mayat tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.

Penguburan massal juga boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan. Pun, antara Muslim dan non-Muslim. Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan. Mantan ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Hasanuddin AF menambahkan, penanganan jenazah korban bencana dalam hukum Islam terbagi atas kondisi.

Pertama, saat jasad korban di temukan utuh. Kiai Hasanuddin mengungkapkan, umat Islam setem pat masih wajib untuk memandikan, mengafani, hingga melaksanakan shalat jenazah untuk jasad tersebut, seperti layaknya pemula saraan jenazah normal.

Kedua, untuk jasad korban yang tidak ditemukan utuh maka  tak perlu dimandikan. Dia menjelaskan, jenazah boleh lang sung dikafani hingga dishalatkan, dan dimakamkan secara Islami di tempat yang sesuai kehendak sanak familinya.

Untuk jasad kategori ketiga ketika korban sudah tidak mungkin ditemukan. Sebelum memutuskan tidak ditemukan, dia menjelaskan, keluarga jenazah harus memastikan proses pencarian korban sudah diputuskan berakhir oleh pihak yang berwenang, misalnya, Badan Nasional Penang gulangan Bencana (BNPB).

Kemudian, dari data BNPB atau pejabat daerah setempat, dapat diperoleh kepastian nama-nama orang hilang itu serta agama mereka ialah Islam. Kemudian, handai tolan bisa melaksanakan shalat ghaib buat mereka.

Persatuan Islam (Persis) pun pernah berfatwa mengenai penanganan jenazah dalam kondisi darurat. Menurut Persis, membakar mayat korban bencana hukumnya haram kecuali bila tidak ada jalan lain. Artinya, pembakaran mayat dilakukan dalam kondisi luar biasa. Misalnya, bila dibiarkan mayat-mayat itu bisa menyebarkan penyakit menular bagi manusia. Wallahualam.

  • fatwa
  • jenazah korban bencana

Bagaimana cara MEMANDIKAN jenazah korban mutilasi tabrakan atau hilang tubuh sebagian

sumber : Dialog Jumat Republika

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...




Salah satu isu keagamaan mengemuka saat Pandemi Covid-19 adalah terkait pengurusan jenazah muslim. Covid-19 adalah jenis penyakit berbahaya dan dapat menular kepada yang melakukan kontak dengan orang yang terpapar Covid-19 atau cara penularan lainnya. Dikhawatirkan jika dalam proses pengurusan jenazah pasien Covid-19 meninggal dunia, virusnya masih ada di dalam tubuhnya yang dapat berbahaya dan menular kepada orang yang melakukan kontak dengannya. Beberapa keluarga korban Covid-19 belum memahami prosedur penanganan jenazah. Mereka menilai prosedur itu tidak sesuai dengan aturan fardhu kifayah.

Untuk meminimalisir kekhawatiran di atas, berikut penjelasan prosedur atau a pengurusan jenazah pasien muslim Covid-19 mulai dari bagaimana memandikan, mengkafani, menshalatkan hingga menguburkannya.

Soal memandikan Jenazah. Secara umum, cara memandikan jenazah pasien terpapar Covid-19 yaitu memandikan tanpa membuka pakaian jenazah atau menayamumkan (tayammum). Jika salah satu dari dua hal ini tidak memungkinkan, maka jenazah tidak perlu dimandikan atau ditayammumkan. Petugas yang memandikan wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah. Akan tetapi, jika tidak ada petugas yang berjenis kelamin sama, maka petugas yang ada tetap memandikan dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian. Kalau tidak, maka jenazah ditayammumkan. Selanjutnya, jika ada najis pada tubuh jenazah yang dimandikan sebelum terpapar Covid-19, maka najis tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu. Sementara itu, cara memandikan jenazah yaitu dengan mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh jenazah akan tetapi jika jenazah tidak memungkinkan dimandikan atas pertimbangan ahli terpercaya, maka proses memandikan jenazah dapat diganti dengan tayammum dengan cara mengusap wajah dan kedua tangan jenazah dengan debu sesuai ketentuan syariah. Sebaliknya, jika membahayakan, jenazah tidak perlu dimandikan atau ditayammumkan sesuai ketentuan dharurat syar’iyyah.

Selanjutnya, mengafani jenazah sebagai sebuah kewajiban. Proses mengafani dilakukan setelah jenazah dimandikan sesuai syariat. Meskipun terlihat sederhana, namun belum tentu setiap orang dapat melaksanakannya. Cara mengkafani jenazah minimal membungkusnya dengan kain putih yang dapat menutupi seluruh anggota badan dan menutup kepala jika jenazah bukan orang yang sedang ihram. Dasarnya, sabda Rasul yang berbunyi “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena itu sebaik-baik pakaian kalian, dan kafani jenazah kalian dengannya”. (HR. al-Turmudzi dari sahabat Ibnu Abbas). Secara umum, cara mengafani jenazah Covid-19 yaitu setelah jenazah dimandikan/ditayamumkan atau tidak karena dharurah syar’iyyah, maka jenazah tersebut dapat dikafani dengan menggunakan kain yang menutup seluruh tubuh. Selanjutnya, jenazah dimasukkan ke kantong yang aman dan tidak tembus air demi mencegah penyebaran virus dan keselamatan petugas. Jenazah kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan ke kanan serta menghadap ke arah kiblat. Jika proses pengafanan jenazah selesai dan masih ditemukan najis, maka petugas dapat mengabaikan najis tersebut.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah menshalatkan jenazah. Hukum mensholatkan jenazah adalah fardhu kifayah. Tata cara pelaksanaan shalat jenazah yaitu menyegerakan shalat karena hukumnya sunnah dan sebaiknya dilakukan di tempat yang aman dari penularan Covid-19 serta dilakukan oleh minimal satu orang. Jika kondisi tidak memungkinkan, maka jenazah boleh dishalatkan di kuburan sebelum atau sesudah dimakamkan atau dengan “shalat ghaib” sebagai jalan terakhir. Hal yang tak kalah penting diperhatikan adalah petugas yang menshalatkan wajib waspada memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.

Terakhir, soal menguburkan jenazah. Tata cara menguburkan jenazah terpapar Covid-19 sudah diatur dalam Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 dan edaran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI. Berdasarkan Fatwa MUI tersebut, penguburan jenazah pasien terpapar Covid-19 harus dilakukan sesuai ketentuan syariat dan protokol medis. Setelah melalui ptoses medis, jenazah kemudian dimasukkan bersama peti ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafan jenazah. Penguburan beberapa jenazah dalam satu liang lahat diperbolehkan karena sudah termasuk dalam ketentuan aldharurah al syar’iyyah atau kondisi darurat. Lokasi penguburan jenazah terpapar Covid-19 harus berjarak setidaknya 50 meter dari sumber mata air tanah dan 500 meter dari pemukiman terdekat serta dikubur pada kedalaman 1,5 meter, lalu ditutup tanah setinggi satu meter. Pihak keluarga dapat turut dalam penguburan jenazah dengan catatan jika semua prosedur protocol kesehatan dilaksanakan secara baik. Pengetatan terhadap proses pengurusan jenazah pasien Covid-19 diharapkan dapat meminimalisir bahkan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang lebih luas. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi keluarga dan petugas yang menangani jenazah. Wallahu A’lam. Salam sehat !.

Mantan Pasien Covid-19 Wisma Atlet Jakarta

Ciputat, 25 September 2020

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 28-09-2020 Jam: 11:37:16 | dilihat: 35161 kali