Arti kekuasaan kehakiman yang merdeka dan seperti apa implementasinya dalam peradilan di Indonesia?

Oleh : Dr. Drs. H. Trubus Wahyudi, S.H., M.H.

Paradigma Urgensi Independensi Hakim dan Pengawasan masyarakat adalah suatu keharusan yang tidak bisa diabaikan demi terealisasinya tegaknya hukum dan  keadilan yang senantiasa didambakan oleh  masyarakat para pencari keadilan. Urgensi dimaksudkan keharusan yang mendesak. sedangkan  Independensi Hakim sebagai  substansi utama negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka, mandiri atau independen. lagi pula seorang hakim harus berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim.  Dengan begitu, dapat dipastikan tanpa terjaminnya independensi kekuasaan kehakiman maka sudah tentu akan runtuhlah fondasi suatu negara hukum. Ihwal Independensi Hakim  erat kaitannya dengan membicarakan pengadilan, karena pengadilan adalah benteng terakhir keadilan. Kalimat ini memiliki makna yang sangat dalam, sebab disatu sisi dapat berarti  bahwa pengadilanlah harapan terakhir masyarakat untuk memperoleh keadilan, kebenaran dan tegaknya hukum. Disisi lain juga bermakna bahwa pada dasarnya tidak semua persoalan atau sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan, karena dapat juga diselesaikan melalui lembaga Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 58 UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).

Bagi suatu negara hukum, pengadilan merupakan satu lembaga yang mutlak keberadaannya., dan dengan adanya pengawasan  masyarakat adalah merupakan modal yang sangat penting  demi  tegaknya hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.  Sukar dibayangkan,  jika lembaga perailan ini tidak ada , apakah jadinya negara ini mungkin yang terjadi adalah negara hukum rimba, sebab hilangnya eksistensi pengadilan akan berarti gugurnya status negara hukum itu sendiri.

Oleh karena itu kalaupun masih ada sorotan masyarakat sebagai bentuk pengawasan masyarakat yang demikian tajam dan terkesan juga agak sinis terhadap dunia peradilan  dewasa ini, seharusnya  dipandang secara positif dan harus diterima sebagai modal  pemacu introspeksi, secara realita  bahwa kepedulian masyarakat terhadap lembaga peradilan  sangat respon dan meningkat. Masyarakat kini tidak lagi hanya pasrah terhadap realita yang sering kali  dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, adanya masyarakat mulai menggugat eksistensi dan fungsi lembaga peradilan adalah dengan satu harapan pengadilan dapat dijadikan tumpuan tegaknya hukum dan keadilan.

Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan hakim  adalah mandiri tidak mengusung kepentingan pihak tertentu ataupun tidak terpengaruh oleh siapapun. Dalam konteks lain, independensi juga merupakan hak pribadi  sebagai manusia, yang memiliki hak bebas dan merdeka tanpa ditekan oleh pihak lain. Tentunya dimasudkan independensi hakim  dalam  pelaksanaan tugas yudicialnya adalah mandiri tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun dalam menjatuhkan putusannya sesuai dengan keyakinan nuraninya. Namun disisi lain independensi disini bukan mutlak tanpa batas, akan tetapi ada batasan-batasannya, karena suatu lembaga ataupun organisasi tidak dapat  eksis tanpa adanya dukungan dari pihak lain.

Independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa :

  • Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
  • Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari  pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa  sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan.

Sampai saat ini terkadang masih juga ada satu pertanyaan yang belum dapat dijawab secara memuaskan adalah sampai sejauh mana independensi itu dimiliki oleh para hakim di pengadilan? Karena terkadang masih juga ada oknum hakim tertentu yang masih terpengaruh terhadap iming-iming pihak tertentu yang berakibat timbulnya opini negatif terhadap independensi hakim. Independensi atau kebebasan disini harus lebih dikonotasikan sebagai kebebasan dan kemandirian untuk menegakkan hukum dan keadilan yang hakiki, atau secara harfiah kebebasan berfikir dan bertindak yang menjadi landasan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan hukum, dan hati nuraninya tanpa merasa takut terhadap pihak  luar. Dalam kapasitas inilah seorang hakim memiliki kedudukan teramat mulia dan tanggung jawab yang tinggi.

Kualitas seorang hakim akan diukur tidak hanya oleh ketrampilan dan kemampuan menerapkan pasal-pasal hukum dan memutus perkara secara cepat, tetapi lebih jauh juga diukur dari keberaniannya memegang teguh asas independensi yang melekat di pundaknya. 

Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah -irah “ Demi Kedilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “ menunjukkan kewajiban hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horisontal kepada semua manusia, dan secara vertikal  dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kapasitas inilah seorang  hakim memiliki kedudukan teramat mulia.

Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan mematuhi garis-garis dan  batas-batas  tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim  untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya, karena itu pada prinsipnya independensi hakim tidaklah mutlak, akan tetapi secara normatif independensi hakim  dibatasi oleh Kode Etik  dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana diwajibkan  dalam Pasal 13B ayat (2) UU Nomor 49 Tahun 2009 jis  Pasal 12B ayat (2) UU Nomor 50 Tahun 2009 dan Pasal 13B ayat (2) UU Nomor 51 Tahun 2009, serta mentaati nilai-nilai dasar perilaku Religiusitas, yakni adanya kesadaran bahwa semua tindakan yang dilakukan selalu memiliki konskuensi untuk diberikan penghargaan atau hukiuman oleh Tuhan sehinbgga ketekunan dan ketaatan menjalankan ajaran agama dapat menjamin setiap yang di8lakukan menjadi lebih baik.

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sekarang ini, merupakan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam  Konggres IV luar Biasa IKAHI Tahun l966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam  Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain  The Bangalore Principles of Yudicial Conduct.

Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim melalui

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang Pedoman Perilaku Hakim  dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.

Begitu pula Komisi Yudisial RI telah melakukan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak melalui kegiatan Konsultasi

Publik yang diselenggarakan di 8 (delapan) kota yang pesertanya terdiri dari unsur hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, serta unsur masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan memenuhi  pasal 32A junto pasal 81B Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2006 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan pegangan bagi para Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun ekternal.

Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap profesional. 

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagai pegangan bagi para hakim telah dituangkan dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial  Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009  Tanggal 8 April 2009. 02/SKB/P.KY/IV/2009   

Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini nerupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.  Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.

Dapat dijelaskan bahwa penegakan hukum  berkait erat dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya sudah  ada, yaitu  kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan. Kehadiran lembaga penegak hukum tambahan harus dipandang sebagai lembaga ad hoc sebagai penguatan lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Hukum berfungsi      sebagai            perlindungan   kepentingan     manusia. Agar        kepentingan   manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi deapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweck massigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).

Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen saling bertaut yang merupakan “ conditio sine qua non” bagi yang lainnya. Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan, sedangkan keadilan adalah internal autentik  dan esensi roh hukum, sehingga  supremasi hukum  [supremasi of law] adalah supremasi keadilan [supremasi of justice], begitu pula sebaliknya  karena keduanya ada hal yang komunikatif.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan dan setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, fiat justitia et pereat mundus  (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).

Penegakan hukum sudah semestinya berintikan keadilan yang didambakan masyarakat. Hal demikian berbanding lurus dengan induk teori kontrak sosial ala Thomas Hobbes, Locke, dan JJ. Rousseau dan/atau Roscoe Pound yang secara  garis besar menyebutkan bahwa hukum adalah instrumen pengubah masyarakat, yang harus berjalan sebagai pengayom dan pelindung warga negara, karena sejatinya hukum diciptakan untuk memenuhi rasa keadilan manusia.

Dalam kondisi seperti itu, di mana sebenarnya letak strategis putusan hakim untuk menjadi penegak hukum yang mandiri sebagai amanat undang-undang tanpa diintimidasi kekuasaan apapun? Sementara disisi lain harus mampu memenuhi dahaga masyarakat terhadap keadilan., Oleh karena itu seorang hakim tidaklah hanya berfungsi sebagai” terompet undang-undang”, yang   menganggap pasal-pasal hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, namun lebih jauh hakim juga harus berani bertindak sebagai penemu hukum seperti diamanatkan oleh Undang-undang. Harus harus mampu mengeksplorasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk kemudian dikristalisasikan dalam bentuk putusan-putusannya berupa yurisprudensi.

Putusan hakim adalah “ Mahkota Hakim”,demikian adagium yang terkadang muncul di tengah-tengah masyarakat; karena dari putusan hakim  itu orang lain dapat  menilai kedalaman pengetahuan hukum hakim yang memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya. Pengetahuan hukum yang harus dikuasai hakim sesungguhnya harus multidisiplin yang melintasi hukum acara, hukum materiil, ilmu hukum, filsafat hukum, sosisologi hukum, kriminologi, psikologi hukum, ilmu komunikasi, hukum adat, metodologi hukum dan lain-lain.

Putusan hakim dapat dikategorikan suatu putusan hakim yang memadai apabila dalam pertimbangan hukum yang dituangkannya paling tidak  memuat beberapa formula pasal-pasal hukum, yakni formula pasal-pasal hukum formil (hukum acara), formula pasal-pasal hukum materiil  (pasal-pasal hukum terapan), dan dasardasar hukum dari yurisprudensi ataupun dasar-dasar hukum yang digali dari hukum yang tidak tertulis  (dasar-dasar Nash).

Dalam hal penegakan hukum dan keadilan ini, bila seorang hakim menangani suatu perkara, ada baiknya menyimak sebagian maksud Risalah Khalifah Umar bin  Khatthab dijelaskan bahwa “.......maka fahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang dihadapkan  kepadamu dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan perhatian  secara tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu, sehingga  orang bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus asa dari keadilan “.

Oleh karena itu dalam hal penegakan hukum, haruslah mempunyai roh keadilan yang didambakan masyarakat,  sebagai inti dari pada hukum itu sendiri; lagi pula dalam penegakan hukum ini harus ada kompromi antara ketiga unsur, yaitu : kepastian, kemanfaatan dan keadilan, sehingga ketiga unsur tersebut  harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.

 Realita Pengawasan masyarakat terhadap dunia peradilan dewasa ini tidak bisa dielakkan, bahkan pengadilan harus memiliki prinsip transparansi. Dalam bidang tugas peradilan dewasa ini dikenal 2 (dua) pengawasan, yaitu pengawasan  Internal dan Pangawasan  Eksternal.

Pengawasan Intrernal adalah Pangawasan dari dalam lingkungan Mahkamah Agung RI sendiri yang mencakup 2 (dua) jenis yaitu : Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional.

Pengawasan Melekat adalah : Serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas  peradilan tersebut berjalan secara efektif dan efisien, sesuai dengan rencana  kegiatan dan  peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pengawasan Fungsional adalah : Pengawasan yang dilakukan oleh aparat Pengawasan  yang khusus ditunjuk untuk melaksanakan tugas tersebut dalam satuan kerja tersendiri yang  diperuntukkan untuk itu.

               Adapun yang termasuk dalam katagori Pengawasan Eksternal adalah Pengawasan diluar lingkungan Mahkamah Agung RI, antara lain : Komisi Yudisial , Ombudsmen, L S M - Dll.

Pengawasan masyarakat terhadap dunia peradilan dewasa ini  adalah termasuk dalam  katagori pengawasan eksternal.  Pengadilan memiliki prinsip transparan, dapat juga dimaksudkan bahwa proses persidangan di Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali proses persidangan perkara-perkara tertentu yang musti dilakukakan secara tertutup sebagaimana diatur dalan  Peraturan perundangan yang berlaku. 

Transparansi pengadilan sesungguhnya tidak hanya berarti bahwa masyarakat hanya boleh menyaksikan jalannya persidangan, akan tetapi sebenarnya pengawasan masyarakat itu merupakan proses bagi suatu negara hukum sama artinya dengan proses penerapan dan penemuan hukum.

Pengawasan masyarakat (social control)   terhadap dunia peradilan adalah wujud kepedulian publik terhadap lembaga peradilan sebagai garda terakhir para pencari keadilan, bahkan bila ada kritik konstruktif dari masyarakat musti insan yang berkecimpung dalam  dunia peradilan, tentunya  harus menyikapi dengan  lapang dada, guna bekal instrospeksi dan mawas diri demi perbaikan lembaga peradilan itu sendiri dan juga guna kwalitas produk-produk putusan  Pengadilan  yang senantiasa  menjadi dambaan dan tumpuan masyakarat para  pencari keadilan.

III. Simpulan. 

  1. Independensi Hakim adalah harus dipertahankan bagi setiap hakim dan harus berpegang pada Kode Etik serta Pedoman Perilaku Hakim dalam melaksanakan tugas yusticialnya, tidak mudah terpengaruh  adanya iming-iming dari pihak lain.
  2. Dalam penegakan hukum dan keadilan , hakim bukan hanya sekedar terompet undang-undang, akan tetapi hakim harus berani melakukan “ ijtihad hukum” terhadap penanganan perkara yang dihadapinya.
  3. Pengawasan kelembagaan dari Mahkamah Agung RI secara internal yang berupa pengawasan melekat dan  pengawasan fungsional  adalah berfungsi sebagai upaya preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas peradilan berjalan secara efektif, efisien, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
  4. Realita adanya pengawasan masyarakat sebagai pengawasan eksternal (sosial control) terhadap dunia peradilan, musti harus diterima bagi setiap praktisi yusticial sebagai pemacu  introspeksi diri  dan sebagai kritik konstruktif dalam wujud kepedulian publik, agar produk-produk putusan pengadilan dapat menyentuh rasa keadilan.
  5. Urgensi Independensi Hakim, Kode Etik & Pedoman Perilaku Hakim, peraturan perudangan yang berlaku, serta realitas pengawasan masyarakat sejatinya adalah sebagai pilar pokok penegakan hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat para pencari keadilan.

Daftar Bacaan  :

  1. Amran Suadi, H. Dr. Drs., S.H., M.Hum., M.M., Filsafat Hukum Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, Dan Etika., Prenada Media Goup, Jakaarta,  I, 2019.Jakarta.
  2. Bagir Manan, Prof., Dr., SH., MCL., Artikel Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasional , Varia Peradilan Tahun XXVIII No. 326 Januari 2013.
  3. Habiburrahman, Peradilan Agama Dan Problematikanya, Kajian Sekitar Beberapa Permasalahan Hukum Formil & Hukum Materiil, Jakarta, Cet..., 2011.
  4. Muhammad Salam Madzkur, Al Qadlo’ fi Al Islam (Peradilan Dalam Islam),alih bahasa Drs. Imron AM, PT. Bina Ilmu, Surabaya Cet..2, l982.
  5. Syarifuddin, H. Dr., SH., MH., (Kepala Badan Pengawasan) Mahkamah Agung RI, Sistem Pengawasan Mahkamah Agung R I, Mega Mendung, 10 April 2012.
  6. Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr., SH., dan A. Pitlo, Prof., Mr., Bab-bab  Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, Cet.. I, 1993.
  7. ....................., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Amandemen I s/d IV) dengan Penjelasannya, Lengkap Bagian-bagian yang diamandemen serta proses Dan Perubahannya, Pustaka Agung Harapan, Surabaya, Cet.., Th..., 
  8. ....................., Komisi Yudisial R I, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI , Kode Etikm dan Pedoman Perilaku Hakim,Jakarta, 2009.
  9. ......................., Hasil Rakernas Mahkamah Agung R I tahun 2009 di Palembang, tanggal 7 Oktober 2009.
  10. ......................, Buku Saku Reformasi Birokrasi dan Aturan Prilaku Pegawai Mahkamah Agung R I, Copyright : Pta Mataram@ 2012.
  11. Sutan Rajasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, [ Surabaya : Mitra Cendekia] Cet…    2003.
  12. https : farid-wajdi.com/detail post/meluruskan-makna-independensi-hakim, diakses tanggal 29 Juni 2019.