Primordialisme adalah pandangan yang berlebihan terhadap hal-hal yang melekat dalam diri individu sejak lahir, seperti ras, agama, suku bangsa, jenis kelamin, dan segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Show Primordialisme dapat berakibat pada etnosentrisme atau sikap yang menganggap kebudayaannya lebih tinggi daripada kebudayaan lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB), primordialisme adalah pandangan yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertama. Menurut Kun Maryati, dkk (2014) primordialisme adalah ikatan-ikatan seseorang dalam kehidupan sosial yang sangat berpegang teguh terhadap hal-hal yang dibawa sejak lahir baik berupa suku bangsa, kepercayaan, ras, adat-istiadat, daerah kelahiran, dan lain sebagainya. Baca JugaWibowo dan Hardiwinoto dalam Syamsuddin (1993) menjelaskan, primordialisme adalah perasaan-perasaan yang mengikat seseorang dikarenakan oleh hal-hal yang dimilikinya sejak ia dilahirkan. Merujuk pada buku Penghantar Ringkas Sosiologi, secara bahasa, istilah primordialisme berasal dari kata "primus" yang artinya "pertama", dan "ordiri" yang artinya “tenunan atau ikatan”. Dengan demikian, primordialisme dapat diartikan ikatan-ikatan utama seseorang dalam kehidupan sosial dengan hal-hal yang dibawa sejak kelahirannya. Penganut paham primordialisme cenderung mementingkan kepentingan kelompoknya dan menilai bahwa kebudayaan kelompoknya lebih baik dari siapapun. Berdasarkan buku Prasangka Agama dan Etnik, biasanya orang yang menganut primordialisme merasa terancam oleh sesuatu yang baru yang datang dari luar kelompoknya. Bisa saja sikap ini dirasakan kaum pribumi ketika merasakan kekuatan baru yang datang dari luar dan ingin merebut dominasi kepribumiannya. Contoh primordialisme dalam masyarakat adalah praktik nepotisme dalam merekrut atau menempatkan orang-orang yang berasal dari daerah atau suku bangsa yang sama dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Bentuk-Bentuk PrimordialismeSalomo Panjaitan dalam Jurnal Darma Agung (2013) menjelaskan bentuk-bentuk primordialisme sebagai berikut. 1. Primordialisme SukuPrimordialisme suku adalah suatu sifat kekeluargaan yang didasarkan pada suku. Seseorang lebih terikat pada sukunya sendiri daripada suku lainnya. Misalnya, orang Jawa yang tinggal di Papua lebih cenderung terikat dengan sukunya dan tidak mau mengikuti suku Papua. Bentuk primordialisme suku menunjukkan kecenderungan dalam memilih atau mendahulukan orang-orang yang berasal dari suku yang sama apabila terdapat suatu kepentingan. Oleh sebab itu, primordialisme suku juga bisa diartikan sebagai pengelompokan yang terjadi dalam masyarakat yang didasarkan pada suku asalnya. Baca JugaPrimordialisme agama adalah suatu sifat yang memegang teguh pada agama yang dianutnya dan cenderung membentuk kelompok (fanatik) berdasarkan agamanya serta menganggap aliran agamanya paling benar. Penganut paham primordialisme agama menganggap agama yang dianutnya paling benar dan tidak menerima pendapat dari agama lain. Jika dalam satu agama terdapat organisasi kemasyarakatan, maka masing-masing orang yang mengikuti kelompok tersebut cenderung fanatik dengan kelompoknya. Baca JugaPrimordialisme kedaerahan merupakan sifat kekeluargaan dan kesukuan yang didasarkan pada asal daerah seseorang di mana ia lebih terikat dengan daerahnya sendiri dibandingkan daerah lain. Misalnya seperti dalam menyewa rumah kontrakan atau kos, mahasiswa cenderung hanya ingin tinggal dengan teman dari daerahnya sendiri. Contoh lainnya terlihat dalam pemilihan ketua organisasi. Sebuah organisasi terdiri dari anggota yang berasal dari berbagai daerah. Penganut paham primordialisme kedaerahan akan memilih calon ketua atau pemimpin yang memiliki asal daerah sama dengannya. Dampak Positif dan Negatif dari PrimordialismeMenurut Koentjaraningrat dalam Moeis (1993), sikap primordialisme memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Dampak positif primordialisme meliputi:
Baca JugaAdapun dampak negatif primordialisme antara lain:
Penyebab Terjadinya PrimordialismeKoentjaraningrat menjelaskan, ada tiga penyebab terjadinya primordialisme, yaitu:
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa primordialisme adalah pandangan yang berlebihan terhadap hal-hal yang melekat dalam diri individu sejak lahir dan dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif. Primordialisme adalah suatu perasaan-perasaan dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak seorang individu baru dilahirkan.[1] Primordialisme dapat ditelusuri secara filosofis dengan ide-ide dari Romantisisme Jerman, terutama dalam karya-karya Johann Gottlieb Fichte dan Johann Gottfried Herder.[2] Untuk Herder, bangsa itu identik dengan kelompok bahasa. Dalam pemikiran Herder itu, bahasa adalah identik dengan pemikiran, dan karena setiap bahasa yang telah dipelajari di masyarakat, maka setiap masyarakat harus berpikir secara berbeda. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat tetap menahan sifatnya dari waktu ke waktu.
Primordil atau Primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu: 1. etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain, 2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain.
Tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. Akan tetapi bisa saja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. Dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. Perilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.
Primordialisme, dalam kaitannya dengan etnis, berpendapat bahwa "kelompok-kelompok etnis dan kebangsaan ada karena adanya tradisi keyakinan dan tindakan terhadap objek primordial seperti faktor biologis dan lokasi terutama teritorial".[3] Argumen ini bergantung pada konsep kekeluargaan, di mana anggota kelompok etnis merasa mereka memiliki karakteristik, asal-usul atau bahkan kadang-kadang hubungan darah. Terlihat melalui suku Igbo dari Nigeria, setelah apa yang mereka rasakan adalah asal-usul mereka sebagai keturunan Yahudi.[4] "Primordialisme mengasumsikan identitas etnik sebagai sesuatu yang tetap, setelah dibangun".[5] Sekarang akan diperlukan untuk membahas Primordialisme sebagai paradigma dalam studi etnis, dalam konteks Rwanda. Tumpukan tengkorak yang berada di situs peringatan Genosida Rwanda di Nyamata, Rwanda Genosida Rwanda pada tahun 1994 menampilkan pembunuhan sekitar 800.000 Rwanda dalam rentang tiga bulan. Kekerasan ini, seperti juga dialami dalam Perang Saudara Nigeria pada tahun 1967, bisa dibilang karena etnis dan persaingan antara kelompok-kelompok etnis. Kelompok etnis Hutu yang dominan di Rwanda merasa mereka harus membunuh tetangga etnis Tutsi, karena perbedaan didirikan pada identitas etnis yang membedakan mereka.[6] Sebagai sejarawan Sandra Joireman berpendapat, 'jenis dari penjelasan tentang genosida Rwanda ini dan kekerasan yang mengerikan, dengan penekanan penyebab karena perbedaan kekerabatan dan kepercayaan dari kedua kelompok etnis, adalah pandangan primordialis.[6] Untuk sebagian besar adalah keyakinan pada argumen primordialis kekerabatan, tradisi sejarah dan tanah air, dari kelompok-kelompok etnis, yang mendorong Hutu merasa tindakan mereka dibenarkan. Meskipun banyak kritik akademik Primordialisme, dan pengembangan teori-teori etnis lainnya seperti konstruktivisme dan instrumentalisme, Primordialisme adalah "berpengaruh dalam mengidentifikasi kekuatan abadi ikatan etnis dan komitmen anggotanya untuk itu".[7] Sebagai contoh, beberapa sarjana berpendapat bahwa perang dingin mempengaruhi dan menghasut kepercayaan ini dalam etnis dan konflik etnis. Namun, Primordialisme tidak setuju dan berpendapat bahwa etnis ada historis, jauh sebelum Perang Dingin, yang hanya memberi jalan untuk isu-isu ideologis.[7] Selain itu, argumen primordialis 'menunjukkan bahwa perbedaan yang tak terdamaikan karena kesenjangan budaya menyebabkan ketakutan dan konflik yang melahirkan kekerasan'.[8] Meskipun studi sejarah yang lebih baru telah diakui bahwa genosida 1994 di Rwanda adalah hasil dari perbedaan dalam kekuasaan dan kekayaan antara Tutsi dan Hutu, primordialists menegaskan bahwa Hutu dan Tutsi dikembangkan sepenuhnya dalam budaya yang terpisah dan yang demikian pasti masuk ke dalam konflik dengan satu sama lain. Sebagai etnis primordial adalah kuno, 'tetap dan tidak berubah', kemungkinan untuk asimilasi budaya dalam Rwanda ditampilkan sebagai kemustahilan.[9]
Harnischfeger, Johannes, ‘Secessionism in Nigeria’, ECAS 4 conference, Uppsala, (2011) <http://www.nai.uu.se/ecas-4/panels/41-60/panel-56/Johannes-Harnischfeger-Full-paper.pdf Diarsipkan 2012-04-14 di Wayback Machine.> [accessed 31/10/11] Joireman, Sandra Fullerton, ‘Primordialism’, in Nationalism and Political Identity, (Cornwall: MPG Books Ltd, 2003), pp. 19-35 (p. 19).
Uvin, Peter, ‘Ethnicity and Power in Burundi and Rwanda: Different Paths to Mass Violence’, Comparative Politics, 31 (1999), 253-271
|