Apakah perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan bagaimana caranya agar perkawinan beda agama itu menjadi sah?

Ilustrasi menikah beda agama.  (Sumber: Kompas.tv/Ant.)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Bolehkah menikah beda agama di Indonesia? Pertanyaan ini sering menghantui pasangan-pasangan di Indonesia yang ingin menikah tetapi terhalang perbedaan agama.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan masyarakat yang majemuk. Namun, pernikahan beda agama masih menjadi topik yang menimbulkan pro-kontra. Tak sedikit yang mempertanyakan legalitas pernikahan beda agama.

Selain itu, penerimaan keluarga dan masyarakat pun berbeda-beda dalam topik ini. Ada yang menerima, tetapi banyak juga yang tidak.

Beberapa selebritas bahkan melangsungkan pernikahan beda agama di luar negeri. Tentu cara ini legal dilakukan, tetapi banyaknya biaya membuat pernikahan di luar negeri tidak menjadi opsi masyarakat umum.

Baca Juga: Beda Agama dengan Billy Syahputra, Amanda Manopo: yang Penting Bahagia

Berikut cara-cara menikah beda agama secara legal di Indonesia tanpa harus pergi ke luar negeri.

Hukum Menikah Beda Agama di Indonesia Tidak Spesifik

Pernikahan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Lalu diperbarui oleh UU No. 16 tahun 2019 untuk mengantisipasi pernikahan dini. 

Undang-undang di Indonesia tidak mengatur pernikahan beda agama secara spesifik.

Salah satu pasal UU Perkawinan bahkan rentan ditafsirkan sebagai larangan pernikahan beda agama. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Beberapa agama melarang pernikahan beda agama. Sehingga, pernikahan beda agama bisa tidak disahkan karena tidak mengikuti hukum agama yang bersangkutan.

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV

Menikah beda agama selalu menjadi topik hangat untuk dibahas dan diwarnai oleh berbagai pandangan yang berbeda pula. Sebagian bilang boleh dan sebagian yang lain melarang, karena itulah pernikahan beda agama di Indonesia bukanlah hal yang sederhana untuk bisa dilakukan. Selain karena permasalahan agama itu sendiri, kebanyakan pasangan yang hendak memutuskan untuk tetap menikah meski ada perbedaan di antara keduanya harus siap untuk berkonflik juga dengan keluarga. Nggak semua orang bisa menerima dan sepaham dengan hal-hal semacam ini.

Hukum pernikahan beda agama di Indonesia

Apakah perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan bagaimana caranya agar perkawinan beda agama itu menjadi sah?
Pexels.com/Andreas Wohlfahrt

Berdasarkan Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 1, pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Memang, tidak ada pernyataan yang secara gamblang memperbolehkan pernikahan beda agama, tetapi hal ini semakin dikuatkan dengan Undang-undang Hak Asasi Manusia No 39 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa paling tidak ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi atau dikurangi oleh siapa pun, di antaranya termasuk soal memilih pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan. Hanya saja, yang selalu menjadi perdebatan adalah adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres No 1 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa pernikahan dianggap batal jika pasangan berbeda agama. Namun, hal itu nggak menjadikan pernikahan beda agama benar-benar nggak boleh dilangsungkan.

Menurut putusan Mahkamah Agung No 1400/K/Pdt/1986, para pasangan beda agama bisa meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan pernikahan beda agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan. Tetapi, yang lagi-lagi menjadi hambatan bagi jalinan cinta antara kamu dan pasangan adalah nggak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama. Kalaupun mau, pernikahanmu nantinya akan dicatat sebagai perkawinan non-Islam.

Akhirnya, seperti yang sering kita lihat, kebanyakan pasangan yang tetap ingin menikah meski terhalang oleh perbedaan agama adalah melangsungkan pernikahan di luar negeri. Mahal karena menguras kantong? Tentu saja, Bela! Eits, jangan putus asa dulu, kalau kamu berdomisili di daerah seperti Yogyakarta, Salatiga, Surabaya, dan Denpasar, kemungkinan besar kamu dan pasangan adalah salah satu yang beruntung karena kabarnya kota-kota tersebut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipilnya bersedia mencatatkan pernikahan kamu dan pasangan yang memiliki perbedaan agama.

Prosesi pernikahan beda agama

Apakah perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan bagaimana caranya agar perkawinan beda agama itu menjadi sah?
Instagram.com/nadinelist, The Eternity

Dilansir dari Vice, sebanyak 99 persen pasangan yang melangsungkan pernikahan beda agama, melaksanakan kedua prosesi pernikahan dalam kedua agama yang dianut oleh masing-masing pasangan. Entah Islam dengan Kristen, Islam dengan Katolik, Katolik dengan Buddha, dan sebagainya. Namun, kalau ternyata kamu termasuk ke dalam pasangan beda agama apa pun tetapi dengan Katolik, kamu bisa mendapatkan kemudahan. Gereja Katolik ternyata memiliki channel ke catatan sipil sehingga pernikahanmu dan pasangan nanti akan terbantu. Kalau soal dokumen dan berkas yang diperlukan, kamu nggak perlu khawatir karena semuanya tidak jauh berbeda dengan dokumen dan berkas pasangan yang menikah seagama.

Pertimbangan menikah beda agama

Ketika kamu memutuskan untuk benar-benar meresmikan hubungan kamu dan pasangan meski terdapat perbedaan agama dan juga keyakinan, kamu harus benar-benar sadar betul atas semua konsekuensi dari pilihanmu. Beberapa hal harus kamu pertimbangkan terlebih dahulu ya, nggak terkecuali untuk pasanganmu juga. Kalian pasti tahu bahwa apa yang kalian jalani nantinya nggak akan mudah karena pernikahan beda agama akan cenderung lebih rentan akan konflik daripada yang tidak. Gesekan sosial dan budaya pasti akan sangat nyata terasa nantinya ketika hubunganmu dengan pasangan masuk ke dalam jenjang pernikahan.

Keluarga dan teman-teman terdekat juga harus masuk dalam pertimbanganmu! Belum lagi soal agama apa yang kelak akan dianjarkan pada anak, hal tersebut harus kamu diskusikan terlebih dahulu dengan pasangan, lho. Saling mengerti dan toleransi adalah kunci, Bela. Tetap ikuti kata hati dan yakinkan dirimu bahwa apa pun langkah yang kamu ambil adalah apa yang membuatmu bahagia.

Baca Juga: Hukum Menikah Beda Agama Menurut Negara

Jakarta -

UU Perkawinan prinsipnya hanya mengakui pernikahan pasangan satu keyakinan/agama. Namun dalam praktiknya banyak ditemui pasangan yang beda agama ingin menikah di Indonesia dan diakui negara. Tapi bagaimana caranya agar diakui negara?

Berikut pertanyaan yang didapat detik's Advocate:

Salam hangat detik's Advocate

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas rubrik konsultasi ini, menjadikan kami banyak tahu hal-hal hukum yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti saya yang mempunyai masalah yaitu akan menikahi kekasih saya yang berbeda agama. Saya muslim dan calon istri saya nonmuslim. Kami berencana akan menikah dengan keyakinan masing-masing. Namun terkendala aturan yang ada.

Pertanyaan:

1. Apakah salah satu dari kami harus memeluk agama lainnya agar bisa dinikahkan secara hukum negara?
2. Bagaimana bila kami tetap dengan keyakinan kami, agar pernikahan kami secara hukum negara diakui?
3. Apakah kami harus ke luar negeri untuk mencatatkan pernikahan kami dengan keyakinan masing-masing, agar bisa diakui oleh negara Indonesia?

Mohon jawabannya.

Terimakasih

Untuk menjawab permasalahan di atas, kami menghubungi advokat Rusdianto Matulatuwa,S.H. Berikut pendapat hukumnya:

Terima kasih atas kesempatan kepada Penulis pada kesempatan kali ini karena dapat memberikan kontribusi dan pencerahan untuk menjawab persoalan-persoalan yang selama ini ada di dalam kehidupan masyarakat modern.

1.Bahwa Perkawinan adalah sebuah pranata untuk mengesahkan hubungan dua anak manusia yang berbeda jenis kelamin sehingga menjadi pasangan suami istri. Secara umum perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan keluarga yang lestari, utuh, harmonis, bahagia lahir dan batin, karena itu dengan sendirinya diperlukan kesesuaian dari kedua belah pihak yang akan menyatu menjadi satu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat, sehingga latar belakang kehidupan kedua belah pihak menjadi penting, dan salah satu latar belakang kehidupan itu adalah agama hal ini tentunya selaras dengan bunyi Pasal 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:

Perkawinan ialah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Agama menurut ahli sosiologi merupakan sesuatu yang sangat potensial untuk menciptakan integrasi, di sisi lain persamaan agama dapat lebih menjanjikan terciptanya sebuah keluarga yang kekal, harmonis, bahagia lahir dan batin, daripada menganut aliran heterotheism (antar agama) yang sangat rentan terhadap terjadinya perpecahan, tidak harmonis, tidak bahagia dan tidak sejahtera, atas dasar dari latarbelakang pemahaman inilah sehingga dasar-dasar dari syarat sahnya suatu perkawinan yang tertuang di dalam Pasal 2 (ayat 1) UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.

Pasal ini sarat dengan suasana kebatinan dalam norma agama dan kepercayaan yang memberikan ruang kepada pemuka agama yang ada di Indonesia untuk mensahkan perkawinan sesuai dengan agama yang dianut masing-masing warga negaranya.

Sehingga melihat dari semangat dari kehadiran Undang-Undang Perkawinan apabila ada Warga Negara yang hendak melangsungkan pernikahan yang di wilayah Indonesia maka salah satu pasangan tersebut wajib untuk menundukkan diri dan memilih pada salah satu hukum agama yang berlaku dalam rangka pemenuhan syarat-syarat pernikahan yang telah dipilih agar dapat disahkan dan dicatatkan oleh negara.

2.Jika pasangan yang akan melakukan pernikahan tersebut masih berketetapan ingin melakukan pernikahan sesuai dengan keyakinannya masing-masing /Perkawinan berbeda agama hal tersebut tentu tidak dapat diakomodir di dalam Undang-Undang Perkawinan ini sehingga berpotensi terhadap kerugian akibat perkawinan karena tidak didasarkan pada UU 1/1974, khususnya bagi wanita (istri) dan anak nantinya sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat dipulihkan atau tidak?

Di sinilah titik krusialnya dalam konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara (Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan.

Jawaban selengkapnya di halaman berikutnya.

(asp/knv)