October 13, 2016
Mesjid Penyengat Sumber : http://bujangmasjid.blogspot.co.id Pulau Penyengat Inderasakti atau lebih dikenal Pulau Penyengat merupakan sebuah pulau kecil berukuran kurang lebih 2.500 x 750 meter yang berjarak kurang lebih sekitar 3 km dari Kota Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pulau wisata ini dan berjarak lebih kurang 35 km dari Pulau Batam dapat dicapai dengan menggunakan perahu bot atau lebih dikenal bot pompong, lebih kurang sekitar 15 menit dari Tanjung Pinang. Mobilitas penduduk dari dan menuju ke Pulau Penyengat sebagai pulau wisata cukup ramai, hal ini mengingat mayoritas warga Pulau Penyengat bekerja di Tanjung Pinang. Mereka berangkat pada saat pagi menuju Tanjung Pinang dan kembali lagi ke Pulau Penyengat pada sore hari. Arus kunjungan menuju ke Pulau Penyengat pada pagi hari biasanya lebih didominasi oleh para wisatawan yang ingin menyaksikan sejarah peninggalan dari Kesultan Melayu Riau yang ada di pulau tersebut. Pulau Penyengat merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di Kepulauan Riau dimana objek-objek wisatanya tersebar di pulau kecil ini. Beberapa objek wisata terkenal bisa kita liat di Pulau Penyengat antara lain adalah Mesjid Raya Sultan Riau atau Mesjid Penyengat yang bangunannya terbuat dari campuran putih telur, benteng pertahanan di Bukit Kursi, makam-makam para raja serta makam dari pahlawan nasional bernama Raja Ali Haji serta kompleks Istana Kantor dan lainnya. Dengan kekayaan objek wisata khususnya Wisata Sejarah yang ada di dalamnya, maka Pulau penyengat dan komplek istana di Pulau Penyengat tersebut telah dicalonkan ke UNESCO untuk kemudian dijadikan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia. Pesona Wisata Masjid Penyengat, Mesjid Pulau Para RajaSejarah Pulau Penyengat sebagai pulau yang kaya dengan peninggalan sejarah Melayu diawali pada abad ke-18, yakni pada saat Sultan Riau-Lingga membangun sebuah bangunan benteng di Pulau Penyengat. Benteng tersebut tepatnya berada di kawasan Bukit Kursi, disana ditempatkanlah beberapa buah meriam sebagai basis pertahanan Bintan. Sultan-sultan berikutnya kemudian memerintah seluruh Kepulauan Riau dari Pulau Penyengat tersebut.Peta Wisata Pulau Penyengat Sejarah Mesjid Penyengat yang berukuran 29,3 x 19,5 meter ini dibangun sekitar tahun 1761-1812 berupa bangunan sederhana dengan berlantai batu dan berdinding kayu serta menara dengan tinggi sekitar 6 meter. Kemudian Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Linggga pada 1831-1844 berinisiatif untuk mengembangkan mesjid ini menjadi lebih besar dimana kejadian ini pada 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 Masehi). Masjid Penyengat merupakan masjid yang menjadi saksi kebesaran dari Kesultanan RiauMesjid Putih Telur ini sebagai peninggalan Sultan Mahmud yang dibangun pada tahun 1803 dan rampung pada tahun 1844 M. Hampir dua abad lamanya setelah pembangunan, masjid tersebut masih terus berdiri kokoh. Konon karena putih telur yang digunakan sebagai perekat material bangunanlah yang telah membuat masjid ini tetap kokoh berdiri hingga saat ini. Sumber : Bujang Mesjid Saat ini, warna bangunan dicat dengan menggunakan warna kuning sebagai warna kebesaran dari bangsa Melayu. Warna tersebut menutupi hampir seluruh bagian luar hingga ke bagian dalam bangunan masjid. Diselingi dengan warna hijau di beberapa ornamen untuk keindahan. Pada sisi kiri gerbang mesjid berdiri sebuah perpustakaan sebagai tempat menyimpan Kitab Suci Al-Quran dari mulai abad ke-17 dan beberapa buah kitab kuno. Pada empat bagian sisi masjid juga terdapat menara tinggi menjulang yang berwarna kuning. Salah satu keistimewaan mesjid berwarna kuning ini adalah dipajangnya mushaf Al-Qur'an tulisan tangan oleh Abdurrahman Stambul, putera Riau asli pulau Penyengat yang diutus oleh Sultan untuk belajar di Turki pada tahun 1867 M. Selain itu ada juga mushaf Al-Qur'an tulisan tangan yang disimpan karena usianya lebih tua dari dipajang tersebut yang ditulis oleh Abdullah Al Bugisi pada tahun 1752 M. Mushaf ini dilengkapi dengan tafsiran-tafsiran dari ayat Al-Qur'an yang tidak diketahui siapa penulisnya. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab lain yang tidak dipertunjukkan kepada pengunjung. Keistimewaan lain adalah mimbar di dalam mesjid di pulau para raja ini yang terbuat dari kayu jati yang dipesan khusus dahulunya dari Jepara Jawa. Mimbar ini lebih besar daripada mimbar yang berada di Mesjid Sultan Lingga di Daik yang dipesan secara bersamaan. Disamping mimbar terdapat piring berisi pasir yang konon dibawa dari pasir tanah Makkah al-Mukarramah bersama benda-benda lain dari tanah Arab. Pasir Mekah ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, yang merupakan bangsawan Riau-Lingga pertama yang menunaikan ibadah haji ke tanah Mekah pada tahun 1820 M. Lampu kristal mesjid putih telur (ada beberapa masyarakat menyebut hal demikian untuk Mesjid Pulau Penyengat ini) berasal dari hadiah dari Kerajaan Prusia (Jerman) pada tahun 1860-an. Hal ini menambah keindahan di dalam mesjid. Mesjid pertama yang tercatat memakai kubah di Indonesia ini berada dalam kompleks mesjid dengan luas areal 54,4 x 32,2 meter. Bangunan mesjid memiliki 6 jendela besar, 7 pintu dilengkapi, 13 kubah dan 4 menara beratap hijau berdinding kuning setinggi 18,9 meter. Dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang di bagian depan dan kuburan di bagian belakangnya serta tempat wudhu di bagian kiri dan kanannya. Bangunan penunjang ini berupa 2 buah bangunan rumah sotoh dan 2 buah balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid. Dahulunya salah satu menara yang terdapat disamping mesjid ini digunakan sebagai tempat bilal mengumandangkan azan. Namun seiring dengan kemajuan tekhnologi yang terus berkembang, kini bilal tak perlu lagi naik ke menara untuk mengumandangkan azan. Balai-balai digunakan untuk menunggu waktu shalat dan kadang digunakan untuk tempat istirahat atau berkesenian. Rumah Sotoh dahulunya digunakan untuk belajar menimba segala ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama. Tercatat 4 ulama terkenal di Riau-Lingga pernah mengajar di mesjid ini seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Ismail, Syekh Arsyad Banjar, dan Haji Shahabuddin.Sumber : Bujang Mesjid Selain komplek Masjid Penyengat atau Mesjid Raya Sultan Riau atau Mesjid Pulau Para Raja atau Mesjid Putih Telur, terdapat pula komplek makam Raja Abdurrahman merupakan Raja Riau VII yang mangkat pada tahun 1844 M. Komplek makam dipagari dengan menggunakan bata yang sudah disemen yang pada bagian pintu masuk makam terdapat gapura dengan bentuk melengkung. Raja Abdurrahman atau Raja Abdurrahman Marhum Kampung Bulang Yamtuan Riau VII yang dimakamkan dikomplek tersebut pada masa pemerintahannya sangat berjasa menjadikan Pulau Penyengat tersebut sebagai pusat syiar agama Islam. Raja Abdurrahman telah mengundang para ulama yang berasal dari Timur Tengah untuk datang ke Pulau Penyengat. Di era pemerintahannya pulalah lahir karya-karya dari penyair seperti Raja Haji Ahmad Ibn Raja Haji Fisabilillah dan Bilal Abu. Sebagian gambar Mesjid Penyengat dari Dinas Pariwisata Kepulauan Riau.
Ketua Pengurus Masjid Raya Sultan Riau/ Masjid Raya Penyengat, Raja H Abdurrahman (kepri.antaranews.com/Henky Mohari)
Tanjungpinang (ANTARA News) - "Belum sah pergi ke Tanjungpinang, jika tidak singgah ke Pulau Penyengat. Belum sah bagi umat Islam yang sudah ke Tanjungpinang, jika belum menyempatkan diri untuk singgah dan sholat di Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat". Itulah beberapa ungkapan sebagian warga Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri), kepada tamu dari dalam maupun luar negeri. Pulau Penyengat terletak di bagian barat. Pulau itu bersama bangunan kuning masjidnya sudah tampak dari pinggir laut Kota Tanjungpinang.Penyengat dapat ditempuh lebih kurang 15 menit dengan menggunakan pompong atau sampan kapal motor kecil dari pelantar dermaga kecil di sebelah Pelabuhan Internasional Sri Bintan Pura. Cukup merogoh kocek dan mengeluarkan uang Rp5.000, pengunjung sudah bisa sampai ke pulau yang menyimpan sejarah kebesaran Kerajaan Riau-Lingga pada abad ke-18 di ibu kota Provinsi Kepri itu. Ada sekitar 17 situs sejarah Kerajaan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Bangunan kuning Masjid Raya Sultan Riau dengan tembok anak tangga dan pinggiran melengkung di kiri-kanan, langsung menyambut siapapun tamu yang berjalan sekitar 100 meter dari pelabuhan beton Pulau Penyengat dari Tanjungpinang. Masjid Sultan Riau, dibangun pada 1803 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah dan direnovasi oleh Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdul Rahman pada 1832 Masehi. Bangunan itu bertembok tebal. Masih kokoh dan terawat, seperti mengundang siapa pun yang beragama Islam untuk menunaikan ibadah shalat, selain mendapat informasi tentang sejarah masjid yang konon sebagian bahan bakunya berasal dari putih telur ayam. "Masjid Raya Sultan Riau masih asli. Belum pernah dipugar sejak tahun 1832 Masehi," kata Ketua Pengurus Masjid Sultan Riau, Raja H Abdurrahman (62), dikediamannya yang tidak jauh dari masjid, Kamis (5/8-2010). Laki-laki ubanan tersebut mengatakan, bangunan yang juga dikenal dengan nama Masjid Raya Penyengat didirikan pada 1803, saat Sultan Mahmud Syah membenahi Pulau Penyengat yang merupakan benteng pertahanan pada masa Raja Ali Haji berperang melawan Belanda pada 1782 Masehi. "Sultan Mahmud membenahi Penyengat untuk pusat bandar (kota) dan yang pertama sekali dibangun adalah Masjid Raya Sultan Riau," ujarnya. Pulau yang mempunyai luas sekitar 240 hektare atau 3,5 kilometer persegi, terdiri atas dataran 40,8 hektare dan perbukitan seluas 192,2 hektare tersebut terus dikembangkan Sultan Mahmud Syah dengan membangun istana serta beberaoa bangunan pendukung hingga menjadi pusat kota. "Pulau Penyengat dihadiahkan kepada Engku Putri sebagai mas kawin dari Sultan Mahmud Syah setelah semua fasilitas pendukung lengkap," jelas Abdurrahman. Raja Hamidah atau Engku Putri menetap di Pulau Penyengat semenjak itu dan diberi kekuasaan oleh Sultan Mahmud Syah dengan menyerahkan alat-alat kebesaran Kerajaan Riau-Lingga yang salah satunya berupa Cogan. Seiring perkembangan pusat perkotaan dan pertumbuhan penduduk Pulau Penyengat, maka direnovasilah Masjid Sultan Riau oleh Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdul Rahman pada 1932 Masehi. "Saat itu pada tanggal 1 Syawal 1249 H (1832 M), Raja Abdul Rahman menyeru rakyatnya untuk berjihad di jalan Allah (Fisabilillah) dengan membangun Masjid Sultan Riau lebih besar agar bisa menampung jamaah," kata Abdurrahman. Seluruh warga Pulau Penyengat waktu itu secara bergotong-royong siang dan malam membangun Masjid dan juga dibantu oleh masyarakat sekitar, bahkan dari berbagai daerah kekuasaan Raja Abdul Rahman. "Kaum perempuan bekerja di malam hari dan laki-laki bekerja pada siang hari. Fondasi masjid bisa diselesaikan selama tujuh hari tujuh malam," ujarnya seolah-olah bisa mengenang waktu pembuatan Masjid Raya Sultan Riau.Putih telur Bantuan makanan, berupa lauk-pauk, sayur-sayuran dari berbagai penjuru juga datang untuk pekerja yang membangun masjid, termasuk telur ayam kampung yang jumlahnya mencapai beberapa kapal tongkang, perahu muatan barang. Saking banyaknya telur ayam, pekerja hanya mengambil bagian kuning untuk dimakan dan membuang putihnya. "Saat itulah arsitek masjid asal India yang didatangkan dari Singapura, memanfaatkan putih telur sebagai bahan campuran pasir, tanah liat dan kapur," jelasnya. Padahal menurut dia, tidak ada rencana dari arsitek itu untuk membangun dengan putih telur.Saat itu, Yang Dipertuan Muda memerintahkan rakyat mencari telur burung layang-layang di tukong-tukong (goa batu) di Laut Natuna dan Lingga sebagai persiapan jika putih telur ayam kampung tidak mencukupi. "Telur burung layang-layang tidak jadi digunakan karena telur ayam kampung mencukupi untuk membangun masjid seluas 20x18 meter yang masih kokoh dan berfungsi hingga saat ini," kata Abdurrahman. Dinding bangunan masjid cukup tebal. Diperkirakan mencapai sekitar 40 centimeter. Menurut Abdurrahman, lama pengerjaan Masjid Sultan Riau tidak tercatat dalam sejarah, kecuali bahwa lama pengerjaan pondasi setinggi lebih kurang 3 meter selama tujuh hari tujuh malam. "Semula warna bangunan Masjid Sultan Riau putih. Saat ini sudah dicat dengan warna kebesaran Melayu, kuning dipadu dengan hijau sebagai warna kebesaran umat Islam," katanya. Di sisi kiri kanan masjid terdapat bangunan tambahan yang disebut dengan sotoh (tempat pertemuan), sehingga luas keseluruhan kompleks Masjid Sultan Riau mencapai 54,5 x 23,5 meter.Simbol rakaat shalat Ruangan dalam Masjid Sultan Riau bisa dibagi lima, yang menurut Abdurrahman sebagai penanda Rukun Islam ada lima, dengan ditopang empat tiang beton berdiameter sekitar 1 meter yang menggambarkan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, "Barang siapa mengenal yang empat, maka dia itulah orang yang ma'rifat". Empat tiang tersebut juga menandakan Islam mempunyai empat mazhab, yaitu Hambali, Maliki, Syafi'i dan Hanafi. Di atap Masjid Sultan Riau ada 13 kubah yang diartikan sebagai penanda rukun shalat lima waktu ditambah dengan empat menara tempat bilal mengumandangkan azan yang diperkirakan setinggi 18 meter. "Jika digabungkan 13 kubah dengan empat menara menandakan jumlah rakaat shalat lima waktu sebanyak 17 rakaat," kata Abdurrahman. Corak pada bagian dalam 13 kubah tersebut juga berbeda satu sama lainnya. Ada yang berbentuk bulat, segi tiga, segi lima, segi empat dengan lonjong ke atas, yang diartikan sebagai shalat lima waktu memiliki jumlah rakaat yang berbeda.Tulisan tangan Masjid Sultan Riau sudah berumur lebih kurang 207 tahun, tetapi masih menyimpan beberapa peninggalan sejarah yang memiliki nilai tinggi, antara lain dua buah kitab Alqur'an tulisan tangan pada tahun 1752 Masehi dan tahun 1867 Masehi. Kitab Alqur'an tulisan tangan pada tahun 1752 merupakan karya Abdullah Al Bugisi. Sedang kitab Alqur'an 1867 merupakan karya Abdurrahman Istambul, putra Riau yang disekolahkan ke Istambul oleh Raja dan menulis Alqur'an sesampai di Penyengat. Alqur'an tulisan tangan Abdurrahman Istambul masih bisa dilihat di dalam masjid.Karya itu dipajang di dalam lemari kaca persis didepan pintu masuk, sedangkan karya Abdullah Al Bugisi tidak bisa dilihat lagi dan disimpan karena sudah rusak dan rapuh. "Alqur'an tulisan tangan Abdullah Al Bugisi sudah rusak, tulisan ayat-ayatnya seperti terbakar dan tidak bisa dibaca lagi, sedangkan bagian pinggir kertasnya masih utuh," kata Abdurrahman yang sehari-hari mengurus Gurindam Center. Selain Alqur'an tulisan tangan, peninggalan sejarah yang ada di masjid tersebut berupa mimbar dari Demak untuk khatib. Mimbar berbahan kayu jati ukiran Jepara itu masih difungsikan untuk khatib shalat Jumat dan hari raya. Lampu kristal pada tahun 1860-an masih terpasang di salah satu bagian kubah masjid. "Itu hadiah dari Kerajaan Pruisia (Jerman)," kata Abdurrahman. Kitab-kitab kuning juga masih banyak tersimpan di Masjid yang hampir setiap harinya ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun dari Malaysia dan Singapura, apalagi menjelang puasa dan pada saat lebaran untuk beribadah dan melihat situs di Pulau Penyengat.Hari besar Islam Di Masjid Raya Penyengat juga sudah menjadi tradisi memperingati hari-hari besar Islam, seperti 1 Muharram yang ditandai dengan berkeliling kampung selama tiga hari pada malam hari dengan Ratib Saman. "Tujuannya untuk pembersihan kampung dari hal-hal yang tidak baik, seperti mengazankan tempat-tempat yang dianggap angker," kata Abdurrahman. Pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, warga juga berkeliling kampung sebelum membacakan surat Barzanji di Masjid. Selain itu juga pembacaan hikayat Isra Mi'raj saat peringatan Isra Mi'raj. "Beberapa hari sebelum bulan Puasa juga dilakukan Kenduri Jamak yang diikuti seluruh warga Penyengat dan warga lain di Masjid Sultan Riau," katanya. Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Raya Penyengat, ditetapkan pemerintah sebagai benda cagar budaya bersama 16 situs sejarah lainnya di Pulau milik Engku Putri itu. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Abdul kadir Ibrahim, mengatakan, pemerintah bersama warga Pulau Penyengat tetap berusaha melestarikan peninggalan sejarah Kerjaan Riau-Lingga du pulau itu. "Kami juga telah mengusulkan kepada Pemerintah Provinsi Kepri untuk menata lingkungan masjid yang satu-satunya di Indonesia memakai bahan baku putih telur, agar lebih baik dan keasliannya tetap terpelihara," ujar Abdul Kadir yang biasa disapa Akib. Upaya pelestarian benda-benda cagar budaya di Pulau Penyengat dalam pengawasan Pemerintah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar Sumatra Barat, dan Balai Arkeologi Medan. (HM/Btm1) Copyright © ANTARA 2022 |