Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat memimpin jalannya sidang lanjutan terkait persidangan pengujian atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 atas Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar yang di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU Cipta Kerja juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Keputusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada hari ini, Kamis, 25 November 2021. "Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan'," kata Anwar Usman saat membacakan amar putusan yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI. Dalam amar putusan juga disebutkan Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk Undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR memperbaiki pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut. Berikutnya, kata Anwar, MK memerintahkan kepada para pembentuk Undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK. Jika dalam tenggang waktu itu para pembentuk Undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. "Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk Undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan (UU Cipta Kerja), Undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan Uundang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," tutur Anwar. Tak hanya itu, MK juga menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. MK juga menyatakan tidak dibenarkan untuk penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573). ANTARA Baca: Hari Ini Ribuan Buruh Demo Tolak Kenaikan UMP: Marah, di Atas Ubun-ubun Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Hak uji materiil (HUM) adalah hak yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap perhaturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[1] Lingkup tugas dan wewenang Mahkamah Agung ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Bersumber dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar tersebut maka, dalam hal terdapat muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.[2] Kemudian melalui putusan HUM[3], MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Adapun putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan keberatan langsung yang diajukan kepada Mahkamah Agung. Implikasi hukum atas putusan tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah maka tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.[4] Prosedur Pengajuan Uji MateriilKriteria Pemohon Uji Materiil
Termohon Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundangan-undangan yang dipersoalkan, seperti Presiden untuk Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah, Kepala Daerah dan DPRD untuk PERDA, dan sebagainya.[10] Obyek Permohonan Keberatan Obyek permohonan HUM adalah peraturan perundang-undangan, yakni kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang.[11] Berkaitan dengan obyek permohonan, dalam hal terjadi kasus bilamana undang-undang yang dijadikan sebagai dasar pengujian sedang diuji di Mahkamah Konstitusi, maka berdasarkan nota kesepakatan MA dan MK yang telah dibuat, setiap pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh MK diberitahukan ke MA. Disamping itu bagian pratalak secara berkala memeriksa di situs resmi MK adanya pengujian UU terhadap UUD tersebut.[12] Dasar Alasan Permohonan Hak Uji Materiil[13]
Tata Cara Mengajukan Permohonan Uji Materiil
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (PERMA No. 1 Tahun 2011) [2] Pasal 9 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) [3] Dalam Pasal 31 ayat (5) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung diatur bahwa putusan tersebut wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan [4] Ibid. Pasal 31 ayat (4) [5] Pasal 31A ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung jo. Pasal 1 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil [6] Frasa "menganggap haknya dirugikan" dalam rumusan norma Pasal 31 A ayat (2) UU Mahkamah Agung belum diikuti pengaturan secara jelas. Undang-undang Mahkamah Agung maupun Perma 1/2011 tidak menyebutkan secara implisit jenis hak apa yang dilindungi oleh upaya hukum hak uji materil. Bila dibandingkan dengan upaya hukum pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, secara jelas dinyatakan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi hak yang dilindungi melalui pengujian konstitusionalitas adalah hak konstitusional, yaitu hak asasi warga negara yang diatur dan dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945. Menggunakan perbandingan hukum, dengan jenis hak yang dilindungi oleh kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang di Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan jenis hak yang dilindungi melalui kewenangan hak uji materil di Mahkamah Agung adalah hak-hak warga negara yang diatur dalam undang-undang [7] Ibid [8] Ibid [9] Ibid [10] Pasal 1 ayat (5) PERMA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil [11] Ibid. Pasal 1 ayat (2) [12] SEMA Nomor 4 Tahun 2014, rumusan kamar Tata Usaha Negara B.3 [13] Pasal 31A ayat (3) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung [14] Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil [15] Ibid. Pasal 2 ayat (4) [16] Ibid. Pasal 3 [17] Surat Pengantar PERMA No. 1 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004 No. MA/KUMDIL/30/III/K/2004 |