Apa yang sering menjadi permasalahan dalam birokrasi yang ada di pemerintahan kita?

Apa yang sering menjadi permasalahan dalam birokrasi yang ada di pemerintahan kita?

pic: BEM UNS

Sepanjang periode kemerdekaan Indonesia, birokrasi memiliki peranan penting dalam perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Selama masa orde baru, birokrasi juga berperan besar dalam proses pembangunan. Selain itu, birokrasi telah berperan dalam menopang pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, regulasi, proteksi dan distribusi.Birokrasi sendiri digambarkan sebagai organisasi formal yang memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan publik, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal (Bappenas, 2004). Namun demikian, pada kenyataannya, birokrasi yang ada di Indonesia, tidak sejalan dengan perannya yang besar dalam tata pemerintahan. Sebagai suatu organisasi formal, birokrasi juga tidak dapat menjalankan ketentuan sesuai yang digambarkan tersebut.

Menarik kebelakang, selama beberapa dekade, birokrasi telah mengalami pembusukan karena keberhasilan rezim orde baru dalam memanipulasi eksistensi birokrasi yang memiliki fungsi sentral menjadi alat politik strategis untuk melanggengkan kekuasaan. Dampak dari manipulasi ini yakni terabaikannya praktik birokrasi yang jauh dari makna ideal yaitu birokrasi yang efektif dan efisien, rasional, impersonal, profesional, didasarkan pada prinsip meritokrasi dan yang terpenting berorientasi kepada pelayanan (Weber 1947 dalam Rahmatunnisa, 2010). Sebaliknya, yang terjadi adalah birokrasi Indonesia syarat akan penyalahgunaan wewenang dalam bentuk KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), rendahnya sumber daya manusia yang berkualitas, inefisiensi, rendahnya penegakan hukum, penguasaaan kegiatan ekonomi oleh segelintir orang atau kelompok tertentu, sulitnya akses pelayanan bagi masyarakat, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan mekanisme kontrol dan partisipasi publik untuk menjaga pembangunan agar selalu berpihak pada kepentingan masyarakat selalu mengalami distorsi. Hal ini disebabkan masih kecilnya kesempatan masyarakat untuk mengorganisasikan dirinya diluar pakem yang telah ditetapkan pemerintah yang kemudian bermuara pada yang disebut civil society tidak sepenuhnya terbentuk.

Pasca runtuhnya rezim orde baru pada akhir dekade 90-an mendorong menguatnya upaya reformasi birokrasi untuk memperbaiki citra buruk yang melekat pada birokrasi. Berbagai upaya terus dilakukan, seiring dengan semakin kuatnya penekanan terhadap upaya membentuk birokrasi yang ideal serta kondusif untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Selain menjadikan reformasi birokrasi sebagai agenda penting pembangunan nasional, urgensi pelaksanaan reformasi birokrasi ditunjukan pula dengan menjadikannya sebagai nama suatu kementerian.

Sepanjang perkembangannya, hingga saat ini pun reformasi birokrasi terus digaungkan oleh pemerintah. Namun demikian, banyak permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah serta seluruh pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung untuk mendukung upaya tersebut. Perbaikan terhadap birokrasi menjadi hal yang penting untuk dilakukan karena menyangkut kepentingan masyarakat. Tuntutan terhadap pelayanan yang lebih baik pada kenyataannya masih berbenturan dengan kondisi birokrasi yang masih buruk dan jauh dari ideal sedangkan dilain sisi, kepentingan masyarakat merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Permasalahan ini bukan hal yang sederhana, karena antara yang satu dan yang lainnya saling berkaitan, misalnya Indonesia masih dihadapkan kembali dengan sistem desentralisasi yang dijalankan melalui otonomi daerah, sehingga reformasi birokrasi tidak selesai hanya di tingkat pusat namun juga harus mampu menyentuh dan mendorong reformasi hingga tingkat daerah, agar tidak terjadi ketimpangan yang semakin lebar. Namun demikian, bukan tidak mungkin, bahwa Indonesia akan mampu menciptakan birokrasi yang ideal sehingga terwujud tata pemerintahan yang baik untuk kepentingan masyarakat sebagai warga negara.

Reformasi birokrasi terus dikembangkan dan digalakan selama beberapa periode. Namun demikian, kondisi ini merupakan suatu proses dan tahapan yang harus dilalui. Tidak dapat ditampik bahwa reformasi birokrasi yang dilaksanakan hingga saat ini pun masih menyisakan berbagai permasalahan. Penyakit yang masih menjangkit tubuh birokrasi saat ini antara lain, pertama, Tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN. Prevalensi KKN semakin meningkat dan menjadi permasalahan di seluruh lini pemerintahan, baik pusat hingga daerah. Kasus KKN yang sudah menyentuh seluruh lini pemerintahan jelas melukai masyarakat. Hal ini disebabkan, KKN selalu menyeret beberapa pihak terutama aparatur-aparatur pemerintah termasuk para pimpinan daerah. Praktik-praktik KKN telah tumbuh subur sejak zaman orde baru hingga reformasi. Kondisi ini yang kemudian memunculkan persepsi bahwa aparatur negara memiliki profesionalitas dan komitmen terhadap negara yang masih rendah. Hal ini kemudian menyebabkan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum optimal, serta waktu yang ada tidak digunakan secara produktif. Selain itu akuntabilitas, responsibiltas dan empati aparatur pemerintah terhadap kepentingan masyarakat masih rendah. Kondisi demikian yang mempengaruhi masih rendahnya kemampuan melaksanakan standar kinerja birokrasi seperti yang diharapkan.

Kedua, rendahnya kualitas pelayanan publik. Menjadi rahasia umum bahwa birokrasi pelayanan di Indonesia lekat dengan sistem dan prosedur yang berbelit-belit, mahal dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan. Hal ini yang semakin memperburuk citra birokrasi dan semakin kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Seiring dengan pelaksanaan sistem desentralisasi melalui otonomi daerah, sudah banyak daerah-daerah yang mampu berinovasi, membenahi budaya birokrasinya, serta menunjukan perubahan dan perbaikan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di lain sisi, tidak sedikit pula, terjadi praktik penyimpangan kekuasaan, menampakan wajah koruptif, manipulatif dan cenderung predatoris (Hadiz, 2010). Fenomena ini memunculkan paradoks, yang dapat dilihat dari beberapa daerah yang sebelumnya dinobatkan sebagai daerah reformis atau champion,seperti diantaranya Bupati Sragen, Jembrana dan Tanah Datar yang diproses hukum dengan dakwaan melakukan korupsi (Djani, 2013).

Budaya birokrasi yang masih buruk serta birokrasi yang tambun berimplikasi pada kurang efisien dan efektif dalam melaksanakan tugasnya. Disamping itu sumber daya aparatur atau sumber daya manusia yang memberikan pelayanan, kurang berkompeten dibidangnya. Mentalitas dan niat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat juga masih rendah. Perilaku aparatur yang arogan serta birokrasi yang tambun, berkaitan dengan rendahnya kesadaran aparatur bahwa kedaulatan berasal dari rakyat sedangkan birokrat hanya sebagai pelaksana amanat yang diberikan oleh masyarakat. Fakta yang ada di lapangan, aparatur bukan melayani namun dilayani.

Ketiga, pengaruh politik yang kuat terhadap birokrasi, juga menjadi penyumbang terhadap masih terhambatnya kinerja birokrasi sehingga lemah dalam merespon agenda dan tantangan dalam pembangunan nasional. Kondisi ini tidak dapat dihindari karena sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Indonesia. Sistem kepartaian yang dianut oleh Indonesia, sedikit banyak berdampak pada kinerja aparatur yang tidak netral. Aparatur negara terkooptasi dan terintervensi oleh kepentingan partai yang dinilai berjasa dalam mengusung namanya menjadi aparatur negara. Tidak sedikit pengangkatan pejabat eselon I berbagai kementerian/lembaga negara serta BUMN yang disesuaikan dengan nafas politik menterinya (Bappenas, 2004). Pergolakan politik berkontribusi terhadap jalannya pemerintahan di Indonesia. Kedua hal ini, baik birokrasi dan politik memang tidak dapat dipisahkan. Beberapa jabatan di birokrat tidak dapat dipungkiri diduduki oleh orang-orang yang berangkat dari partai, yang membawa kepentingan partainya masing-masing yang diperoleh melalui pemilu. Pada akhirnya mengarahkan anggapan bahwa masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek dalam pemilu untuk memenangkan tujuan berpolitik beberapa pihak/kelompok, mengantarkan elit pimpinan menjadi pimpinan negara dan pemerintah. Setelah terpilihnya pihak-pihak tersebut, lantas kepentingan rakyat terlupakan dengan kepentingan pribadi/kelompok. Kondisi ini menunjukan sangat lemahnya akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada publik.

Meskipun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan ideal sesuai harapan, bukan tidak mungkin semuanya dapat diselesaikan dengan berbagai proses dan tahapan melalui reformasi birokrasi. Hal-hal yang dapat terus dilakukan oleh pemerintah antara lain, pertama, meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan akses kepada masyarakat, ikut berperan dalam melakukan pengawasan. Akses yang diberikan bukan hanya sebatas kotak pengaduan, karena pada kenyataannya, cara ini tidak efektif sebagai bentuk pengaduan atau penngawasan. Pemerintah dapat memberikan kemudahan akses dengan membentuk lembaga pengaduan atau memaksimalkan fungsi lembaga/komisi yang sudah ada seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), BPKP, kepolisian dan lembaga pengaduan yang lain. Peningkatan penegakan hukum melalui perbaikan terhadap sistem kerja internal serta keselarasan antara lembaga penegak hukum dan lembaga pengawasan. Bentuk akuntabilitas bukan sebatas Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi dan Pemerintah (Lakip), tetapi juga perlu pemahaman lebih terhadap konsep akuntabilitas itu sendiri. Keberhasilan pemerintah bukan sebatas terserapnya anggaran melalui program-program pemerintah atau pencapaian output, tetapi yang terpenting adalah outcome yang dicapai melalui program tersebut. Kerap kali, dalam Lakip, output dapat tercapai, namun luput terkait outcome apa yang sudah tercapai. Kedua, meningkatkan komitmen aparatur pemerintah untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Upaya ini memang tidak mudah, mengingat hal ini terkait dengan mentalitas, etika, kesadaran serta empati masing-masing birokrat. Namun hal ini dapat ditempuh dengan pembuatan sistem yang kemudian mengharuskan aparatur untuk dapat memberikan pelayanan dan mengerjakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya melalui, penilaian kinerja masing-masing pegawai sesuai dengan apa yang dikerjakan. Perekrutan pegawai sesuai dengan kompetensi dan dilakukan analisis jabatan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan. Ketiga, membenahi dan meningkatkan mutu pelayanan publik, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah, dapat diupayakan dengan memberikan kemudahan akses bagi masyarakat, memperpendek proses birokrasi, mempercepat waktu pelayanan, memberikan kenyamanan tempat pelayanan, dan mengubah budaya pelayanan dengan memberikan pelatihan kepada pegawai (birokrat) untuk memberikan pelayanan layaknya kepada konsumen. Hal yang penting adalah membentuk SOP (standart operasional prosedur)  sehingga jelas standar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Selain itu yang tidak kalah penting adalah, semua harus diatur dalam bentuk peraturan tertulis, yang menyangkut sanksi apabila SOP tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Bukan hanya masyarakat yang mendapat sanksi tetapi juga birokrat/ pegawai juga wajib menerima sanksi apabila tidak memberikan pelayanan sesuai ketentuan. Dalam hal pelayanan ini, sudah banyak daerah-daerah yang mampu berinovasi dalam memberikan pelayanan yang kemudian dapat menjadi studi bagi daerah lain untuk melakukan hal yang sama tentunya disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan karakteristik masyarakat.