Apa yang menyebabkan al kamil dipuja-puja dan juga dicaci maki

Preview:

Apa yang menyebabkan al kamil dipuja-puja dan juga dicaci maki

Transcript

  1. 1. TUGAS MANDIRI SALAHUDDIN YUSUF AL-AYYUBI ( 1138 1193 M ) Oleh : LINTANG KUSUMA WARDANI FADILAH ANGGUN OKTAFIANI NENI NUR KHOLIFAH VIII A MTs ROUDLOTU THOLIBI GUPPI 3 ASTOMULYO
  2. 2. Al-Kamil (1180-1238 M) Al-Kamil memiliki nama lengkap al-Malik al-Kamil Nasiruddin Abu al-Maa;I Muhammad. Ia dipuja-puja karena berhasil dua kali mengalahkan pasukan Salib. Akan tetapi, ia juga dicaci maki karena menyerahkan kembali Kota Yerusalem kepada orang-orang Kristen. Al-Kamil adalah putra dari al-Adil, saudara muda Salahuddin al-Ayubbi. Pada tahun 1218, al-Kamil memimpin pertahanan menghadapi pasukan Salib yang mengepung Kota Dimyat (Damietta) dan kemudian sultan sepeninggalan ayahnya. Pada tahun 1219, ia hamper kehilangan tahtanya karena konspirasi kaum Kristen Koptik. Al-Kamil kemudian pergi ke Yaman untuk menghindari konspirasi itu. Akhirnya, konspirasi itu berhasil dipadamkan oleh saudaranya yang bernama al-Muazzam yang menjabat sebagai Gubernur Suriah. Beberapa kali ia menawarkan perdamaia kepada pasukan Salib, tetapi mereka menolak tawaran itu karena adanya pengaruh dari Paus. Ia pernah menawarkan untuk mengembalikan Yerusalem, membangun lagi temboknya yang setahun lalu dirobohkan oleh saudaranya, dan mengembalikan salib asli kepada tentara Salib. Tersebarnya wabah penyakit dan kelaparan akibat banjir Sungan Nil mengakibatkan al-Kamil gagal mempertahankan Dimyat pada bulan November 1219. Ia menarik pasukannya menuju Mansurah, sebuah benteng di hulu Sungai Nil. Pasukan Salib terus menuju Kairo. Al- Kamil kemudian membuka bendungan Sungai Nil dan banjir melanda wilayah yang dikuasai pasukan Salib. Kejadian itu membuat pasukan Salib terpaksa menerima perdamaian yang ditawarkan al-Kamil. Pada tahun berikutnya, al-Kamil berselisih dengan saudaranya, al-Muazzam. Al- Kamil kemudian berencana menerima perdamaian dari Frederick II, Raja Sisilia, yang telah menyiapkan pasukan Salib ke-6. Pada tahun 1227, al-Muazzam meninggal dan al-Kamil berbagi kekuasaan dengan saudaranya al-Asfar Khalil. Dalam perjanjian itu, wilayah al- Kamil meliputi Palestina (Transyodrdan), sedangkan wilayah al-Asfar Khalil meliputi Syria. Pada bulan Februari tahun 1229 M, al-Kamil menyepakati perdamaian selama 10 tahun dengan Frederick II. Ia mengembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainya kepada pasukan Salib. Kaum muslimin dan umatYahudi dilarang memasuki kota itu, kecuali disekitar Masjid Aqsa dan Masjid Umar. Perjanjian banyak ditentang oleh kaum muslimin dan kaum Kristen sendiri. Hal itu membuat al-Kamil menerima banyak cacian dan penentangan. Al-Kamil meninggal pada tahun 1238. Kedudukannya sebagai seultan digantikan oleh Salih al-Ayyub. Pada masa pemerintahannya, Salih al-Ayyub sering terlibat perang saudara dengan kerabat dekatnya. Faktor-faktor tersebut membuat kekuatan Dinasti Ayyubiyah makin lemah.
  3. 3. Masa Pemerintahan Dinasti Ayyubiyah Setelah mulai berkuasa, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi tidak membuat suatu kekuasaan yang terpusat di Mesir. Ia justru membagi wilayah kekuasaan saudara-saudara dan keturunannya. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa cabang Dinasti Ayyubiyah berikut ini. 1. Kesultanan Ayyubiyah di Mesir No Nama Sultan Memerintah 1. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi 1171-1193 M 2. Al-Aziz 1193-1198 M 3. Al-Mansur 1198-1200 M 4. Al-Adil I 1200-1218 M 5. Al-Kamil 1218-1238 M 6. Al-Adil II 1238-1240 M 7. As-Salih Ayyub 1240-1249 M 8. Al-Muazzam Turansyah 1249-1250 M 9. Al-Asraf II 2. Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus No Nama Sultan Memerintah 1. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi 1174-1193 M 2. Al-Afdal 1193-1196 M 3. Al-Adil I 1196-1218 M 4. Al-Muazzam 1218-1227 M 5. Al-Nasir Dawud 1227-1229 M 6. Al-Asfar 1229-1237 M 7. As-Salih Ismail 1237-1238 M 8. Al-Kamil 1238 M 9. Al-Adil II 1238-1239 M 10. Al-Salih Ayyub 1239 M 11. As-Salih Ismail (kedua) 1239-1245 M 12. As-Salih Ayyub (kedua) 1245-1249 M 13. Turansyah 1249-1250 M 14. An-Nasir Yusuf 1250-1260 M
  4. 4. 3. Keamiran Ayyubiyah di Aleppo No Nama Sultan Memerintah 1. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi 1183-1193 M 2. Az-Zahir 1193-1216 M 3. Al-Aziz 1216--1236 M 4. An-Nasir Yusuf 1236-1260 M 4. Kesultanan Ayyubiyah di Hamah No Nama Sultan Memerintah 1. Al-Muzaffar I 1178-1191 M 2. Al-Mansur 1191-1221 M 3. An-Nasir 1221-1229 M 4. Al-Muzaffar II 1229-1244 M 5. Al-Mansur II 1244-1284 M 6. Al-Muzaffar III 1284-1300 M 7. Al-Muayyad 1310-1331 M 8. Al-Afdal 1331-1342 M 9. 5. Kesultanan Ayyubiyah di Homs No Nama Sultan Memerintah 1. Al-Qair 1178-1186 M 2. Al-Mujahid 1186-1240 M 3. Al-Mansur 1240-1246 M 4. Al-Asraf 1246-1263 M 6. Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafariqin No Nama Sultan Memerintah 1. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi 1185-1193 M 2. Al-Adil I 1193-1200 M 3. Al-Awhad 1200-1210 M 4. Al-Asfar 1210-1220 M
  5. 5. 5. Al-Muzaffar I 1220-1247 M 6. Al-Kamil 1247-1260 M 7. Kesultanan Ayyubiyah di Sinjar No Nama Sultan Memerintah 1. Al-Asfar 1220-1229 M 8. Kesultanan Ayyubiyah di Hisan Kayfa No Nama Sultan Memerintah 1. As-Slih Ayyub 1232-1139 M 2. Al-Muazzam Turansyah 1239-1249 M 3. Al-Awhad 1249-1283 M 9. Kesultana Ayyubiyah di Yaman No Nama Sultan Memerintah 1. Al-Muazzam Turansyah 1173-1181 M 2. Al-Aziz Tugtegin 1181-1197 M 3. Muizzudin Ismail 1197-1202 M 4. An-Nasir Ayub 1202-1214 M 5. Al-Muzaffar Sulaiman 1214-1215 M 6. Al-Masud Yusuf 1215-1229 M 10. Keamiran Ayyubiyah di Kerak No Nama Sultan Memerintah 1. An-Nasir Dawud 1229-1149 M 2. Al-Muglib 1249-1263 M

Apa yang menyebabkan al kamil dipuja-puja dan juga dicaci maki

Apa yang menyebabkan al kamil dipuja-puja dan juga dicaci maki
Lihat Foto

britannica.com

Kekaisaran Bizantium: Sisa-sisa Kekaisaran Bizantium pada 1265.

KOMPAS.com - Perang Salib periode keempat berlangsung pada tahun 1218 hingga 1291 Masehi.

Pada Perang Salib IV, pasukan Kristen dipimpin oleh raja Jerman bernama Frederick II. Deklarasi Perang Salib IV oleh Frederick II bertujuan untuk menguasai Yerusalem dan wilayah Palestina.

Pada tahun 1218 Masehi, Frederick II mengawali Perang Salib IV dengan melakukan penyerangan terhadap Mesir dan beberapa daerah di kawasan Afrika Utara.

Frederick II berusaha menghimpun dukungan dari kaum Kristen Ortodoks yang berpusat di Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria untuk menguasai Damietta. Kawasan Damietta merupakan pintu gerbang dari Mesir.

Baca juga: Sejarah Perang Salib I (1096-1270)

Pengepungan Mesir

Mereka melakukan pengepungan terhadap Damietta yang memiliki benteng berlapis dan menara pengawas yang kokoh.

Dalam pengepungan tersebut, pasukan Salib mengalami kesulitan untuk menembus benteng Damietta. Akhirnya, pengepungan dilakukan hingga berbulan-bulan.

Pengepungan Damietta menyebabkan terputusnya akses masyarakat dalam benteng dengan dunia luar sehingga mereka mengalami krisis makanan dan kesehatan.

Dalam buku Sejarah Islam Klasik (2013) karya Susmihara dan Rahmat, Malik al Kamil sebagai sultan Mesir memimpin pasukan untuk mematahkan pengepungan dan mengirimkan pasokan makanan serta obat-obatan ke dalam benteng.

Namun, setelah beberapa pertempuran melawan pasukan Salib, ia tak kunjung berhasil masuk ke dalam benteng.

Baca juga: Sejarah Perang Salib II (1144-118)

Demi keselamatan mayarakat dalam benteng, Sultan Malik al Kamil terpaksa melakukan perjanjian damai dengan Frederick II.

Apa yang menyebabkan al kamil dipuja-puja dan juga dicaci maki

Tidak kurang dari 800 tahun yang lalu, ada sebuah peristiwa besar di muka bumi ini yang mengubah dunia dan tercatat dengan baik dalam garis waktu. Peristiwa tersebut telah merenggut banyak jiwa tanpa mengenal belas kasih serta menimbulkan konflik yang berkepanjangan, bahkan masih bisa dirasakan hingga hari ini. Peristwa itu adalah sebuah peristiwa kemanusiaan karena latar belakang agama, sosial ekonomi, dan politik, yaitu Perang Salib (Pradana, 2019). Seperti yang tercatat dalam sejarah, Perang Salib terjadi dalam delapan hingga sembilan kali pertempuran antara pasukan Kristiani dan Islam. Perang ini terjadi sejak awal abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-13 masehi, di berbagai negara di Eropa dan Timur Tengah (Pradana, 2019).

Hampir semua dari kita seharusnya pernah mendengar, walau hanya sekilas, tentang peristiwa Perang Salib ini. Saya adalah salah satu orang pada awalnya hanya mengetahui sedikit sejak mengenal sejarah dan agama di bangku sekolah. Peristiwa itu pun tidak dibahas secara resmi sebagai materi mata pelajaran yang bersangkutan, sehingga nasib saya mungkin sama seperti kebanyakan orang yang hanya mengenal kulit peristiwa ini.

Ketika mendengar peristiwa Perang Salib, otomatis pikiran saya mengasumsikan bahwa ini hanyalah perang pasukan Kristiani pada masa itu untuk merebut Yerusalem dari tangan kesultanan Islam. Perang itu berakhir hanya dalam hitungan hari atau bulan. Dan sebagai seorang Nasrani, waktu itu dengan percaya diri saya meyakini bahwa perang itu dimenangkan oleh pasukan Kristiani dengan merebut Tanah Suci. Hal terakhir yang saya ingat adalah pesan guru saya, bahwa Gereja sebaiknya tidak campur tangan dalam politik agar tidak menimbulkan peristiwa serupa.

Sekarang, ketika saya merasa lebih terbuka dengan arus informasi, saya baru menyadari jika semua pemahaman saya itu masih sangat dangkal dan bahkan ada yang keliru. Pertama, terjadinya Perang Salib, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, bukan semata-mata tentang agama dan perebutan Tanah Suci Yerusalem, tetapi ada unsur politik serta sosial ekonomi yang menyertainya (Pradana, 2019). Kedua, perang ini tidak selesai dalam hitungan hari ataupun bulan seperti yang saya bayangkan. Perang ini bahkan memakan waktu berabad-abad dan menyebabkan banyak kematian. Ketiga sekaligus terakhir, pasukan Kristiani hanya menang dalam beberapa perang kecil sebagai rangkaian Perang Salib yang begitu besar. Itu artinya, kebanggaan saya akan pasukan Kristiani sekarang ini memudar begitu saja karena ternyata kaumku ketika itu kalah telak bahkan kehilangan kekuasaan di Timur Tengah.

Melihat peristiwa perang yang begitu besar, saya menggarisbawahi satu hal yang muncul dalam benak saya. Hal itu adalah ambisi untuk saling melenyapkan menjadi satu-satunya cita-cita yang muncul ketika itu. Ambisi yang sama sekali menghilangkan peradaban kasih dan menggantinya dengan peradaban kelam, khususnya bagi Gereja. Ambisi ini pula yang membuat saya bergidik ngeri membayangkan orang-orang yang harus menghadapi peperangan sepanjang hidupnya.

Beruntung dalam satu kesempatan mengikuti diskusi dengan Campus Ministry Universitas Sanata Dharma dan Youth Interfaith Peace Community Yogyakarta, saya diselamatkan dari pemikiran negatif tentang Perang Salib yang serba mengerikan. Diskusi itu dilaksanakan pada hari Jumat, 11 Oktober 2019, dengan tema “Meneladan Dialog St. Fransiskus Assisi.” Karena diskusi tersebut, saya tergerak untuk menuliskannya dalam essay ini sebagai jawaban atas tantangan kaum milenial untuk mewujudkan peradaban kasih. Ya, dialog bagi saya saat ini menjadi tantangan bagi kaum muda untuk membangun rumah bersama dengan orang-orang di sekitar kita. Lalu, apa hubungannya Santo Fransiskus Assisi dengan Perang Salib dan dialog untuk mewujudkan peradaban kasih? Mari saya ceritakan permenungan saya.

Perang Salib, yang berkecamuk begitu panjang, telah menorehkan luka yang cukup dalam bagi kedua belah pihak yang terlibat, Kristen Katolik dan Islam. Sayangnya, luka itu terus ada hingga masa sekarang dalam wujud perang terselubung, yaitu prasangka. Banyak orang Islam menganggap kelompok Kristen Katolik adalah orang kafir. Tidak sedikit pula orang Kristen Katolik menganggap orang Islam adalah teroris yang harus dihindari. Saya bahan meyakini jika peristiwa ini, perang masa kini, akan terus terjadi sampai waktu yang tidak dapat diprediksi.

Akan tetapi, di tengah-tengah peristiwa mengerikan itu, ternyata ada sebuah cerita yang cukup manis terjadi antara Kristen Katolik dengan Islam. Peristiwa sederhana yang menentramkan hati siapapun yang melihat dan memahaminya. Peristiwa itu adalah dialog antara Sultan Malik al-Kamil, pemimpin pasukan Islam, dengan Santo Fransiskus, biarawan Katolik miskin dari Assisi. Uniknya, dialog itu terjadi di tengah-tengah terjadinya Perang Salib yang kelima di Damietta tahun 1219 masehi.

Dari sekian banyak literasi yang diterbitkan, kita akan lebih mudah menemukan kisah hidup Santo Fransiskus Assisi daripada Sultan Malik al-Kamil. Santo Fransiskus Assisi adalah santo yang besar dan berpengaruh bagi Gereja Katolik. Ia lahir di Assisi, Italia dengan nama Giovanni Pietro di Bernardone. Ayahnya adalah seorang saudagar kaya. Karena perang yang terus berlangsung, membuatnya terpikat untuk menjadi seorang ksatria. Sayangnya, pasukan Assisi mengalami kekalahan ketika melawan Perugia tahun 1203. Ia ditawan selama satu tahun. Begitu dibebaskan, ia mengalami banyak perubahan, salah satunya adalah keinginanya untuk mengarahkan diri pada Tuhan. Sejak saat itu, banyak karya-karyanya dibaktikan bagi orang-orang miskin, sekalipun dia sendiri sebenarnya juga miskin, atau lebih tepatnya memiskinkan dirinya dengan meninggalkan segala harta milik ayahnya. Sebagai biarawan, selain menghidupi kaul kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian, Santo Fransiskus Assisi juga memiliki semangat cinta persaudaraan baik dengan sesama manusia maupun dengan alam (Harsanto, 2017).

Sementara itu, sang sultan lahir dengan nama lengkap Malik al-Kamil Nasrudin Muhammad pada tanggal 19 Agustus 1180. Sejak kecil, ia mendapat pembelajaran yang cukup dalam mengelola kerajaannya. Ia diangkat sebagai sultan ketika berusia 20 tahun, usia yang cukup muda. Dalam masa kepemimpinannya, Mesir mengalami kekeringan panjang, kelaparan, dan wabah sampar. Kondisi tersebut membuatnya membangun banyak infrastruktur seperti bendungan dan sistem irigasi yang baik. Selain itu, ia memperbaiki ekonomi kerajaannya dengan memperbaiki hubungan dagang dengan orang-orang Kristen, yang secara tidak langsung menciptakan perdamaian melalui jalan itu (Mansur, 2019).

Pertemuan kedua tokoh tersebut terjadi ketika tentara salib yang dipimpin Pelagius tiba di Damietta dan melawan pasukan Islam yang dipimpin langsung oleh Sultan Malik al-Kamil. Wabah menyerang kota itu dan mengakibatkan banyak pasukan gugur dari kedua sisi. Melihat kondisi itu, hanya satu keinginan Sultan al-Kamil, peperangan ini harus diakhiri. Oleh karena itu, ia menawarkan perdamaian kepada Pelagius, yaitu Yerusalem boleh diduduki oleh pasukan salib, tetapi dengan syarat pasukan harus ditarik mundur dari Damietta.

Di saat yang bersamaan, Fransiskus Assisi tiba di Damietta dan langsung menyerukan penghentian peperangan kepada para pasukan salib yang ada di situ. Karena merasa tidak didengarkan, Fransiskus segera menuju kemah Pelagius dan memohon izin untuk menemui sultan. Tujuan utama Fransiskus kala itu sederhana, membuat sang sultan berpindah ke agama Kristen agar peperangan berakhir. Sementara itu, Pelagius yang sebenarnya menolak penawaran itu, mencoba mengirim Fransiskus ke sultan untuk melihat apakah rencana Fransiskus berhasil atau tidak. Satu hal yang menarik adalah sebelum pergi, Pelagius sempat memberi tahu Fransiskus bahwa sultan yang akan ia hadapi adalah sosok yang kejam. Namun, hal itu tidak menggetarkan hati Fransiskus sama sekali.

Setibanya di kemah pasukan Islam, Fransiskus ditangkap dan dihajar oleh para tentara Islam. Kegigihannyalah yang membuatnya mendapat perhatian dan diizinkan bertemu dengan Sultan al-Kamil. Dalam perkenalannya kepada sultan, Fransiskus menyatakan dirinya bukan sebagai utusan Sri Paus, melainkan utusan Tuhan. Seketika itu juga Sultan al-Kamil menyadari bahwa yang dihadapannya itu adalah perwakilan dari sesama orang beriman. Di sisi lain, sultan itu juga menyadari bahwa tawaran perdamaiannya pada tentara salib telah ditolak. Akan tetapi, keberanian, kesederhanaan, dan ungkapan persahabatan yang dipakai oleh Fransiskus ketika berbicara di depan al-Kamil membuat sultan tersebut terpikat dan ingin mengenal lebih jauh sosok di depannya.

Dalam perkembangannya, sultan mengizinkan Fransiskus untuk tinggal di kemah tentara Islam selama beberapa minggu, dijamu oleh para pelayan sultan, bahkan ia memiliki kesempatan untuk berkothbah di hadapan sultan secara langsung. Hal ini menumbuhkan dialog di antara dua pribadi beriman tersebut. Di sisi yang lain, Fransiskus telah membuktikan sendiri bahwa sultan yang terkenal kejam itu ternyata adalah pribadi yang sangat terbuka dan bersahabat. Pengalaman pertemuan Sultan al-Kamil dan Fransiskus Assisi selama di kemah tentara Islam, menorehkan kesan tersendiri di hati keduanya. Lalu hasilnya? Hal yang selanjutnya terjadi adalah Sultan al-Kamil tetap menjadi Islam dan perang tetap berlangsung hebat, bahkan tentara salib mengalami kekalahan. Apakah itu artinya sebuah kegagalan dialog? Tidak juga.

Ruang di hati mereka semakin terbuka lebar bagi sesamanya, bahkan yang berbeda latar belakang. Fransiskus Assisi memiliki pemahaman baru bahwa Tuhan Allah memang mahakasih. Sang santo itu akhirnya terinspirasi menyusun doa “Jadikanlah Aku Pembawa Damai.” Di wilayah lain, sang sultan semakin tergerak untuk mengakhiri peperangan. Pada Perang Salib selanjutnya, pasukan salib kembali menyerang dan dikalahkan oleh pasukan Islam. Kekalahan ini terjadi karena pasukan salib terkepung oleh banjir dari Sungai Nil yang direncanakan oleh Sultan al-Kamil. Hanya saja, diakhir perang itu al-Kamil memerintahkan pasukannya untuk membawakan makanan bagi para tentara salib.

Setelah 800 tahun berselang, perjumpaan bersejarah yang indah di tengah kekacauan zaman ini masih boleh kita saksikan langsung. Tentu saja saya mengarah pada peristiwa kunjungan Paus Fransiskus menemui Imam Besar Al-Azhar, Ahmed Al-Tayeb. Hasil dari perjumpaan kali ini cukup jelas, yaitu ditandatanganinya Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama. Bapa Paus menegaskan bahwa bahaya terbesar saat ini adalah permusuhan, penghancuran, perang, dan rasa benci di antara umat manusia (Tempo, 2019). Tentu saja, dokumen itu adalah salah satu cara mendasar sekaligus terobosan untuk menandai proyek besar dunia, yaitu berkolaborasi antarumat beragama dan beriman untuk mengupayakan dunia sebagai rumah yang ramah bagi siapapun.

Bagi saya, dua perjumpaan ini seperti oase di tengah padang gurun yang menyejukkan. Di tengah situasi dunia yang kacau dan tidak pasti, ada dua tokoh dalam dua perjumpaan yang berbeda dan di masa yang berbeda pula tetapi dengan satu tujuan yang sama, mengupayakan perdamaian serta membagikan kasih bagi sesamanya, sesama umat beriman. Peristiwa yang sudah selayaknya memberikan inspirasi bagi umat manusia untuk melangkah menembus batas-batas yang selama ini dibuat sendiri oleh manusia tanpa disadari. Batas-batas yang dalam takaran tertentu sebenarnya dirasa tidak perlu, tetapi justru menimbulkan konflik.

Menilik latar belakang sang sultan dan sang santo, peperangan fisik menjadi begitu dominan. Tanpa kita sadari, peperangan itu kini bertransfromasi bukan dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk ideologi yang pada akhirnya membuahkan tindakan pembatasan diri. Situasi ini pun tidak hanya kita jumpai dalam ranah global, tetapi juga di lingkungan sekitar kita sendiri. Ini bukan hanya perkara agama saja, melainkan dari semua aspek kehidupan, termasuk budaya, kepentingan golongan, ekonomi, politik, dan masih banyak lagi. Terlebih di masa sekarang, milenialisme menjadi sesuatu yang diagung-agungkan oleh semua kalangan (Djarot dalam Baderi, 2019).

Sebenarnya, milenialisme tidak selalu hal-hal yang berbau negatif. Dengan menjadi milenial, kita memiliki pikiran yang terbuka dan mampu memahami banyak hal di saat yang bersamaan. Akan tetapi, hal yang disayangkan adalah hilangnya autentisitas diri karena terlalu mengikuti arus zaman yang selama ini lebih banyak mengikuti kebutuhan pasar tanpa mempedulikan substansi sebuah produk (Djarot dalam Baderi, 2019). Salah satu contoh mudahnya adalah banyak orang dengan mudah tersulut atau terpancing ketika mendapat sebuah berita, yang bahkan belum diverifikasi kebenarannya. Pada akhirnya, muncul banyak prasangka dan sikap-sikap menyudutkan sebuah kelompok karena sebuah ketidakbenaran yang ditelan mentah-mentah. Maka menjadi milenial, hidup orang-orang masa kini dihadapkan pada banyak pilihan karena prasangka-prasangka yang muncul di sekitar kita.

Banyaknya prasangka di masa ini tanpa kita sadari sebenarnya membuat kita terbatas oleh tembok-tembok pemisah. Mungkin lebih tepatnya bukan terbatas, tetapi kita sendiri yang membangun tembok itu dan membiarkan diri kita terkungkung di dalamnya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di ruang-ruang kelompok sebelah. Contoh sederhana lagi, ketika kita ada di sebuah kamar, kemudian kita mendengar suara yang aneh dari kamar sebelah tetapi kita tidak berani melihat secara langsung apa yang ada di kamar sebelah. Reaksi kita pertama kali pasti bertanya-tanya dan berusaha mendengarkan dengan saksama suara apa saja yang muncul. Pada akhirnya, dengan segala hal yang kita ketahui, kita menyimpulkan sendiri dan menganggap bahwa kamar sebelah itu berhantu. Padahal jika kita mau menengok dan memastikan sendiri, siapa tahu kita menemukan hal-hal yang berbeda dan lebih indah.

Oleh karena itu, menjawab tantangan kaum milenial di era sekarang dalam mewujudkan peradaban kasih, saya secara khusus mengajak semua saja yang membaca pesan ini untuk memiliki keberanian. Keberanian untuk melangkah keluar dari kamar pribadi dan menyapa siapa pun yang ditemui di kamar-kamar yang lain lalu mulai berdialog dengan mereka. Dengan menyapa dan berdialog, kita telah berupaya untuk menyingkirkan prasangka yang muncul dan mencari kebenaran demi terbukanya saluran kasih serta terwujudnya perdamaian. Berdasarkan pengalaman pribadi, ada keuntungan sekunder yang menyertai terciptanya dialog tersebut, yaitu bertambahnya pemahaman dan munculnya kelegaan pribadi.

Sultan Malik al-Kamil dan Santo Fransiskus Assisi menjadi contoh sekaligus inspirasi yang sangat baik dan nyata di tengah kekacauan zaman. Tindakannya yang autentik membuat perjumpaan itu sangat indah. Menyapa dan berdialog seolah menjadi mutiara yang mahal serta selalu dicari-cari. Bahkan setelah 800 tahun berlalu, peristiwa dan latar belakang situasinya masih relevan di zaman ini. Perjumpaan Paus Fransiskus dan Imam Besar Ahmed Al-Tayeb pun masih menjadi sorotan dunia sekaligus menjadi sesuatu yang bersejarah . Jika perjumpaan dan dialog sudah bukan sesuatu yang berharga, pasti perjumpaan-perjumpaan itu tidak akan lagi mendapat tempat yang penting di ranah global.

Hans Kung (dalam Mansur, 2019) pernah mengatakan, “tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama. Tidak ada perdamaian agama-agama tanpa dialog antarumat beragama.” Itu artinya dialog masih sangat relevan di masa kini untuk melawan setiap prasangka yang muncul di setiap sisi kehidupan yang semakin beragam ini. Perjumpaan dan dialog yang murni, jujur, serta yang penuh dengan ketulusan akan dapat dirasakan manfaatnya bagi banyak pihak (Mansur, 2019). Dengan dialog, secara tidak langsung kita telah menempatkan martabat orang lain sama dengan kita dan melapaskan segala ego serta keangkuhan dalam diri. Pun dengan dialog, kita memiliki keterbukaan hati untuk memetik pelajaran yang  berharga dari kelompok-kelompok yang selama ini tidak kita kenal baik.

Saluran-saluran informasi serta komunikasi di era ini mengalir dengan begitu derasnya. Kita semua semakin dimudahkan untuk menerima banyak berita yang sangat beragam. Oleh karena itu, situasi yang demikian sudah selayaknya membuat kita memiliki pemikiran yang terbuka terhadap setiap persoalan yang ada (Mansur, 2019). Tetapi, sepertinya karena kemudahan itu pula, membuat semakin banyak orang merasa mengabaikan perjumpaan fisik untuk sekedar memperbincangkan situasi sekitar hingga mengklarifikasi berita-berita yang muncul di lingkungan sekitar. Banyak yang memilih duduk diam saja hanya mendengarkan apa yang ingin didengar oleh diri mereka sendiri.

Pembimbing rohani saya sendiri juga pernah mengatakan, “Hanya rasa yang bisa menyentuh rasa.” Maknanya sederhana, dialog bukan hanya ditemukan dalam ranah politik ketika para pemimpin negara duduk dalam sebuah konferensi lalu membahas isu global. Akan tetapi dialog pada hakekatnya dapat ditemukan dalam sekelompok orang biasa di suatu tempat. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dialog adalah hal yang sangat mudah dilakukan di lingkungan hidup kita sehari-hari tanpa memerlukan modal yang besar. Cukup menjadi berani, terbuka, dan autentik, maka kita akan memperoleh ganjaran yang begitu besar dan indah.

Mengedepankan dialog sebagai senjata untuk melawan kejahatan akan turut membuka gerbang kasih yang sepertinya sudah banyak terkaburkan karena keengganan kita melangkah ke kamar tetangga. Sultan Malik al-Kamil sendiri telah menunjukkan bahwa dengan berdialog dan menawarkan kasih pada orang yang dianggap musuhnya telah menyelamatkan banyak orang dari kehancuran yang tidak berarti. Banyak nyawa terselamatkan dan banyak orang dapat tumbuh di lingkungan yang kondusif. Bahkan, orang-orang Nasrani setelah itu dapat berziarah ke Tanah Suci dengan aman tanpa gangguan dari pasukan Islam.

Dialog bukan berarti kita dituntut untuk menemukan sesuatu yang menjadi alasan untuk meleburkan dua kelompok menjadi satu. Dialog adalah jalan yang ditawarkan untuk menghindari perdebatan yang tidak berujung. Hal ini dituliskan dengan jelas dalam Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama poin kelima, yang berbunyi, “Dialog antaragama berarti bersama-sama mencari keutamaan moral tertinggi dan menghindari perdebatan tiada arti.” Dalam dialog, kita saling memberi dan menerima. Memberi dan menerima dalam rangka mencari hal yang bisa dilakukan bersama atas dasar kasih yang tulus serta autentik.

Sekarang ini, segala kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh dunia adalah tawaran bagi kita untuk menentukan nasib bumi ini selanjutnya. Dialog ini pun adalah sebuah tawaran bagi orang-orang yang mau belajar untuk memiliki keterbukaan dalam menerima siapapun yang ada di sekitar kita. Akan tetapi, ketika kita telah menyatakan diri siap menjadi bentara peradaban kasih, maka dialog ini merupakan salah satu senjata wajib yang harus dimiliki untuk mewartakan kabar sukacita.

Tentu saja, kemudahan berdialog yang ditawarkan memiliki konsekuensi yang harus dihadapi seperti tawaran-tawaran yang lain. Dan konsekuensi yang paling sering harus kita hadapi sebagai pelopor terciptanya dialog adalah prasangka dari orang-orang di sekitar kita ketika memutuskan untuk menyeberangi batas-batas pemisah. Akan tetapi, kita boleh untuk terus meyakini bahwa jika akhirnya dialog ini tertular ke orang lain, prasangka yang tadinya menyerang kita akan terhalau dengan sendirinya melalui tindakan nyata yang dilakukan masing-masing dari kita.

Kita tidak perlu khawatir tentang apa yang terjadi ketika memulai dialog. Dalam kehidupan ini, kita akan selalu menemukan sosok seperti Sultan Malik al-Kamil maupun Santo Fransiskus Assisi. Sosok yang terbuka dan berkeinginan untuk membuka ruang-ruang bagi orang lain agar semakin banyak yang dapat merasakan perdamaian di lingkungan hidupnya. Dalam banyak kesempatan kita bisa berdialog dan mulai membuka saluran kasih bagi mereka yang selama ini jarang kita sapa dan hanya kita ketahui sedikit saja. Belajar dari dua sosok inspiraitf tersebut, kita diajak untuk tidak takut menembus batas kehidupan yang seringkali membuat sekat tak berarti yang hanya mengurung kita dalam dunia yang sempit. Mereka yang kita anggap musuh, pada hakekatnya tidaklah benar-benar menjadi musuh kita. Seringkali, prasangkalah yang membuat kita hidup dalam kebencian pada kelompok lain.

Seperti sang sultan yang dengan tulus hati menerima orang asing dari Assisi itu menjadi sesamanya, sesama umat beriman, begitu pula kita selayaknya memandang orang lain sebagai sesama kita, sesama yang hidup di rumah bernama bumi. Tidak peduli siapapun itu, mereka tetap sesama kita yang layak untuk diajak berdialog. Demikian juga seperti sang santo yang penuh keberanian tetapi tetap rendah hati menyapa penguasa tertinggi Mesir sebagai saudaranya sesama manusia, maka pantaslah kita menyisihkan ruang di hati kita bagi mereka yang seringkali tidak kita anggap sebagai manusia karena timbulnya kebencian.

Ajakan sederhana sebagai penutup essay ini adalah mari kita menghidupi semangat sang sultan dan sang santo dalam diri kita masing-masing. Semangat untuk merangkul siapapun sebagai sesamanya demi kepentingan umum yang lebih baik dan demi menyelamatkan manusia dari kehancuran karena rasa benci, permusuhan, dan egoisme yang terus bertumbuh di lingungan kita. pada akhirnya, saya hanya memiliki harapan, bahwa peperangan besar selanjutnya bukanlah perang antarumat manusia maupun makhluk ciptaan lain di muka bumi ini, melainkan sebuah peperangan dalam batin masing-masing manusia untuk terus berjuang melawan kebencian yang seringkali tumbuh karena kita beri ruang untuk tumbuh.

Selamat memulai dialog dan memetik buah manis yang boleh dirasakan banyak orang dari dialog kita dengan sesama kita umat manusia. Tuhan maha pengasih menyertai kita selalu. Amin.

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai….

Kontingen USD

dalam Lomba Essay Intercultural Student Camp APTIK 2019

Sumber:

Baderi, F.  (2019). Milenialisme menjadi segalanya. Diunduh dari www.neraca.co.id/article/121126/milenialisme-menjadi-segalanya. Pada 19 Oktober 2019, pukul 09.33 WIB.

Harsanto, A. F. (2017). Santo dan sultan: pembawa terang di tengah kegelapan. Diunduh dari www.usd.ac.id/cm/fransiskus-asisi-dan-dialog-kristen-islam/. Pada 18 Oktober 2019, pukul 21.49 WIB.

Mansur, A. S. (2019). Santo dan sultan: pembawa terang di tengah kegelapan. Diunduh dari www.cmusd.org/?p=1652. Pada 18 Oktober 2019, pukul 22.05 WIB.

Mansur, A. S. (2019). Seruan dialog di tengah era kebencian. Diunduh dari www.usd.ac.id/cm/seruan-dialog-di-tengah-era-kebencian/. Pada 19 Oktober 2019, pukul 08.16 WIB.

Pradana, S. (2019). Perang salib dan 8 periodenya dalam catatan sejarah. Diunduh dari www.idntimes.com/science/discovery/shandy-pradana/sejarah-perang-salib-exp-c1c2/full. Pada 17 Oktober 2019, pukul 21.34 WIB. Tempo. (2019).

Pesan damai paus fransiskus dan imam besar al azhar dari uea. Diunduh dari www.dunia.tempo.co/read/1172603/pesan-damai-paus-fransiskus-dan-imam-besar-al-azhar-dari-uea. Pada 18 Oktober 2019, pukul 22.11 WIB.