Apa yang dimaksud struktural dan fungsional?

Metode penelitian

Kuantitatif · Kualitatif
Komputasional · Etnografi

Show
Topik dan Cabang

Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berusaha menafsirkan masyarakat sebagai sebuah bentuk dengan bagian-bagian yang saling berkomunikasi. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, hukum budaya, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer mempertunjukkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang melakukan pekerjaan demi berfungsinya semua "badan" secara wajar.[1] Dalam faedah paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya kepada menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, hukum budaya, atau praktik, hasilnya terhadap berfungsinya sebuah sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan sebuah tahap tertentu dalam pengembangan metodologis pengetahuan sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural adalah sebuah propertti teori yang paling luhur pengaruhnya dalam pengetahuan sosial di ratus tahun sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali menyalakan fungsional adalah August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional paling dipengaruhi oleh pemikiran biologis adalah mengasumsikan masyarakat sebagai organisme biologis adalah terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi supaya organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga mempunyai tujuan kepada mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya beranjak dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik akhir dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan selang masyarakat dengan organisme, hingga berakhir berkembang menjadi apa yang dikata dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat anggota – anggota yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut memiliki fungsi masing – masing yang menciptakan sistem menjadi seimbang. Anggota tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika benar yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang memiliki pengaruh kuat adalah

  • Visi substantif mengenai gerakan sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis bentuk sosial.

Pemikiran Weber mengenai gerakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai gerakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga pertengahan ratus tahun, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai pakar teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang dia gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah ratus tahun sejak dia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melintasi “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi wajib menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori wajib melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan metode ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat dekat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini tidak kekurangan pada penekanan tentang bagaimana konsep niskala ini digunakan dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup masalah dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem gerakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya sebuah gerakan, yaitu Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem gerakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, selang lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, selang lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri mengatakannya sebagai modes of orientation. Unit gerakan olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Belakang dari analisis ini adalah visi metafisis yang luhur oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan sebuah usaha kepada mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada berakhir lebih filosofis daripada sosiologis, yaitu pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik sebagian aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini beda dari sang guru, Talcott Parson mengetengahkan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang luhur dan mencakup semuanya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang diamatinya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun sebagian postulat tersebut selang lain:

  • Kesatuan fungsi masyarakat , semua kepercayaan dan praktik sosial budaya standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini faedahnya sistem sosial yang benar pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berjalan pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih luhur.
  • Fungsionalisme universal , semua bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak semua bentuk , kebudayaan, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan kebudayaan yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang menciptakan individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
  • Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan anggota bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini faedahnya fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang benar di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton diterangkan kembali bahwa semua postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang benar didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kumpulan, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kumpulan. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengetengahkan bahwa para pakar sosiologi wajib lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori luhur. Teori taraf menengah itu diberikan definisi oleh Merton sebagai : Teori yang tidak kekurangan di selang hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin luhur selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dan diperhatikan dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi kepada membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan kepada mempertanggungjawabkan apa yang diamati dan diperhatikan, dan cerminan terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris mampu diperoleh.

The middle range theory adalah teori-teori yang tidak kekurangan pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif kepada mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan kepada panduan temuan-temuan empiris, merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan kepada mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi dia cukup jelas dengan data yang terobservasi kepada digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang paling sederhana. Dalam hal ini Merton seakan menerapkan tarik dan menyambung, faedahnya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh kepada menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil propertti teori akhir di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami paling menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu benar konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang benar tidaklah positif tetapi benar negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Saat bentuk dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada anggota lain.Hal ini dapat dicontohkan, bentuk masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki kepada memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengetengahkan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat diteguhkan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Kepada itu Merton menambahkan gagasan melintasi keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengetengahkan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang benar, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa sebuah bentuk disfungsional akan selalu benar. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilaksanakan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari metode. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori gerakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan selang intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang bentuk dan dengan beraninya dia mengetengahkan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu tidak kekurangan dalam daftar menu bentuk. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua bentuk sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi sebagian sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa bentuk sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan selang kebudayaan, bentuk, dan anomi. Budaya diberikan definisi sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama kepada semua anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kumpulan tertentu dengan metode lain. Anomi terjadi jika saat terdapat disjungsi dekat selang norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kumpulan kepada bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam bentuk makamirakat sebagian orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki keadaan sebagian jenis perilaku yang dicegah oleh bentuk sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi selang kebudayan dnegan bentuk akan melahirkan konsekuensi disfungsional yaitu penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana benar keteraturan maka wajib siap deng ketidakteraturan, dalam bentuk yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung ada dipahami saat peran dalam struktu sesuai status tidak dijalankan akibat berbagai factor. Apapun gagasannya anomi dalam bentuk apalagi yang kaku akan cenderung lebih luhur. Dari sini, Merton tidak beristirahat dengan deskripsi tentang bentuk , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi bentuk tersebut. Pengaruh lembaga atau bentuk terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton adalah the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha memperlihatkan bagaimana bentuk sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang benar dalam masyarakat sehingga mereka lebih , memperlihatkan budi pekerti non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan kepada mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang benar Pemahaman Merton membawa pada tantangan kepada mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah benar. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh beda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan pengetahuan pengetahuan, tidak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi budaya
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Footnote

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com

Page 2

Fungsionalisme struktural yaitu sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berusaha menafsirkan penduduk sebagai sebuah bentuk dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan penduduk secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, hukum budaya, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian penduduk ini sebagai "organ" yang bertugas demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam manfaat paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya bagi menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, hukum budaya, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis pengetahuan sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural yaitu suatu yang dibangun teori yang paling akbar pengaruhnya dalam pengetahuan sosial di zaman sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali menyalakan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap penduduk sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut yaitu hasil atau konsekuensi supaya organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga berhaluan bagi mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik yang belakang sekali dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara penduduk dengan organisme, hingga hasilnya menjadi lebih sempurna dijadikan apa yang dikata dengan requisite functionalism, dimana ini dijadikan panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa penduduk yaitu sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat segi – segi yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang menciptakan sistem dijadikan seimbang. Segi tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika tidak kekurangan yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang dijadikan sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat yaitu

  • Visi substantif mengenai sikap yang dibuat sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis bentuk sosial.

Pemikiran Weber mengenai sikap yang dibuat sosial ini berjasa dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai sikap yang dibuat aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga menengah zaman, fungsionalisme dijadikan teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional dijadikan karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai berbakat teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang beliau gulirkan. Parson sukses mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah zaman sejak beliau mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya yaitu teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, pemikiran akan mengisolasi fenomena yang melekat dekat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana pemikiran tidak terwujud ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat yaitu organisasi pemikiran dalam bentuk sistem analisis yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem sikap yang dibuat diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu sikap yang dibuat, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem sikap yang dibuat hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit sikap yang dibuat olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Kesudahan dari analisis ini yaitu visi metafisis yang akbar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha bagi mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada hasilnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang akbar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihat dan ditelitinya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

  • Kesatuan fungsi penduduk , seluruh keyakinan dan praktik sosial kebudayaan standard bersifat fungsional bagi penduduk secara keseluruhan maupun bagi individu dalam penduduk, hal ini berarti sistem sosial yang tidak kekurangan pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada penduduk kecil tetapi generalisasi pada penduduk yang lebih akbar.
  • Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh bentuk , kebudayaan, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan kebudayaan yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang menciptakan individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional dijadikan bertentangan.
  • Indispensability, aspek standard penduduk tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan segi bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh penduduk. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang tidak kekurangan di dalam penduduk yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dinyatakan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang tidak kekurangan didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompokan, penduduk dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompokan. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para berbakat sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori akbar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang menjadi lebih sempurna lebih akbar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup keseluruhan mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diawasi dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi bagi membimbing penelitian empiris. Dia yaitu jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan bagi mempertanggungjawabkan apa yang diawasi, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi yaitu kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory yaitu teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif bagi mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan bagi panduan temuan-temuan empiris, yaitu lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan bagi mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi beliau cukup jelas dengan data yang terobservasi bagi digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, berarti apa yang dia kritik terhadap fungsionalis yaitu perlintasan yang dia tempuh bagi menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil yang dibangun teori yang belakang sekali di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri memberikan definisi fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu tidak kekurangan konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang tidak kekurangan tidaklah positif tetapi tidak kekurangan negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika bentuk dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat berisi konsekuensi negative pada segi lain.Hal ini dapat dicontohkan, bentuk penduduk patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki bagi memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini berisi konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat dipilihkan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Bagi itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest yaitu fungsi yang dikehendaki, laten yaitu yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang tidak kekurangan, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu bentuk disfungsional akan selalu tidak kekurangan. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori sikap yang dibuat dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang bentuk dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu pemikirannya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu tidak kekurangan dalam daftar menu bentuk. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua bentuk sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihilangkan. Dengan mengakui bahwa bentuk sosia dapat membuka perlintasan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, bentuk, dan anomi. Kebudayaan didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendarai perilaku yang sama bagi seluruh anggota penduduk. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota penduduk atau kelompokan tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi dekat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompokan bagi bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Letak mereka dalam bentuk makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki keadaan beberapa macam perilaku yang dicegah oleh bentuk sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan bentuk akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam penduduk. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana tidak kekurangan keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam bentuk yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung tidak kekurangan dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan yang belakang sekali suatu peristiwa berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam bentuk lebih-lebih yang kaku akan cenderung lebih akbar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang bentuk , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi bentuk tersebut. Pengaruh lembaga atau bentuk terhadap perilaku seseorang yaitu adalah tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana bentuk sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang tidak kekurangan dalam penduduk sehingga mereka lebih , menunjukkan budi pekerti non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan fasilitas kelembagaan bagi mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang tidak kekurangan Pemahaman Merton membawa pada tantangan bagi mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah tidak kekurangan. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan pengetahuan pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi kebudayaan
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Catatan kaki

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com


Page 3

Cara penelitian

Kuantitatif · Kualitatif
Komputasional · Etnografi

Topik dan Cabang

Fungsionalisme struktural yaitu sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah bangun dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, hukum budaya, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam manfaat paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya bagi menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, hukum budaya, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis pengetahuan sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural yaitu suatu yang dibangun teori yang paling besar pengaruhnya dalam pengetahuan sosial di zaman sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut yaitu hasil atau konsekuensi supaya organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga berhaluan bagi mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik yang belakang sekali dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga hasilnya berkembang menjadi apa yang dikata dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat yaitu sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bidang – bidang yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang menciptakan sistem menjadi seimbang. Bidang tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika berada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat yaitu

  • Visi substantif mengenai sikap yang dibuat sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis bangun sosial.

Pemikiran Weber mengenai sikap yang dibuat sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai sikap yang dibuat aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga menengah zaman, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai berbakat teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang beliau gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah zaman sejak beliau mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya yaitu teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat dekat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep tidak terwujud ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat yaitu organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem sikap yang dibuat diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu sikap yang dibuat, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem sikap yang dibuat hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit sikap yang dibuat olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Kesudahan dari analisis ini yaitu visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha bagi mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada hasilnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihat dan diamatinya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

  • Kesatuan fungsi masyarakat , seluruh keyakinan dan praktik sosial kebudayaan standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berfaedah sistem sosial yang berada pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.
  • Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh bangun , kebudayaan, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan kebudayaan yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang menciptakan individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
  • Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan bidang bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berfaedah fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang berada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dinyatakan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang berada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para berbakat sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang lebih besar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup keseluruhan mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diawasi dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi bagi membimbing penelitian empiris. Beliau yaitu jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan bagi mempertanggungjawabkan apa yang diawasi, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi yaitu kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory yaitu teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif bagi mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan bagi panduan temuan-temuan empiris, yaitu lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan bagi mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi beliau cukup jelas dengan data yang terobservasi bagi digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, berfaedah apa yang beliau kritik terhadap fungsionalis yaitu jalan yang beliau tempuh bagi menyambung apa yang beliau pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil yang dibangun teori yang belakang sekali di benturkan setelah itu beliau perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu berada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang berada tidaklah positif tetapi berada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika bangun dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bidang lain.Hal ini dapat dicontohkan, bangun masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki bagi memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Bagi itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest yaitu fungsi yang dikehendaki, laten yaitu yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang berada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu bangun disfungsional akan selalu berada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori sikap yang dibuat dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang bangun dan dengan beraninya beliau mengemukakan beliau beraliran fungsionalis, tapi beliau pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu bangun. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua bangun sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihilangkan. Dengan mengakui bahwa bangun sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, bangun, dan anomi. Kebudayaan didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama bagi seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi dekat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok bagi bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Kedudukan mereka dalam bangun makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki keadaan beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh bangun sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan bangun akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana berada keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam bangun yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung berada dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan yang belakang sekali suatu peristiwa berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam bangun lebih-lebih yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang bangun , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi bangun tersebut. Pengaruh lembaga atau bangun terhadap perilaku seseorang yaitu adalah tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana bangun sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang berada dalam masyarakat sehingga mereka lebih , menunjukkan akhlak non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan bagi mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang berada Pemahaman Merton membawa pada tantangan bagi mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah berada. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan pengetahuan pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi kebudayaan
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Catatan kaki

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com

Page 4

Cara penelitian

Kuantitatif · Kualitatif
Komputasional · Etnografi

Topik dan Cabang

Fungsionalisme struktural yaitu sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah bangun dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, hukum budaya, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam manfaat paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya bagi menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, hukum budaya, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis pengetahuan sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural yaitu suatu yang dibangun teori yang paling besar pengaruhnya dalam pengetahuan sosial di zaman sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut yaitu hasil atau konsekuensi supaya organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga berhaluan bagi mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik yang belakang sekali dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga hasilnya berkembang menjadi apa yang dikata dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat yaitu sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bidang – bidang yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang menciptakan sistem menjadi seimbang. Bidang tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika berada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat yaitu

  • Visi substantif mengenai sikap yang dibuat sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis bangun sosial.

Pemikiran Weber mengenai sikap yang dibuat sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai sikap yang dibuat aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga menengah zaman, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai berbakat teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang beliau gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah zaman sejak beliau mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya yaitu teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat dekat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep tidak terwujud ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat yaitu organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem sikap yang dibuat diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu sikap yang dibuat, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem sikap yang dibuat hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit sikap yang dibuat olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Kesudahan dari analisis ini yaitu visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha bagi mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada hasilnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihat dan diamatinya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

  • Kesatuan fungsi masyarakat , seluruh keyakinan dan praktik sosial kebudayaan standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berfaedah sistem sosial yang berada pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.
  • Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh bangun , kebudayaan, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan kebudayaan yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang menciptakan individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
  • Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan bidang bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berfaedah fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang berada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dinyatakan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang berada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para berbakat sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang lebih besar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup keseluruhan mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diawasi dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi bagi membimbing penelitian empiris. Beliau yaitu jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan bagi mempertanggungjawabkan apa yang diawasi, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi yaitu kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory yaitu teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif bagi mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan bagi panduan temuan-temuan empiris, yaitu lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan bagi mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi beliau cukup jelas dengan data yang terobservasi bagi digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, berfaedah apa yang beliau kritik terhadap fungsionalis yaitu jalan yang beliau tempuh bagi menyambung apa yang beliau pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil yang dibangun teori yang belakang sekali di benturkan setelah itu beliau perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu berada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang berada tidaklah positif tetapi berada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika bangun dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bidang lain.Hal ini dapat dicontohkan, bangun masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki bagi memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Bagi itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest yaitu fungsi yang dikehendaki, laten yaitu yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang berada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu bangun disfungsional akan selalu berada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori sikap yang dibuat dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang bangun dan dengan beraninya beliau mengemukakan beliau beraliran fungsionalis, tapi beliau pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu bangun. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua bangun sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihilangkan. Dengan mengakui bahwa bangun sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, bangun, dan anomi. Kebudayaan didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama bagi seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi dekat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok bagi bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Kedudukan mereka dalam bangun makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki keadaan beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh bangun sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan bangun akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana berada keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam bangun yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung berada dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan yang belakang sekali suatu peristiwa berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam bangun lebih-lebih yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang bangun , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi bangun tersebut. Pengaruh lembaga atau bangun terhadap perilaku seseorang yaitu adalah tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana bangun sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang berada dalam masyarakat sehingga mereka lebih , menunjukkan akhlak non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan bagi mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang berada Pemahaman Merton membawa pada tantangan bagi mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah berada. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan pengetahuan pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi kebudayaan
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Catatan kaki

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com

Page 5

Fungsionalisme struktural yaitu sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berusaha menafsirkan penduduk sebagai sebuah bentuk dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan penduduk secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, hukum budaya, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian penduduk ini sebagai "organ" yang bertugas demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam manfaat paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya bagi menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, hukum budaya, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis pengetahuan sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural yaitu suatu yang dibangun teori yang paling akbar pengaruhnya dalam pengetahuan sosial di zaman sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali menyalakan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap penduduk sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut yaitu hasil atau konsekuensi supaya organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga berhaluan bagi mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik yang belakang sekali dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara penduduk dengan organisme, hingga hasilnya menjadi lebih sempurna dijadikan apa yang dikata dengan requisite functionalism, dimana ini dijadikan panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa penduduk yaitu sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat segi – segi yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang menciptakan sistem dijadikan seimbang. Segi tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika tidak kekurangan yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang dijadikan sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat yaitu

  • Visi substantif mengenai sikap yang dibuat sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis bentuk sosial.

Pemikiran Weber mengenai sikap yang dibuat sosial ini berjasa dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai sikap yang dibuat aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga menengah zaman, fungsionalisme dijadikan teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional dijadikan karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai berbakat teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang beliau gulirkan. Parson sukses mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah zaman sejak beliau mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya yaitu teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, pemikiran akan mengisolasi fenomena yang melekat dekat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana pemikiran tidak terwujud ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat yaitu organisasi pemikiran dalam bentuk sistem analisis yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem sikap yang dibuat diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu sikap yang dibuat, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem sikap yang dibuat hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit sikap yang dibuat olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Kesudahan dari analisis ini yaitu visi metafisis yang akbar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha bagi mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada hasilnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang akbar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihat dan ditelitinya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

  • Kesatuan fungsi penduduk , seluruh keyakinan dan praktik sosial kebudayaan standard bersifat fungsional bagi penduduk secara keseluruhan maupun bagi individu dalam penduduk, hal ini berarti sistem sosial yang tidak kekurangan pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada penduduk kecil tetapi generalisasi pada penduduk yang lebih akbar.
  • Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh bentuk , kebudayaan, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan kebudayaan yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang menciptakan individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional dijadikan bertentangan.
  • Indispensability, aspek standard penduduk tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan segi bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh penduduk. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang tidak kekurangan di dalam penduduk yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dinyatakan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang tidak kekurangan didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompokan, penduduk dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompokan. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para berbakat sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori akbar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang menjadi lebih sempurna lebih akbar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup keseluruhan mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diawasi dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi bagi membimbing penelitian empiris. Dia yaitu jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan bagi mempertanggungjawabkan apa yang diawasi, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi yaitu kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory yaitu teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif bagi mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan bagi panduan temuan-temuan empiris, yaitu lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan bagi mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi beliau cukup jelas dengan data yang terobservasi bagi digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, berarti apa yang dia kritik terhadap fungsionalis yaitu perlintasan yang dia tempuh bagi menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil yang dibangun teori yang belakang sekali di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri memberikan definisi fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu tidak kekurangan konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang tidak kekurangan tidaklah positif tetapi tidak kekurangan negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika bentuk dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat berisi konsekuensi negative pada segi lain.Hal ini dapat dicontohkan, bentuk penduduk patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki bagi memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini berisi konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat dipilihkan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Bagi itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest yaitu fungsi yang dikehendaki, laten yaitu yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang tidak kekurangan, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu bentuk disfungsional akan selalu tidak kekurangan. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori sikap yang dibuat dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang bentuk dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu pemikirannya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu tidak kekurangan dalam daftar menu bentuk. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua bentuk sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihilangkan. Dengan mengakui bahwa bentuk sosia dapat membuka perlintasan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, bentuk, dan anomi. Kebudayaan didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendarai perilaku yang sama bagi seluruh anggota penduduk. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota penduduk atau kelompokan tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi dekat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompokan bagi bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Letak mereka dalam bentuk makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki keadaan beberapa macam perilaku yang dicegah oleh bentuk sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan bentuk akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam penduduk. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana tidak kekurangan keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam bentuk yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung tidak kekurangan dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan yang belakang sekali suatu peristiwa berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam bentuk lebih-lebih yang kaku akan cenderung lebih akbar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang bentuk , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi bentuk tersebut. Pengaruh lembaga atau bentuk terhadap perilaku seseorang yaitu adalah tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana bentuk sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang tidak kekurangan dalam penduduk sehingga mereka lebih , menunjukkan budi pekerti non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan fasilitas kelembagaan bagi mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang tidak kekurangan Pemahaman Merton membawa pada tantangan bagi mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah tidak kekurangan. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan pengetahuan pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi kebudayaan
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Catatan kaki

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com


Page 6

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi menempuh bagian penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi yang belakang sekali suatu peristiwa keadaan konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sbg unsur isi pemisahan kelas dalam warga.[butuh rujukan]

Asumsi landasan

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak memanfaatkan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sbg teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, memiliki segi konflik dan segi kerja sama. [8] eori konflik muncul sbg reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran yang paling berpengaruh atau dihasilkan bentuk sebagai landasan dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh rujukan] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada waktu itu Marx mengajukan konsepsi mendasar mengenai warga kelas dan perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak mengartikan kelas secara panjang lebar tetapi beliau menunjukkan bahwa dalam warga, pada zaman ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sbg kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu yang dibangun sosial hirarkis, kaum borjuis memainkan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam bagian produksi. Eksploitasi ini akan terus berlangsung selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, adalah berupa rasa menyerah diri, menerima situasi apa keadaan tetap terjaga. Ketegangan hubungan selang kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial akbar, adalah revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Mempunyai beberapa asumsi landasan dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam warga. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam warga tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam warga manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat keadaan dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam warga. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan selang superordinasi dan subordinasi mampu menimbulkan konflik karena keadaan perbedaan keperluan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam warga itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena keadaan konflik-konflik keperluan. Namun pada suatu titik tertentu, warga mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu mempunyai negosiasi-negosiasi yang diterapkan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, warga disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di warga sebenarnya karena keadaan paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Mempunyai dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta dihasilkan bentuk sebagai landasan pemikiran pada teori konflik, adalah Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Permulaan

Selama bertambah dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada yang dibangun sosial. Pada waktu yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi mengenai konflik sosial. Berbeda oleh karena itu mampu oleh berdasarkanbeberapa pakar sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tetapi para pakar sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sbg penyakit untuk golongan sosial. Coser menentukan untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif adalah membentuk serta mempertahankan yang dibangun suatu golongan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya pakar sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang meliputi seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang meliputi seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan gagasannya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana konten dunia empiris mampu diletakkan.[4] Penjelasan mengenai teori knflik Simmel sbg berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sbg gejala yang tidak mungkin dihindari dalam warga. Yang dibangun sosial dilihatnya sbg gejala yang meliputi pelbagai bagian asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun mampu dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu yang dibangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka warga.[4]

Inti Pemikiran

Konflik mampu merupakan bagian yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan yang dibangun sosial. Konflik mampu mendudukkan dan menjaga garis ketentuan yang tidak boleh dilampaui selang dua atau bertambah golongan. [5]. Konflik dengan golongan lain mampu memperkuat kembali identitas golongan dan melindunginya supaya tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut mampu dilihat dalam ilustrasi suatu golongan yang masih mengalami konflik dengan golongan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik nasihat katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas golongan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sbg jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di selang pihak-pihak yang bertentangan akan makin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang mampu dipakai untuk mempertahankan golongan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau yang dibangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi dihasilkan bentuk sebagai dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari agak probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja supaya tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- sasaran saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam warga yang buta huruf pembasan dendam biasanya menempuh pengetahuan gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya warga maju memainkan pengkambinghitaman sbg pengganti ketidakmampuan melawan golongan yang seharusnya dihasilkan bentuk sebagai lawan mereka. [5]

Menurut Coser mempunyai suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau serangan. [5]

Akan tetapi apabila konflik menjadi bertambah sempurna dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan bertambah sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, makin dekat suatu hubungan makin akbar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga makin akbar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Masih pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan mampu relatif bebas sama sekali diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan menciptakan pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah keterlaluan sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu golongan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap warga Yahudi bahwa peningkatan konflik golongan mampu dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan warga secara semuanya. [7]Bila konflik dalam golongan tidak mempunyai, berarti menunjukkan lemahnya integrasi golongan tersebut dengan warga. Dalam yang dibangun akbar atau kecil konflik in-group merupakan indikator keadaan suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para pakar sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya mampu memperkuat yang dibangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sbg indikator dari daya dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Permulaan

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak memanfaatkan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sbg teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, memiliki segi konflik dan segi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bekerja sbg pengontrol lebih-lebih pada zaman kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di warga industri semenjak zaman kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di zaman spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengemudikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan mampu menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya supaya menjadi bertambah sempurna dengan tidak berat sebelah. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada kesudahan zaman kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan yang dibangun yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas masih buruh biasa berada di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sbg satu bentuk konflik dan sbg sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh sesuai perkembangan yang terjadi akhir- kesudahan ini. Dahrendorf mengatakan bahwa mempunyai landasan baru untuk pembentukan kelas, sbg pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sbg landasan perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui mempunyai perbedaan di selang mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu mampu terjadi secara drastis. Tetapi pada landasannya tetap mempunyai dua kelas sosial adalah, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan golongan mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sbg pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, keperluan golongan penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- keperluan golongan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Referensi Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 7

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi menempuh bagian penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi yang belakang sekali suatu peristiwa keadaan konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur isi pemisahan kelas dalam masyarakat.[butuh rujukan]

Asumsi dasar

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8] eori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh rujukan] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada waktu itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak mengartikan kelas secara panjang lebar tetapi beliau menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada zaman ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu yang dibangun sosial hirarkis, kaum borjuis memainkan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam bagian produksi. Eksploitasi ini akan terus berlangsung selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa keadaan tetap terjaga. Ketegangan hubungan selang kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial akbar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Mempunyai beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat keadaan dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan selang superordinasi dan subordinasi mampu menimbulkan konflik karena keadaan perbedaan keperluan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena keadaan konflik-konflik keperluan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu mempunyai negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena keadaan paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Permulaan

Selama bertambah dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada yang dibangun sosial. Pada waktu yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda oleh karena itu mampu oleh berdasarkanbeberapa pakar sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tetapi para pakar sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit untuk golongan sosial. Coser menentukan untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan yang dibangun suatu golongan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya pakar sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan gagasannya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana konten dunia empiris mampu diletakkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Yang dibangun sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai bagian asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun mampu dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu yang dibangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[4]

Inti Pemikiran

Konflik mampu merupakan bagian yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan yang dibangun sosial. Konflik mampu menempatkan dan menjaga garis ketentuan yang tidak boleh dilampaui selang dua atau bertambah golongan. [5]. Konflik dengan golongan lain mampu memperkuat kembali identitas golongan dan melindunginya supaya tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut mampu dilihat dalam ilustrasi suatu golongan yang masih mengalami konflik dengan golongan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik nasihat katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas golongan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di selang pihak-pihak yang bertentangan akan lebih menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang mampu dipakai untuk mempertahankan golongan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau yang dibangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari agak probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja supaya tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- sasaran saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya menempuh pengetahuan gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju memainkan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan golongan yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau serangan. [5]

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan bertambah sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, lebih dekat suatu hubungan lebih akbar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga lebih akbar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Masih pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan mampu relatif bebas sama sekali diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan menciptakan pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah keterlaluan sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu golongan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik golongan mampu dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara semuanya. [7]Bila konflik dalam golongan tidak mempunyai, berarti menunjukkan lemahnya integrasi golongan tersebut dengan masyarakat. Dalam yang dibangun akbar atau kecil konflik in-group merupakan indikator keadaan suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para pakar sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya mampu memperkuat yang dibangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari daya dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Permulaan

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bekerja sebagai pengontrol lebih-lebih pada zaman kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak zaman kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di zaman spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengemudikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan mampu menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya supaya berkembang dengan tidak berat sebelah. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada kesudahan zaman kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan yang dibangun yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas masih buruh biasa berada di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh sesuai perkembangan yang terjadi akhir- kesudahan ini. Dahrendorf mengatakan bahwa mempunyai dasar baru untuk pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di selang mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu mampu terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan golongan mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, keperluan golongan penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- keperluan golongan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Referensi Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 8

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi menempuh bagian penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi yang belakang sekali suatu peristiwa keadaan konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur isi pemisahan kelas dalam masyarakat.[butuh rujukan]

Asumsi dasar

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8] eori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh rujukan] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada waktu itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak mengartikan kelas secara panjang lebar tetapi beliau menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada zaman ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu yang dibangun sosial hirarkis, kaum borjuis memainkan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam bagian produksi. Eksploitasi ini akan terus berlangsung selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa keadaan tetap terjaga. Ketegangan hubungan selang kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial akbar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Mempunyai beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat keadaan dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan selang superordinasi dan subordinasi mampu menimbulkan konflik karena keadaan perbedaan keperluan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena keadaan konflik-konflik keperluan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu mempunyai negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena keadaan paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Permulaan

Selama bertambah dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada yang dibangun sosial. Pada waktu yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda oleh karena itu mampu oleh berdasarkanbeberapa pakar sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tetapi para pakar sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit untuk golongan sosial. Coser menentukan untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan yang dibangun suatu golongan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya pakar sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan gagasannya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana konten dunia empiris mampu diletakkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Yang dibangun sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai bagian asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun mampu dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu yang dibangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[4]

Inti Pemikiran

Konflik mampu merupakan bagian yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan yang dibangun sosial. Konflik mampu menempatkan dan menjaga garis ketentuan yang tidak boleh dilampaui selang dua atau bertambah golongan. [5]. Konflik dengan golongan lain mampu memperkuat kembali identitas golongan dan melindunginya supaya tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut mampu dilihat dalam ilustrasi suatu golongan yang masih mengalami konflik dengan golongan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik nasihat katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas golongan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di selang pihak-pihak yang bertentangan akan lebih menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang mampu dipakai untuk mempertahankan golongan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau yang dibangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari agak probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja supaya tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- sasaran saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya menempuh pengetahuan gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju memainkan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan golongan yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau serangan. [5]

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan bertambah sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, lebih dekat suatu hubungan lebih akbar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga lebih akbar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Masih pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan mampu relatif bebas sama sekali diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan menciptakan pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah keterlaluan sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu golongan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik golongan mampu dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara semuanya. [7]Bila konflik dalam golongan tidak mempunyai, berarti menunjukkan lemahnya integrasi golongan tersebut dengan masyarakat. Dalam yang dibangun akbar atau kecil konflik in-group merupakan indikator keadaan suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para pakar sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya mampu memperkuat yang dibangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari daya dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Permulaan

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bekerja sebagai pengontrol lebih-lebih pada zaman kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak zaman kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di zaman spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengemudikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan mampu menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya supaya berkembang dengan tidak berat sebelah. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada kesudahan zaman kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan yang dibangun yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas masih buruh biasa berada di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh sesuai perkembangan yang terjadi akhir- kesudahan ini. Dahrendorf mengatakan bahwa mempunyai dasar baru untuk pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di selang mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu mampu terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan golongan mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, keperluan golongan penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- keperluan golongan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Referensi Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 9

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi menempuh bagian penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi yang belakang sekali suatu peristiwa keadaan konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sbg unsur isi pemisahan kelas dalam warga.[butuh rujukan]

Asumsi landasan

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak memanfaatkan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sbg teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, memiliki segi konflik dan segi kerja sama. [8] eori konflik muncul sbg reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran yang paling berpengaruh atau dihasilkan bentuk sebagai landasan dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh rujukan] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada waktu itu Marx mengajukan konsepsi mendasar mengenai warga kelas dan perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak mengartikan kelas secara panjang lebar tetapi beliau menunjukkan bahwa dalam warga, pada zaman ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sbg kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu yang dibangun sosial hirarkis, kaum borjuis memainkan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam bagian produksi. Eksploitasi ini akan terus berlangsung selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, adalah berupa rasa menyerah diri, menerima situasi apa keadaan tetap terjaga. Ketegangan hubungan selang kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial akbar, adalah revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Mempunyai beberapa asumsi landasan dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam warga. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam warga tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam warga manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat keadaan dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam warga. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan selang superordinasi dan subordinasi mampu menimbulkan konflik karena keadaan perbedaan keperluan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam warga itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena keadaan konflik-konflik keperluan. Namun pada suatu titik tertentu, warga mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu mempunyai negosiasi-negosiasi yang diterapkan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, warga disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di warga sebenarnya karena keadaan paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Mempunyai dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta dihasilkan bentuk sebagai landasan pemikiran pada teori konflik, adalah Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Permulaan

Selama bertambah dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada yang dibangun sosial. Pada waktu yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi mengenai konflik sosial. Berbeda oleh karena itu mampu oleh berdasarkanbeberapa pakar sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tetapi para pakar sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sbg penyakit untuk golongan sosial. Coser menentukan untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif adalah membentuk serta mempertahankan yang dibangun suatu golongan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya pakar sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang meliputi seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang meliputi seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan gagasannya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana konten dunia empiris mampu diletakkan.[4] Penjelasan mengenai teori knflik Simmel sbg berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sbg gejala yang tidak mungkin dihindari dalam warga. Yang dibangun sosial dilihatnya sbg gejala yang meliputi pelbagai bagian asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun mampu dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu yang dibangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka warga.[4]

Inti Pemikiran

Konflik mampu merupakan bagian yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan yang dibangun sosial. Konflik mampu mendudukkan dan menjaga garis ketentuan yang tidak boleh dilampaui selang dua atau bertambah golongan. [5]. Konflik dengan golongan lain mampu memperkuat kembali identitas golongan dan melindunginya supaya tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut mampu dilihat dalam ilustrasi suatu golongan yang masih mengalami konflik dengan golongan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik nasihat katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas golongan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sbg jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di selang pihak-pihak yang bertentangan akan makin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang mampu dipakai untuk mempertahankan golongan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau yang dibangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi dihasilkan bentuk sebagai dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari agak probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja supaya tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- sasaran saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam warga yang buta huruf pembasan dendam biasanya menempuh pengetahuan gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya warga maju memainkan pengkambinghitaman sbg pengganti ketidakmampuan melawan golongan yang seharusnya dihasilkan bentuk sebagai lawan mereka. [5]

Menurut Coser mempunyai suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau serangan. [5]

Akan tetapi apabila konflik menjadi bertambah sempurna dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan bertambah sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, makin dekat suatu hubungan makin akbar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga makin akbar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Masih pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan mampu relatif bebas sama sekali diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan menciptakan pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah keterlaluan sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu golongan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap warga Yahudi bahwa peningkatan konflik golongan mampu dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan warga secara semuanya. [7]Bila konflik dalam golongan tidak mempunyai, berarti menunjukkan lemahnya integrasi golongan tersebut dengan warga. Dalam yang dibangun akbar atau kecil konflik in-group merupakan indikator keadaan suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para pakar sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya mampu memperkuat yang dibangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sbg indikator dari daya dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Permulaan

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak memanfaatkan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sbg teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, memiliki segi konflik dan segi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bekerja sbg pengontrol lebih-lebih pada zaman kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di warga industri semenjak zaman kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di zaman spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengemudikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan mampu menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya supaya menjadi bertambah sempurna dengan tidak berat sebelah. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada kesudahan zaman kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan yang dibangun yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas masih buruh biasa berada di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sbg satu bentuk konflik dan sbg sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh sesuai perkembangan yang terjadi akhir- kesudahan ini. Dahrendorf mengatakan bahwa mempunyai landasan baru untuk pembentukan kelas, sbg pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sbg landasan perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui mempunyai perbedaan di selang mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu mampu terjadi secara drastis. Tetapi pada landasannya tetap mempunyai dua kelas sosial adalah, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan golongan mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sbg pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, keperluan golongan penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- keperluan golongan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Referensi Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 10

Tenaga endogen adalah tenaga yang berasal dari dalam bumi yang menyebabkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tak rata. Mungkin saja di suatu kawasan dahulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi dampak tenaga endogen ini berganti menjadi gunung, bukit, atau pegunungan. Pada babak lain permukaan bumi turun menjadikan telah tersedianya lembah atau jurang. Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga jenis yaitu tektonisme, vulkanisme, dan seisme atau gempa.

Lihat juga


edunitas.com


Page 11

Tenaga endogen adalah tenaga yang berasal dari dalam bumi yang menyebabkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tak rata. Mungkin saja di suatu kawasan dahulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi dampak tenaga endogen ini berganti menjadi gunung, bukit, atau pegunungan. Pada babak lain permukaan bumi turun menjadikan telah tersedianya lembah atau jurang. Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga jenis yaitu tektonisme, vulkanisme, dan seisme atau gempa.

Lihat juga


edunitas.com


Page 12

Tenaga endogen adalah tenaga yang berasal dari dalam bumi yang menyebabkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tak rata. Mungkin saja di suatu kawasan dahulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi dampak tenaga endogen ini berganti menjadi gunung, bukit, atau pegunungan. Pada babak lain permukaan bumi turun menjadikan telah tersedianya lembah atau jurang. Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga jenis yaitu tektonisme, vulkanisme, dan seisme atau gempa.

Lihat juga


edunitas.com


Page 13

Tenaga endogen adalah tenaga yang berasal dari dalam bumi yang menyebabkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tak rata. Mungkin saja di suatu kawasan dahulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi dampak tenaga endogen ini berganti menjadi gunung, bukit, atau pegunungan. Pada babak lain permukaan bumi turun menjadikan telah tersedianya lembah atau jurang. Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga jenis yaitu tektonisme, vulkanisme, dan seisme atau gempa.

Lihat juga


edunitas.com


Page 14

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi menempuh bagian penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi yang belakang sekali suatu peristiwa keadaan konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur isi pemisahan kelas dalam warga.[butuh rujukan]

Asumsi dasar

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak memanfaatkan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8] eori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran yang paling berpengaruh atau dijadikan dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh rujukan] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada waktu itu Marx mengajukan konsepsi mendasar mengenai warga kelas dan perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak mengartikan kelas secara panjang lebar tetapi beliau menunjukkan bahwa dalam warga, pada zaman ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu yang dibangun sosial hirarkis, kaum borjuis memainkan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam bagian produksi. Eksploitasi ini akan terus berlangsung selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, adalah berupa rasa menyerah diri, menerima situasi apa keadaan tetap terjaga. Ketegangan hubungan selang kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial akbar, adalah revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Mempunyai beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam warga. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam warga tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam warga manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat keadaan dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam warga. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan selang superordinasi dan subordinasi mampu menimbulkan konflik karena keadaan perbedaan keperluan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam warga itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena keadaan konflik-konflik keperluan. Namun pada suatu titik tertentu, warga mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu mempunyai negosiasi-negosiasi yang diterapkan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, warga disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di warga sebenarnya karena keadaan paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Mempunyai dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta dijadikan dasar pemikiran pada teori konflik, adalah Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Permulaan

Selama bertambah dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada yang dibangun sosial. Pada waktu yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi mengenai konflik sosial. Berbeda oleh karena itu mampu oleh berdasarkanbeberapa pakar sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tetapi para pakar sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit untuk golongan sosial. Coser menentukan untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif adalah membentuk serta mempertahankan yang dibangun suatu golongan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya pakar sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang meliputi seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang meliputi seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan gagasannya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana konten dunia empiris mampu diletakkan.[4] Penjelasan mengenai teori knflik Simmel sebagai berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam warga. Yang dibangun sosial diamatinya sebagai gejala yang meliputi pelbagai bagian asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun mampu dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu yang dibangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka warga.[4]

Inti Pemikiran

Konflik mampu merupakan bagian yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan yang dibangun sosial. Konflik mampu menempatkan dan menjaga garis ketentuan yang tidak boleh dilampaui selang dua atau bertambah golongan. [5]. Konflik dengan golongan lain mampu memperkuat kembali identitas golongan dan melindunginya supaya tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut mampu diamati dalam ilustrasi suatu golongan yang masih mengalami konflik dengan golongan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik nasihat katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas golongan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di selang pihak-pihak yang bertentangan akan lebih menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang mampu dipakai untuk mempertahankan golongan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau yang dibangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi dijadikan dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari agak probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja supaya tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- sasaran saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam warga yang buta huruf pembasan dendam biasanya menempuh pengetahuan gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya warga maju memainkan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan golongan yang seharusnya dijadikan lawan mereka. [5]

Menurut Coser mempunyai suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau serangan. [5]

Akan tetapi apabila konflik dijadikan bertambah sempurna dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan bertambah sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, lebih dekat suatu hubungan lebih akbar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga lebih akbar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Masih pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan mampu relatif bebas sama sekali diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan menciptakan pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah keterlaluan sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu golongan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap warga Yahudi bahwa peningkatan konflik golongan mampu dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan warga secara semuanya. [7]Bila konflik dalam golongan tidak mempunyai, berarti menunjukkan lemahnya integrasi golongan tersebut dengan warga. Dalam yang dibangun akbar atau kecil konflik in-group merupakan indikator keadaan suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para pakar sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya mampu memperkuat yang dibangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari daya dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Permulaan

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang pakar sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbicara Jerman supaya bertambah mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman waktu lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak memanfaatkan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang mampu dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol lebih-lebih pada zaman kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di warga industri semenjak zaman kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di zaman spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengemudikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan mampu menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya supaya dijadikan bertambah sempurna dengan tidak berat sebelah. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada kesudahan zaman kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan yang dibangun yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas masih buruh biasa berada di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh sesuai perkembangan yang terjadi akhir- kesudahan ini. Dahrendorf mengatakan bahwa mempunyai dasar baru untuk pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui mempunyai perbedaan di selang mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu mampu terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap mempunyai dua kelas sosial adalah, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan golongan mungkin paling mudah di analisis bila diamati sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, keperluan golongan penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- keperluan golongan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Referensi Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 15

Fungsionalisme struktural yaitu sebuah sudut pandang lapang dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan warga sbg sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling bertalian. Fungsionalisme menafsirkan warga secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, norma budaya, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian warga ini sbg "organ" yang memainkan pekerjaan demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam guna paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, norma budaya, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Untuk Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural yaitu suatu yang didirikan teori yang paling akbar pengaruhnya dalam ilmu sosial di zaman sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap warga sbg organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut yaitu hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap bisa bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan berlainannya pendekatan structural fungsional ini juga hadir tujuan untuk sampai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awal mulanya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik belakang dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesesuaian sela warga dengan organisme, sampai hasilnya mengembang menjadi apa yang dinamakan dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan untuk analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa warga yaitu sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat ronde – ronde yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut memiliki fungsi masing – masing yang membikin sistem menjadi seimbang. Ronde tersebut saling interdependensi satu sama berlainan dan fungsional, sehingga bila telah tersedia yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk beragam perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang memiliki pengaruh kuat yaitu

  • Visi substantif mengenai sikap yang dibuat sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai sikap yang dibuat sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai sikap yang dibuat aktor dalam menginterpretasikan kondisi.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Sampai pertengahan zaman, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang sudah dibahas diatas. Sbg mahir teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang beliau gulirkan. Parson sukses mempertahankan fungsionalisme sampai semakin dari dua setengah zaman sejak beliau mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melewati “analytical realism”, maksudnya yaitu teori sosiologi mesti menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi alam luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis bisa dipisahkan dari elemen-elemen berlainannya. Oleh karenanya, teori mesti melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat ketat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep tidak berbentuk ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di bisa yaitu organisasi konsep dalam bangun-bangun sistem analisis yang mencakup persoalan alam tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem sikap yang dibuat diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu sikap yang dibuat, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem sikap yang dibuat hanya akan bertahan bila memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sbg orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa jenis motivasi, ditengahnya kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, ditengahnya nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sbg modes of orientation. Unit sikap yang dibuat olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sbg konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Kesudahan dari analisis ini yaitu visi metafisis yang akbar oleh alam yang sudah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan alam kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada hasilnya semakin filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awal mulanya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sbg pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berlainan dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang akbar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson semakin terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang ditelitinya sbg tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut sela lain:

  • Kesatuan fungsi warga , seluruh kepercayaan dan praktik sosial norma budaya istiadat standard bersifat fungsional untuk warga secara keseluruhan maupun untuk individu dalam warga, hal ini berfaedah sistem sosial yang telah tersedia pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlangsung pada warga kecil tetapi generalisasi pada warga yang semakin akbar.
  • Fungsionalisme universal , seluruh bangun-bangun dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam alam nyata tidak seluruh struktur , norma budaya istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sbgnya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan norma budaya istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membikin individu tersebut depresi sampai bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
  • Indispensability, aspek standard warga tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan ronde bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berfaedah fungsi secara fungsional diperlukan oleh warga. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada beragam alternative structural dan fungsional yang telah tersedia di dalam warga yang tidak bisa dihindari.

Argumentasi Merton diterangkan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang telah tersedia didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kumpulan, warga dan norma budaya istiadat, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awal mulanya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa bisa juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kumpulan. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para mahir sosiologi mesti semakin maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori akbar. Teori taraf menengah itu diartikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di sela hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang mengembang semakin akbar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup seluruhnya mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan seluruh keseragaman yang diteliti dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya dipergunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia yaitu jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diteliti, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi yaitu kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory yaitu teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki beragam pemahaman bahwa secara prinsip dipergunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, yaitu lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi beliau cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan memainkan tarik dan menyambung, gunanya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis yaitu jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil yang didirikan teori belakang di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awal mulanya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Untuk Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri memberikan ruang lingkup fungsi sbg konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang membikin adaptasi atau penyesuian, karena selalu telah tersedia konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang telah tersedia tidaklah positif tetapi telah tersedia negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi bisa mengandung konsekuensi negative pada ronde berlainan.Hal ini bisa dicontohkan, struktur warga patriarki c memberkan kontribusi positif untuk kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative untuk kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sbg konsekuensi tidak relevan untuk sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah bisa ditentukan manakah yang semakin penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melewati keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan semakin lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest yaitu fungsi yang dikehendaki, laten yaitu yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang telah tersedia, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu telah tersedia. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang diterapkan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori sikap yang dibuat dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan sela intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, semakin jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten sudah buka kekauan bahwa fungsi selalu ada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak seluruh struktur sosial tidak bisa diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial bisa dihilangkan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia bisa buka jalan untuk perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan sela norma budaya istiadat, struktur, dan anomi. Norma budaya istiadat diartikan sbg rangkaian nilai normative teratur yang mengemudikan perilaku yang sama untuk seluruh bagian warga. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi bagian warga atau kumpulan tertentu dengan cara berlainan. Anomi terjadi bila ketika terdapat disjungsi ketat sela norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan bagian kumpulan untuk berperan menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak bisa bertindakm menurut norma-norma normative . norma budaya istiadat menghendaki telah tersedianya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi sela kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam warga. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus semakin kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut bisa mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana telah tersedia keteraturan maka mesti siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berlangsung tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan dampak beragam factor. Apapun argumennya anomi dalam struktur lebih-lebih yang kaku akan cenderung semakin akbar. Dari sini, Merton tidak beristirahat dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sbg produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang yaitu adalah tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berupaya menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang telah tersedia dalam warga sehingga mereka semakin , menunjukkan budi pekerti non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk sampai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari beragam penajabaran yang telah tersedia Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang sudah telah tersedia. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang semakin jauh berlainan dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu ilmu, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi norma budaya istiadat
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Catatan kaki

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com


Page 16

Cara penelitian

Kuantitatif · Kualitatif
Komputasional · Etnografi

Topik dan Cabang

Fungsionalisme struktural yaitu sebuah sudut pandang lapang dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan warga sbg sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling bertalian. Fungsionalisme menafsirkan warga secara semuanya dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian warga ini sbg "organ" yang memperagakan pekerjaan demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam guna paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Untuk Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural yaitu suatu kontruksi teori yang paling akbar pengaruhnya dalam ilmu sosial di zaman sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali menyalakan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap warga sbg organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut yaitu hasil atau konsekuensi supaya organisme tersebut tetap bisa bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan berlainannya pendekatan structural fungsional ini juga hadir tujuan untuk sampai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awal mulanya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik belakang dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesesuaian sela warga dengan organisme, sampai hasilnya mengembang menjadi apa yang dinamakan dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan untuk analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa warga yaitu sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat ronde – ronde yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut memiliki fungsi masing – masing yang membikin sistem menjadi seimbang. Ronde tersebut saling interdependensi satu sama berlainan dan fungsional, sehingga jika telah tersedia yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk beragam perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua bidang dari studi Weber yang memiliki pengaruh kuat yaitu

  • Visi substantif mengenai sikap yang dibuat sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai sikap yang dibuat sosial ini berjasa dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai sikap yang dibuat aktor dalam menginterpretasikan kondisi.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Sampai menengah zaman, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang sudah dibahas diatas. Sbg mahir teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang beliau gulirkan. Parson sukses mempertahankan fungsionalisme sampai semakin dari dua setengah zaman sejak beliau mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melewati “analytical realism”, maksudnya yaitu teori sosiologi mesti menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi alam luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis bisa dipisahkan dari elemen-elemen berlainannya. Oleh karenanya, teori mesti melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, pemikiran akan mengisolasi fenomena yang melekat sempit pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana pemikiran abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di bisa yaitu organisasi pemikiran dalam wujud sistem analisis yang mencakup masalah alam tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem sikap yang dibuat diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu sikap yang dibuat, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem sikap yang dibuat hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sbg orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa jenis motivasi, ditengahnya kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, ditengahnya nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sbg modes of orientation. Unit sikap yang dibuat olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sbg konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Kesudahan dari analisis ini yaitu visi metafisis yang akbar oleh alam yang sudah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan alam kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada hasilnya semakin filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awal mulanya Merton mengkritik beberapa bidang ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sbg pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berlainan dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang akbar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson semakin terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang ditelitinya sbg tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut sela lain:

  • Kesatuan fungsi warga , seluruh keyakinan dan praktik sosial adat istiadat standard bersifat fungsional untuk warga secara semuanya maupun untuk individu dalam warga, hal ini berfaedah sistem sosial yang telah tersedia pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlangsung pada warga kecil tetapi generalisasi pada warga yang semakin akbar.
  • Fungsionalisme universal , seluruh wujud dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam alam nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sbgnya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membikin individu tersebut depresi sampai bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
  • Indispensability, bidang standard warga tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan ronde bagian yang tidak terpisahkan dari semuanya. Hal ini berfaedah fungsi secara fungsional diperlukan oleh warga. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada beragam alternative structural dan fungsional yang telah tersedia di dalam warga yang tidak bisa dihindari.

Argumentasi Merton diterangkan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang telah tersedia didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kumpulan, warga dan adat istiadat, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awal mulanya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara semuanya, namun Merton menjelaskan bahwa bisa juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kumpulan. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para mahir sosiologi mesti semakin maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan memperkembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori akbar. Teori taraf menengah itu diartikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di sela hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang mengembang semakin akbar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup seluruhnya memperkembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan seluruh keseragaman yang diteliti dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya dipergunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia yaitu jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diteliti, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi yaitu kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory yaitu teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja memperkembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan semuanya upaya sistematis yang inklusif untuk memperkembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki beragam pemahaman bahwa secara prinsip dipergunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, yaitu lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi beliau cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan memperagakan tarik dan menyambung, gunanya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis yaitu jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil kontruksi teori belakang di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awal mulanya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Untuk Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri memberikan ruang lingkup fungsi sbg konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang membikin adaptasi atau penyesuian, karena selalu telah tersedia konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang telah tersedia tidaklah positif tetapi telah tersedia negatifnya. Dari sini Merton memperkembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi bisa mengandung konsekuensi negative pada ronde berlainan.Hal ini bisa dicontohkan, struktur warga patriarki c memberkan kontribusi positif untuk kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative untuk kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sbg konsekuensi tidak relevan untuk sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah bisa ditentukan manakah yang semakin penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melewati keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan semakin lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest yaitu fungsi yang dikehendaki, laten yaitu yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang telah tersedia, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu telah tersedia. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang diterapkan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori sikap yang dibuat dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan sela intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, semakin jauh dari itu pemikirannya mengenai fungsi manifest dan laten sudah buka kekauan bahwa fungsi selalu ada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak seluruh struktur sosial tidak bisa diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial bisa dihilangkan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia bisa buka jalan untuk perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan sela adat istiadat, struktur, dan anomi. Adat istiadat diartikan sbg rangkaian nilai normative teratur yang mengemudikan perilaku yang sama untuk seluruh bagian warga. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi bagian warga atau kumpulan tertentu dengan cara berlainan. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi sempit sela norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan bagian kumpulan untuk berperan menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak bisa bertindakm menurut norma-norma normative . adat istiadat menghendaki telah tersedianya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan kelainan dan dengan demikian disjungsi sela kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni kelainan dalam warga. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus semakin kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut bisa mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana telah tersedia keteraturan maka mesti siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berlangsung tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan dampak beragam factor. Apapun argumennya anomi dalam struktur lagi pula yang kaku akan cenderung semakin akbar. Dari sini, Merton tidak beristirahat dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sbg produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang yaitu adalah tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berupaya menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang telah tersedia dalam warga sehingga mereka semakin , menunjukkan budi pekerti non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan fasilitas kelembagaan untuk sampai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari beragam penajabaran yang telah tersedia Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang sudah telah tersedia. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang semakin jauh berlainan dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu ilmu, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi adat istiadat
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Catatan kaki

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com

Page 17

Cara penelitian

Kuantitatif · Kualitatif
Komputasional · Etnografi

Topik dan Cabang

Fungsionalisme struktural yaitu sebuah sudut pandang lapang dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan warga sbg sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling bertalian. Fungsionalisme menafsirkan warga secara semuanya dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian warga ini sbg "organ" yang memperagakan pekerjaan demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam guna paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Untuk Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural yaitu suatu kontruksi teori yang paling akbar pengaruhnya dalam ilmu sosial di zaman sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali menyalakan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap warga sbg organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut yaitu hasil atau konsekuensi supaya organisme tersebut tetap bisa bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan berlainannya pendekatan structural fungsional ini juga hadir tujuan untuk sampai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awal mulanya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik belakang dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesesuaian sela warga dengan organisme, sampai hasilnya mengembang menjadi apa yang dinamakan dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan untuk analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa warga yaitu sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat ronde – ronde yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut memiliki fungsi masing – masing yang membikin sistem menjadi seimbang. Ronde tersebut saling interdependensi satu sama berlainan dan fungsional, sehingga jika telah tersedia yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk beragam perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua bidang dari studi Weber yang memiliki pengaruh kuat yaitu

  • Visi substantif mengenai sikap yang dibuat sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai sikap yang dibuat sosial ini berjasa dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai sikap yang dibuat aktor dalam menginterpretasikan kondisi.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Sampai menengah zaman, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang sudah dibahas diatas. Sbg mahir teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang beliau gulirkan. Parson sukses mempertahankan fungsionalisme sampai semakin dari dua setengah zaman sejak beliau mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melewati “analytical realism”, maksudnya yaitu teori sosiologi mesti menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi alam luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis bisa dipisahkan dari elemen-elemen berlainannya. Oleh karenanya, teori mesti melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, pemikiran akan mengisolasi fenomena yang melekat sempit pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana pemikiran abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di bisa yaitu organisasi pemikiran dalam wujud sistem analisis yang mencakup masalah alam tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem sikap yang dibuat diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu sikap yang dibuat, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem sikap yang dibuat hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sbg orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa jenis motivasi, ditengahnya kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, ditengahnya nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sbg modes of orientation. Unit sikap yang dibuat olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sbg konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Kesudahan dari analisis ini yaitu visi metafisis yang akbar oleh alam yang sudah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan alam kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada hasilnya semakin filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awal mulanya Merton mengkritik beberapa bidang ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sbg pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berlainan dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang akbar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson semakin terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang ditelitinya sbg tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut sela lain:

  • Kesatuan fungsi warga , seluruh keyakinan dan praktik sosial adat istiadat standard bersifat fungsional untuk warga secara semuanya maupun untuk individu dalam warga, hal ini berfaedah sistem sosial yang telah tersedia pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlangsung pada warga kecil tetapi generalisasi pada warga yang semakin akbar.
  • Fungsionalisme universal , seluruh wujud dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam alam nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sbgnya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membikin individu tersebut depresi sampai bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
  • Indispensability, bidang standard warga tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan ronde bagian yang tidak terpisahkan dari semuanya. Hal ini berfaedah fungsi secara fungsional diperlukan oleh warga. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada beragam alternative structural dan fungsional yang telah tersedia di dalam warga yang tidak bisa dihindari.

Argumentasi Merton diterangkan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang telah tersedia didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kumpulan, warga dan adat istiadat, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awal mulanya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara semuanya, namun Merton menjelaskan bahwa bisa juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kumpulan. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para mahir sosiologi mesti semakin maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan memperkembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori akbar. Teori taraf menengah itu diartikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di sela hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang mengembang semakin akbar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup seluruhnya memperkembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan seluruh keseragaman yang diteliti dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya dipergunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia yaitu jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diteliti, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi yaitu kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory yaitu teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja memperkembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan semuanya upaya sistematis yang inklusif untuk memperkembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki beragam pemahaman bahwa secara prinsip dipergunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, yaitu lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi beliau cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan memperagakan tarik dan menyambung, gunanya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis yaitu jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil kontruksi teori belakang di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awal mulanya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Untuk Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri memberikan ruang lingkup fungsi sbg konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang membikin adaptasi atau penyesuian, karena selalu telah tersedia konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang telah tersedia tidaklah positif tetapi telah tersedia negatifnya. Dari sini Merton memperkembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi bisa mengandung konsekuensi negative pada ronde berlainan.Hal ini bisa dicontohkan, struktur warga patriarki c memberkan kontribusi positif untuk kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative untuk kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sbg konsekuensi tidak relevan untuk sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah bisa ditentukan manakah yang semakin penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melewati keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan semakin lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest yaitu fungsi yang dikehendaki, laten yaitu yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang telah tersedia, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu telah tersedia. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang diterapkan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori sikap yang dibuat dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan sela intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, semakin jauh dari itu pemikirannya mengenai fungsi manifest dan laten sudah buka kekauan bahwa fungsi selalu ada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak seluruh struktur sosial tidak bisa diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial bisa dihilangkan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia bisa buka jalan untuk perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan sela adat istiadat, struktur, dan anomi. Adat istiadat diartikan sbg rangkaian nilai normative teratur yang mengemudikan perilaku yang sama untuk seluruh bagian warga. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi bagian warga atau kumpulan tertentu dengan cara berlainan. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi sempit sela norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan bagian kumpulan untuk berperan menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak bisa bertindakm menurut norma-norma normative . adat istiadat menghendaki telah tersedianya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan kelainan dan dengan demikian disjungsi sela kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni kelainan dalam warga. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus semakin kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut bisa mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana telah tersedia keteraturan maka mesti siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berlangsung tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan dampak beragam factor. Apapun argumennya anomi dalam struktur lagi pula yang kaku akan cenderung semakin akbar. Dari sini, Merton tidak beristirahat dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sbg produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang yaitu adalah tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berupaya menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang telah tersedia dalam warga sehingga mereka semakin , menunjukkan budi pekerti non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan fasilitas kelembagaan untuk sampai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari beragam penajabaran yang telah tersedia Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang sudah telah tersedia. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang semakin jauh berlainan dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu ilmu, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi adat istiadat
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Catatan kaki

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com

Page 18

Fungsionalisme struktural yaitu sebuah sudut pandang lapang dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan warga sbg sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling bertalian. Fungsionalisme menafsirkan warga secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, norma budaya, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian warga ini sbg "organ" yang memainkan pekerjaan demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam guna paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, norma budaya, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Untuk Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar

Teori fungsionalisme struktural yaitu suatu yang didirikan teori yang paling akbar pengaruhnya dalam ilmu sosial di zaman sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap warga sbg organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut yaitu hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap bisa bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan berlainannya pendekatan structural fungsional ini juga hadir tujuan untuk sampai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awal mulanya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik belakang dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesesuaian sela warga dengan organisme, sampai hasilnya mengembang menjadi apa yang dinamakan dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan untuk analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa warga yaitu sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat ronde – ronde yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut memiliki fungsi masing – masing yang membikin sistem menjadi seimbang. Ronde tersebut saling interdependensi satu sama berlainan dan fungsional, sehingga bila telah tersedia yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk beragam perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang memiliki pengaruh kuat yaitu

  • Visi substantif mengenai sikap yang dibuat sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai sikap yang dibuat sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai sikap yang dibuat aktor dalam menginterpretasikan kondisi.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Sampai pertengahan zaman, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang sudah dibahas diatas. Sbg mahir teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang beliau gulirkan. Parson sukses mempertahankan fungsionalisme sampai semakin dari dua setengah zaman sejak beliau mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melewati “analytical realism”, maksudnya yaitu teori sosiologi mesti menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi alam luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis bisa dipisahkan dari elemen-elemen berlainannya. Oleh karenanya, teori mesti melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat ketat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep tidak berbentuk ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di bisa yaitu organisasi konsep dalam bangun-bangun sistem analisis yang mencakup persoalan alam tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem sikap yang dibuat diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu sikap yang dibuat, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem sikap yang dibuat hanya akan bertahan bila memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sbg orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa jenis motivasi, ditengahnya kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, ditengahnya nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sbg modes of orientation. Unit sikap yang dibuat olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sbg konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Kesudahan dari analisis ini yaitu visi metafisis yang akbar oleh alam yang sudah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan alam kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada hasilnya semakin filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awal mulanya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sbg pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berlainan dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang akbar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson semakin terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang ditelitinya sbg tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut sela lain:

  • Kesatuan fungsi warga , seluruh kepercayaan dan praktik sosial norma budaya istiadat standard bersifat fungsional untuk warga secara keseluruhan maupun untuk individu dalam warga, hal ini berfaedah sistem sosial yang telah tersedia pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlangsung pada warga kecil tetapi generalisasi pada warga yang semakin akbar.
  • Fungsionalisme universal , seluruh bangun-bangun dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam alam nyata tidak seluruh struktur , norma budaya istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sbgnya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan norma budaya istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membikin individu tersebut depresi sampai bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
  • Indispensability, aspek standard warga tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan ronde bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berfaedah fungsi secara fungsional diperlukan oleh warga. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada beragam alternative structural dan fungsional yang telah tersedia di dalam warga yang tidak bisa dihindari.

Argumentasi Merton diterangkan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang telah tersedia didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kumpulan, warga dan norma budaya istiadat, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awal mulanya arus fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa bisa juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kumpulan. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para mahir sosiologi mesti semakin maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori akbar. Teori taraf menengah itu diartikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di sela hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang mengembang semakin akbar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup seluruhnya mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan seluruh keseragaman yang diteliti dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya dipergunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia yaitu jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diteliti, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi yaitu kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory yaitu teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki beragam pemahaman bahwa secara prinsip dipergunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, yaitu lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi beliau cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan memainkan tarik dan menyambung, gunanya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis yaitu jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil yang didirikan teori belakang di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awal mulanya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Untuk Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri memberikan ruang lingkup fungsi sbg konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang membikin adaptasi atau penyesuian, karena selalu telah tersedia konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang telah tersedia tidaklah positif tetapi telah tersedia negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi bisa mengandung konsekuensi negative pada ronde berlainan.Hal ini bisa dicontohkan, struktur warga patriarki c memberkan kontribusi positif untuk kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative untuk kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sbg konsekuensi tidak relevan untuk sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah bisa ditentukan manakah yang semakin penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melewati keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan semakin lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest yaitu fungsi yang dikehendaki, laten yaitu yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang telah tersedia, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu telah tersedia. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang diterapkan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori sikap yang dibuat dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan sela intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, semakin jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten sudah buka kekauan bahwa fungsi selalu ada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak seluruh struktur sosial tidak bisa diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial bisa dihilangkan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia bisa buka jalan untuk perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan sela norma budaya istiadat, struktur, dan anomi. Norma budaya istiadat diartikan sbg rangkaian nilai normative teratur yang mengemudikan perilaku yang sama untuk seluruh bagian warga. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi bagian warga atau kumpulan tertentu dengan cara berlainan. Anomi terjadi bila ketika terdapat disjungsi ketat sela norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan bagian kumpulan untuk berperan menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak bisa bertindakm menurut norma-norma normative . norma budaya istiadat menghendaki telah tersedianya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi sela kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam warga. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus semakin kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut bisa mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana telah tersedia keteraturan maka mesti siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berlangsung tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan dampak beragam factor. Apapun argumennya anomi dalam struktur lebih-lebih yang kaku akan cenderung semakin akbar. Dari sini, Merton tidak beristirahat dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sbg produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang yaitu adalah tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berupaya menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang telah tersedia dalam warga sehingga mereka semakin , menunjukkan budi pekerti non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk sampai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari beragam penajabaran yang telah tersedia Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang sudah telah tersedia. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang semakin jauh berlainan dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu ilmu, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teoriwan berpengaruh

  • Kingsley Davis
  • Michael Denton
  • Émile Durkheim
  • David Keen
  • Niklas Luhmann
  • Bronisław Malinowski
  • Robert K. Merton
  • Wilbert E. Moore
  • George Murdock
  • Talcott Parsons
  • Alfred Reginald Radcliffe-Brown
  • Herbert Spencer
  • Fei Xiaotong

Lihat pula

  • Antropologi norma budaya istiadat
  • Antropologi struktural
  • Ekonomi institusi baru
  • Interaksionisme simbolis
  • Neofungsionalisme (sosiologi)
  • Pascastrukturalisme
  • Rantai kekosongan
  • Strukturalisme
  • Strukturalisme fungsional
  • Teori sistem
  • Teori sistem sosioteknik

Bahan bacaan

  • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.
  • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner.
  • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press.
  • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge.
  • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge.
  • Layton, R. 1997. An Introduction to Theory in Anthropology. Cambridge: CUP.
  • Leach, E. 1954. Political Systems of Highland Burma. London: Bell.
  • Leach, E. 1966. Rethinking Anthropology. Northampton: Dickens.
  • Levi-Strauss, C. 1969. The Elementary Structures of Kinship. London: Eyre and Spottis-woode.
  • Coser, L., (1977) Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, 2nd Ed., Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., pp. 140–143.
  • Craib, I., (1992) Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Harvester Wheatsheaf, London
  • Cuff, E. & Payne, G.,(eds) (1984) Perspectives in Sociology, Allen & Unwin, London
  • Davis, K (1959). "The Myth of Functional Analysis as a Special Method in Sociology and Anthropology", American Sociological Review, 24(6), 757-772.
  • Elster, J., (1990), “Merton's Functionalism and the Unintended Consequences of Action”, in Clark, J., Modgil, C. & Modgil, S., (eds) Robert Merton: Consensus and Controversy, Falmer Press, London, pp. 129–35
  • Gingrich , P., (1999) “Functionalism and Parsons” in Sociology 250 Subject Notes, University of Regina, accessed, 24/5/06, uregina.ca
  • Holmwood, J., (2005) “Functionalism and its Critics” in Harrington, A., (ed) Modern Social Theory: an introduction, Oxford University Press, Oxford, pp. 87–109
  • Homans, George Casper (1962). Sentiments and Activities. New York: The Free Press of Glencoe.
  • Hoult, Thomas Ford (1969). Dictionary of Modern Sociology.
  • Lenski, Gerhard (1966). "Power and Privilege: A Theory of Social Stratification." New York: McGraw-Hill.
  • Lenski, Gerhard (2005). "Evolutionary-Ecological Theory." Boulder, CO: Paradigm.
  • Maryanski, Alexandra (1998). "Evolutionary Sociology." Advances in Human Ecology. 7:1-56.
  • Maryanski, Alexandra and Jonathan Turner (1992). "The Social Cage: Human Nature and the Evolution of Society." Stanford: Stanford University Press.
  • Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford Dictionary of Sociology. ISBN 019285237X
  • Merton, Robert (1957). Social Theory and Social Structure, revised and enlarged. London: The Free Press of Glencoe.
  • Nolan, Patrick and Gerhard Lenski (2004). Human Societies: An Introduction to Macrosociology." Boulder, CO: Paradigm.
  • Parsons, Talcott (1951) The Social System, Routledge, London
  • Parsons, T., & Shils, A., (eds) (1976) Toward a General Theory of Action, Harvard University Press, Cambridge
  • Parsons, T., (1961) Theories of Society: foundations of modern sociological theory, Free Press, New York
  • Perey, Arnold (2005) "Malinowski, His Diary, and Men Today (with a note on the nature of Malinowskian functionalism)
  • Ritzer, G., (1983) Sociological Theory, Knopf Inc, New York
  • Sanderson, Stephen K. (1999). "Social Transformations: A General Theory of Historical Development." Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Turner, Jonathan (1985). "Herbert Spencer: A Renewed Appreciation." Beverly Hills: Sage.
  • Turner, Jonathan (1995). "Macrodynamics: Toward a Theory on the Organization of Human Populations." New Brunswick: Rutgers University Press.
  • Turner, Jonathan and Jan Stets (2005). "The Sociology of Emotions." Cambridge. Cambridge University Press.

Catatan kaki

  1. ^ Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23. ISBN 978-0-415-19089-3. 
  2. ^ Talcott Parsons, "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
  3. ^ Bourricaud, F. 'The Sociology of Talcott Parsons' Chicago University Press. ISBN 0-226-067564. p. 94

edunitas.com


Page 19

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi menempuh proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tapi terjadi dampak hal telah tersedia konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang beda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam warga.[butuh rujukan]

Asumsi dasar

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang mahir sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar semakin mudah dimengerti oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman ketika lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, benar sisi konflik dan sisi kerja sama. [8] eori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh rujukan] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada ketika itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang warga kelas dan perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lapang tapi beliau menunjukkan bahwa dalam warga, pada seratus tahun ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu bangun sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berlanjut selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima kondisi apa hal telah tersedia tetap terjaga. Ketegangan hubungan sela kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial agung, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi bila kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Telah tersedia beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam warga. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam warga tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam warga manapun pasti pernah merasakan konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat hal telah tersedia dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam warga. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan sela superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena hal telah tersedia perbedaan kebutuhan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam warga itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena hal telah tersedia konflik-konflik kebutuhan. Namun pada suatu titik tertentu, warga mampu sampai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu telah tersedia negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, warga disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di warga sebenarnya karena hal telah tersedia paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Awal

Selama semakin dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada bangun sosial. Pada ketika yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Beda oleh karena itu dapat oleh berdasarkanbeberapa mahir sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang beda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tapi para mahir sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit untuk himpunan sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan bangun suatu himpunan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya mahir sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi melakukan pekerjaan untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bangun-bangun atau konsep- pemikiran sosiologi di mana pokok lingkungan kehidupan empiris dapat ditempatkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam warga. Bangun sosial dilihat dan diamankannya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan meluaskan pemikiran Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif menolong bangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka warga.[4]

Inti Pemikiran

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan bangun sosial. Konflik dapat menaruh dan menjaga garis batas sela dua atau semakin himpunan. [5]. Konflik dengan himpunan lain dapat memperkuat kembali identitas himpunan dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam lingkungan kehidupan sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dan diamankan dalam ilustrasi suatu himpunan yang sedang merasakan konflik dengan himpunan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik petunjuk katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas himpunan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di sela pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan himpunan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau bangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari aturan probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang diasumsikan mengecewakan. Misalnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam warga yang buta huruf pembasan dendam kebanyakan menempuh ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya warga maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan himpunan yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. [5]

Akan tapi apabila konflik mengembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan semakin sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin tidak jauh suatu hubungan semakin agung rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin agung juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif tidak terikat diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu himpunan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap warga Yahudi bahwa peningkatan konflik himpunan dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan warga secara semuanya. [7]Bila konflik dalam himpunan tidak telah tersedia, berfaedah menunjukkan lemahnya integrasi himpunan tersebut dengan warga. Dalam bangun agung atau kecil konflik in-group merupakan indikator hal telah tersedia suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para mahir sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat bangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang mahir sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar semakin mudah dimengerti oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman ketika lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, benar sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol lebih-lebih pada seratus tahun kesembilan belas. Bangun-bangun penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di warga industri semenjak seratus tahun kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun benar kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di seratus tahun spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang benar perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar mengembang dengan berpegang pada kebenaran. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada belakang seratus tahun kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan bangunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bangun-bangun konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh berlandaskan perkembangan yang terjadi akhir- belakang ini. Dahrendorf mengatakan bahwa telah tersedia dasar baru untuk pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di sela mereka yang benar sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang didiami. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan himpunan mungkin paling mudah di analisis bila dilihat dan diamankan sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kebutuhan himpunan penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kebutuhan himpunan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 20

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tak terjadi melewati proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tapi terjadi dampak hal telah tersedia konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang beda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sbg unsur pokok pemisahan kelas dalam warga.[butuh referensi]

Asumsi landasan

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera sesudah penampilan karya Coser [5], seorang mahir sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar semakin mudah dimengerti oleh sosiolog Amerika yang tak faham bahasa Jerman ketika lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sbg teori parsial, mengenggap teori tersebut adalah perspektif yang dapat dipakai sbg menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, benar bidang konflik dan bidang kerja sama. [8] eori konflik muncul sbg reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh referensi] Pemikiran yang sangat berpengaruh atau menjadi landasan dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh referensi] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada ketika itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang warga kelas dan perjuangannya.[butuh referensi] Marx tak mendefinisikan kelas secara panjang lapang tapi beliau menunjukkan bahwa dalam warga, pada seratus tahun ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sbg kelas proletar.[butuh referensi] Kedua kelas ini telah tersedia dalam suatu bangun sosial hirarkis, kaum borjuis menerapkan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berlanjut selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima kondisi apa hal telah tersedia tetap terjaga. Ketegangan hubungan sela kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial agung, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi bila kaum proletar sudah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Telah tersedia beberapa asumsi landasan dari teori konflik ini. Teori konflik adalah antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam warga. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam warga tak akan selamanya telah tersedia pada keteraturan. Buktinya dalam warga manapun pasti pernah merasakan konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat hal telah tersedia dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam warga. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan sela superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena hal telah tersedia perbedaan kebutuhan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam warga itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial diakibatkan karena hal telah tersedia konflik-konflik kebutuhan. Namun pada suatu titik tertentu, warga bisa sampai suatu kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu telah tersedia negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, warga disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di warga sebenarnya karena hal telah tersedia paksaan (koersi). Oleh karenanya, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta menjadi landasan pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Awal

Selama semakin dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu untuk bangun sosial. Pada ketika yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Beda oleh karenanya dapat oleh berdasarkanbeberapa mahir sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang beda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tapi para mahir sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sbg penyakit untuk himpunan sosial. Coser memilih sbg menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan bangun suatu himpunan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya mahir sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha sbg menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi melakukan pekerjaan sbg menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bangun-bangun atau konsep- pemikiran sosiologi di mana pokok lingkungan kehidupan empiris dapat diletakkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sbg berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sbg gejala yang tak mungkin dihindari dalam warga. Bangun sosial dilihat dan diamankannya sbg gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan meluaskan pemikiran Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif menolong bangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka warga.[4]

Inti Pemikiran

Konflik dapat adalah proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan bangun sosial. Konflik dapat menaruh dan menjaga garis batas sela dua atau semakin himpunan. [5]. Konflik dengan himpunan lain dapat memperkuat kembali identitas himpunan dan melindunginya agar tak lebur ke dalam lingkungan kehidupan sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dan diamankan dalam ilustrasi suatu himpunan yang sedang merasakan konflik dengan himpunan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik petunjuk katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah sudah memperkuat identitas himpunan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sbg jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di sela pihak-pihak yang bertentangan akan makin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai sbg mempertahankan himpunan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat adalah suatu institusi pengungkapan rasa tak puas atas suatu sistem atau bangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari aturan probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang diasumsikan mengecewakan. Misalnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tapi dari kebutuhan sbg meredakan ketegangan, sangat tak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam warga yang buta huruf pembasan dendam kebanyakan melewati ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya warga maju menerapkan pengkambinghitaman sbg pengganti ketidakmampuan melawan himpunan yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. [5]

Akan tapi apabila konflik mengembang dalam hubungan- hubungan yang intim, karenanya pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan semakin sulit sbg dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, makin tidak jauh suatu hubungan makin agung rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga makin agung juga kecenderungan sbg menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif tidak terikat diungkapkan. [6]. Hal ini tak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian adalah bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah melampaui batas sehingga mengakibatkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu himpunan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap warga Yahudi bahwa peningkatan konflik himpunan dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan warga secara semuanya. [7]Bila konflik dalam himpunan tak telah tersedia, berfaedah menunjukkan lemahnya integrasi himpunan tersebut dengan warga. Dalam bangun agung atau kecil konflik in-group adalah indikator hal telah tersedia suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para mahir sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan adalah peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat bangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sbg indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera sesudah penampilan karya Coser [5], seorang mahir sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar semakin mudah dimengerti oleh sosiolog Amerika yang tak faham bahasa Jerman ketika lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sbg teori parsial, mengenggap teori tersebut adalah perspektif yang dapat dipakai sbg menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, benar bidang konflik dan bidang kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf adalah separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana telah tersedia dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sbg pengontrol lebih-lebih pada seratus tahun kesembilan belas. Bangun-bangun penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di warga industri semenjak seratus tahun kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun benar kontrol penuh adalah contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di seratus tahun spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang benar perusahaan tapi tak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai sbg memimpin perusahaanya agar mengembang dengan berpegang pada kebenaran. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada belakang seratus tahun kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan bangunan yang jelas, di mana para buruh terampil telah tersedia di jenjang atas sedang buruh biasa telah tersedia di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sbg satu bangun-bangun konflik dan sbg sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh berlandaskan perkembangan yang terjadi akhir- belakang ini. Dahrendorf mengatakan bahwa telah tersedia landasan baru untuk pembentukan kelas, sbg pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sbg landasan perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di sela mereka yang benar sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tapi pada landasannya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang ditinggali. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan himpunan mungkin sangat mudah di analisis bila dilihat dan diamankan sbg pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kebutuhan himpunan penguasa adalah nilai- nilai yang adalah ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kebutuhan himpunan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 21

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tak terjadi melewati proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tapi terjadi dampak hal telah tersedia konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang beda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sbg unsur pokok pemisahan kelas dalam warga.[butuh referensi]

Asumsi landasan

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera sesudah penampilan karya Coser [5], seorang mahir sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar semakin mudah dimengerti oleh sosiolog Amerika yang tak faham bahasa Jerman ketika lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sbg teori parsial, mengenggap teori tersebut adalah perspektif yang dapat dipakai sbg menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, benar bidang konflik dan bidang kerja sama. [8] eori konflik muncul sbg reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh referensi] Pemikiran yang sangat berpengaruh atau menjadi landasan dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh referensi] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada ketika itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang warga kelas dan perjuangannya.[butuh referensi] Marx tak mendefinisikan kelas secara panjang lapang tapi beliau menunjukkan bahwa dalam warga, pada seratus tahun ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sbg kelas proletar.[butuh referensi] Kedua kelas ini telah tersedia dalam suatu bangun sosial hirarkis, kaum borjuis menerapkan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berlanjut selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima kondisi apa hal telah tersedia tetap terjaga. Ketegangan hubungan sela kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial agung, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi bila kaum proletar sudah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Telah tersedia beberapa asumsi landasan dari teori konflik ini. Teori konflik adalah antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam warga. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam warga tak akan selamanya telah tersedia pada keteraturan. Buktinya dalam warga manapun pasti pernah merasakan konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat hal telah tersedia dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam warga. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan sela superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena hal telah tersedia perbedaan kebutuhan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam warga itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial diakibatkan karena hal telah tersedia konflik-konflik kebutuhan. Namun pada suatu titik tertentu, warga bisa sampai suatu kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu telah tersedia negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, warga disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di warga sebenarnya karena hal telah tersedia paksaan (koersi). Oleh karenanya, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta menjadi landasan pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Awal

Selama semakin dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu untuk bangun sosial. Pada ketika yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Beda oleh karenanya dapat oleh berdasarkanbeberapa mahir sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang beda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tapi para mahir sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sbg penyakit untuk himpunan sosial. Coser memilih sbg menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan bangun suatu himpunan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya mahir sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha sbg menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi melakukan pekerjaan sbg menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bangun-bangun atau konsep- pemikiran sosiologi di mana pokok lingkungan kehidupan empiris dapat diletakkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sbg berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sbg gejala yang tak mungkin dihindari dalam warga. Bangun sosial dilihat dan diamankannya sbg gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan meluaskan pemikiran Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif menolong bangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka warga.[4]

Inti Pemikiran

Konflik dapat adalah proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan bangun sosial. Konflik dapat menaruh dan menjaga garis batas sela dua atau semakin himpunan. [5]. Konflik dengan himpunan lain dapat memperkuat kembali identitas himpunan dan melindunginya agar tak lebur ke dalam lingkungan kehidupan sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dan diamankan dalam ilustrasi suatu himpunan yang sedang merasakan konflik dengan himpunan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik petunjuk katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah sudah memperkuat identitas himpunan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sbg jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di sela pihak-pihak yang bertentangan akan makin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai sbg mempertahankan himpunan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat adalah suatu institusi pengungkapan rasa tak puas atas suatu sistem atau bangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari aturan probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang diasumsikan mengecewakan. Misalnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tapi dari kebutuhan sbg meredakan ketegangan, sangat tak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam warga yang buta huruf pembasan dendam kebanyakan melewati ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya warga maju menerapkan pengkambinghitaman sbg pengganti ketidakmampuan melawan himpunan yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. [5]

Akan tapi apabila konflik mengembang dalam hubungan- hubungan yang intim, karenanya pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan semakin sulit sbg dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, makin tidak jauh suatu hubungan makin agung rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga makin agung juga kecenderungan sbg menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif tidak terikat diungkapkan. [6]. Hal ini tak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian adalah bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah melampaui batas sehingga mengakibatkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu himpunan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap warga Yahudi bahwa peningkatan konflik himpunan dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan warga secara semuanya. [7]Bila konflik dalam himpunan tak telah tersedia, berfaedah menunjukkan lemahnya integrasi himpunan tersebut dengan warga. Dalam bangun agung atau kecil konflik in-group adalah indikator hal telah tersedia suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para mahir sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan adalah peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat bangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sbg indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera sesudah penampilan karya Coser [5], seorang mahir sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar semakin mudah dimengerti oleh sosiolog Amerika yang tak faham bahasa Jerman ketika lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sbg teori parsial, mengenggap teori tersebut adalah perspektif yang dapat dipakai sbg menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, benar bidang konflik dan bidang kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf adalah separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana telah tersedia dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sbg pengontrol lebih-lebih pada seratus tahun kesembilan belas. Bangun-bangun penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di warga industri semenjak seratus tahun kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun benar kontrol penuh adalah contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di seratus tahun spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang benar perusahaan tapi tak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai sbg memimpin perusahaanya agar mengembang dengan berpegang pada kebenaran. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada belakang seratus tahun kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan bangunan yang jelas, di mana para buruh terampil telah tersedia di jenjang atas sedang buruh biasa telah tersedia di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sbg satu bangun-bangun konflik dan sbg sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh berlandaskan perkembangan yang terjadi akhir- belakang ini. Dahrendorf mengatakan bahwa telah tersedia landasan baru untuk pembentukan kelas, sbg pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sbg landasan perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di sela mereka yang benar sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tapi pada landasannya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang ditinggali. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan himpunan mungkin sangat mudah di analisis bila dilihat dan diamankan sbg pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kebutuhan himpunan penguasa adalah nilai- nilai yang adalah ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kebutuhan himpunan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 22

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi menempuh proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tapi terjadi dampak hal telah tersedia konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang beda dengan kondisi semula. [1].

Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam warga.[butuh rujukan]

Asumsi dasar

Sejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang mahir sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar semakin mudah dimengerti oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman ketika lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, benar sisi konflik dan sisi kerja sama. [8] eori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh rujukan] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada ketika itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang warga kelas dan perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lapang tapi beliau menunjukkan bahwa dalam warga, pada seratus tahun ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu bangun sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berlanjut selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima kondisi apa hal telah tersedia tetap terjaga. Ketegangan hubungan sela kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial agung, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi bila kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

Telah tersedia beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam warga. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam warga tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam warga manapun pasti pernah merasakan konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Yang belakang sekali teori konflik juga melihat hal telah tersedia dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam warga. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan sela superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena hal telah tersedia perbedaan kebutuhan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam warga itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena hal telah tersedia konflik-konflik kebutuhan. Namun pada suatu titik tertentu, warga mampu sampai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu telah tersedia negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, warga disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di warga sebenarnya karena hal telah tersedia paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berpandangan serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Sejarah Awal

Selama semakin dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada bangun sosial. Pada ketika yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Beda oleh karena itu dapat oleh berdasarkanbeberapa mahir sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang beda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada probabilitas menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tapi para mahir sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit untuk himpunan sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan bangun suatu himpunan tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya mahir sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena beliau yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi melakukan pekerjaan untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bangun-bangun atau konsep- pemikiran sosiologi di mana pokok lingkungan kehidupan empiris dapat ditempatkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam warga. Bangun sosial dilihat dan diamankannya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan meluaskan pemikiran Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif menolong bangun sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka warga.[4]

Inti Pemikiran

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan bangun sosial. Konflik dapat menaruh dan menjaga garis batas sela dua atau semakin himpunan. [5]. Konflik dengan himpunan lain dapat memperkuat kembali identitas himpunan dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam lingkungan kehidupan sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dan diamankan dalam ilustrasi suatu himpunan yang sedang merasakan konflik dengan himpunan lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik petunjuk katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas himpunan Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di sela pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan himpunan dari probabilitas konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau bangun. [5]

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari aturan probabilitas keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang diasumsikan mengecewakan. Misalnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji ditingkatkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam warga yang buta huruf pembasan dendam kebanyakan menempuh ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya warga maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan himpunan yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu probabilitas seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. [5]

Akan tapi apabila konflik mengembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan semakin sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin tidak jauh suatu hubungan semakin agung rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin agung juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif tidak terikat diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya untuk hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- sah melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu himpunan. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap warga Yahudi bahwa peningkatan konflik himpunan dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan warga secara semuanya. [7]Bila konflik dalam himpunan tidak telah tersedia, berfaedah menunjukkan lemahnya integrasi himpunan tersebut dengan warga. Dalam bangun agung atau kecil konflik in-group merupakan indikator hal telah tersedia suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para mahir sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat bangun sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang mahir sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar semakin mudah dimengerti oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman ketika lawatan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap warga bersisi ganda, benar sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol lebih-lebih pada seratus tahun kesembilan belas. Bangun-bangun penolakan tersebut beliau tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di warga industri semenjak seratus tahun kesembilan belas. [8] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun benar kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]

Di seratus tahun spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang benar perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar mengembang dengan berpegang pada kebenaran. [8]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada belakang seratus tahun kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan bangunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. [8]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bangun-bangun konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Yang belakang sekali dimodifikasi oleh berlandaskan perkembangan yang terjadi akhir- belakang ini. Dahrendorf mengatakan bahwa telah tersedia dasar baru untuk pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur untuk kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di sela mereka yang benar sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang didiami. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan himpunan mungkin paling mudah di analisis bila dilihat dan diamankan sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kebutuhan himpunan penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kebutuhan himpunan bawah melahirkan ancaman untuk ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  7. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89


edunitas.com


Page 23

Tenaga endogen yaitu tenaga yang bersumber dari dalam bumi yang mengakibatkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tidak rata. Mungkin saja di sebuah daerah dulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi kesudahan suatu peristiwa tenaga endogen ini berubah menjadi gunung, bukit, atau pegunungan. Pada bidang lain permukaan bumi turun menjadikan keadaan lembah atau jurang. Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga macam yaitu tektonisme, vulkanisme, dan seisme atau gempa.

Lihat pula


edunitas.com


Page 24

Tenaga endogen yaitu tenaga yang bersumber dari dalam bumi yang mengakibatkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tidak rata. Mungkin saja di sebuah daerah dulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi kesudahan suatu peristiwa tenaga endogen ini berubah menjadi gunung, bukit, atau pegunungan. Pada bidang lain permukaan bumi turun menjadikan keadaan lembah atau jurang. Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga macam yaitu tektonisme, vulkanisme, dan seisme atau gempa.

Lihat pula


edunitas.com


Page 25

Tenaga endogen yaitu tenaga yang bersumber dari dalam bumi yang mengakibatkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tidak rata. Mungkin saja di sebuah daerah dulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi kesudahan suatu peristiwa tenaga endogen ini berubah menjadi gunung, bukit, atau pegunungan. Pada bidang lain permukaan bumi turun menjadikan keadaan lembah atau jurang. Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga macam yaitu tektonisme, vulkanisme, dan seisme atau gempa.

Lihat pula


edunitas.com


Page 26

Tenaga endogen yaitu tenaga yang bersumber dari dalam bumi yang mengakibatkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tidak rata. Mungkin saja di sebuah daerah dulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi kesudahan suatu peristiwa tenaga endogen ini berubah menjadi gunung, bukit, atau pegunungan. Pada bidang lain permukaan bumi turun menjadikan keadaan lembah atau jurang. Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga macam yaitu tektonisme, vulkanisme, dan seisme atau gempa.

Lihat pula


edunitas.com