Teori adalah
serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan
yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan
menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel,
dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
Dengan demikian belajar
dapat sdisimpulkan rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara
sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa
penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan
pengalamannya.Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak ada
perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru
serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa
belajarnya belum sempurna.
Adapun yang dimaksud
pembelajaran Menurut Gagne, Briggs, dan wagner dalam Udin S. Winataputra (2008)
dalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses
belajar pada siswa. Sedangkan menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkingan belajar. Jadi pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan. Jadi dapat pengertian Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Selain itu pengertian Teori Belajar dapat pula diartikan sebagai teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) siswa.
TEORI DESKRIPTIF DAN TEORI PRESKRIPTIF
Menurut Bruner (dalam
Degeng,1989) mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah preskriptif dan
deskriptif. Preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah
menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan deskriptif karena tujuan
utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori belajar menaruh
perhatian pada hubungan di antara variable-variabel yang menentukan hasil
belajar. Sedangkan teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang
mempengaruhi orang lain agar terjadi suatu proses belajar.
Teori pembelajaran
yang deskriptif menempatkan kondisi dan metode pembelajaran sebagai given, dan
memberikan hasil pembelajaran sebagai variable yang diamati. Atau, kondisi dan
metode pembelajaran sebagai variable bebas dan hasil pembelajaran sebagai
variable tergantung. Sedangkan teori pembelajran yang preskriptif, kondisi dan
hasil pembelajaran ditempatkan sebagai given, dan metode yang optimal
ditempatkan sebagai variable yang diamati, atau metode pembelajaran sebagi
variable tergantung.
Teori preskriptif
adalah goal oriented (untuk mencapai tujuan), sedangkan teori deskriptif adalah
goal free (untuk memberikan hasil).Variabel yang diamati dalam pengembangan
teori-teori pembeajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk
mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran
deskriptif variable yang diamati adalah hasil sebagai efek dari interaksi
antara metode dan kondisi.
Hasil pembelajaran
yang diamati dalam pengembangan teori preskriptif adalah hasil pembelajaran
yang diinginkan (desired outcomes) yang telah ditetapkan lebih dulu, sedangkan
dalam pengembangan teori deskriptif, yang diamati adalah hasil pembelajaran
yang nyata (actual outcomes), hasil pembelajaran yang mungkin muncul, dan bisa
jadi bukan merupakan hasil pembelajaran yang diinginkan. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa teori pembelajaran preskriptif berisi seperangkat preskripsi
guna mengoptimalkan hasil pembelajaran yang diinginkan di bawah kondisi tettentu,
sedangkan teori pembelajarn deskriptif berisi deskripsi mengenai hasil
pembelajaran yang muncul sebagai akibat dari digunakannya metode tertentu di
bawah kondisi tertentu.
Dalam proses mengajar belajar, penguasaan seorang guru dan cara menyampaikannya merupakan syarat yang sangat essensial. Penguasaan guru terhadap materi pelajaran dan pengelolaan kelas sangatlah penting, namun demikian belum cukup untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal. Selain menguasai materi matematika guru sebaiknya menguasai tentang teori-teori belajar, agar dapat mengarahkan peserta didik berpartisipasi secara intelektual dalam belajar, sehingga belajar menjadi bermakna bagi siswa. Hal ini sesuai dengan isi lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyebutkan bahwa penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru. Jika seorang guru akan menerapkan suatu teori belajar dalam proses belajar mengajar, maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori belajar tersebut sehingga selanjutnya dapat merancang dengan baik bentuk proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan. Psikologi belajar atau disebut dengan Teori Belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) siswa. Penjelasan berikut merangkum berbagai jenis Teori belajar, antara lain: A) TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Menurut teori
behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya
interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Dengan kata
lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi
antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia
dapat menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya. Menurut teori ini hal yang paling penting adalah input (masukan) yang berupa stimulus dan output (keluaran) yang berupa respon. Menurut toeri ini, apa yang tejadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini lebih mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadinya perubahan tungkah laku tersebut. Faktor lain yang juga dianggap penting adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan diitambahkan maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi maka responpun akan dikuatkan. Jadi, penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon.
Tokoh-tokoh aliran
behavioristik diantaranya: 1. Thorndike
Menurut
thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Dan
perubahan tingkah laku merupakan akibat dari kegiatan belajar yang berwujud
konkrit yaitu dapat diamati atau berwujud tidak konkrit yaitu tidak dapat
diamati. Teori ini juga disebut sebagai aliran koneksionisme (connectinism). 2. Watson
Menurut
Watson, belajar merpakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati dan dapat diukur. Dengan kata lain, meskipun ia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia
menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia
tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam bentuk benak siswa itu
penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar
atau belum karena tidak dapat diamati. 3. Clark Hull
Clark
Hull juga menggunakan variable hubangan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi Charles Darwin. Baginya, seperti teori evolusi, semua fungsi tingkah
laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab
itu, teori ini mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan
biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh bagian
manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis,walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat
bermacam-macam bentuknya. 4. Edwin Guthrie
Demikian
juga Edwin, ia juga menggunakan variabel stimulus dan respon. Namun ia
mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau
pemuasan biologis sebagaimana Clark Hull. Ia juga mengemukakan, agar respon
yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai
macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. 5. Skinner Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurutnya, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya : 1) Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike. Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning. 4) Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial
atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang
relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda
dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak
semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat
reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema
kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa
yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui
peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga
masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilakukan. Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Dari beberapa tokoh
teori behavioristik Skinner merupaka tokoh yang paling besar pengaruhnya
terhadap perkembangan teori behavioristik.
Aliran psikologi
belajar yang sangat besar mempengaruhi pengembangan teori dan praktik
pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Karena
aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan faktor-faktor penguat (reinforcement), dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Teori ini hingga
sekarang masih merajai praktik pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan
jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti
Kelompok Belajar, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan
sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan)
disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan. Teori ini
memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi
dan teratur, sehingga siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Berdasarkan uraian di atas, Inti dari teori belajar behavioristik, adalah
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban yang benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. B. TEORI BELAJAR KOGNITIF
Berbeda dengan teori
behavioristik, teori kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil
belajarnya. Teori ini mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian
dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut.
Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang
mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan
lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang
sangat kompleks.
Prinsip umum teori Belajar Kognitif, antara lain:
Beberapa pandangan tentang teori kognitif, diantaranya: 1. Teori perkembangan Piaget Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya piker atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan antara asimilasi dan akomodasi). Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat, yaitu:
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Adapun beberapa prinsip teori perkembangan Piaget, adalah sebagai berikut:
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
2. Teori belajar menurut Bruner
Dalam memandang
proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah
laku seseorang. Dalam teorinya, “free discovery learning” ia mengatakan bahwa
proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Menurut
Bruner perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun
materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang
tersebut. Model pemahaman dari konsep Bruner (dalam Degeng,1989) menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Menurutnya, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembangkan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting untuk mempelajari bidang sains, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan (discovery learning). Beberapa prinsip teori Bruner adalah:
3. Teori belajar bermakna Ausubel Menurut Ausubel, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengtahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk strukur kognitif. Teori ini banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Hakikat belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Atau dengan kata lain, belajar merupakan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Dengan asumsi bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilkinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif tang telah dimiliki seseorang. Beberapa Prinsip Teori Ausubel adalah
Adapun aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran :
C. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Konstruktivistik
merupakan metode pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan
dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman atau
dengan kata lain teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Dalam proses belajarnya pun,
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih
kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
Pembentukan pengetahuan
menurut konstruktivistik memandang subyek untuk aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan
struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi
kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa
harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi. Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
Hakikat pembelajaran
konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa
pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak
menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar
berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna
serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan
perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Teori ini lebih
menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan
sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif
membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap saja tidak akan berkembang
pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna
untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus
diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan
sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus.
Dalam proses ini keaktifan seseorang sangat menentukan perrkembangan
pengetahuannya. Unsur-unsur penting dalam teori konstruktivistik:
Secara garis besar, prinsip-prinsip teori konstruktivistik adalah sebagai berikut:
Proses belajar konstrutivistik dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu: 1) Proses belajar konstruktivistik
Esensi
dari teori konstruktivistik adalah siswa harus menemukan dan mentransformasikan
suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi
itu menjadi milik mereka sendiri. Sehingga dalam proses belajar, siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka dengan keterlibatan aktif dalam kegiatan
belajar mengajar. 2) Peranan siswa
Dalam
pembelajaran konstruktivistik, siswa menjadi pusat kegiatan dan guru sebagai
fasiitator. Karena belajar merupakan suatu proses pemaknaan atau pembentukan pengetahuan
dari pengalaman secara konkrit, aktivitas kolaboratif, refleksi serta
interpretasi yang harus dilukukan oleh siswa sendiri. 3) Peranan guru
Guru
atau pendidik berperan sebagai fasilitator artinya membantu siswa untuk
membentuk pengetahuannya sendiri dan proses pengkonstruksian pengetahuan agar
berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya pada
siswa tetapi guru dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang
setiap siswa dalam belajar. 4) Sarana belajar
Sarana
belajar dibutuhkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan yang telah diperoleh
agar mendapatkan pengetahuan yang maksimal. 5) Evaluasi hasil belajar
Evaluasi
merupakan bagian utuh dari belajar yang menekankan pada ketrampilan proses baik
individu maupun kelompok. Dengan cara ini, maka kita dapat mengetahui seberapa
besar suatu pengetahuan telah dipahami oleh siswa. Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam Pembelajaran :
Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam Pembelajaran :
D. TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Menurut teori
humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan
memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori
humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu
sendiri serta lebih banyak berbiacara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuk yang paling ideal.
Faktor motivasi dan
pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa
motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi
pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori
humanistic berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman
diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.
Teori humanistik
bersifat sangat eklektik yaitu memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori
belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia dan mencapai tujuan yang
diinginkan karena tidak dapat disangkal bahwa setiap teori mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Banyak tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya: 1) Kolb Pandangan Kolb tentang belajar dikenal dengan “Belajar Empat Tahap” yaitu: a. Tahap pandangan konkret Pada tahap ini seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya namun belum memilki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa tersebut, b. Tahap pemgamatan aktif dan reflektif Tahap ini seseorang semakin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya dan lebih berkembang. c. Tahap konseptualisasi Pada tahap ini seseorang mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya dan cara berpikirnya menggunakan induktif. d. Tahap eksperimentasi aktif Pada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata dan cara berpikirnya menggunakan deduktif.
Honey dan Mumford menggolongkan orang yang belajar ke dalam empat macam atau golongan, yaitu: a. Kelompok aktivis Yaitu mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. b. Kelompok reflector Yaitu mereka yang mempunyai kecenderungan berlawanan dengan kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan kelompok ini sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. c. Kelompok teoris Yaitu mereka yang memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya. d. Kelompok pragmatis Yaitu mereka yang memiliki sifat-sifat praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-komsep, dalil-dalil, dan sebagainya.
Menurut Habernas, belajar baru akan tejadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu: a. Belajar teknis (technical learning) Yaitu belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. b. Belajar praktis (practical learning) Yaitu belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. c. Belajar emansipatoris (emancipatory learning) Yaitu belajar yang menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dengan lingkungan sosialnya.
Bloom dan Krathmohl lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajarnya dikemukakan dengan sebutan Taksonomi Bloom, yaitu: a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu: 1) Pengetahuan 2) Pemahaman 3) Aplikasi 4) Analisis 5) Sintesis 6) Evaluasi b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu: 1) Peniruan 2) Penggunaan 3) Ketepatan 4) Perangkaian 5) Naturalisasi c. Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu: 1) Pengenalan 2) Merespon 3) Penghargaan 4) Pengorganisasian 5) Pengalaman
Dalam praktiknya teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
E. TEORI BELAJAR SIBERNETIK
Teori belajar
sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan dengan
teori-teori yang sudah dibahas sebelumnya. Menurut teori ini, belajar adalah
pengolahan informasi. Proses belajar memang penting dalam teori ini, namun yang
lebih penting adalah system informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa.
Asumsi lain adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk
segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat
ditentukan oleh sistem informasi.
Implementasi teori
sibernetik dalam kegiatan pembelajaran telah dikembangkan oleh beberapa tokoh
dengan beberapa teori, diantaranya: 1. Teori pemrosesan informasi Pada teori ini, komponen pemrosesan informasi dibagi menjadi tiga berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya. Ketiga komponen itu adalah: a. Sensory Receptor (SR)
SR merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar.
WM diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian oleh individu. Karakteristik WM adalah :
1) Memiliki kapasitas yang terbatas, kurang dari 7 slot. Informasi yang didapat hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik apabila tanpa adanya upaya pengulangan (rehearsal).
2) Informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya baik dalam bentuk verbal, visua, ataupun semantic, yang dipengaruhi oleh peran proses kontrol dan seseorang dapat dengan sadar mengendalikannya.
1) Berisi semua pengetahuan yang telah dimilki oleh individu
2) Mempunyai kapasitas tidak terbatas
3) Sekali informasi disimpan di dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan “lupa” hanya disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang diperlukan.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik. 2. Teori belajar menurut Landa Dalam teori ini Landa membedakan ada dua macam proses berpikir, yaitu: a. Proses berpikir algoritmik Yaitu proses berpikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus, menuju ke satu target tujuan tertentu. b. Proses berpikir heuristik Yaitu cara berpikir devergen yang menuju ke beberapa target tujuan sekaligus.
Menurut
Landa proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang
hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan diketahui cirri-cirinya.
Materi pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur,
sedangkan materi pelajaran lainnya akanlebih tepat bila disajikan dalam bentuk
“terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajinasi dan berpikir. 3. Teori belajar menurut Pask dan Scott Menurut Pask dan Scott ada dua macam cara berpikir, yaitu: a. Cara berpikir serialis Cara berpikir ini hampir sama dengan cara berpikir algoritmik. Yaitu berpikir menggunakan cara setahap demi setahap atau linier. b. Cara berpikir menyeluruh atau wholist Cara berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi atau mempelajari sesuatu dari yang paling umum menuju ke hal yang lebih khusus. Teori belajar pengolahan informasi termasuk teori kognitif yang mengemukakan bahwa belajar adalah proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung dan merupakan perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu. Namun memori kerja manusia mempunyai kapasitas yang terbatas. Menurut Gagne, untuk mengurangi muatan memori kerja tersebut dapat diatur sesuai dengan: a. Kapabilitas belajar b. Peristiwa pembelajaran
c.
Pengorganisasian atau urutan pembelajaran Tahap sebernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang akan dipelajari, sementara itu bagaimana proses belajar berlangsung dalam diri individu sangat ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah informasi, pemikir, dan pencipta. Berdasarkan itu, maka diasumsikan bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.
F. TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIOKULTURAL
Pembahasan pada teori
ini diarahkan pada hal-hal seperti teori belajar Piagetin dan teori belajar
Vygotsky. Berikut ini pembahasan tentang kedua teori tersebut. 1. Teori Belajar Piagetin
Menurut
Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan syaraf. Kegiatan
belajar terjadi seturut dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur
seseorang. Perolehan kecakapan intelektual akan berhubungan dengan proses
mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan ketahui pada satu sisi
dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman dan
persoalan. Untuk memperoleh keseimbangan atau equilibrasi, seseorang harus
melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Proses adaptasi terdiri dari asimilasi
dan akomodasi. Melalui asimilasi siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dari
luar ke dalam struktur kognitif yang telah ada dalam dirinya.sedangkan melalui
akomodasi siswa memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam dirinya dengan
pengetahuan yang baru.
Teori
konflik-sosiokognitif Piaget ini mampu berkembang luas dan merajai bidang
psikologi dan pendidikan. Namun bila dicermati ada beberapa aspek dari teori
Piaget yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif pada kegiatan
pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi-sosiokultural saat ini.
Dilihat dari asal usul pengetahuan, Piaget cenderung menganut teori
psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam diri individu. Dalam
proses belajar, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi dengan lingkungan
social. Ia mengkonstruksi pengetahuannya lewat tindakan yang dilakukannya
terhadap lingkungan sosial. Di samping itu, dalam kegiatan belajar Piaget lebih mementingkan interaksi antara siswa dengan kelompoknya. Perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi antara siswa dengan kelompok sebayanya dari pada dengan orang-orang yang lebih dewasa. Pembenaran terhadap teori ini jika diterapkan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran akan kurang sesuai dengan perspektif revolusi-sosiokultural yang sedang diupayakan saat ini. 2. Teori Belajar Vygotsky
Pandangan
yang mampu mengakomodasi teori revolusi-sosiokultural dalam teori belajar dan
pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran
seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya,
untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di
balik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal usul tindakan
sadarnya, dari interaksi social yang dilatari oleh sejarah hidupnya.
Mekanisme
teori yang digunakan untuk menspesifikasi hubungan antara pendekatan
sosio-kultural dan pemfungsian mental didasarkan pada tema mediasi semiotik,
yang artinya adalah tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna yang
terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penengah antara rasionalitas dalam
pendekatan sosio-kultural dan manusia sebagai tempat berlangsungnya proses
mental. Menurut Vygotsky, perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran social bersifat primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat derivative atau merupakan turunan dan bersifat sekunder. Artinya, pengetahuan dan perkembangn kognitif individu berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Konsep-konsep penting teori sociogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai dengan revolusi-sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran adalah: a. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut
Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumuh dan berkembang melewati dua
tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang memebentuk lingkungan
sosialnya, dan tataran psikologis di dalam diri orang yang bersangkutan.
Pandang teori ini menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor
primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan
kognitif seseorang. b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Menurut
Vygotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua
tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan perkembangan potensial. Tingkat
perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Ini disebut
kemampuan intramental. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari
kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah
ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman
sebaya yang lebih kompeten, ini disebut kemampuan itermental. Jarak antara
keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan potensial ini disebut zona
perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai
fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada pada
proses pematangan. Gagasan Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini
mendasari perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep kunci
yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat interdependen
atau saling terkait, perkembangan kemampuan seseorang bersifat context
dependent atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai
fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial. c. Mediasi
Ada
dua jenis mediasi, yaitu mediasi metakognitif dan mediasi kognitif. Mediasi
metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk
melakukan regulasi diri, meliputi self planning, self-monitoring,
self-checking, dan self-evaluating. Sedangkan mediasi kognitif adalah
penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan
pengetahuan tertentu atau subject-domain problem serta berkaitan pula dengan
konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin
kebenarannya). Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang ke dalam aliran konstruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan ideologi Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
H. TEORI BELAJAR KECERDASAN GANDA Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar budaya tertentu. Seseorang dikatakan cerdas bila ia dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam hidupnya dan mampu menghasilkan sesuatu yang berharga atau berguna bagi dirinya maupun umat manusia. Howard Gardner memperkenalkan hasil penelitiannya yang berkaitan dengan teori kecerdasan ganda, yaitu teorinya tentang menghilangkan anggapan yang ada selama ini tentang kecerdasan manusia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada satupun kegiatan manusia yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan, melainkan seluruh kecerdasan yang ada. Semua kecerdasan tersebut bekerja sama sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya tentu saja berbeda-beda pada masing-masing orang. Namun kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah. Berikut ini beberapa kecerdasan manusia, yaitu:
Pada dasarnya semua
orang memilki semua macam kecerdasan di atas, namun tentu saja tidak semuanya
berkembang atau dikembangkan pada tingkatan yang sama, sehingga tidak dapat
digunakan secara efektif. Pada umumnya satu kecerdasan lebih menonjol/kuat dari
pada yang lain. Tetapi tidak berarti bahwa hal itu bersifat permanen/tetap. Di
dalam diri manusia tersedia kemampuan untuk mengaktifkan semua kecerdasan
tersebut.
Para pakar kecerdasan
sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan tehadap kecerdasan hanya terbatas
pada aspek kognitif, sehingga manusia telah tereduksi menjadi sekedar komponen
kognitif. Gardner melakukan hal yang berbeda, ia memandang manusia tidak hanya
sekedar komponen kognitif namun suatu keseluruhan. Melalui kecerdasan ganda (multiple
intelligence) ia berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap manusia dari
sudut pandang kecerdasan. Tidak ada manusia yang sangat cerdas dan tidak cerdas
untuk seluruh aspek yang da pada dirinya. Yang ada adalah ada manusia yang
memilki kecerdasan tinggi pada salah satu kecerdasan yang dimilikinya. Strategi pembelajaran kecerdasan ganda betujuan agar semua potensi anak dapat berkembang. Strategi dasar pembelajarannya dapat dimulai dengan: 1. Membangunkan/memicu kecerdasan (awakening intelligence) Yaitu upaya untuk mengaktifkan indra dan menghidupkan kerja otak 2. Memperkuat kecerdasan (amplifying intelligence) Yaitu dengan cara memberi latihan dan memperkuat kemampuan membangunkan kecerdasan 3. Mengajarkan dengan/untuk kecerdasan (teaching for with intelligence) Yaitu upaya-upaya mengembangkan struktur pelajaran yang mengacu pada penggunaan kecerdasan manusia 4. Mentransfer kecerdasan (transferring intelligence) Yaitu usaha untuk memanfaatkan berbagai cara yang telah dilatihkan di kelas untuk memahami realitas di luar kelas atau pada lingkunga nyata
Sedangkan
kegiatan-kegiatannya dapat dilakukan dengan cara menyediakan studi tour,
biografi, pembelajaran teprogram, eksperimen, majalah dinding, serta membaca
buku-buku guna untuk mengembangkan kecerdasan ganda. Upaya untuk mengembangakan
siswa sendiri dapat berupa self monitoring dan konseling atau tutor sebaya akan
sangat efektif untuk mengembangkan kecerdasan ganda. I. TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan(reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment). Dalam kenyataannya, daripada membahas konsep motivasi belajar, penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan (Bandura, 1986 dan Wielkeiwicks, 1995). J. TEORI BELAJAR SOSIAL
Dalam dasawarsa
terakhir, penganut teori
konstruktivisme memperluas fokus
tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran
kolaboratif dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan
antara aspek-aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vyangotsky.
Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001.
Dalam model ini,
"siswa tidak hanya
mengikuti pembelajaran seperti halnya air mengalir
melalui saringan namun
membiarkan mereka membentuk
dirinya." Dalam perkembangannya
muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari para pakar pendidikan. Pijakan awal
teori belajar sosial
adalah bahwa manusia
belajar melalui pengamatannya terhadap perilaku
orang lain. Pakar
yang paling banyak
melakukan riset teori
belajar sosial adalah Albert
Bandura dan Bernard Weiner.
Baik anak-anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi (peniruan) ini. Anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan, ketakutan, dan banyak perilaku lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang lebih dewasa. Banyak orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan mengamati dan kemudian menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat kelahiran Kanada Albert Bandura, pelopor dalam studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar ini memainkan peran yang penting dalam perkembangan kepribadian anak. Bandura menemukan bukti bahwa belajar sifat-sifat seperti keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan, dan ketidak sabaran sebagian dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-temannya. K. TEORI BELAJAR VAN HIELE Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitiandalam pembelajaran geometri. Penelitian yang dilakukan van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. van Hielemenyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi. a) Tahap Visualisasi (Pengenalan) Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut. b) Tahap Analisis (Deskriptif) Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri- ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.” c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional) Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang. d) Tahap Deduksi Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, (2) siswa mampu memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut. Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360° secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut- sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika. Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan: “mengapa sesuatu itu perlu disajikan dalam bentuk teorema atau dalil?” e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan) Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides. Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, van Hiele juga mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya. Menurut van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa. Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Menurut van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian. Adapun fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi, 3) fase eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integrasi. Berdasar hasil penelitian di beberapa negara, tingkatan dari van Hiele berguna untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai Perguruan Tinggi. Van de Walle (1990:270) membuat deskripsi aktivitas yang lebih sederhana dibandingkan dengan deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut Van de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah: a. Aktivitas tahap 0 (visualisasi) Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain: 1) Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan untuk memanipulasi. 2) Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang bervariasi dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan. 3) Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan mendeskripsikan berbagai bangun, dan 4) Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun. b. Aktivitas tahap 1 (analisis) Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain: 1) Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai sifat bangun. 2) Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi 3) Mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama bangun tersebut. 4) Menggunakan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun. c. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal) Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain: 1) Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus pada pendefinisian sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep. 2) Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal, misalnya semua, suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas konversi suatu relasi. 3) Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir dan mulai mencari generalisasi atau kontra L. TEORI BELAJAR BERMAKNA David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausubel memberi penekanan pada proses belajar yang bermakna. Teori belajar Ausubel terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsume-subsume yang telah ada. Ausubel membedakan antara belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu terdapat perbedaan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna, pada belajar menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti. Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988:116) prasyarat-prasyarat belajar bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor, yakni materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna. Dengan demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna. Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel (Teori Belajar Bermakna) Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: a.Pengaturan Awal (advance organizer). Pengaturan Awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat digunakanm siswa dalam membantu menanamkan pengetahuan baru. b.Diferensiasi Progresif. Pengembangan konsep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum,paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terklebih dahulu, dan kemudian barudiberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Menurut Sulaiman (1988: 203) diferensiasi progresif adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar. c. Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu tumbuh dan mengalami diferensiasi. Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif. d. Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsepbaru dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru. Penerapan Teori Ausubel (Teori Belajar Bermakna) dalam Pembelajaran Untuk menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, Dadang Sulaiman (1988) menyarankan agar menggunakan dua fase, yakni fase perencanaan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan pengaturan awal. Sedangkan fase pelaksanaan dalam pemebelajaran terdiri dari pengaturan awal, diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif. Daftar Pustaka Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja.
H, Djali. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. M, Dalyono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Muhibin, Syah. 2002. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sumanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. |