Apa yang dimaksud dengan khittah nu

OLEH MUHYIDDIN

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 sudah berlangsung dengan baik di Lampung pada akhir Desember 2021 lalu. Berdasarkan pada hasil forum tersebut, KH Yahya Cholil Staquf diberi amanah sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Sosok yang akrab disapa Gus Yahya itu menyampaikan komitmen, kepemimpinannya akan selalu menjaga organisasi ini agar tidak terseret dalam ranah politik praktis. Imbauan yang diutarakan alumnus Fisipol UGM Yogyakarta itu sedikit-banyak mengingatkan warga Nahdliyin pada ungkapan “Kembali ke Khittah 1926".

Kata khittah berasal dari khaththa, yang berarti ‘menulis’ atau ‘merencanakan.’ Ia juga bisa dimaknai sebagai ‘garis’ atau ‘jalan'. Bila dikaitkan dengan ormas Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini, istilah khittah bermakna ‘garis-garis perjuangan NU'.

Terminologi tersebut mulai dikenal luas —baik di internal Nahdliyin maupun umumnya Muslimin dan warga Indonesia— sejak 1984. Saat itu, PBNU menggelar Muktamar ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur. Muktamarin berhasil memformulasikan “Khittah NU".

Salah satu poin utamanya ialah melepaskan NU dari ikatan politik praktis. Keterlibatan ormas tersebut pada waktu itu ke dalam dunia politik praktis dianggap muktamarin telah berlebihan. Mereka merasa, jam’iyyah itu makin lama kian meninggalkan komitmen semula sebagai sebuah organisasi sosial-keumatan.

Sesungguhnya, cikal-bakal semangat “Kembali ke Khittah 1926” sudah mencuat jauh sebelum Muktamar 1984. Itu terbaca sejak tahun 1971, yakni ketika rezim Orde Baru berupaya menjinakkan Islam politik.

Pada 1973, Presiden Soeharto menerapkan kebijakan fusi partai-partai politik (parpol). Parpol-parpol yang berhaluan Islam diharuskan bergabung menjadi satu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pada 1979, Muktamar NU di Semarang, Jawa Tengah, turut membahas situasi perpolitikan nasional. Penguasa Orde Baru kian menancapkan hegemoni di tengah umat. Sebagai respons, kaum Nahdliyin dalam forum itu memunculkan dua isu utama, yakni kembali pada Khittah NU dan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Isu ini terus menggelinding sampai kemudian disepakati dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo.

Munas Situbondo pada 1983 itu mempertegas hubungan NU dengan parpol. Banyak elite Nahdliyin yang menyatakan keluar dari PPP. Mereka lantas kembali berkhimdat dalam organisasi sosial-keagamaan. Tindakan para tokoh itu seakan menegaskan, kaum Nahdliyin memang punya hak politik sebagai warga negara, tetapi tidak mau menjadikan NU sebagai wahana politik praktis.

Muktamar NU Situbondo saat itu menghasilkan beberapa keputusan penting. Di antaranya adalah penarikan NU dari politik praktis. Konkretnya, para pengurus PBNU dilarang “dobel jabatan”, yakni secara bersamaan memegang kepengurusan di parpol mana pun.

Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir mengatakan, latar sejarah jargon “Kembali ke Khittah 1926” mencerminkan dialektika antara NU dan dunia politik nasional. Ia mengenang, sesudah Muktamar NU tahun 1979, masih banyak orang-orang di kepengurusan formal NU yang punya kecenderungan politis praktis.

Memasuki awal 1980-an, PPP dilanda konflik internal. Elemen Nahdliyin di sana merasa kehilangan makna di partai hasil fusi yang dipaksakan Orba itu. Maka keinginan untuk merealisasikan “Kembali ke Khittah 1926” semakin menemukan jalannya.

Barulah sesudah Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada 1983, NU secara resmi menyatakan berpedoman pada Khittah 1926. Sejak itu, ormas Islam tersebut memantapkan upaya untuk berlepas diri dari ikatan dengan organisasi politik praktis mana pun. Dengan perkataan lain, afiliasi Nahdliyin dengan PPP sudah berakhir.

Masa Reformasi

Bagaimanapun, situasi berubah seiring dengan runtuhnya Orde Baru. Kehidupan politik menjadi lebih dinamis. Selanjutnya, NU secara struktural tampak kesulitan untuk melepaskan diri dari politik praktis sepenuhnya. Apalagi, para elite PBNU juga menampakkan pengaruhnya, termasuk dalam menunjukkan kepentingan untuk meraup suara Nahdliyin di akar rumput.

Inilah salah satu tantangan yang dihadapi jam’iyyah tersebut pada Era Reformasi. Kini, waktu telah berjalan lebih dari dua dasawarsa sejak lengsernya Orba. Kiai Afifuddin memandang, saat ini banyak ulama dan kiai Nahdliyin yang menggaungkan kembali spirit “Kembali ke Khittah 1926.” Semangat untuk menjaga jarak dari semua parpol.

“Termasuk kembali kepada Khittah itu membuat jarak yang sama dengan berbagai macam partai politik,” ujar Kiai Afif kepada Republika, baru-baru ini.

Diakui atau tidak, lanjutnya, NU pada Masa Reformasi kerap diidentikkan sebagai simpatisan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal, menurut dia, NU idealnya membuat jarak dengan semua parpol.

“Sebagian orang mengeklaim bahwa, katakanlah, PKB identik dengan NU. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa PKB tidak identik dengan NU. NU membuat jarak yang sama dengan partai-partai politik yang lain,” ucap ulama kelahiran Madura, Jawa Timur, itu.

Dengan adanya jajaran baru PBNU, yakni hasil Muktamar ke-34, wujud “Kembali ke Khittah 1926” pun kian tampak. Misalnya adalah pengembalian posisi syuriah di struktural PBNU. Menurut Kiai Afif, peran ulama dan kiai memang sepantasnya mendominasi kepengurusan. Hingga saat ini, posisi pemimpin tertinggi NU pun tetap berada di lembaga syuriah.

“Artinya, di tangan para kiai, para ulama, yang duduk di lembaga syuriah. Itulah NU dikendalikan. Sementara, tanfiziyah itu hanya sebagai pelaksana kebijakan yang sudah dibuat oleh Syuriah. Itulah bagian dari ‘Kembali ke Khittah 1926,’” jelas Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo ini.

Dengan terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketua Umum Tanfiziyah PBNU, menurutnya, semangat Khittah NU 1926 terasa mulai digaungkan kembali. Dalam pelbagai kesempatan, sang ketum memang kerap menyuarakan imbauan bahwa NU tidak boleh lagi terlibat dalam politik praktis.

“Kita melaksanakan keputusan-keputusan muktamar itu, sudah diambil sekian kali sejak tahun 1979. Itu konsisten isinya, bahwa NU harus mengambil jarak dari politik praktis. Itu prinsip,” ujar Gus Yahya kepada Republika di Kantor Pusat PBNU, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Menurut saudara kandung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu, PBNU perlu untuk ikut serta memulihkan tajamnya polarisasi di tengah masyarakat. Setidaknya, sejak penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, publik tampak terpecah ke dalam kutub-kutub politik yang saling “berhadapan".

Bahkan, aroma pertentangan itu terasa pula sampai ke level akar rumput. Karena itu, tegas Gus Yahya, NU ke depannya harus mengambil jarak dari politik praktis. Dengan pertimbangan, jam’iyah ini memiliki basis massa yang besar di Tanah Air.

“Intinya, NU tidak boleh diperalat sebagai senjata politik. Tidak boleh lagi orang nanti ngomong, ‘ini calon NU, lawannya calon adalah bukan-NU.’ Itu tidak boleh. Itu namanya memperalat NU sebagai senjata. Kita nanti berpolitik rasional saja,” ucap cendekiawan Muslim kelahiran Rembang, Jawa Tengah, itu.

Beragam warna

Menjaga jarak tidak berarti menghalangi. Inilah yang tampak dari komposisi kepengurusan PBNU masa bakti 2021-2026. Gus Yahya mengakui, unsur-unsur tanfiziyah tidak hanya diisi kalangan alim ulama pada umumnya. Ada pula di sini, sosok-sosok Nahdliyin yang lama dikenal sebagai politikus atau pejabat di Indonesia.

Menurut Gus Yahya, adanya beberapa tokoh politik di PBNU justru kian menegaskan “Kembali ke Khittah 1926.” Dalam arti, pihaknya mengambil jarak yang setara dengan berbagai sudut kepentingan politik yang ada di sekitar.

Atas alasan itulah, komposisi tanfiziyah NU tetap diisi sejumlah politisi. Gus Yahya mengatakan, inilah strategi PBNU agar semua pihak bisa saling menjaga NU untuk tetap netral dari kepentingan-kepentingan politik praktis. Atau, mengawal agar jam’iyyah ini tidak condong pada satu kubu politik saja, umpamanya.

Bukan hanya dari segi politik-nonpolitik. Dari perspektif gender pun, NU kini cukup menarik perhatian. Pasalnya, untuk pertama kalinya kepengurusan PBNU diisi tokoh-tokoh perempuan. Beberapa Muslimah yang masuk jajaran mustasyar adalah Nyai Nafisah Sahal Mahfudz, Nyai Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid (istri almarhum Gus Dur), dan Nyai Mahfudloh Ali Ubaid.

Pada jabatan A’wan—bagian dari syuriah yang bertugas membantu rais aam—terdapat Nyai Nafisah Ali Masum, Nyai Badriyah Fayumi, serta Nyai Ida Fatimah Zaenal. Bahkan, di tataran tanfidziyah pun ada para Muslimah. Sebut saja, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan putri Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid.

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menyampaikan, dunia membutuhkan langkah-langkah dan solusi dari NU. Oleh sebab itu, PBNU menyusun kepengurusan yang cenderung berbeda dengan periode yang sebelumnya.

"Pada saat dunia sudah sedemikian rupa, tenaga dan pikiran mereka (ibu-ibu) kita butuhkan,” kata Kiai Miftachul.

Serba-serbi Pengukuhan PBNU Kini

Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk periode 2021-2026 sudah ditentukan. Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, pelantikan akan dilakukan bertepatan dengan peringatan hari lahir (harlah) ke-96 NU, yakni pada 31 Januari 2022 nanti.

Adapun rangkaian acara harlah itu sendiri akan berlangsung hingga 17 Februari 2022. “Itu kita mulai dengan kegiatan Harlah sekaligus pelantikan (jajaran PBNU),” ujar ulama yang akrab disapa Gus Yahya itu kepada Republika, baru-baru ini.

Selain itu, Peringatan Harlah ke-96 NU itu juga menjadi kesempatan peluncuran berbagai macam agenda Nahdliyin, baik di level pusat maupun daerah-daerah. Sebagai contoh, akan ada penandatanganan nota kesepahaman antara PBNU dan kementerian.

Selanjutnya, pada 6 Februari nanti ada pencanangan beberapa program kemaritiman di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). “Nanti ada program pengembangan kampung-kampung nelayan,” terang dia.

Berikutnya, pada 12 Februari 2022 PBNU memulai pelaksanaan program lingkungan hidup dan pertanian di Palembang, Sumatra Selatan. Lima hari kemudian, pihaknya akan menginisiasi berbagai macam platform keagamaan di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Dalam hal ini, kerja sama dijajaki dengan Kementerian Agama (Kemenag).

“Dan ini sedang dalam pembicaraan, sejumlah program ekonomi lain juga nanti akan dicanangkan di Bangkalan,” katanya menjelaskan.

Ketua Panitia Pengukuhan PBNU Haji Saifullah Yusuf mengatakan, Presiden RI Joko Widodo telah diundang untuk membuka acara pengukuhan dan pelantikan jajaran PBNU. Di samping itu, Wapres RI KH Ma’ruf Amin juga dijadwalkan hadir. Acara ini pun akan disiarkan langsung melalui kanal-kanal media sosial resmi NU.

Tokoh yang biasa disapa Gus Ipul itu juga mengomentari dicanangkannya Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai lokasi ibu kota negara (IKN) yang baru. Seiring dengan itu, PBNU pun berencana mendirikan markas pusat di sana. “Nanti di Kaltim ini akan ada pencanangan gedung PBNU di Ibu Kota Negara (IKN) baru oleh ketua umum,” katanya.