Apa yang dimaksud dengan Islam rahmatan lil alamin Jelaskan dan berikan contoh dalam kehidupan sehari hari?

Pelaksanaan salat ied dengan tenang tanpa ada kericuhan. Sumber: dokumen pribadi

Secara umum kita mengenal bahwa tujuan setiap agama mengajarkan kebaikan, kasih sayang, dan rasa damai dalam hidup. Hal ini juga berlaku pada agama Islam. Islam mengajarkan kepada para pemeluk-Nya mengenai cara mencapai kebahagiaan yang tersedia di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, hal ini terlihat memilukan karena terdapat beberapa muslim melenceng dari ajaran agama Islam. Dengan ini, akan banyak serangkaian persoalan yang mucul apabila hal ini terus hadir. Melalui pandangan rahmatan lil alamin, kita dapat menemukan kunci dari persoalan tersebut.

Seperti yang kita ketahui melalui surah Al-Ahzab ayat 40, Nabi Muhammad saw. merupakan Nabi terakhir yang membawa agama Islam sebagai penyempurna ajaran sebelumnya. Mengacu pada Al-Anbiya ayat 107, kita disajikan sebuah makna di mana ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. merupakan ajaran penuh rahmat nan mulia, sekaligus agama yang dapat mengubah sifat serta sikap manusia dari yang hina menjadi seorang yang mulia. Dalam agama Islam terdapat konsep rahmatan lil alamin yang dimaknai bahwa agama Islam merupakan agama pembawa rahmat. Sehubungan dengan itu menurut pandangan K. H. Hasyim Muzadi, konsep rahmatan lil alamin merujuk pada keadilan dan perdamaian dunia. Hal ini juga ditegaskan Zaid Al-Iyash yang menyatakan bahwa rahmatan lil alamin adalah bukti bahawa Nabi Muhammad saw. hadir dengan budaya serta sebuah konsep yang dilandaskan dengan rasa cinta, damai, dan kasih sayang bagi seluruh umatnya.

Sayangnya, terdapat pihak yang memaknai kata rahmat dengan kabur. Beberapa mengaitkan rahmat sebagai bentuk keberhasilan atas proses dakwah yang tidak mudah diterima bagi orang yang sulit beradaptasi dengan kebenaran. Pernyataan tersebut menimbulkan sikap setengah hati dalam memaknai rahmatan lil alamin. Mereka terlalu fokus kepada keimanan, dan melupakan hakikatnya sebagai manusia yang sejatinya memiliki sikap humanisme. Sebaliknya, di Islam kita juga dikenalkan konsep hablum minannas, serta hablum minal alam, di mana kita juga harus menjalin hubungan baik sesama manusia serta alam. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan persoalan di masa kini hubungan yang seharusnya terjalin baik malah berakhir ricuh. Banyak diantaranya yang selalu mengaitkan hal tersebut dengan konsep rahmat menurut pandangan yang abstrak.

Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi Indonesia, negara yang akrab dengan beragam kebudayaan, dan dominasi akan pemeluk Islam. Di Indonesia, penerapan rahmatan lil alamin baiknya diterapkan dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan. Hal ini berkaitan dengan semboyan bhineka tunggal ika, sebagai negara yang plural. Bentuk sikap dari hadirnya rahmatan lil alamin sangat sederhana, berikut beberapa bentuk penerapan konsep rahmatan lil alamin dalam kehidupan sejari-hari:

1. menerapkan sikap toleransi

Sikap toleransi sangat diperlukan, terlebih bagi negara yang plural seperti Indonesia. Sikap ini harus ditanam sejak dini agar kedamaian dapat tercipta, dan dirasakan dari masa ke masa. Hal ini juga sejalan dengan nilai rahmatan lil alamin yang bertujuan menciptakan kedamaian.

2. menjauhi sikap diskriminatif

Sikap diskriminatif harus dihindari sebab sikap ini dapat memicu kebencian, dan ketidakadilan. Sikap diskriminatif bertolak belakang dengan nilai rahmatan lil alamin yang menjujung tinggi keadilan bagi sesama, dan tentuya sikap ini tidak selaras dengan Islam.

3. peduli terhadap sesama

Peduli terhadap sesama merupakan salah satu bentuk lain dari kasih sayang. Sikap ini selaras dengan ajaran Nabi Muhammad saw. yang selalu mengajarkan kasih sayang, bahkan di setiap dakwahnya beliau selalu menunjukkan rasa peduli terhadap umatnya.

4. membuang sampah pada tempatnya

Melalui hal sekecil membuang sampah, kita dapat menerapkan konsep rahmatan lil alamin. Membuang sampah pada tempatnya juga berarti menyayangi lingkungan atau hablum minal alam.

Sayangnya, saat ini masih dijumpai beberapa konflik yang membuktikan konsep rahmatan lil alamin tidak diterapkan dengan baik di Indonesia. Hadirnya beragam konflik yang mengatasnamakan agama Islam dengan tujuan mengadu domba selalu ada di setiap tahunnya. Konsep rahmatan lil alamin harus diterapkan dengan saksama. Apabila pemahaman terhadap konsep rahamatan lil alamin salah dan menghadirkan kesalahan persepsi, maka pandangan masyarakat Indonesia dan dunia akan ikut berubah.

Konsep rahmatan lil alamin yang benar adalah konsep yang menyebarkan kebaikan, rasa sayang, cinta, dan kedamaian bagi seluruh umat manusia serta membantu memberikan solusi bagi segala persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Konsep rahmatan lil alamin sejatinya mempertimbangkan keimanan kita terhadap Allah Swt. sekaligus mempertimbangkan hubungan sesama manusia dan alam. Pemberian edukasi mengenai pemahaman rahmatan lil alamin yang benar harus ditanamkan agar dapat membuka pandangan masyarakat terhadap segala kesalahpahaman yang terjadi pada setiap konflik di Indonesia maupun dunia yang mengatasnamakan Islam.

A.Dasar Pemikiran

                Saat ini bangsa-bangsa yang berada di kawasan Asia seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Phipina, Thailand, Kamboja, Miyanmar dan Vietnam berada  dalam sebuah ikatan atau perhimpunan yang disebut Asean Community.  Sebagai sebuah perhimpunan mereka membutuhkan sebuah kehidupan yang aman, damai, rukun dan harmonis, sehingga mereka dapat melakukan berbagai aktivitas, terutama dalam bidang perekenomian. Tanpa adanya sebuah kehidupan yang aman dan damai, berbagai aktivitas kehidupan tersebut akan terganggu, bahkan bisa mengalami kemacetan yang menyebabkan negara mengalami kemunduran.

                Namun demikian kehidupan masyarakat  pada umumnya,  saat ini ditandai oleh keadaan seperti pada awalnya datangnya Islam. Syaikh al-Nadwi dalam bukunya Maa Dza Khasira al-‘Alam bi Inhithath al-Muslimin (Apa Kerugian Dunia Akibat Kemerosotan Umat Islam) mengatakan, bahwa pada saat Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW datang, keadaan dunia tak ubahnya seperti habis dilanda gempa bumi yang dahsyat dan disertai Tsunami. Selain terdapat ribuan rumah yang luluh lantak, rata dengan tanah, dinding yang roboh, pilar-pilar penyangga bangunan yang miring atau bergeser dari tempatnya, atau rumah yang berhamburan,  kaca jendela dan pintu yang pecah, juga jasad manusia tak bernyawa yang bergelimpangan. Al-Qur’an menggambarkan kehidupan manusia pada saat itu berada dalam keadaan fasad (rusak) di daratan dan di lautan (dzahara al-fasad fi al-barr wa al-bahr), kesesatan yang nyata (dlalalin mubin), dalam kegelapan hati (fi dzulumat), bermusuhan (‘ada’an), berada di tepi jurang api neraka (ala syafa hufratin min al-naar), dalam kebodohan (jahiliyah), dan sebagainya.[1] Kehidupan mereka dalam keadaan chaos. Secara akidah mereka menyembah benda-benda yang derajat lebih rendah dari dirinya, dan tidak dapat memberikan manfaat apa-apa; secara sosial, mereka hidup terkotak-kotak dalam suku, golongan dan kasta yang sangat diskriminatif; secara ekonomi, kehidupan mereka hedonis dan kapitalistik, secara politik, kekuasaan berada di tangan otoritas suku tertentu; dan secara budaya, mereka hidup dalam suasa hedonistik dan transaksional.[2]

                Situasi yang demikian itulah yang ingin diatasi oleh Islam. Yakni merubah sebuah kehidupan yang penuh dengan penderitaan menjadi penuh kebahagiaan, sebuah kehidupan yang penuh dengan kemadoratan dan permusuhan menjadi kehidupan yang penuh dengan rahmat dan kasih sayang. Fakta ini diperkuat dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, surat al-Ambiya (21) ayat 107 yang menyatakan: Tidaklah aku diutus melainkan untuk membawa rahmat bagi seluruh alam.

                Dengan merujuk kepada sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an, al-hadis, bukti-bukti sejarah, serta pendapat para mufassir, pakar pendidikan Islam, dan lainnya, makalah ini akan menjelaskan konsep Islam rahmatan lil alamin serta penggunaanya sebagai model pendidikan Islam serta peranannya dalam memasuki Asean Community.

B. Konsep Islam Rahmatan lil Alamin

                Konsep Islam Rahmatan Lil Alamin adalah merupakan tafsir dari ayat 107 surat al-Ambiya (21) sebagaimana dikemukakan di atas. Ayat ini oleh  Ahmad Mushthafa al-Maragy ditafsirkan sebagai berikut. Ai wa maa arsalnaaka bi haadza wa amtsaligi min al-syara’ii wa al-ahkaami all althi biha manaathu al-sa’adah fi al-darain illa rahmat al-naas wa hidayatahum fi syu’un ma’asyihim wa ma’adihim. Artinya: Yakni tidaklah aku mengutus engkau Muhammad dengan al-Qur’an ini dan yang serupa dengan itu berupa syari’at dan hukum yang menjadi pedoman kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, melainkan sebagai rahmat dan petunjuk bagi kehidupan mereka di dunia dan akhirat.[3]

Sementara H.M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya, al-Mishbah, menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan: Rasul adalah rahmat, bukan saja kedatangan beliau membawa ajaran, tetapi juga sosok dan kepribadian beliau adalah rahmat yang dianugerahkan Allah Swt kepada beliau. Ayat ini tidak menyatakan bahwa Kami Tidak mengurus engkau untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau agar engkau menjadi rahmat bagi seluruh alam.[4] Kepribadian Rasulullah SAW yang demikian itu dijelaskan lebih lanjut dalam surat Ali ‘Imran, (3) ayat 159 yang artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammmad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maaafkanlah mereka dan mohonkan ampun mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkalah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” Dengan ayat ini, menurut H.M. Quraish Shihab, Allah sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai pula dengan pernyataan  belau” Aku dididik oleh Tuhanku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya. Beliau adalah rahmat yang dihadiahkan Allah pada seluruh alam.[5]

Kepribadian Nabi Muhammad SAW yang mulia itu tentu saja menjadi rahmat bagi orang yang meneladaninya, memahami, menghayatinya dalam kehidupannya sehari-hari. Yaitu bagi orang yang berakhlak dengan akhlak rasulullah (al-takhalluq bi akhlaa1 al-Rasul ‘ala thaqa al-basyariyah). Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. Sungguh pada diri rasulullah itu terdapat contoh teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan keridlaan Allah dan balasan pahala pada hari akhir. (Q.S. al-Ahzaab, 33:21.) Berkaitan dengan ini terdapat beragam perilaku yang ditampilkan pengikutnya guna meneladani Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar dengan cara membacakan shalawat dan salam kepadanya. Namun orang yang membawa shalawat dan salam ini tujuannya untuk menghormati dan mendapatkan syafa’at (pertolongan) pada hari kiamat, sementara akhlak dan perilaku bertentangan dengan akhlak Rasulullah SAW. Pada hemat penulis, shalawat dan salam pada Rasululllah SAW yang demikian itu tidak akan efektif, karena sifatnya sangat transaksional, dan tidak memiliki dampak positif bagi perbaikan moral. Mengikuti pribadi dan sepak terjang perjuangan Rasulullah SAW itu akan membawa rahmat, karena di dalam kepribadian Rasulullah itu terdapat hal=hal yang membawa kemajuan sebagai berikut.

Pertama, unsur rasionalitas. Maksudnya adalah bahwa keberhasilan Rasulullah dalam perjuananya bukan semata-mata karena beliau seorang Rasul, dekat dan dicintai oleh Allah, lantas apa saja, sekalipun tidak masuk akal, tanpa ada usaha keras, kemudian berhasil. Tentu tidak demikian. Semua kesuksesan Rasulullah karena usaha dan kerja kerasnya yang dilakukan sesuai aturan atau sunnatullah. Sejarah mencatat, bahwa di antara peperangan yang diikuti oleh Rasulullah SAW ada peran yang menang dan ada perang yang kalah. Pada waktu perang uhud misalnya, Rasulullah dan pengikutnya menderita kekalahan luar biasa. Hal ini terjadi karena pada perang uhud ini terdapat sebagian pasukan Rasulullah SAW yang tidak mentaati aturan peran yang ditetapkan Rasulullah SAW. Dengan demikian, menang atau kalah dalam perang itu sangat rasional. Menang karena mengikuti aturan, dan kalah karena tidak mengikuti aturan. Dengan demikian sebuah keberhasilan perjuangan ditentukan oleh doa dan kerja keras. Banyak doa tapi tidak didukung oleh cara kerja yang benar, secara rasional sulit bisa diwujudkan. Contoh rasionalitas lainnya yang relevan terkait dengan mu’jizat yang dimiliki Nabi Muhammad SAW yang berbeda dengan mu’jizat para nabi dan rasul lainnya. Jika mu’jizat para nabi dan rasional lainnya bersifat spektakuler dan ekstra ordinary, seperti membelah laut dengan tongkat oleh nabiMusa As, menghidupkan orang yang sudah mati seperti pada Nabi Isa, maka mu’jizat nabi Muhammad SAW adalah al-Qur’an yang bukan hanya dari segi kata-kata dan kalimatnya, tetapi pada dampak perubahan yang ditimbulkannya bila al-Qur’an tersebut dipahami, dihayati dan diamalkan. Mu’jizat para nabi dan rasul lainnya memang berhasil meyakinkan kenabian dan kerasalannya, serta dapat mencengangkan atau membuat musuh tidak berkutik atau bertekuk lutut, tapi mu’jizat yang demikian itu hanya untuk gagah-gagahan, karena tidak bisa dicontoh oleh para pengikutnya. Hal ini berbeda dengan mu’jizat al-Qur’an tentang isi kandunganya yang luas dan diyakini kebenarannya baik secara teologis maupun empiris, dan sekaligus dapat dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dan dijamin akan membawa keberkahan dan rahmat bagi seluruh alam. Di sinilah letak kehadiran Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Kedua, unsur kecerdasan.  Maksudnya adalah bahwa ketauladan nabi Muhammad Saw yang dapat membawa rahmat bagi yang mengikutinya adalah adanya unsur kecerdasan. Yaitu suatu kemampuan intelektual dan intelegensi dalam ketepatan menganalisa dan mengambil kesimpulan atau keputusan yang tepat dan akurat yang terkadang tidak bisa dicapai oleh kebanyakan otak yang lain. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW pernah mengambil kebijakan melakukan Perjanjian Hudaibiyah yang pada intinya adalah gencatan senjata dengan tujuan untuk memusatkan perhatian dan kekuatan pada kaum Yahudi di Khaibar. Diketahui, bahwa isi perjanjian Hudaibiyah itu ada yang  merugikan bagi ummat Islam, seperti apabila ada orang kafir Quraisy yang tertangkap oleh umat Islam, maka harus dikembalikan, tetapi jika ada orang Islam yang tertangkap oleh kafir Quraisy, maka kafir Quraisy tidak berkewajiban mengembalikan. Kebijakan ini dinilai sebagian pengikut Nabi Muhammad sebagai kurang cerdas, sehingga hampir saja nabi ditinggalkan sendirian, karena dianggap kurang cerdas. Namun Abu Bakar Ash-Shiddieq mengingatkan mereka agar mengikuti Nabi. Dengan perjajian tersebut, pusat perhatian Nabi Muhammad Saw menghadapi pertempuran Yahudi Khaibar yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Dan ternyata, mereka dapat dikalahkan. Melihat keadaan yang demikian, menyebabkan kaum Kafir Kuraisy getar, hilang nyalinya. Keadaan ini nampak, ketika Nabi Muhammad memasuki atau menaklukan kota Mekkah (Fath  al-Makkah), ternyata tanpa mengalami perlawanan, sehingga kota Mekkah dapat dikuasai dengan baik. Di sini nampak dengan jelas, betapa Nabi Muhammad SAW tersebut sangat cerdas. Kecerdasan inilah yang membawa rahmat bagi ummat Islam.

Ketiga, unsur keseimbangan antara hati (heart) berupa spiritualitas dan moral; akal pikiran-wawasan intelektual (head), dan unsur kemampuan teknis (hand). Perpaduan ini juga terjadi dalam setiap pengambilan keputusan. Yakni apa yang akan diucapkan oleh lisan; dikordinasikan lebih dahulu dengan akal pikiran; dan dipertimbangkan lebih dahulu dengan hati nurani. Jika sudah cocok, barulah keputusan tersebut diambil. Dengan cara demikian, maka keputusan tersebut menjadi matang, dan terjadi keseimbangan yang kokoh. Inilah yang dipraktekkan oleh nabi Muhammad SAW, sehingga apa yang dikeluarkannya selalu membawa rahmat bagi umatnya.[6]

Keempat, unsur komprehensif, bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW menyentuh semua aspek kehidupan sebagaimana yang dirumuskan oleh al-Syathibi dalam al-Muwafaqat dengan istilah maqashid al-syar’iyah (tujuan agama) yang mencakup memelihara jiwa (hifdz al-nafs), memelihara agama (hifdz al-din), memelihara akal (hifdz al-‘aql), memelihara harta benda (hifdz al-maal), dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl).[7] Kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi, dan penjabarannya oleh hadis secara keseluruhan ditujukan untuk memelihara hal-hal yang selanjutnya termasuk hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, ajaran ini benar-benar memberikan landasan yang kokoh dalam mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.

Dari empat hal tersebut di atas, seseorang dapat  bera, bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW adalah memberi rahmat bagi seluruh alam. Namun rahmat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW diperoleh bukan dengan cara mengagumi atau memuliakannya saja seperti dengan membaca shalawat atau meminta syafa’at, tetapi yang terpenting adalah melakukan kerja keras, bekerja sesuai aturan, kreatif, inovatif, dinamis dan progressif. Dengan demikian, rahmat yang diperoleh dari Nabi Muhammaf SAW harus memberi dampak bagi timbul etos kerja, kreatifitas dan berusaha sungguh-sungguh.

Secara harfiah, al-rahmat berakar pada kata al-rahman yang mengandung arti riqqat taqtadli al-ihsan ila al-marhum wa qad tusta’malu taaratan fi al-riqqah al-mujarrodah, wa taaratan fi al-ihsan al-mujarradah an al-riffah.  Yaitu suatu sikap kasih simpati yang mendorong untuk berbuat kebaikan kepada orang yang patut dikasi hani, dan terkadang digunakan pada sikap simpati saja, dan terkadang digunakan untuk melakukan kebaikan yang tidak disertai sikap simpati.[8]  Sedangkan kata alamin, menurut Anwar al-Baaz adalah jami’u al-khalaiq . Artinya semua makhluk ciptaan Allah.[9] Sedangkan menurut al-Ashfahany bahwa alam terbagi dua, yaitu alam besar yang mencakup dunia antariksa dan segala isinya; dan yang kedua adalah alam yang kecil, yaitu manusia.[10] Sementara itu H.M. Quraish Shihab mengatakan, bahwa para mufassir memahami kata alam dalam arti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna maupun terbatas. Hidup ditandai oleh gerak, rasa, dan tahu. Ada alam malaikat, alam manusia, alam binatang, alam tumbuh-tumbuhan, tetapi tidak ada istilah alam batu, karena batu tidak memiliki rasa, tidak bergerak, tidak juga tahu, walaupun tentang dirinya sendiri. [11] Namun demikian, pengertian alam dalam arti segala ciptaan alam, termasuk yang tidak memiliki kesadaran, gerak dan kehidupan nampaknya lebih tepat. Karena semua itu ciptaan Allah SWT.

Selanjjutnya arti rahmatan lil alamin dijelaskan oleh Fuad Jabali dan kawan-kawannya. Menururnya, Islam Rahmatan lil alamin artinya adalah memahami al-Qur’an dan Hadis untuk kebaikan semua manusia, alam dan lingkungan. Islam yang dibawa oleh Nabi adalah Islam untuk semua. Islam mengajarkan kasih sayang pada semua makhluk: manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, air, tanah, api, udara dan sebagainya.[12] Islam memandang, bahwa yang memiliki jiwa bukan hanya manusia, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan binatang, karenanya mereka itu harus dikasihani. Tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa makan (al-ghaziyah), tumbuh (al-munmiyah), dan berkembang biak (al-muwallidah) Sedangkan binatang selain memiliki jiwa sebagaimana jiwa tumbuh-tumbuhan, juga memiliki jiwa bergerak (al-muharrikah), dan menangkap (al-mudrikah) yang terdiri dari menangkap dari luar (al-mudrikah min al-kharij) dengan menggunakan pancaindera; menangkap dari dalam (al-mudrikah min al-dakhil) dengan indra bersama (al-hissi al-musytarak), daya representasi (al-khayal), daya imajinasi (al-mutakhayyialh), estimasi (al-wahmiyah), dan  rekoleksi (al-hafidzah).[13] Dengan pandangan kejiwaan ini, maka Islam mengajarkan harus santun kepada tumbuh-tumbuhan dengan cara memberikan udara untuk bernafas, sinar matahari yang cukup, pupuk dan disiram air yang cukup dengan penuh kelembutan. Dengan kasih sayang yang demikian itu, maka tumbuh-tumbuhan, pohon atau bunga terbut daunnya akan lebat, batangnya akan kuat, rantingnya akan rindang, dan  buah serta bunganya akan mekar dengan segar dan mewangi yang melambangkan ucapan terima kasih kepada yang melakukannya. Demikian pula kasih sayang dilakukan kepada binatang dengan cara memberi makan, minum, tempat tinggal, perawatan kesehatan, pelatihan dan sebagainya. Di dalam riwayat hadis dinyatakan, tentang seorang wanita pelacur masuk syurga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan; dan seseorang yang disiksa di dalam kubur, karena menyiksa seekor kuncing yang diikatnya dan tidak diberi makan hingga mati. Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menegur seorang sahabat yang memberi beban yang terlalu berat terhadap seekor unta hinga perutnya menyentuh tanah. Nabi berkata kepada sahabat itu: Ittaqillah fi al-bahaim farkabuha shalihatan wa zabahuha shalihatan. Artinya: Bertakwallah kamu di dalam memperlakukan binatang ini, tunggangilah dengan wajar, dan sembelihlah dengan menyenangkan. Jika kepada tumbuh-tumbuhan dan binatang saja Islam melarang menyakitinya, apalagi terhadap manusia. Iman yang tertanam dalam jiwa manusia harus dibuktikan dengan amal shalih, sikap yang amanah, jujur dan terpercaya. Iman tanpa amal shalih dianggap iman yang palsu. Selanjutnya ajaran ibadah shalat misalnya harus menumbuhkan sikap rendah hati, mawas diri, rasa syukur, dan kasih sayang. Hal ini lahir dari pemahaman yang mendalam dari makna gerakan, bacaan dan ucapan yang terdapat dalam ibadah shalat. Demikian pula ibadah puasa harus melahirkan manusia yang bertakwa yang antara lain sikap yang merasa diawasi Tuhan. Demikian pula  zakat mendorong sikap simpati, empati dan kepedulian sosial. Sedangkan ibadah haji, mengajarkan sikap persaudaraan dan memberikan rahmat dan manfaat bagi seluruh manusia di dunia.[14]

Islam sebagai rahmatan lil alamin ini secara normatif dapat dipahami dari ajaran Islam yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan akhlak. Akidah atau keimanan yang dimiliki manusia harus melahirkan tata rabbaniy (sebuah kehidupan yang sesuai dengan aturan Tuhan), tujuan hidup yang mulia, taqwa, tawakkal, ikhlas, ibadah. Aspek akidah ini, harus menumbuhkan sikap emansipasi, mengangkat harkat dan martabat manusia, penyadaran masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, harmoni dalam pluralisme.[15]

Sementara itu Fethulleah Gulem mengatakan, bahwa bukti Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam adalah dengan diutusnya seorang Rasul dan diturunkannya al-Qur’an yang dapat membantu manusia dalam menjawab berbagai masalah yang tidak dapat dijawab oleh akal pikiran.[16]

Islam rahmatan lil alamin selanjutnya dapat dilihat dalam praktek ajaran Islam dalam realitas sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya generasi pertama. Nabi Muhammad SAW senantiasa berfihak kepada kaum mushtad’afin, kepedulian sosial, fakir, miskin dan orang-orang yang terkena musibah. Guna menjamin terpeliharanya hak-hak asasi manusia lebig lanjut dapat dibaca dalam Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW semasa di Madinah dan disepakati oleh seluruh perwakilan komunitas penduduk Madinah. Isi Piagam Madinah  yang sebanyak 47 pasal itu antara lain mengandung visi etis, solidaritas, persatuan, kebebasan, pengakuan supremasi hukum, keadilan, serta kontrol sosial untuk mengajak kepada kebaikan dalam mencegah kemungkaran.[17]

Dalam prakteknya, Nabi pernah memerintahkan mengasihi tawanan Perang Badar secara lebih baik, seperti yang dilakukan terhadap Abu Azis. Ia seorang tawanan Perang Badar yang diberi makanan yang keadaanya lebih baik dari makanan yang dimakan orang yang menawannya. Nabi Muhammad saw juga tidak pernah kehilangan kasih sayangnya karena mendapatkan perlakuan buruk dari musuh-musuhnya. Di hadapan Nabi, orang yang jahat dibalas dengan kebaikan. Dalam sebuah riwayat tercatat, nama Suhail bin Amr yang diusulkan oleh Umar bin Khattabm agar ditarik lidahnya agar berhenti menyebarkan fitnah dan melakukan perlawanan pada Nabi. Namun Nabi berkata: Aku tidak akan memutilasinya, atau Tuhan akan memutilasiku walau aku seorang Nabi.[18]

Contoh praktek Islam rahmatan lil alamin dapat dijumpai dalam perilaku dan hubungan antara orang Muhajirin dan Anshar. Di dalam surat al-Hayr (59) ayat 9 dinyatakan, bahwa orang-orang Anshar yang telah beriman kepada ajaran Nabi Muhammad SAW sangat menyintai orang-orang Muhajirin, mereka memberikan berbagai kebutuhan orang Muhajirin, dengan ikhlas, walaupun mereka hidup dalam kekurangan. Berkaitan dengan ayat ini, Ahmad Musthafa al-Maraghi menghubungkannya dengan hadis riwayat Bukhari, Muslim, Turmudzi dan al-Nasai dari Abi Hurairah yang menceritakan kisah orang Anshar bernama Abu Thalhah yang menjamu tamunya orang Muhajirin dengan makanan bayinya, karena ia tidak punya makanan lain (karena miskinnya) kecuali makanan bayi.[19]

Dalam konteks dunia, Islam rahmatan lin alamin nampak dalam bentuk ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban Islam yang dibangun oleh umat Islam berabad-abad yang dimanfaatkan oleh Barat guna membangun kejayaan bangsanya. Dalam buku Influence of Islam on World Civilization, Ziauddin Ahmad mengatakan, bahwa Islam mempengaruhi para pemikir politik tentang Hak-hak asasi manusia, pemikiran Rousseau tentang Trias Politica (Kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) konsep tentang Tuhan, agama alam, dan pemikiran filsafat John Locke. Islam juga mempengaruhi kondep pemerintahan yang adil (trusted). Demikian pula pemikiran sosiologi dari Ibn Khaldun misalnya mempengaruhi pemikiran John Dewey, kehidupan yang terang benderang, koncep tentang pragmatisnya. Ajaran Islam juga mempengaruhi pemikiran Rabendranat Tagore, literatur berbahasa Inggris, kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan angka Arab, kedokteran, ilmu bedah, dan sejumlah tenaga medik terkemuka lainnya.[20] Atas dasar itu, maka sebagian orientalis yang jujur ada yang berkata, bahwa Barat seharusnya berterima kasih kepada dunia Islam yang telah memberikan sumbangan yang luar biasa bagi kemajuan bangsa dan negaranya, bahkan di antara mereka ada yang berkata: andaikata Barat mengambil ilmu, kebudayaan dan peradaban Islam lebih awal, maka kemajuan Eropa dan Barat akan lebih maju lagi dibandingkan dengan masa sekarang.

Selanjutnya dalam konteks Indonesia, kehadiran Islam juga telah memberikan rahmat bagi pengembangan  bahasa, tradisi, budaya dan seni yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Islam misalnya sangat kental mempengaruhi budaya Melayau. Bahasa Melayu yang kemudian diangkat menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia adalah berakar pada bahasa Islam (bahasa Arab), seperti kosakata majelis, kursi, musyawarah, izin, daftar, adil, makmur, hakim, adat, kertas dan sebagainya adalah berasal dari bahasa Arab.[21] Selanjutnya Islam juga mempengaruhi Kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh Tigo Selo: Raja Alam Pagaruyung, Raja Adat di Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Selain itu di setiap nagari di Minangkabau harus memiliki masjid, pasar, sawah ladang, jalan, tempat pemandian dan balai adat. Agama di Minangkaukabau benar-benar telah menyatu dan bersinergi dengan budaya lokal, sebagaimana terdapat dalam ungkapan: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.[22]

Lebih lanjut Islam juga telah menjadi rahmat bagi tegaknya pilar-pilar Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI). Selain ikut serta mengusir para penjajah dengan mengangkat senjata dan berperang mengorbankan jiwa dan raga, Islam juga telah menyemangati para tokohnya untuk berkontribusi dalam merumuskan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Umat Islam dengan jiwa besarnya rela mengorbankan semangat ideologisnya dengan menerima Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai falsafah dan dasar negara; serta tidak memaksakannya menjadikan Islam sebagai dasar negara.[23] Berkaitan dengan Bhineka Tunggal Ika ini (alm.) Gusdur (Panggilan akrab Abdurrahman Wahid pernah berkata: Orang justeru harus bangga dengan pikiran-pikirannya sendiri yang berbeda dengan orang lain. Selain itu, Gus Dur juga menolak ideologisasi Islam, karena tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia yang dikenal dengan menerima kaum Muslim moderat. Islam di Indonesia muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan.[24]

Namun demikian, pelaksanaan Islam rahmatan lil alamin sebagai sebuah konsep, dalam implementasinya sering diganggu oleh hal-hal sebagai berikut. Pertama, diganggu oleh subjektifitas kepentingan pribadi. Dalam kaitan ini menarik untuk dicatat tentang kasus pembagian harta rampasan perang Hunain. Menurut sejarah perang Hunain adalah perang yang membawa hasil ghanimah yang paling besar, yaitu berupa 6000 tawanan, 24.000 unta, dan 40.000 kambing. Mereka meminta Nabi agar membagikan harta tawanan perang dan harta rampasan perang tersebut. Namun Nabi menawarkan 2 pilihan. Pertama, tetap mengambil hak mereka untuk membawa pulang tawanan tersebut, atau yang kedua, dengan pengorbanan uanh besar demi terwujudnya ajaran kasih dan sayang, mereka mengembalikan tawanan tersebut kepada keluarganya masing-masing. Kaum Muhajirin dan Anshar mematuhi opsi kedua yang ditawarkan Nabi. Namun, pasukan dari Bani Tamim, Bani Fizarah dan Bani Sulay menolak, dan tetap meminta tawanan perang tersebut. Mereka berteriak-teriak sambil  mendorong-dorong nabi hingga jubahnya dijambak, dan dirinya tersandar ke pohon, nabi dianggap tidak adil. Namun nabi tetap sabar, dan memberikan pengertian secara persuatif, sampai akhirnya mereka menyesali diri atas sikapnya itu dan menangis.[25] Kisah ini menurut para Ulama sebagai sebab turunnya ayat 159 surat Ali Imran sebagaimana telah disebutkan di atas.

Kedua, pelaksanaan Islam rahmatan lil alamin sering diganggu oleh mereka yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi; mereka ingin memaksakan Islam sebagai dasar negara, dan memberlakukan hukum Islam secara formal dan kaku. Sikap ini pada gilirannya kurang toleran, dan cenderung memaksakan kehendaknya sendiri, dan menganggap paham lainnya sebagai yang tidak punya hak hidup. Sikap ini selanjutnya cenderung berbenturan dengan sikap lainnya dan mudah terpecah belah, dan saling bermusuhan.

Ketiga,  Islam rahmatan lil alamin sering diganggu oleh gambaran negatif atau stigma yang diberikan pihak lawan untuk memberi citra ajaran Islam sebagai ajaran yang keras, kejam dan diskriminatif. Stigma ini misalnya diberikan kalangan Barat dengan memberikan tafsir secara hitam putih terhadap ajaran Islam, terutama ayat-ayat al-Qur’an tentang jihad. Mereka misalnya mengatakan, bahwa Islam disebarkan dengan pedang, dalam arti dengan paksaan dan kekerasan; ajaran Islam tentang perbedaan dalam pembagian harta warisan bagi wanita yang jumlahnya lebih kecil darpada yang diterima kaum pria diartikan bahwa ajaran Islam bersikap diskriminatif. Selanjutnya ajaran Islam yang membolehkan kaum pria berpoligami serta menjatuhkan talak, dianggap sebagai sikap yang tidak adil dan tidak manusiawi.

Keempat, Islam rahmatan lil alamin juga terkadang diganggu oleh mereka yang memahami dan mengamalkan ajaran Islam lebih mengutamakan syari’at daripada hakikat atau tujuannya.[26] Dalam kaitan ini menarik suatu kisah berikut ini. Di sebuah desa, terdapat seorang wanita yang tidak diperkenankan ikut berkorban sapi bersama-sama kaum pria, dengan alasan, karena nanti di akhirat ketika mau ke syurga naik sapi tersebut menjadi terganggu, gara-gara ada seorang wanita yang tergabung dengan kaum pria yang bukan muhrim menaiki kendaraan sapi bertujuh bersama-sama. Paham yang mengedepankan syari;at dan melupakan hakikat ini dapat mengganggu terlaksananya Islam rahmatan lil alamin. Itulah sebabnya, Ahmad Nadjib Burhani, dalam bukunya Islam Dinamis, banyak menggugat doktrin agama yang dianggap membatu, dengan cara mengedepankan visi transformatif al-Qur’an sebagai kitab yang memberikan hudan (petunjuk), syifa’an (obat pencerah jiwa), nur (cahaya kebenaran), mengeluarkan dari kegelapan, kebodohan, dan sebagainya.

Untuk itu, pelaksaaan Islam rahmatan lil alamin membutuhkan sebuah sikap yang bijaksana dalam mengelolanya. Yaitu sikap yang profesional, tidak mudah terpancing, tidak emosional, tetapi tetap sabar sambil memberikan pemahaman yang lengkap tentang Islam. Pelaksanaan Islam rahmatan lil membutuhkan rasionalitas, penguasaan diri, sabar, terus mencari jalan keluar, persuasi, pema’af, kasing sayang, husn al-dzann (berbaik sangka), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), adil, demokratis, take and give. Karena demikian sulitnya mengelola Islam rahmatan lil alamin ini, maka tidaklah mengherankan jika kadang-kadang timbul gejolak dan letupan yang menggambarkan tidak efektifnya Islam rahmatan lil alamin. Peristiwa saling penyerangan dan pembakaran rumah ibadah, larangan mendirikan rumah ibadah, penyerangan terhadap aliran agama yang dianggap tersebut, dapat dikatakan sebagai gangguan dari pelaksanaan Islam rahmatan lil alamin, dan sekaligus kuatnya gangguan tersebut serta terbatas daya tangkal dan kemampuan mengelolanya.

Dengan mengemukakan fakta-fakta tersebut di atas, dapat diketahui, bahwa Islam rahmatan lil alamin telah memiliki jasa dan kontribusi yang besar dalam menyatukan hati, pikiran dan gerak langkah umat Islam yang menghasilkan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan yang manfaatnya bukan hanya dirasakan oleh ummat Islam sendiri, melainkan untuk seluruh umat manusia. Islam rahmatan lil alamin tidak hanya telah membawa kemajuan dunia Islam, tetapi juga dunia Eropa dan Barat. Islam rahmatan lil alamin lebih lanjut telah pula ditransformasikan dan dipraktekkan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang menerima kesatuan dalam keragaman, moderasi, toleransi, rukun, aman dan damai.

C. Asean Community

                Secara umum, Masyarakat ASEAN (Asean Community) adalah merupakan sebuah perkumpulan atau perhimpunan negara-negara yang terdapat di kawasan ASEAN yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Kamboja, Vietnam dan Laos untuk mengubah ASEAN menjadi sebuah kawasan yang stabil, makmur dan kompetitif dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Namun karena aspek ekonominya yang lebih menonjol, maka  istilah yang ditampilkan adalah MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). MEA ini selanjutnya diartikan sebagai tempat di mana sepuluh negara ASEAN datang bersama-sama untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi semua orang. Pembangunan Asean Community ini dipercepat pelaksanaannya pada tahun 2015 dan ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu komunitas politik dan keamanan, komunitas ekonomi dan komunitas sosial dan budaya Asean. Setiap pilar utama ini mempunyai tujuan masing-masing, namun dalam kenyataannya, komunitas ekonomi lebih menonjol dibandingkan kominitas lainnya. Karena faktor ekonomi yang menonjol, maka pembangunan sektor ekonomi lebih diprioritaskan dengan ditandai oleh lima hal sebagai berikut. Pertama, adanya pasar tunggal dan basis produksi yang meliputi kebebasan dalam menjual barang, jasa, investasi, modal dan tenaga terampil. Adanya pasar tunggal pada empat bidang ini, menyebabkan terjadinya persaingan di antara negara-negara ASEAN tersebut semakin ketat. Yaitu persaingan untuk merebut pasar dunia, menjual atau memasarkan barang, jasa, tenaga kerja, investasi dan sebagainya. Kedua, adanya ekonomi yang kompetitif, yaitu bahwa seluruh negara di kawasan ASEAN menjadi pasar atau pusat kegiatan dalam melakukan transaksi secara bebas. Ketiga, adanya pembangunan ekonomi yang setara. Yakni bahwa setiap negara di kawasan ASEAN memiliki peluang yang sama untuk maju dalam keadaan yang kompetitif. Keempat, adanya integrasi ke dalam ekonomi global yang ditandai oleh adanya persaingan yang ketat, kasaling-tergantungan, penggunaan teknologi canggih, dan masuknya budaya global:hedonisme materialisme, pragmatisme, transaxional, materialistik dan sekularistik. Menghadapi keadaan yang demikian, hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang seberapa jauh warga Indonesia memahami Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 menunjukan hasil yang tidak menggembirakan. Banyak responden yang belum memahami MEA 2015.[27]

                Selain masyarakat Indonesia belum memahami MEA tersebut Indonesia juga masih memiliki berbagai kelemahan dalam menghadapi MEA tersebut, antara lain. Pertama, meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang tidak sebanding dengan kemampuan menyediakan berbagai kebutuhannya, termasuk kebutuhan pokok seperti beras; kedua, masih rendahnya produk barang dan jasa yang dihasilkan Indonesia; ketiga, masih lemahnya infra-struktur yang dimiliki seperti kualitas jalan dan pelabuhan; keempat, masih tergantungnya Indonesia pada produk inport; kelima, masih cenderung mengerjar pertumbuhan ekonomi jangka pendek daripada ekonomi jangka panjang, keenam, masih rumitnya birokrasi dalam memperoleh perizinan usaha; ketujuh, masih kurangnya tenaga profesionall kedelapan, masih belum link dan mach-nya dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industrui (Dudi); kesembilan, masih minimnya lulusan perguruan tingi yang mau terjun ke bidang usaha wiraswasta.[28] Namun di samping memiliki kelemahan, Indonesia juga memiliki berbagai kekuatan yang patut diperhitungkan dalam menghadapi MEA. Kekuatan tersebut antara lain: pertama, memiliki pasar yang besar sebagai akibat dari besarnya jumlah penduduk; kedua, sumber daya alam yang melimpah; ketiga, pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, keempat, pengalaman sebagai bangsa pedagang, kelima, jumlah produk lokal yang variatif dan melimpah; keenam, jumlah lulusan perguruan tinggi yang dapat didorong berwirausaha; ketujuh, situasi keamanan yang relatif stabil, kedelapan, kepemimpinan nasional sebagai pekerja keras, dan kesembilan, budaya penggunaan teknologi canggih yang relatif tinggi.[29]

D. Model Pedidikan Islam Berbasis Rahmatan Lil Alamin untuk  Memasuki MEA

                Jika konsep Islam rahmatan lil alamin sebagai dikemukakan di atas dihubungkan dengan berbagai tantang dan peluang, serta kelemahan dan kekuatan yang dimiliki bangsa Indonesia, dan juga kondisi objektif pendidikan Islam yang masih membutuhkan revitalisasi,[30] maka model pendidikan Islam yang diperlukan guna menghadapi MEA adalah model pendidikan yang berbasis Rahmatan lil alamin yang ditandai oleh ciri-ciri program sebagai berikut.

                Pertama, dengan mengembangan pendidikan Islam damai. Yaitu pendidikan yang diarahkan kepada pengembangan pribadi manusia untuk memperkuat rasa hormat kepada hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Serta perlunya kemajuan pemahaman, toleransi, dan persahabatan antara bangsa, ras, atau kelompok agama, dan akan memajukan aktivitas Perserikatan Bangsa-bangsa untuk memelihara perdamaian.[31] Visi pendidikan damai ini harus tercermin dalam seluruh komponen pendidikan:tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pendidik, pelayanan administrasi, lingkungan dan sebagainya. Tujuan pendidikan harus memanusiakan manusia; kurikulum dirancang bersama guru dan murid;  proses belajar mengajar berlangsung secara manusiawi dan menyenangkan; tenaga pendidik yang profesional, hangat, menarik, inspiratif, humoris dan menyenangkan; pelayanan yang adil, manusiawi dan menyenangan, serta lingkungan yang bersih, tertib, aman, nyaman, dan inpiratif.

                Kedua, dengan mengembangkan pendidikan kewirausahaan serta membangun kemitraan antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri. Sebagaimana pada pada pendidikan Islam damai, maka pada pengembangan pendidikan kewirausahaan inipun harus tercermin pada semua komponen pendidikan. Tujuan pendidikan harus mencakup mempersiapkan lulusan agar bisa hidup di masyakat; dalam kurikulum harus dimuat mata pelajaran teori dan praktek membuka usaha produk barang dan jasa; pada tenaga pendidiknya juga harus melibatkan kalangan pengusaha yang sukses.

        Ketiga, dengan mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang profetik. Hal ini perlu dilakukan, karena ilmu sosial yang ada sekarang mengalami kemandekan, yaitu ilmu sosial yang  tidak hanya menjelaskan fenomena sosial, tetapi seharusnya berupaya mentransformasikannya. Ilmu sosial profetik adalah ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomna sosial, tetapi juga memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Tidak hanya mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Yaitu cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi yang diderivasi dari misi historis Islam sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 110.[32]

                Keempat, dengan memasukan materi atau mata kuliah tentang toleransi beragama dan pluralisme sebagaimana yang terdapat dalam Ilmu Perbandingan Agama. Dengan catatan,  tujuan ilmu perbandingan agama ini bukan untuk memojokan suatu agama, melainkan dengan menunjukan kelebihan dan kekurangan dari agama masing-masing terutama dari segi pengamalannya, kemudian saling berbagi pengalaman dalam kesuksesan menjalankan ajaran agamanya untuk dibagikan kepada orang lain. Melalui ilmu perbandingan agama ini ditegaskan, bahwa perbedaan agama harus dilihat sebagai sebuah keniscayaan atau sunnatullah, yakni atas kehendak Allah SWT. Tuhan tidak mau memaksakan suatu agama pada ummat manusia, karena jika hal ini dilakukan, walaupun sebenarnya Tuhan mampu, maka Tuhan dianggap zalim atau tidak adil, dan ini bisa mengurangi keagungan Tuhan. Tuhan mempersilakan masing-masing umat menjalankan agamanya dengan baik, dan jangan bertengkar. Namun dalam waktu yang bersamaan, perbedaan agama itu tidak boleh menghalangi orang untuk saling menolong, menyayangi, berbagi, bersahabat, dan lainnya atas dasar kasih sayang dan kemanusiaan. Dengan kata lain, bahwa kasih sayang dan kemanusiaan harud berada di atas semua penganut agama. Hal yang demikian perlu ditegaskan, bahwa tujuan utama agama adalah untuk memanusiakan, memuliakan, mengasihi, dan mensejahterakan manusia. Untuk itu,  berbagai faktor yang bisa memicu terjadinya konflik antara penganut agama, seperti perbedaan doktrin, kegiatan dakwah, pendirian rumah ibadah, dan sikap-sikap abad pertengahan, yaitu tertutup, sektarian, dendam, benci, dan rasa permusuhan harus dibuang dan diganti dengan sikap yang senantiasa mencari titik temu dengan mengedepankan sikap yang inklusif, toleran, moderat, pema’af, saling menghormati, berbaik sangka, dan tolong menolong.

                Kelima dengan mengajarkan Islam yang moderat sebagaimana yang telah menjadi mainstreiming Islam yang dianut mayoritas Islam di Indonesia sebagaimana yang dirumuskan kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan lainnya. Di kalangan NU terdapat Islam yang akrab dengan budaya lokal (Islam Nusantara), tanpa mengganggu hal-hal yang fundamental dalam Islam, yakni akidah, ibadah dan akhlak. Paham Islam ini antara lain dijumpai dalam paham Ahli Sunnah wa al-Jama’ah yang bertumpu pada teologi Asy’ariyah, Fikih Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali serta Abu Junaid al-Baghdadi. Di dalam paham Islam Aswaja ini perbedaan pendapat sangat dihormati, tidak ada klaim kebenaran mutlak, yang memiliki kebenaran mutlak hanya Tuhan, dan tidak saling mengkafirkan.[33]

                  Keenam dengan mengembangan pendidikan yang seimbang antara kekuatan penalaran dan pengembangan wawasan intelektual:penguasaan sains dan teknologi (head), pengembangan spiritualitas dan akhlak mulia (heart), dan keterampilan bekerja vokasional (hand), yang antara satu dan lainnya saling menopang. Akal pikiran berperan memberikan landasan rasional, pendidikan keterampilan berperan untuk membantu memasuki dunia kerja, sedangkan pendidikan spiritual dan akhlak berfungsi sebagai jiwa atas asas.[34]

                Ketujuh, dengan mencetak ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Yang dimaksud dengan ulama yang intelek adalah seseorang yang selain memiliki ilmu keagamaan yang luas dan mendalam disertai sikap dan kepribadian yang mulia:taat beribadah, tawadlu, peduli pada masalah sosial kemasyarakatan, juga memiliki wawasan pengetahuan umum, seperti sosiologi, antropologi, sejarah, ekonomi dan sebagainya sebagai alat untuk menjabarkan, mengkontekstuliasasikan dan mengaktualisasikan ajaran Islam dengan kehidupan masyarakat, sehingga ia mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat. Ide mencetak ulama yang intelek inilah yang sesungguhnya menjadi dasar pemikiran dan gagasan berdirinya Perguruan Tinggi Islam  (PTI) yang dimajukan oleh para tokoh pendirinya, seperti Mohammad Natsir, Satiman Wirjosandjoyo dan Mohammad Hatta. Mohammad Natsir misalnya mengatakan, bahwa  pondok pesantren dan madrasah memang dapat menghasilkan orang-orang yang beriman dan berperilaku baik, tetapi acuh terhadap perkembangan dunia.[35] Sementara Satiman mengajukan empat alasan berdirinya PTI. Pertama, kesadaran bahwa masyarakat Islam tertinggal dalam pengembangan pendidikan dibandingkan non-Muslim; kedua, masyarakat non-Muslim maju karena mengadopsi cara Barat dalam sistem pendidikan mereka; ketiga, perlunya menghubungkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional; dan keempat, dalam sistem pendidikan Islam, unsur lokal penting untuk diperhatikan. Sementara itu Mohammad Hatta berpendapat, bahwa pendidikan masjid memiliki kelebihan dalam mengajarkan nilai-nilai agama, namun lemah dalam pengembangan ilmu umum. Sebaliknya sekolah umum mengkonsentrasikan dirinya dalam pengembangan kemampuan rasio dan ilmu-ilmu umum (sains), namun mengacuhkan pendidikan agama, padahal agama memainkan peranan penting dalam “memanusiakan” manusia.[36] Cita-cita mencetak ulama yang intelek ini sempat mengalami penyimpangan (deviasi), yaitu ketika pada tahun 70-an terdapat sekitar 113 IAIN, namun hanya mencetak ulama, sebagaimana yang dilakukan dunia pesantren salafiyah pada umumnya. Penyimpangan ini segera diselesaikan oleh Mukti Ali, pada saat ia menjabat Menteri Agama RI pada tahun 75-an. Ia membubarkan ratusan  IAIN dan menyisakan sekitar 13 IAIN dengan visi mencetak ulama yang intelek. Berkenaan dengan penguatan dalam bidang pengetahuan umum, Mukti Ali mengirim sejumlah dosen agama Islam untuk belajar Islam bukan hanya di Perguruan Tinggi di Timur Tengah, tetapi juga di Eropa dan Barat, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan lain-lain.[37] Ulama yang intelek inilah yang dapat mengawal pendidikan Islam pada MEA agar tidak kehilangan ruh tauhid, ibadah dan akhlak mulianya. Sedangkan yang dimaksud dengan intelek yang ulama, adalah seseorang yang memiliki bidang ilmu umum atau memilih kuliah pada program studi umum, seperti ekonomi, sains, teknologi, fisika, matematika,  kedokteran, farmasi, keperawatan, pertambangan, kelautan, dan sebagainya namun dilandai oleh nilai-nilai keagamaan, khususnya akidah, ibadah dan akhlak mulia, sehingga ia menjadi seorang ilmuwan yang Islami, yaitu ilmuwan yang ahli dalam bidang ilmunya, namun ia seorang yang kokoh akidahnya, taat menjalankan ibadah wajib dan sunnah, dan mulia akhlaknya.[38] Ulama yang intelek dan intelek yang ulama inilah yang pada gilirannya dapat mendukung terwujudnya integrasi ilmu agama dan ilmu umum, serta dapat mengawal dan mengarahkan masyarakat dalam memasuki ASEAN Community.

                Kedelapan, dengan cara menghilangkan berbagai kendala pendidikan Islam yang hingga saat ini belum sepenuhnya dapat diatasi. Fazlur Rahman, misalnya menyebutkan sejumlah problema pendidikan Islam yang dihadapi dunia Islam, yaitu problema ideologis, dualisme dalam sistem pendidikan, bahasa dan problem metode pembelajaran.[39] Orang-orang Islam mempunyai problem ideologis, yakni tidak dapat mengaitkan secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orientasi ideologinya. Akibatnya mereka tidak terdorong untuk belajar, membaca, dan meneliti. Mereka merasa berdosa kalau tidak shalat, tetapi tidak merasa berdosa kalau tidak membaca. Sedangkan problema sistem pendidikan yang  dualistik terlihat  antara lain pada satu sisi terdapat sistem pendidikan “ulama” yang dilaksanakan di pesantren/madrasah yang tidak dapat hidup di dunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman; pada sisi lain terdapat sistem pendidikan “umum” yang dilaksanakan di sekolah yang tidak memiliki jiwa agama: akidah, ibadah dan akhlak mulia. Sedangkan problema bahasa terlihat pada sikap ummat Islam yang hanya meniru dan pengulang apa yang dikatakan orang (Barat) tanpa mampu melahirkan gagasan dan pemikiran yang orisinal. Sedangkan problema yang berkaitan dengan metode pembelajaran nampak dalam pembelajaran yang hanya mengandalkan hafalan dan mengulang-ulang, tanpa disertai kemampuan melakukan pemahaman dan pendalaman secara kritis dan dialektik serta menarik kesimpulan yang komprehensif, dan memajukan gagasan yang baru dan orisinal. Metode hafalan dan pengulangan ini menyebabkan umat Islam bersifat defensif (mempertahankan pendapat lama) dan repetitif (mengulang-ulang), serta tidak mau menggunakan anugerah Tuhan berupa akal pikiran yang sangat  dianjurkan oleh Islam untuk dipergunakan secara maksimal.[40]

                Kesembilan, dengan cara meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif; merubah paradigma pembelajaran yang memadukan antara pendekatan yang berpusat pada dosen (teacher centred) dengan pendekatan yang berpusat pada mahasiswa (student centred) dengan memadukan metide ceramah, eksplorasi, keteladanan dan bimbingan dengan metode pemecahan masalah (problem solving),  penemuan ilmiah (descovery learning), contextual teaching learning (CTL), dan interactive learning[41] yang diarahkan pada kesadaran intelektual dan spiritual serta berbasis pada memuaskan pelanggan: berbasis teknologi canggih (high technology), kerjasama (net working) dengan berbagai perguruan tinggi terkemuka dan lembaga lainnya yang relevan, serta memberikan penguatan pada pembinaan karakter yang efektif. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka merubah tantangan globalisasi dan MEA menjadi peluang. Tantangan tersebut antara lain integrasi ekonomi yang melahirkan pasar bebas yang bertumpu pada persaingan adu mutu; fragmentasi politik yang melahirkan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan perlakuan yang lebih adil, demokratis, bijaksana, dan manusia; kesaling tergantungan (interdependention) yang mengharuskan membangun kerja sama; penggunaan high technology dan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization in culture).[42] Adanya tantangan tersebut harus dirubah dengan menyesuikan paradigma yang terdapat pada berbagai komponen pendidikan secara seimbang. Dalam aspek visi perlu memadukan keunggulan penguasaan sain, teknologi, bahasa asing dan juga moralitas; dalam bidang kurikulum harus memiliki kesimbangan antara penguasaan bidang keislaman, akademik-keilmuan, kearifan lokal, dan kebutuhan lapangan kerja,dalam bidang pembelajaran harus bermutu dan memuaskan pelanggan; dalam bidang pelayanan jasa dan informasi; harus berbasis teknologi canggih sehingga jangkauannya meluas; dalam lingkungan pendidikan harus bersih, tertib, indah, aman, nyaman, inspiratif, kondusif dan imajinatif. Untuk itu diperlukan sebuah team penelitian dan pengembangan (research and development) atau lembaga penjaminan mutu  yang terus meneliti dan mengembangkan pendidikan agar terus berkembang dan bermutu sesuai tuntutan globalisasi dan MEA.

                Kesepuluh, dengan meningkatkan kemampuan dalam menguasai bahasa Asing, khususnya Arab dan Inggris. Bahasa Arab diperlukan untuk menggali khazanah warisan berbagai bidang ilmu agama Islam abad klasik, pertengahan dan modern; sedangkan bahasa Inggris diperlukan untuk menggali berbagai konsep dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan modern. Kemampuan bahasa Asing ini juga diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya diri, serta dapat berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan berbagai bangsa di kawasan Asia dan dunia globall, sehingga akan dapat saling tukar menukar informasi, saling memberikan akses dan kemudahan dalam kerangka Islam rahmatan lil alamin, Kemampuan bahasa asing dalam bidang pemahaman dapat dilakukan dengan cara sering membaca dengan bantuan kamus; kemampuan bahasa asing dalam bidang pendengaran dapat dilakukan dengan sering berkomunikasi dan mendengarkan orang lain berbicara bahasa asing; kemampuan bahasa asing dalam bidang menulis dapat dilakukan dengan cara sering menulis makalah bahasa asing; dan kemampuan bahasa asing dalam bidang percakapan dapat dilakukan dengan cara sering menghadiri dan berbicara dalam forum diskusi, seminar, kuliah umum dan sebagainya dengan menggunakan bahasa asing.

E. Penutup

                Berdasarkan uraian dan paparan tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan penutup sebagai berikut.

                Pertama, bahwa model pendidikan Islam yang berbasis rahmatan lil alamin merupakan salah satu model pendidikan yang paling tepat dalam memasuki masyarakat Asean (Asean Community), karena dengan model pendidikan yang demikian, selain pendidikan Islam dapat menjawab berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh masyarakat Asean dan merubahnya menjadi peluang, juga tidak akan kehilangan identitasnya sebagai pendidikan yang berdasarkan akidah, ibadah dan akhlakul karimah.

                Kedua, pendidikan Islam baik yang dilaksanakan di pondok pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam termasuk yang paling responsif dan berhasil dalam menghadapi berbagai perkembangan masyarakat dari  sejak zaman masuknya Islam ke Indonesia, zaman kerajaan-kerajaan Islam, zaman penjajahan Belanda, Jepang, zaman Orde lama, Orde Baru, hingga era globalisasi dan era masyarakat ekonomi Asean. Hal ini antara lain ditandai oleh adanya kemauan yang kuat untuk melakukan reformasi, reformulasi, reaktualisasi, reinterpretasi, dan inovasi yang terjadi pada berbagai lembaga pendidikan, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam. Dengan cara demikian, pendidikan Islam masih tetap menjadi pilihan masyarakat mulai dari tingkat bawah, menengah hingga kalangan elit. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam masih menjadi rahmat bagi seluruh alam.  Inilah barangkali yang menyebabkan pengantar buku Aneka Pendekatan Studi Agama (Approaches to the Study of Religious) yang diedit oleh Peter Connoly heran dan berkata: Gelombang perhatian terhadap agama belakangan ini meningkat tajam. Agama yang dalam kerangka positivime disetarakan dengan “mitos” dan karenanya diramalkan akan tenggelam dilibas kekuatan “ideologi” dan “ilmu pengetahuan”, kini kian menunjukkan nyalanya.[43]

                Ketiga, bahwa sepuluh macam gagasan yang ditawarkan dalam tulisan ini, yaitu pendidikan Islam damai, pendidikan kewirausahaan, pengembangan ilmu sosial profetik atau Islamisasi ilmu, pengembangan sikap toleransi beragama, pengembangan Islam moderat, pelaksanaan  penguatan pada keseimbangan pendidikan akal:penguasaan sains dan teknologi  (head), hati nurani:mental spiritual, moral dan religiousitas (heart), dan penguatan pada hadr skill berupa keterampilan vokasional (hand), pencetakan ulama yang intelek dan intelek yang ulama, mengatasi problema klasik pendidikan Islam, peningkatan mutu pendidikan dan penguatan bahasa asing, sebenarnya bukanlah ide atau gagasan yang baru, karena dalam realitanya sudah banyak lembaga pendidikan Islam mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi Islam yang melaksaakan gagasan tersebut, bahkan banyak gagasan briliant lainnya yang belum terekam dalam tulisan ini telah tumbuh di berbagai lembaga pendidikan Islam:Pesantren, Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam. Namun, kalau sepuluh gagasan tersebut dilaksanakan secara konsisten dan merata, maka pendidikan Islam akan siap menghadapi masyarakat Asean.

Keempat,  pendidikan Islam berbasis rahmatan lil alamin sesungguhnya sama dengan pendidikan berwawasan semesta yang antara lain dapat dilaksanakan dengan membangun kecerdasan, memperluas wawasan dan etose kerja, serta pendidikan agama yang kontekstual.[44] Pendidikan model ini sebenarnya sudah lama dipratekan di dunia Islam, khususnya pada zaman klasik Islam (abad ke 7 sd 13 M.). Namun keadaan ini mengalami kemandekan karena pergolakan politik, ideologi, sektarian, dan faktor sosial budaya dari luas Islam.

                Kelima, bahwa gagasan mengembangkan konsep pendidikan Islam  yang berbasis rahmatan lil alamin dalam menghadapi Asean Community  yang garis besarnya dituangkan dalam tulisan ini perlu dielaborasi, disempurnakan dan dimatangkan lagi, termasuk dalam penerapannya. Hal ini penting dilakukan, agar umat Islam tidak menjadi objek yang tidak berdaya dalam menghadapi persaingan dan serbuan berbagai produk barang dan jasa yang masuk dari berbagai sesama negara di kawasan Asean, melainkan menjadi subjek yang memandu dan mewarnai perkembangan masyarakat Asean tersebut. Hal ini dapat dilakukan apabila pendidikan Islam dapat memanfaatkan berbagai kekuatan yang dimiliki bangsa Indonesia, dan sekaligus dapat mengatasi berbagai kelemahan yang masih dimiliki. Untuk itu, pada setiap lembaga pendidikan Islam harus memiliki unit penelitian dan pengembangan (research and development unit) yang dikelola oleh orang-orang yang memiliki visi, misi, komitmen, tanggung jawab yang besar, kemampuan konseptual dan teknikal, imajinatif, inspiratif dan bekerja dalam sebuah team work yang handal. Usaha ini perlu didukung oleh semua pihak, terutama kementerian yang terkait dan bertanggung jawab dalam urusan pendidikan Islam, kalangan pengusaha, para pakar pendidikan Islam, para cendekiawan, ulama dan masyarakat pada umumnya.

Daftar Pustaka

Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fulasifatuha, (Mesir: Isa al-Baby al-Halaby wa Syurakauhu, 1395 H./1975 M.), cet. III.

Al-Ashfahany, al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfaadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. th.)

Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial-Politik, (Jakarta:INIS, PPIM, dan Badan Litban Agama Departemen Agama RI, 1998).

Al-Baaz, Anwar, al-Tafir al-Tarbawiy li al-Qur’an al-Karim,  Jilid I, (Mesir: Dar al-Nasyr lil Jama’ah, 1428 H./2007 M.),

Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), cet. III

Ahmad, Ziauddin, Influence of Islam on World Civilization, (Delhi:Adam Publishers & Distributors, 1996), First Edition. 

Ahmed, Akbar, Discovering Islam Makin Sense of Muslim History and Society, (London and New York:Routlege, 1988), First Edition.

Amer Ali, Syeed, Api Islam (The Spirit of Islam), (Jakarta:Pembangunan, 1976), cet. II.

Al-Ashfahany, al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, (Beirut:Dar al-Fikr, tp. th.)

Burhani, Ahmad Nadjib, Islam Dinamis, Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, (Jakarta:Kompas, 2001).

Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta:Kanisius, 2005), cet. V.

Connoly, Peter, (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Approaches to the Study of Religious, 2002), cet. I.

Daftary, Farhad (ed.), Tradisi-tradisi Intelektual Islam, (Jakarta;Erlangga, 2001), cet. I.

Fadjar, A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Fadjar Dunia, 1999), cet. I.

Gulen, Muhammad Fethullah, Islam Rahmatan Lil Alamin, Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia, (Jakarta: Republika, 2011), cet. I.

Haikal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (terj.) Ali Audah dari judul asli Hayat Muhammad, (Jakarta:Litera Antar Nusa, 1992), cet. XIII.

Hawa, Said, al-Islam, (terj.) Abd al-Hayyi al-Kattani, dari judul asli al-Islam, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. I.

Hefner, Robert W., Making Modern Muslim The Politics of Islamic Education in Southeas Asia, (Honolulu:University Hawai Press. 2013);

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus Af, (ed), Islam, Negara & Civil Society, (Jakarta:Paramadina, 2005), cet. I.

-------------, Menjadi di Indonesia 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusntara, (Bandung:Mizan, 2006), cet. I.

Huda, Nor, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media Group, 2007), cet. I.

Ismail, Faisal, Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, (Yogyakart:Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), cet. I.

Jabali, Fuad, dkk., Islam Rahmatan lil Alamin, (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2011), cet. I.

Jabali, Fuad dan Jamhari, IAIN & Modernisasi di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003), cet. I.

Al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuha, Jilid I,  (Beirut: Dar al-Fikr,tp. th.),

Al-Kailany, Majid Irsa, al-Fikr al-Tarbawiy in Ibn Taimiyah, (al-Madinah al-Munawwarah: Dar al-Turats, tp. th).

Kompas, Kamis, 25 Februari, 2016.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung:Mizan, 1411 H./1991 M.) cet. I.

Loise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, (Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 1420 H./1999 M), cet. I,

Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Jakarta:Paramadina, 1988), cet . I.

 ----------------, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), cet. II.

----------------, Bilik-bilik Pesantren sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:Paramadina, 1997), cet. I.

Mazhar, Armahedi, Integralisme sebuah Rekontruksi Filsafat Islam,(Bandung: Pustaka, 1403 H./1983 M.), cet. I.

Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman, al-Rahiq al-Makhtum:Sirah Nabawiyah, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. I.

Muthahhari, Ayatullah Murthada, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta:Sadra International Institute, 1432 H./2011), cet. I.

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta:UI Press, 1986), cet. I.

Nata, Abuddin, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media Group, 2011), cet. I.

-------------------, Metodologi Studi Islam,  (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2013), cet. XX.

-------------------, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I.

-------------------, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014), cet. III.

Pulungan, J. Suyutthi, Universalisme Islam, (Jakarta:Moyo Segoro Agung, 2002), cet. I.

Rahman, Yusuf, Islam and Society in Contemporary Indonesia, (Jakarta:Faculty of Graduate Studies Syaruf Hidayatullah Jakarta, 2005), cet. I.

Saleh, M. Nurul Ikhsan, Peace Education Kajian Sejarah, Konsep & Relevansinya dengan Pendidikan Islam, (Jogjakarta:AR-RUZZ, 2012), cet. I.

Shihab, H.M.Quraish, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung:Mizan, 1416 H./1996 M.), cet. I.

--------------, Tafsir Mishbah,  Jilid I, (Ciputat: Lentera Hati, 1999), cet. I.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:Mizan, 1418 H./1998), cet. III.

Sukma, Rizal and Clara Joewono, Islamic Thought and Movement in Contemporary Indonesia, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2007), First Publication.

Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian terhadap Metode Epistimoilogi dan Sistem Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajarm 2006), cet. I.

Syaltout, Mahmud, Min Taujihat al-Islam, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), cet. I.

------------. Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1960), cet. III.

Al-Syathiby, Abi Ishak Ibrahim Lukhaimy, (w. 790 H.),  al-Muawafaqat fi Ushul al-Ahkaam, (Dar al-Rasyad al-Haditsah, (tp.kota, tp. th.)

Taher, Tarmizi, Ber-Islam secara Moderat, (Jakarta:Grafindo, 2007), cet. I.

Tuwah, dkk, Islam Humanis, (Jakarta:Moyo Segoro Agung, 2001), cet. I.

Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Mayarakat Negara Demokrasi, (Jakarta:The Wahid Institute, 2006 I.), cet. I.


[1] Lihat Syaikh al-Nadvi, Maa Dza Khasir al-Alam bi Inhithath al-Muslimin, (Jakarta: ESESCO, 1988), cet. I, hal. 78=80.

[2] Kehidupan masyarakat yang chaos pada saat awal kedatangan Islam selain dapat dijumpai penjelasannya di dalam al-Qur’an dan hadis, juga dalam fakta-fakta sejarah dan kebudayaan Islam pada khususnya. Lihat misalnya Husain Haikal, Hayatu Muhammad, (Jakarta:Litera Antar Nusa), cet. XIII, hal. 1-21; Syeikh Safiyurrahman al-Mubarakfury,  Sirah Nabawiyah al-Rahiq al-Makhtum, (terj.) Kathur Suhardi, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1997), cet. I; hal. 49-63; Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Kesatu & Dua, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1999), cet. I, hal. 15-29.

[3] Lihat Ahmad Mushthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Juz XVII, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. th).

[4] Lihat H.M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 8, (Ciputat:Lentera Hati, 1430.2009), hal. 159.

[5] Lihat H.M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 8, (Ciputat:Lentera Hati, 1430.2009), hal. 159.

[6] Lihat  Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad Nabi untuk Semua, (terj.) Irwanti dari judul asli Muhammad A Prophet for All Humanity (Jakarta:Pustaka Alvabet, 2005),  cet. I. hal 278; Lihat pula Syaikh Sayiyurrahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Mahtum,  Sirah Nabawiyah (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. I., hal. 475-379; Lihat pula Muhammah Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad (terj.) Ali Audah, dari judul asli Hayatu Muhammad, (Jakarta:Litera Antar Nusa, 1992), cet. XIII, hal. 302-387.

[7] Lihat Abi Ishaq Ibrahim Lukhaimy al-Ursathy al-Syahir al-Syathibi, (w. 790 H.), al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,  Juz II, (Darul Haditsah  Lihat pula Sayyid Hawa, al-Islam, (terj.) Abd al-Hayyi al-Qattani, dari judul asli al-Islam, (Jakarta:Gema Insani Press, 2005), cet. I, hal. 1 sd 72.

[8] Lihat al-Raghib al-Ashfahany, Mu’jam Mufradat Alfaadz al-Qur’an, (BeirutL Dar al-Fikr, tp. th.), hal. 196.

[9] Lihat Anwar al-Baaz, al-Tafsir al-Tarbawoy li al-Qur’an al-Karim, Jilid I,  (Mesir: Dar al-Nasyr lil al-Jami’ah,  1428 H./2007 M.), hal. 2.

[10] Lihat al-Raghib al-Ashfahany, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. th.), hal. 357.

[11] Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2002), hal. 39

[12] Lihat Fuad Jabali, dkk, Islam Rahmatan lil alamin (Jakarta:Kementerian Agama:Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Agama Islam, 2011), hal. 42; Lihat pulaM. Tuwah, dkk, Islam Humanis, (Jakarta:Moyo Segoro Agung, 2001), cet. I;  Muhammad Fethulleh Gulen, Islam Rahmatan lil Alamin, (Jakarta:Republikata, 2010), cet. I.

[13] Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II, (Jakarta:UI Press, 1979), hal. 61-62.

[14] Lihat Imam al-Jurjawi, Hikmatu al-Tasyri’ wa Falsafatuha, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. th), jilid I, hal. 115-268.

[15] Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), cet. II, hal.  38.

[16] Lihat Fethulleah Gulen, Islam Rahmatan lil Alamin, Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia, (Jakarta:Republika, 2011), cet. I, hal. 89.

[17] Lihat J. Suyuthi Pulungan, Universalisme Islam, (Jakarta:Moyo Segoro Agung, 2002), cet. I, hal. 183-184;

[18] Lihat Fuad Jabali, Islam Rahmatan lil Alamin, op, cit, hal. 19.

[19] Lihat Ahmad Mushthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Jilid X,  Juz XXVIII, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. th.),   hal. 44

[20] Lihat Ziauddin Ahmad, Influence of Islam in World Civilization, (Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1996), First Edition, (hal 18 sd 119). Lihat pula Akbar Ahmed, Discovering Islam Making Sense of Muslim History and Society, (London and New York: Routledgem 1988), hal. 227.

[21] Lihat H.M. Nazir, Islam dan Budaya Melayu, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan, 2006), cet. I, hal.  238.

[22] Lihat H.M. Nazir, Islam dan Budaya Melayu, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan, 2006), cet. I, hal.  210.

[23] Lihat Nor Huda, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media Group),   233-241

[24] Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta:The Wahid Institute, 2006), cet. I, hal. 13-14.

[25] Lihat Fuad Jabali, Islam Rahmatan lil Alamin, op, cit, hal. 22-24

[26] Lihat Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), cet. III, hal. 37.

[27] Lihat Kompas, Kamis, 3 Desember, 2015, hal. 9.

[28] Lihat Abuddin Nata, “Pengembangan Kurikulum, Pendidik, Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), “disampaikan pada Acara Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang Jawa Timur, Desember 2016, halaman 5.

[29] Lihat Abuddin Nata, “Pengembangan Kurikulum.”. op.cit, hal. 5.

[30] Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI 2015-2020 pada rapat plenonya Rabu, 24 Februari 2016 di Jakarta menyimpulkan bahwa merangkum problematikan pendidikan yang mendera pendidikan Islam masa kini. Problema besar adalah diskoneksi aspek zikir dan ‘ilmu (kognitif material) serta diskoneksi antara aspek kognitif-material dan amal. Problematika lain, kurangnya kesadaran dan kesiapan sumber daya Muslim dalam persaingan antar-peradaban global. Intensitas benturan paradigma global dan kekaburan identitas juga jadi persoalan tersendiri. Patut juga ditekankan, disain kurikulum meninggalkan khazanah budaya asli Nusantara, sehingga kehilangan sensibilitas pendidikan berkemajuan. Lihat Kompas, Kamis, 25 Februari 2016, hal. 12.

[31] Lihat M.Nurul Ikhsan Saleh, Peace Education, Kajian Sejarah, Konsep dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam, (Jogjakarta:AR-RUZZ Media, 2012), cet. I, hal.  38.

[32] Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam;  Interpretasi untuk Aksi, (Bandung:Mizan, 14111 H./1991), cet, I, hal. 87.

[33] Lihat Rizal Sukma and Clara Joewono, Islamic Thought and Movement in Contemporary Indonesia, (Jakarta:Centre for Strategic and International Studies, 2007), First Publicatin, hal. 11.

[34] Lihat Muhammad Athiyah al-Abrasy, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fulasifatuha, (Mesir: Isa al-Baby al-Halaby wa Syurakauhu, 1395 H./1975 M.), cet. III, hal.  11o. Lihat pula Abd al-Amir Syams al-Din, al-Fikr al-Tarbawiy ind Ibn Khaldun wa Ibn Al-Azraaq, (Beirut:Libanon: Daar Iqra, 1404 H./1984 M.), hal. 89.

[35] Pada tahun 1979 Nurcholish Madjid menulis buku Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan. Di dalam buku tersebut, Nur Cholish antara lain mengangkat sejumlah masalah yang dihadapi pesantren, antara lain kesenjangan pesantren dengan dunia luar, kondisi lingkungan yang kotor, kumuh dan semrawut, penghuni dan santri yang kurang memiliki wawasan hidup bersih dan sehat, kurikulum yang melulu keagamaan, kepemimpinan yang berbasis karismatik, personal dan religio feodalisme yang cenderung sentralistik dan minus kecakapan teknis; dan alumninya yang kurang memiliki kecakapan dan keterampilan kerja vokasional. Kondisi pesantren yang seperti inilah yang ada pada saat PTI didirikan. Namun di masa sekarang, keadaan pesantren sudah amat jauh berubah; keadaannya sudah cukup membanggakan dari semua aspeknya, sehingga telah banyak dari kalangan masyarakat  menengah ke atas yang menyekolahkan anak-anaknya di pesantren; Lihat pula Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I., hal. 197-216.

[36] Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003), cet. II, hal. 3 sd 5.

[37] Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003), cet. II, hal. 10; Lihat pula Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial Politik, (Jakarta:INIS, PPIM, dan Badan Litbang Departemen Agama RI, 1998), hal. 284-289.

[38] Dewasa ini sudah terdapat sejumlah program pengembangan dan pendalaman serta pengamalan nilai-nilai religiousitas, moralitas dan spiritualitas di berbagai kampus perguruan tinggi Islam dan perguruan tinggi umum, seperti keharusan semua lulusannya, tak terkecuali dari jurusan atau prodi umum, agar fasih dalam membaca al-Qur’an dan memimpin do’a, tekun dan terampil dalam menjalankan ibadah wajib dan sunnah, memimpin shalat berjama’ah, menyampaikan khutbah atau taushiyah, serta menampilkan perilaku dan akhlak mulia yang tercemin dalam tutur katanya yang santun, pakaian yang dikenakan dan  perilakunya yang ramah dan santun, dan memiliki wawasan tentang keislaman yang memadai dan sejalan dengan mainstriming Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang toleran, moderat, dan inklusif. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur, dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, misalnya, tercatat sebagai perguruan tinggi yang memperhatikan aspek pembinaan religiousitas Islami yang cukup baik. Perguruan Tinggi Islam dan Perguruan Tinggi Umum lainnya juga menginginkan adanya penguatan aspek religiusitas dan spiritualitas yang demikian itu, namun secara umum belum efektif, dan terkadang kurang sejalan dengan faham Islam mainstreiming di Indonesia, yaitu Islam yang rahmatan lil alamin.

[39] Lihat Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistimologi dan Sistem Pendidikan, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. I, hal. 172.

[40] Akal dalam pengerrtian Islam, tidaklah otak, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya yang sebagai digambarkan dalam al-Qu’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan. Lihat Harun Nasution,  Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. II, hal. 13; Lihat pula Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media Group, 2011), cet. I.  hal. 42; Metodologi Studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2013), cet. XX, hal.42-46;

[41] Lihat Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta:Kencana Prenada Group, 2014), cet. III, hal.243-279;

[42] Lihat Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, (Jogjakarta:Kanisius, 2005), cet. V, hal. 27-32; Lihat pula  A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam,  (Cipayung:Fadjar Dunia, 1999),  cet. I, hal. 40-51; Robert W. Hefner, Making Modern Muslims The Politics of Islamic Education in Southeas Asia,  (HonoluluL University of Hawai Press, 2009), cet. I, hal. 9-11.

[43] Lihat Peter Connoly (ed.) Aneka Pendekatan Studi Agama, (terj.) Imam Khoiri, dari judul asli Approaches to thr Study of Religion, (Yogyakarta:LkiS, 2002), cet. I, hal. v

[44] Lihat A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Fadjar Dunia, 1999), hal. 27, 36, 45 dan 137.