Apa yang anda ketahui tentang dpd

Oleh :  Zul Terry Apsupi,SS

(Ketua Bawaslu provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah entitas lembaga tinggi negara yang telah terbentuk berdasarkan amanat UUD 1945. Lembaga ini memang memiliki fungsi yang sama seperti DPR RI. Tuntutan reformasi melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut terjadi dalam kelembagaan negara dengan bertambahnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD). Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, secara yuridis sebagai dasar kehadiran lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D. Sebagai tindaklanjut dari Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 14 tahun 2014 (UU MD3).

Berdasarkan diskursus tentang DPD RI terkait dengan penguatan fungsi dan kewenangannya memang masih hangat untuk di bicarakan, apalagi dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, dimana tafsir Mahkamah tetap berpendapat bahwa DPD “hanya” memiliki kewenangan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang serta membahasnya, dan tidak untuk klausul ikut serta dalam pengesahan Undang-Undang. Sementara masih terkait dengan keputusan tersebut, Mahkamah juga mengabulkan permohonan DPD dan menyatakan bahwa UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945, terkait dengan hilangnya kewenangan yang dimiliki oleh DPD, padahal sudah termaktub dalam UUD 1945.

DPD Pasca Putusan MK

Perubahan peta politik di DPR RI tidak dapat dinafikkan adalah sebagai pangkal dari lahirnya UU nomor 14 tahun 2014 tentang MD3. Terbentuknya dua koalisi besar yaitu poros Indonesia Hebat (IH) dan poros Merah Putih (MP) ikut andil besar dalam menciptakan pengerdilan kewenangan yang dimiliki oleh DPD. Padahal dalam UUD 1945 telah sangat jelas bahwa DPD memiliki kewenangan yang teratribusi didalamnya, sehingga pangkal dari adanya pengebirian kewenangan ini adalah dengan dikabulkannya gugatan UU MD3 oleh Mahkamah Konstitusi. Namun sebenarnya masalah tidak hanya sampai disini, karena keinginan DPD sebagai entitas perwakilan daerah masih belum mendapatkan angin segar. Disatu sisi mahkamah tetap berpendirian bahwa keinginan DPD untuk menambah kewenangannya dalam pengesahan UU tidak dikabulkan, seperti yang kita ketahui putusan MK bersifat final dan mengikat, jadi secara de jure sudah pupuslah keinginan DPD untuk memiliki kewenangannya yang paripurna.

Dalam kesempatan lain, mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  tak bisa digugat oleh pihak manapun karena bersifat tetap dan mengikat. Selain itu, asas yang berlaku universal menyatakan putusan hakim tidak bisa dipermasalahkan sesalah apapun putusan tersebut. Penegasan itu sebagai langkah pencegahan dari tindakan penyesatan yang dilakukan kalangan pengacara. Asas yang berlaku di seluruh dunia, termasuk konstitusi dan UU peradilan, menyatakan bahwa putusan hakim tak bisa diadili di pengadilan. Sebagai contoh kasus Mahfud menyebut ada keputusan MK yang digugat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Supiori, Desember 2010. Kemudian juga ada yang digugat di pengadilan perdata di Gresik dan PTUN Gresik, langkah hukum ini adalah perbuatan yang sia-sia, yang menjadi permasalahan saat ini adalah apa konsekuensi jika putusan MK tidak ditaati untuk dilaksanakan?

DPD dalam MD3

DPD mengajukan gugatan UU MD3 karena undang-undang tersebut telah mengerdilkan kewenangan DPD yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengabulkan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab itulah, maka selayaknya UU MD3 harus direvisi untuk kembali mengakomodasi kewenangan DPD.

Penulis menemukan dalam salah satu pasal (pasal 258 huruf (d)) dalam UU MD3 mengenai kewajiban DPD yang menyatakan bahwa “mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan daerah”, padahal dalam huruf selanjutnya (h dan i) “menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat” serta “memberikan pertanggungjawaban moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya”. Pasal 258 (d) ini sesungguhnya tidak perlu dicantumkan, cukup masuk dalam pasal penjelas dalam huruf sebelumnya (a, b dan c) dimana DPD berkewajiban untuk mempertahankan dan memelihara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika huruf (d) tetap tercantum, jelas akan mereduksi DPD sebagai entitas perwakilan di daerah yang secara legitimasi “lebih kuat” dibandingkan dengan DPR (DPD dipilih berdasarkan keterwakilan wilayah sedangkan DPR berdasarkan Daerah Pemilihan (Dapil) yang nota bene lebih kecil cakupannya.

Disamping itu, kita menyadari bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini, DPD memiliki kedudukan yang tidak jelas. Apalagi pengaturan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan DPD tidak diatur secara komprehensif dan sangat sumir sebagaimana tertuang dalam Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 22F ayat (2) ataupun berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014. DPD sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun, selain hanya memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran kepada DPR sebagai lembaga yang memutuskan, baik dalam bidang legislatif maupun pengawasan. Kewenangan DPD berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang sebatas memberikan pertimbangan pun menampakkan kelemahan fungsi DPD karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan daerah dan sebagai lembaga bargaining terhadap kemungkinan pertimbangan DPD yang tidak dilanjuti oleh DPR. Apalagi rancangan undang-undang yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah tidak dapat dibatalkan oleh DPD dengan menggunakan hak veto, sebagaimana dipraktikkan dalam sistem perwakilan bikameral. Hal inilah yang mengakibatkan DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam sistem ketatanegaraan saat ini yang membuat kedudukan DPD sangat lemah bahkan hanya sebagai lembaga yang hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.

DPD dan Pembangunan Daerah

DPD memang mengamban misi untuk mengartikulasikan kepentingan daerah sesuai dengan wilayah yang diwakilinya masing-masing. Namun sebelum diskursus tentang kewenangan DPD ini ingin kita tambahkan perlulah kiranya kita mencermati adanya perjuangan yang dilakukan oleh DPD dalam mengartikulasikan kepentingan di daerah. Dalam hal ini kita berharap DPD tidak terjebak dalam langgam yang dimainkan oleh DPR RI  yangbermindset sentralistik, karena representasi perwakilannya tidak mencerminkan keterwakilan wilayah. Oleh sebab itulah, maka perlulkiranya DPD kembali melihat sejauh mana peran yang telah dilakukannya dalam mengawal kepentingan daerah tersebut.

Selain itu, DPD juga sekiranya dapat “mendampingi’ pemerintah daerah dalam membuat Peraturan Daerah (Perda) yang notabene langsung berhubungan dengan hajat masyarakat di daerah. Fakta memperlihatkan bahwa selama kurun waktu sampai dengan tahun 2011 pasca diterapkannya Otonomi Daerah (Otda) Pemerintah telah membatalkan 4000-an (empat ribu) Perda Karena bertentangan dengan Undang-undang (Tempo.co). Dengan adanya kejadian ini maka dipastikan bahwa Pemerintah Daerah mengeluarkan Perda tidak berdasar pada apa yang telah diatur dalam Undang-Undang yang secara hirarkis ada diatasnya. Namun, kita juga dapat mengkritisi apakah ada ketidaksesuaian antara kepentingan daerah dan pusat terkait pembatalan ribuan Perda ini?

Sehingga selayaknya DPD bisa lebih berperan secara aktif dalam mendorong perkembangan kemajuan di daerah, karena perwakilan yang mereka miliki sesungguhnya mencerminkan kepentingan daerah di tingkat pusat. Jika DPD tidak berdaya, maka apalah arti perwakilan tersebut, semoga kita dapat menguatkan peran ini bersama demi kepentingan daerah di masa yang akan datang. Semoga.

Pembangunan lembaga legislatif mengalami pasang surut seiring dengan perubahan berlakunya konstitusi. Namun, keberadaannya mampu mengikuti...

Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan

    Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.

    UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah menjelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan DPD,  namun beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU MD3 dinilai belum secara maksimal mengejahwantahkan kewenangan DPD sebagaimana UUD 1945 hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah mengembalikan kewenangan DPD dalam pemenuhan fungsi legislasinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

    Namun demikian, UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (UU MD3) yang terbit pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan menggantikan UU No. 27 Tahun 2009, tetap saja memuat ketentuan Pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, bahkan mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3 nyata-nyata tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 tersebut. Kondisi yang demikian ini jelas-jelas tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum, karena justru Lembaga Negara setingkat pembentuk UU juga tidak mengindahkan keputusan lembaga yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945, yakni Mahkamah Konstitusi.

    Berdasarkan Putusan MK tersebut, DPD berpandangan perlunya dilakukan penyesuaian dan perubahan terhadap UU MD3 terutama kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan kelembagaan DPD serta mekanisme pelaksanaan pembahasan legislasi yang konstitusional.

    Disisi lain, DPD juga berpandangan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas serta kewenangan DPR, DPD, dan DPRD harus diatur melalui undang-undang yang terpisah. Hal ini sejalan dengan Pasal 22C Ayat (4) jo Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Susunan dan Kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Makna kata “dengan” dapat diasumsikan bahwa pengaturan tengtang susunan dan kedudukan DPD diatur dalam ketentuan undang-undang sendiri. Begitupun dengan DPR sebagaimana Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945.

    Adapun tujuan penyusunan RUU Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, adalah:

    1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam proses legislasi khususnya dalam rangka mengemban visi dan misi memperjuangkan kepentingan daerah dalam penentuan kebijakan nasional;
    2. Merumuskan permasalahan hukum yang terkait dengan penentuan norma-norma hukum kewenangan DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945 yang kemudian didelegasikan ke undang-undang pelaksanaannya, yaini UU MD3;
    3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan
    4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.