Apa sajakah sifat dan sikap secara berurutan yang tertera pada quran surat alimron ayat 159

  • فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

    159. Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun bangsa, musyawarah sangat diperlukan. Karena, musyawarah memiliki posisi penting dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat.

Saking pentingnya, Islam memberikan kaidah dalam musyawarah agar suasana kondusif tetap terjaga—sebelum, selama, dan setelah musyawarah—sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surah Ali Imran [3] ayat 159, "Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." Yang dimaksud "bermusyawarah dalam urusan itu" dalam ayat tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama Republik Indonesia adalah urusan peperangan dan hal-hal duniawiah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan, dan lain-lainnya. Agar musyawarah yang diselenggarakan itu mendapatkan hasil keputusan terbaik dan mendapat ridha Allah SWT maka setiap peserta mesti memahami kaidah dalam bermusyawarah (QS Ali Imran [3]: 159). Pertama, bersikap lemah lembut. Setiap peserta musyawarah harus dapat bersikap lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan dan tindakan, serta menghindari sikap emosional, berkata-kata kasar, menggebrak meja, dan keras kepala. Kedua, mudah memberi maaf. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap peserta sebab musyawarah itu tidak akan berjalan dengan baik jika masing-masing peserta masih diliputi kekeruhan hati. Ketiga, membangun hubungan yang kuat dengan Allah melalui permohonan ampun. Dalam musyawarah dimungkinkan terjadi kesalahan, baik yang disadari maupun tidak, Rasulullah SAW mengajarkan doa kafaratul majelis sebagai penutup musyawarah. "Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilahailla anta astaghfiruka wa'atubu ilaik" (Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu). (HR Tirmidzi). Keempat, membulatkan tekad. Sudah semestinya peserta musyawarah membulatkan tekad dalam mengambil suatu keputusan yang disepakati bersama (mufakat), bukan saling ingin menang sendiri tanpa ada keputusan. Dan, jika suatu keputusan harus diputuskan melalui voting maka setiap peserta musyawarah hendaknya dapat menerima hasilnya dengan lapang dada. Kelima, bertawakal kepada Allah. Setelah bermusyawarah semestinya keputusan yang telah diambil, baik secara mufakat maupun voting—hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena Dialah yang menentukan segala sesuatu itu terjadi.

Semoga Allah membimbing kita dan para pengelola bangsa dalam bermusyawarah agar tercipta ketenangan, keharmonisan, dan hasil yang terbaik dalam upaya membangun bangsa menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Aamiin.

Apa sajakah sifat dan sikap secara berurutan yang tertera pada quran surat alimron ayat 159

Isu utama yang menjadi muatan demokrasi adalah persoalan saling menghargai eksistensi (keberadaan). Rasa ingin dihargai adalah kebutuhan alamiah (fitrah) manusia. Manusia dari kasta apa pun memiliki rasa itu.


Teman-teman kita di sekolah mempunyai hak untuk dihargai. Bapak dan ibu guru, orangtua, dan semua orang yang ada di sekitar kita juga mempunyai hak untuk dihargai dan dihormati, sebagaimana kita juga ingin dihargai.


Ternyata, persoalan menghargai dan dihargai adalah bagian penting dari misi dakwah Islam. Yang lebih muda harus menghormati yang tua, dan yang lebih tua diperintahkan untuk menyayangi yang muda. Begitulah maksud salah satu sabda Nabi Muhammad saw.Ajaran demikian kemudian dipandang sebagai nilai-nilai demokrasi. Demokrasi memang istilah yang lahir dari dunia Barat, tetapi jangan pernah lupa, Islam bersikap akomodatif terhadap semua yang datang dari luar, Barat atau Timur, jika nilai-nilai yang diusungnya sejalan dengan nilai-nilai Islam sendiri, maka itu berarti Islami.


Tahukah kalian? Menurut pandangan para pakar, pemerintahan yang dipimpin Rasulullah dan Khulafaurrasyidin merupakan pemerintahan paling demokratis yang pernah ada di dunia, dengan Piagam Madinah sebagai acuan dalam menata hubungan antarwarga masyarakat. Pada masa itu, semua elemen masyarakat mendapat pengakuan dan penghormatan yang setara.


Banyak tokoh dunia Barat tercengang dengan adanya fakta Piagam Madinah. Salah satunya adalah Robert N. Bellah yang menuliskan dalam bukunya “Beyond Belief” (1976), bahwa Muhammad sebenarnya telah membuat lompatan yang amat jauh ke depan. Menurut Bellah, “Muhammad telah melahirkan sesuatu (konstitusi Madinah) yang untuk zaman dan tempatnya adalah sangat modern”


A. Demokrasi dalam IslamDi dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi pesan-pesan mulia tentang bersikap demokratis, tentang musyawarah dan toleransi dalam perbedaanQ.S. ali-Imran/3:159 tentang Bersikap Demokrasi

Apa sajakah sifat dan sikap secara berurutan yang tertera pada quran surat alimron ayat 159

Artinya: ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Hukum Bacaan Tajwid

Apa sajakah sifat dan sikap secara berurutan yang tertera pada quran surat alimron ayat 159

Apa sajakah sifat dan sikap secara berurutan yang tertera pada quran surat alimron ayat 159

Asbabun Nuzul

Sebab-sebab turunnya ayat 159 surat Ali-Imran ini kepada Nabi Muhammad saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a., Ibnu Abas r.a. menjelaskan bahwasanya setelah terjadi perang Badar Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khatab r.a. untuk meminta pendapat mereka tentang para tawanan perang Badar.

Abu Bakar r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dikembalikan kepada keluarga mereka dan keluarga mereka membayar tebusan. Namun Umar bin Khatab r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dibunuh dan yang diperintah membunuh adalah keluarga mereka. Rasulullah saw. kesulitan dalam memutuskan, kemudian turun ayat 159 surat Ali-Imran ini sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar r.a. (HR.Kalabi). (Depag,2011:Al-Quran Tafsir Perkata, hal.72)

Penjelasan/Tafsir

Ayat di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang Uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita kekalahan, tetapi Rasulullah saw. tetap lemah lembut dan tidak marah terhadap para pelanggar, bahkan memaafkan dan memohonkan ampun untuk mereka. Seandainya Rasulullah bersikap keras, tentu mereka akan menaruh benci kepada beliau. Dalam pergaulan sehari-hari, beliau juga senantiasa memberi maaf terhadap orang yang berbuat salah sertamemohonkan ampun kepada Allah Swt. terhadap kesalahan-kesalahan mereka.

Di samping itu, Rasulullah saw juga senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang hal-hal yang penting, terutama dalam masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin patuh terhadap keputusanyang diperoleh tersebut, karena merupakan keputusan mereka bersama Rasulullah saw. Mereka tetap berjuang dengan tekad yang bulat di jalan Allah Swt.. Keluhuran budi Rasulullah saw inilah yang menarik simpati orang lain, tidak hanya kawan bahkan lawan pun menjadi tertarik sehingga mau masuk Islam.


Dalam ayat di atas tertera tiga sifat dan sikap yang secara berurutan disebut dan diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah, yaitu lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Meskipun ayat tersebut berbicara dalam konteks perang uhud, tetapi esensi sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap muslim, terutama ketika hendak bermusyawarah.


Sedangkan sikap yang harus diambil setelah bermusyawarah adalah memberi maaf kepada semua peserta musyawarah, apapun bentuk kesalahannya. Jika semua peserta musyawarah bersikap “memaafkan” maka yang terjadi adalah saling memaafkan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sakit hati atau dendam yang berkelanjutan di luar musyawarah, baik karena pendapatnya tidak diakomodasi atau karena sebab lain.


Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang berbicara tentang nilainilai dalam demokrasi seperti dalam Firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-Isra'/17:70, Q.S. al-Baqarah/2:30, Q.S. alHujurat/49:13, Q.S. asy-Syμra/42:38 serta berbagai surat lain. Inti dari semua ayat tersebut membicarakan bagaimana menghargai perbedaan, kebebasan berkehendak, mengatur musyawarah dan lain sebagainya yang merupakan unsur-unsur dalam demokrasi.


Di samping ayat-ayat tersebut, banyak juga hadis Rasulullah yang mengisyaratkan pentingnya demokrasi, karena beliau dikenal sebagai pemimpin yang paling demokratis. Di antaranya adalah hadis yang menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling suka bermusyawarah dalam banyak hal, seperti hadits berikut:


Apa sajakah sifat dan sikap secara berurutan yang tertera pada quran surat alimron ayat 159

Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan para sahabat dari pada Rasulullah saw.” . [HR.at-Tirmizi].

Hadis di atas menjelaskan bahwa menurut pandangan para sahabat, Rasulullah saw adalah orang yang paling suka bermusyawarah. Dalam banyak urusan yang penting beliau senantiasa melibatkan para sahabat untuk dimintai pendapatnya, seperti dalam urusan strategi perang. Sikap Rasulullah tersebut menunjukkan salah satu bentuk kebesaran jiwa beliau dan kerendahan hatinya (tawadhu’), meskipun memiliki status sosial paling tinggi dibanding seluruh umat manusia, yaitu sebagai utusan Allah Swt.


Namun demikian, kedudukannya yang begitu mulia di sisi Allah Swt. itu sama sekali tidak membuatnya merasa “paling benar” dalam urusan kemanusiaan yang terkait dengan masalah ijtihadiy (dapat dipikirkan dan dimusyawarahkan karena bukan wahyu), padahal bisa saja Rasulullah memaksakan pendapat beliau kepada para sahabat, dan sahabat tentu akan menurut saja. Tetapi itulah Rasulullah, manusia agung yang tawadhu’ dan bijaksana.


Sikap rendah hati Rasulullah hanya satu dari akhlak mulia lainnya, seperti kesabaran dan lapang dada untuk memberi maaf kepada semua orang yang bersalah, baik diminta atau pun tidak. Itulah Rasulullah, teladan terbaik dalam berakhlak.



Dari ayat al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut dapat dipahami bahwa musyawarah termasuk salah satu kebiasaan orang yang beriman. Hal ini perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim terutama dalam hal-hal yang memang perlu dimusyawarahkan, misalnya: Hal yang sangat penting, sesuatu yang ada hubungannya dengan orang banyak/masyarakat, pengambilan keputusan dan lain-lain.


Dalam kehidupan bermasyarakat, musyawarah menjadi sangat penting karena: 


a. Permasalahan yang sulit menjadi mudah setelah dipecahkan oleh orang banyak lebih-lebih kalau yang membahas orang yang ahli. 

b. Akan terjadi kesepahaman dalam bertindak. 

c. Menghindari prasangka yang negatif, terutama masalah yang ada hubungannya dengan orang banyak 

d. Melatih diri menerima saran dan kritik dari orang lain 

e. Berlatih menghargai pendapat orang lain

Selama ini demokrasi diidentikkan dengan syura dalam Islam karena adanya titik persamaan di antara keduanya. Untuk melihat lebih jelas titik persamaan tersebut, perlu kita lihat jati diri masing-masing dari keduanya.


Secara kebahasaan, demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” yang berarti kekuasaan. Secara istilah, kata demokrasi ini dapat ditinjau dari dua segi makna. Pertama, demokrasi dipahami sebagai suatu konsep yang berkembang dalam kehidupan politik pemerintah, yang di dalamnya terdapat penolakan terhadap adanya kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang dan menghendaki peletakan kekuasaan di tangan orang banyak (rakyat) baik secara langsung maupun dalam perwakilan. Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang menghargai hak-hak dan kemampuan individu dalam kehidupan bermasyarakat.


Dari definisi ini dapat dipahami bahwa istilah demokrasi awalnya berkembang dalam dimensi politik yang tidak dapat dihindari. Secara historis, istilah demokrasi memang berasal dari Barat. Namun jika melihat dari sisi makna, kandungan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan cita-cita kemanusiaan secara universal (umum, tanpa batas agama maupun etnis).


Menurut bahasa, dalam kamus Mu’jam Maqayis al-Lugah, syμra memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu.


Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syμra, di antara mereka adalah: 


a. Ar Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Al Mufradat fi Gharib al-Qur’an, mendefinisikan syura sebagai “proses mengemukakan pendapat dengan saling mengoreksi antara peserta syμra”. 

b. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam al-Qur’an , mendefinisikannya dengan “berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) yang peserta syμranya saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki”. 

c. Sedangkan definisi syμra yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer dalam asy Syμra fi Zilli Nizami al-Hukm al-Islami, di antaranya adalah “proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”.

3. Titik Temu (Persamaan) antara Demokrasi dan Syμra

Dari beberapa definisi Syμra dan demokrasi di atas, dapat melihat bahwa Syμra hanya merupakan mekanisme kebebasan berekspresi dan penyaluran pendapat dengan penuh keterbukaan dan kejujuran. Hal tersebut menjadi pertanda adanya penghargaan terhadap pihak lain. Sementara demokrasi, menjangkau ruang lingkup yang lebih luas.



Demokrasi menyoal nilai-nilai egaliter, penghormatan terhadap potensi individu, penolakan terhadap kekuasaan tiran, dan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berpartisipasi dalam mengurus pemerintahan. Secara tegas demokrasi bermain pada wilayah politik. Jika demikian halnya, maka pada satu sisi, Syura merupakan bagian dari proses berdemokrasi. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang diusung demokrasi. Pada sisi lain, nilai-nilai luhur yang diusung oleh konsep demokrasi adalah nilai-nilai yang sejalan dengan visi Islam itu sendiri.


Nilai Islami bukanlah sesuatu yang berasal dari kaum muslimin saja (dari dalam), tetapi semua nilai yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, baik dari Barat maupun Timur, karena Islam tidak mengenal Barat dan Timur (diskriminasi), justru sikap Islam terhadap hal-hal baru yang baik adalah “akomodatif”.


Namun demikian, pro dan kontra tentang demokrasi dalam Islam masih terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk mempertajam analisis kalian dalam menyikapi konsep demokrasi, ada baiknya kalian mengenali lebih lanjut pandangan-pandangan para ulama tentang hal tersebut



C. Pandangan Ulama (Intelektual Muslim) tentang Demokrasi

Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut:



Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).


Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat.


Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:


a) Tauhid sebagai landasan asasi. 

c) Toleransi sesama warga. 

d) Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. 

e) Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.



Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat.



Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya)


Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. 


Allah berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’râf/7:54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.


Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut: 


a) Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya.



b) Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.



c) Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.

d) Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.

e) Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

5. Salim Ali al-Bahasnawi

Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negative yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram.


Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut:


 a) Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt..

 b) Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya

 c) Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah (Q.S.an-Nisa/4:59) dan (Q.S.al-Ahzab/33:36).

 d) Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai berikut: 


1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat (tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala); 

2. Menghargai pendapat orang lain; 

3. Berlapang dada untuk saling memaafkan; 

4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah; 

5. Menerima keputusan bersama (hasil musyawarah) dengan ikhlas; 

6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal; 

7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama; 8. Menolak segala bentuk diskriminasi atas nama apapun; 

9. Berperan aktif dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa.

1. Kandungan Q.S.²li-Imran/3:159 dan H.R. at-Tirmizi menjelaskan bahwa musyawarah termasuk salah satu sifat orang yang beriman. Hal ini perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim terutama dalam hal-hal yang penting; 


2. Mencintai musyawarah dalam mengambil keputusan pada segala hal yang terkait dengan kehidupan keluarga dan masyarakat, seperti memilih lembaga pendidikan yang cocok, memilih tempat kerja, memilih ketua RT, dan lain-lain; 

3. Bersikap lemah lembut dalam bermusyawarah, baik ketika menyampaikan pendapat maupun menanggapi pendapat orang lain; 

4. Berlapang dada untuk memaafkan semua pihak yang mungkin berlaku tidak wajar sehingga memancing amarah kita; 

5. Konsisten terhadap keputusan hasil musyawarah, terutama jika menyangkut kepentingan bersama; 

6. Melaksanakan hasil musyawarah dengan penuh sikap tawakal kepada Allah Swt., sehingga terhindar dari segala sikap buruk sangka apabila ternyata keputusan musyawarah tersebut tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. 

7. Antara musyawarah (syμra) dengan demokrasi terdapat titik temu, di mana dalam demokrasi terdapat prinsip syμra, yaitu adanya kebebasan berpendapat, keterbukaan, dan kejujuran, sementara demokrasi, menjangkau ruang lingkup yang lebih luas. 

8. Terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama tentang demokrasi, sebagian menerima dan sebagian menolak.