Bicara keuangan publik tentu tak lepas dari peran pemerintah yang mengatur dan mengawasi kegiatan usaha dari lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank. Tak bisa dipungkiri bahwa keuangan publik sangatlah penting dalam perekonomian. Sebab, keuangan publik mencerminkan adanya perputaran dana yang begitu besar untuk berbagai kepentingan, mulai dari pembangunan, pengembangan bisnis, hingga investasi. Mengelola keuangan publik tidaklah mudah. Selain berisiko penyimpangan dan kecurangan, juga penyalahgunaan wewenang. Oleh sebab itu, perlu adanya lembaga berbadan hukum yang secara legal memiliki kewenangan untuk mengawasi pengelolaan keuangan publik tersebut, termasuk peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukumnya. Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam penetapan dan pelaksanaan di bidang moneter, lebih berfokus pada menjaga stabilitas sistem keuangan. Meski selain itu, Bank Indonesia juga mengatur industri perbankan secara makro melalui peraturan dan surat edaran Bank Indonesia, serta dan Undang-Undang yang berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap stabilitas moneter. Jika Bank Indonesia hanya mengatur industri perbankan saja, maka industri jasa keuangan lainnya seperti pasar modal, leasing, investasi, dan fintech (Financial Technology) tentu belum ada yang menaunginya secara legal. Berkenaan dengan kebutuhan tersebut, kini hadir lembaga independen yang disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apa itu Otoritas Jasa Keuangan? Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang untuk mengatur, mengawasi, memeriksa, dan menyelidiki berkenaan dengan seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan. Sebagai lembaga independen, OJK bebas dari intervensi dan campur tangan pihak lain. Lembaga ini memiliki keleluasaan dalam menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski lembaga independen, OJK legal secara hukum karena dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 yang secara khusus mengatur tentang Otoritas Jasa Keuangan. Adanya payung hukum tersendiri, pelaksanaan tugas dan wewenang OJK tidak akan bertabrakan atau bertentangan dengan Bank Indonesia, tetapi justru saling bersinergi. OJK dijalankan oleh Dewan Komisioner, yaitu pimpinan tertinggi yang sifatnya kolektif dan kolegial. Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres). Adapun susunan Dewan Komisioner OJK terdiri dari:
OJK bertanggung jawab mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan menyelidiki seluruh kegiatan di sektor atau industri jasa keuangan, sehingga mencakup perbankan dan non-perbankan. Perbankan yang di bawah naungan OJK mencakup seluruh bank baik konvensional maupun syariah. Sementara kategori non-bank mencakup lembaga-lembaga keuangan yang menyelenggarakan kegiatan usahanya di bidang jasa keuangan seperti asuransi, leasing, investasi, pasar modal, dana pensiun, dan pembiayaan, termasuk fintech. Sejarah dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan Industri jasa keuangan dari tahun ke tahun semakin berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya lembaga keuangan baik bank maupun non-bank yang hadir di tengah-tengah masyarakat dan bersaing untuk memberikan layanan terkait dengan keuangan. Tak heran jika persaingan di sektor jasa keuangan semakin ketat, karena para pemain baru harus bersaing dengan lembaga-lembaga keuangan baik plat merah maupun swasta yang lebih dulu eksis dan telah melayani masyarakat bertahun-tahun, sehingga telah teruji kinerja dan akuntabilitasnya. Meski industri jasa keuangan termasuk perbankan berkembang, namun Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang moneter tidak bertugas dan memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi kegiatan usaha dari masing-masing lembaga keuangan baik bank maupun non-bank. Tugas utama dari Bank Indonesia adalah mencapai dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Artinya, Bank Indonesia mengatur perbankan dalam lingkup makro. Lantas, siapa yang bertugas mengatur dan mengawasi lembaga jasa keuangan baik bank maupun non-bank secara mikro? Untuk pengawasan perbankan menjadi kewenangan Bank Indonesia, sedangkan industri keuangan non-bank dan pasar modal di bawah kendali Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Namun seiring dengan berkembangnya industri jasa keuangan, dibutuhkan pengaturan dan pengawasan yang lebih ketat agar risiko fraud atau penyimpangan dapat diminimalisir. Sebab itu, dibutuhkan suatu lembaga independen yang memiliki power untuk mengatur industri jasa keuangan baik bank maupun non-bank. Dari sinilah kemudian dibentuk lembaga Otoritas Jasa Keuangan. Undang-undang No. 21 Tahun 2011 sebagai payung hukum OJK disahkan pada 16 Juli 2012 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak UU tersebut disahkan, presiden langsung menetapkan Dewan Komisioner yang beranggotakan 9 (sembilan) orang sebagai jajaran pimpinan OJK. OJK yang membawahi seluruh sektor jasa keuangan, tentu kinerjanya belum cukup efektif jika hanya mengandalkan Dewan Komisioner saja. Sebab hadirnya OJK berimbas pada perubahan pembagian kewenangan dan kebijakan antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan OJK sendiri. Maka dari itu diperlukan tim transisi yang membantu Dewan Komisioner melaksanakan tugas-tugas OJK. Pada 15 Agustus 2012 dibentuklah Tim Transisi OJK Tahap I, yang bertugas membantu tugas Dewan Komisioner OJK selama masa transisi. Tim Transisi OJK yang dibentuk beroperasi secara efektif pada 31 Desember 2012 dengan cakupan tugas mengawasi pasar modal dan industri keuangan non-bank. Agar kinerjanya lebih efektif, pada 18 Maret 2013 dibentuk Tim Transisi OJK Tahap II yang membantu tugas Dewan Komisioner dalam menjalankan pengalihan fungsi, tugas, serta wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Pada akhir tahun 2013 akhirnya pengawasan perbankan sepenuhnya beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Peralihan ini sekaligus menandakan bahwa OJK telah beroperasional secara penuh. Bahkan pada 1 Januari 2015, OJK melakukan perluasan fungsi pengawasan industri keuangan non-bank dengan memulai pengaturan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Tujuan pembentukan OJK Pembentukan OJK sebagai lembaga independen yang memiliki power tentu memiliki tujuan. Tujuan pembentukan OJK termaktub dalam Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2011. Pada pasal tersebut, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan dari OJK, yakni:
Dengan dibentuknya OJK, harapannya lembaga ini mampu mendukung sektor jasa keuangan yang memiliki daya saing ekonomi. Tak hanya itu, OJK juga dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan dalam skala nasional, baik mencakup sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif dari globalisasi. Pembentukan OJK dan penyusunan struktur organisasinya berlandaskan pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang memuat independensi, akutabilitas, pertanggungjawaban, persetujuan, dan kewajaran atau keadilan. Tugas dan wewenang OJK Otoritas Jasa Keuangan dibentuk bukan tanpa tugas dan wewenang. Secara garis besar, lembaga independen ini memiliki tugas mengerjakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan yang terdapat pada sektor jasa keuangan. Dalam Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2011, OJK memiliki tugas utama melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap:
Lantas, apa wewenang OJK terkait dengan tugas-tugasnya dalam fungsi pengaturan dan pengawasan seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan baik bank maupun non-bank? Wewenang OJK berkenaan dengan fungsi tugas-tugasnya tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Setelah pengalihan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK, maka Bank Indonesia tidak lagi berkepentingan dengan segala bentuk perizinan pendirian bank atau lembaga jasa keuangan non-bank baru, termasuk pengaduan terkait dengan layanan konsumen dan tindak kecurangan (fraud) yang terjadi di sektor jasa keuangan. Meski demikian, untuk kelancaran dan efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya, OJK tetap bersinergi dengan lembaga-lembaga negara lain baik Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, maupun Direktorat Jenderal Pajak. Artikel Terkait Demikianlah artikel tentang tugas dan wewenang otoritas jasa keuangan (OJK), semoga bermanfaat bagi Anda semua. |