Piagam Madinah ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku suku dan kaum kaum penting di Yatsrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622 M. Dokumen tersebut disusun sejelas jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak hak dan kewajiban kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas komunitas lain di Madinah, sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.
“Surat-surat sampai kepada kami dari Amirul Mu’minin, tetapi kami bingung bagaimana menjalankannya. Kami membaca sebuah dokumen tertanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu ini untuk tahun yang lalu atau tahun ini.” Abu Musa Al-Asy’ari kepada Amirul Mu’minin Umar bin Khattab dalam Biografi Kholifah Rasulullah. Hal tersebut menjadi sebuah persoalan tersendiri pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sekaligus membuat Sang Khalifah mengumpulkan para sahabat khususnya mereka yang bertugas di pusat pemerintahan untuk segera membahas dan mencari solusi dari persoalan tersebut. Terlebih sejak awal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hijrah dari Makkah Al-Mukarromah ke Madinah Al-Munawwaroh, juga tidak ada tahun yang digunakan dalam penanggalan. Termasuk pada masa Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah hingga 4 (empat) tahun pertama kepemimpinan Amirul Mu’minin Umar bin Khattab. Dalam majelis bersama para sahabat, Umar bin Khattab menyampaikan kegelisahan dari persoalan pencatatan beragam surat maupun sejumlah dokumen penting lainnya. Termasuk juga semakin meluasnya kekuasaan Islam yang justru memiliki persoalan serupa, yakni persoalan di bidang administrasi. Bahkan surat menyurat antar gubernur pada masa itu juga belum sistemik karena tidak adanya acuan penanggalan, masing-masing wilayah hanya menggunakan kalender lokal yang tentunya berbeda antara penanggalan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sehingga dibutuhkan penyeragaman melalui hitungan kalender yang sama. Persoalan selanjutnya muncul untuk menentukan awal penghitungan kalender Islam, apakah menggunakan tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau masa pengangkatan Nabi sebagai Rasul, masa turunnya al-Qur’an hingga usulan saat kemenangan kaum muslimin dalam peperangan. Dari beragam usulan tersebut, akhirnya disepakati penentuan awal Hijriyah dimulai dari peristiwa Hijrah. Sehingga kalender Islam hingga saat ini dikenal dengan sebutan Kalender Hijriah. Peristiwa Hijrah dijadikan pilihan sebagai tonggak awal penanggalan Islam, justru memiliki makna yang amat dalam. Di mana fase hijrah menjadi titik balik bagi umat Islam untuk meletakkan landasan melangkah kedepan, sekaligus menjadi kunci pesat kemenangan dan perkembangan Islam. Nama-Nama Bulan dalam Kalender Hijriah Sistemnya dimulai dari Ahad hingga Sabtu dan diawali dengan bulan Muharram hingga Dzul Hijjah, siklus sinodis per bulan kalender hijriah juga terbilang variatif dengan rata-rata 29,53 hari. Berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan jumlah hari dalam sebulan sebanyak 30 atau 31 hari, sementara kalender Hijriah hanya 29 dan/atau 30 hari, itupun tidak teratur dengan berfokus pada status hilal (adakalanya tanggal 29 sudah tampak hilal). Karena perbedaan tersebut, dalam hitungan satu tahun kalender hijriah, biasanya 11 hari lebih pendek daripada kalender masehi. Dan tidak kalah penting, keberadaan kalender hijriah juga menjadi tonggak sistem kemajuan peradaban Islam hingga saat ini. Dari 12 bulan kalender hijriah tersebut, meliputi 1) Muharram; 2) Shafar; 3) Rabi’ul Awal; 4) Rabi’ul Akhir; 5) Jumadil Awal; 6) Jumadil Akhir; 7) Rajab; 8) Sya’ban; 9) Ramadhan; 10) Syawal; 11) Dzul Qa’dah; serta 12) Dzul Hijjah. Wallahu A’lam. [adm] Artikel serupa diterbitkan di beritajatim.com Jakarta - Kurang lebih 1400 tahun yang lalu di Madinah, -kota sehat menurut WHO-, disepakati Piagam Madinah. Ini adalah sebuah dokumen perjanjian tertulis yang diprakarsai Nabi Muhammad SAW dan para sahabat untuk mempersatukan beberapa golongan yang ada di Madinah saat itu.
Pada 27 sampai 28 Januari 2020 lalu misalnya, Konferensi Internasional Al-Azhar mengutip Piagam Madinah dalam salah satu rumusannya. "Negara menurut pandangan Islam adalah negara bangsa modern yang demokratis konstitusional. Al-Azhar-diwakili oleh para ulama kaum Muslim hari ini-menetapkan bahwa Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan negara agama (teokratis) karena tidak memiliki dalil dari khazanah pemikiran kita. Ini dipahami secara tegas dari Piagam Madinah dan praktek pemerintahan Rasul serta para khalifah rasyidin setelah beliau yang riwayatnya sampai kepada kita. Para ulama Islam, di samping menolak konsep negara agama, mereka juga menolak negara yang mengingkari agama dan menghalangi fungsinya dalam mengarahkan manusia." Demikian isi rumusan nomor 12 dari Konferensi Internasional Al-Azhar yang dikutip Tim Hikmah dari laman Kementerian Agama, Rabu 27 Januari 2021. Sejarah dan Tujuan Piagam Madinah Ketika Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, di wilayah itu sudah tinggal beberapa golongan. Mereka antara lain: Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu'n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara. Untuk kaum Muhajirin dan Anshar sudah ada solidaritas sebagai sesama muslim. Namun untuk golongan Aus dan Khazraj ini sangat rentan sekali terjadi konflik. Maka untuk menghentikan potensi konflik antar Bani Aus dan Bani Khazraj, juga dengan golongan lain, Nabi Muhammad SAW setelah berdiskusi dengan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab dan sejumlah sahabat membuat sebuah dokumen perjanjian tertulis. Dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah itu ditetapkan sejumlah hak dan kewajiban kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas komunitas lain di Madinah. Apa Isi Piagam Madinah? Sejumlah referensi menyebutkan Piagam Madinah dibuat sekitar tahun 622 Masehi di awal-awal Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, yang sebelumnya dikenal sebagai Yatsrib. Berikut ini isi Piagam Madinah yang redaksinya dikutip dari Buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad-Nabi, antara orang=orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib (Madinah) serta mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka bahwa: mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lain Kaum muhajirin dari kalangan Quraisy adalah tetap menurut adat kebiasaan baik yang berlaku di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang beriman. Isi Piagam Madinah berikutnya, KLIK HALAMAN SELANJUTNYA UNTUK MEMBACA
(erd/erd) Artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Tahun Baru Hijriah atau Tahun Baru Islam merupakan suatu hari yang penting bagi umat Islam karena menandai peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam yaitu memperingati penghijrahan Nabi Muhammad SAW. dari Kota Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 1 Muharam tahun baru bagi Kalender Hijriyah. Namun, Tahun Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah itu diambil sebagai awal perhitungan bagi Kalender Hijriyah.
Sejak tahun lunar Islam adalah sebelas atau dua belas hari lebih pendek dari tahun Masehi, Tahun Baru Islam tidak tiba pada hari yang sama dari tahun Masehi setiap tahun
Tanggal berikut adalah penyesuaian tahun Masehi untuk tahun baru Islam:
Page 21 Muharam adalah hari pertama dalam Kalender Hijriyah dan ditetapkan bahwa 1 Muharam sebagai Tahun Baru Islam
|