Apa itu harga diri kolektif dalam akulturasi

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

Drs. Noor Rochman Hadjam, SU Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

1

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental Oleh : Noor Rochman Hadjam

1. PENGANTAR Perubahan yang cepat melanda hampir seluruh sisi kehidupan manusia –sosial budaya, ekonomi, politik dan teknologi- mempunyai implikasi luas pada terhadap manusia yaitu munculnya berbagai tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi agar tetap eksis dengan seluruh kemanusiaannya. Goncangan politik yang berpengaruh pada ketidakstabilan dunia perekonomian menciptakan komunitas-komunitas baru yang tersingkir dari pesatnya peradaban (marginalized community). Hal ini adalah suatu tekanan yang cukup berat. Pada sisi lain, pertambahan penduduk yang pesat dan tidak seiring dengan pertambahan sumber daya dan kualitas manusia, membuat orang saling bersaing untuk dapat mengakses sumber daya tersebut. Era globalisasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan semakin derasnya arus informasi yang memasuki Indonesia. Informasi-informasi yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia tersebut semakin bebas diakses oleh siapa saja dan mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Di beberapa negara berkembang, era globalisasi dunia, yang dikaitkan dengan peningkatan populasi manusia, telah mengakibatkan permasalahan dalam bentuk ketidakseimbangan dalam bidang ekonomi, pendidikan dan sosial sebagai konsekuensi dari restrukturisasi ekonomi (Mezzina, 2001) Di Indonesia, proses modernisasi dilakukan melalui pelaksanaan pembangunan nasional secara bertahap dalam berbagai bidang kehidupan. Perwujudan modernisasi sangat terlihat pada pola kebijakan pembangunan yang dianut, yaitu pola pembangunan yang menempatkan sektor industri sebagai ujung tombak perekonomian negara. Pola pembangunan yang menekankan pada sektor industri ini selalu mengarah pada pola pembangunan yang melihat sebuah kemajuan hanya dari sisi pertumbuhan ekonomi tanpa melihat sisi-sisi yang lainnya, misalnya dampak perubahan terhadap kesehatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang berkembang dengan pesat, akan menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. (www.jogjakita.or.id/appetite/sos1.php)

2

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat seperti ekonomi, politik, dan sektor kehidupan sosial budaya lainnya merupakan dampak dari upaya bangsa Indonesia dalam melaksanakan modernisasi nasional yang sebelum pada akhirnya memasuki percaturan globalisasi. Salah satu dampak yang muncul ke permukaan adalah adanya kegoncangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Suara Merdeka, 14 September 2002). Zed mengatakan bahwa dengan adanya modernisasi, masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung profit oriented dan komersil, dan semua itu merupakan dampak dari nilai-nilai global yang telah merambah hampir semua lini kehidupan kita, sehingga kita menjadi kehilangan identitas diri. Zed menambahkan bahwa interaksi antara masyarakat dengan masyarakat lain selalu mengikutsertakan pertimbangan cost dan benefit atau untung-rugi (Kompas Sabtu, 09 November 2002). Sioui (1993) mencatat bahwa nilai-nilai tradisional masyarakat memiliki jaminan ketentraman (equanimity) secara almiah, karena lebih mengutamakan rasa berbagi dan bekerjasama daripada kompetisi. Nilai tradisional berupa kebersamaan dan spiritual yang harmoni ini secara tajam berlawanan dengan nilai materialisme yang menampilkan wujud yang agresif dan ketamakan yang dipromosikan oleh masyarakat euroamerican. Dengan adanya perubahan ini, nilai tradisional yang positif pada bangsa Indonesia terlihat mulai luntur. Mulai lunturnya nilai-nilai positif bangsa terlihat pada meredupnya nilai sopansantun, tatakrama, disiplin, budi pekerti, yang mendasari perilaku dan sikap manusia Indonesia. Sejalan dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, nilai-nilai ini sebenarnya sudah banyak yang mengalami perubahan. Di sisi lain bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dan politik, konflik sosial mulai bermunculan di berbagai daerah. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang ramah dan memiliki tata krama yang sangat tinggi, seolah berubah menjadi bangsa yang brutal dan bengis. Konflik yang terjadi hampir di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai. Sementara nilai-nilai yang lama masih belum dapat ditinggalkan, nilai-nilai baru sudah berlaku di masyarakat. Dalam kondisi anomi ini, masyarakat hidup dengan penuh ketidak jelasan. Dapat dilihat dari sopan santun di jalan raya bagi pengendara kendaraan, saat ini sudah hampir tidak

3

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

ada lagi. Kendaraan-kendaraan terutama yang besar-besar, melaju dengan sesuka hati mereka tanpa memperhitungkan bahaya yang mungkin bisa terjadi bagi pengendara lain. Sikap main hakim sendiri juga sudah merupakan kejadian sehari-hari, sehingga tidak jarang terjadi pengeroyokan hingga mati terhadap pencuri yang tertangkap basah (www.yipi.or.id). Di tengah gemuruhnya perubahan zaman dan gelombang modernisasi tersebut, timbul

kekhawatiran

besar

mengenai

pengamalan

agama

akan

berkurang.

Dikhawatirkan bahwa adanya perubahan nilai-nilai kehidupan yang terjadi belakangan ini menyebabkan perkembangan kejiwaan para remaja akan menjurus ke pada hal yang negatif. Ini disebakan karena adanya budaya-budaya barat yang masuk ke negeri ini tanpa adanya penyaringan terlebih dahulu, terutama lewat media televisi dan budaya yang terbawa dari orang asing. Ini memungkinkan para remaja untuk menerapkan sesuatu yang Kondisi yang terjadi di Indonesia kontras dengan kondisi yang dialami oleh negara Jepang. Negara Jepang tidak mengadopsi secara untuh melainkan menyaring unsur-unsur yang bermanfaat menurut mereka. Aspek kehidupan masyarakat barat tertentu diterima, sedangkan aspek lainyang negatif ditolak mentah-mentah. Oleh karena itu tidak ada masalah yang muncul dengan adanya pengaruh kuat budaya barat. Tradisionalisme dalam arti keterikatan dengan cara-cara konvensional pada tataran tertentu dapat merintangi perubahan, tetapi pada bangsa Jepang tradisi merupakan tenaga pendorong perubahan daripada sebagai penghambat (Lauer, 2003). Bangsa indonesia harus dapat melepaskan diri dari pengaruh negatif budaya masyarakat modern yang saat ini sangat dipengaruhi oleh sisi negatif peradaban barat, yang menurut Danah Zohar dan Ian Marshall (2000) memiliki SQ kolektif yang rendah. Yaitu peradaban yang secara spiritual bodoh karena ditandai oleh materialisme, kelayakan, egoisme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen (Sioui, 1993). Oleh karena itu diperlukan sebuah tinjauan kritis mengenai dampak perubahanperubahan nilai-nilai bangsa Indonesia terhadap kualitas hidup masyarakatnya yang terformulasikan dalam kesehatan mental individu dan masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan

di

muka,

perubahan

nilai-nilai

menciptakan

berbagai

macam

permasalahan individu maupun sosial yang mengindikasikan bahwa kesehatan mental mereka belum optimal. Di satu sisi kesehatan mental individu menjadi terganggu karena

4

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

perubahan nilai-nilai yang demikian cepat ini ternyata belum diantisipasi dengan baik oleh masyarakat Indonesia, sehingga residu negatif budaya luar yang berinteraksi dengan budaya bangsa Indonesia turut terinternalisasi. Di sisi lain terganggunya kesehatan individu dengan adanya perubahan nilai ini juga diakibatkan oleh faktor luar berupa kebijakan pemerintah maupun lemahnya penanaman nilai-nilai luhur bangsa pada sebuah generasi. Ortega Gasset (Ikeda, 1990) mengatakan bahwa untuk memahami manusia hendaklah memahami manusia bersama keadaan disekitarnya. Oleh karena itu kesehatan mental, harus dipahami sebagai interaksi antara faktor personal, faktor genetik, kepribadian dan faktor yang berkaitan dengan lingkungan dimana dia hidup. Mengingat pentingnya lingkungan sekitar, para ahli kemudian memformulasikan konsep cross cultural healt psychology (Giddens, 1998). Pada awalnya, diskursus mengenai cross cultural healt psychology hanya berada pada tataran kajian mengenai bagaimana faktor budaya mempengaruhi berbagai macam aspek kesehatan individu, akan tetapi diskursus yang lebih akhir studi meluas pada kesehatan individu dan komunitas yang sedang mengadaptasi budaya baru. Gangguan mental bertanggung jawab atas banyaknya penderitaan yang dialami oleh

manusia

kemanusiaannya,

dari

ketidakmampuannya

sampai

pada

dalam

ketidakmampuan

mengembangkan

dalam

menjalani

potensi kehidupan

bermasyarakat dengan harmonis karena dipicu oleh adanya perubahan nilai (Cooper dan Denner, 1998). Diawali dari permasalahan yang telah dikemukakan di muka, penulis hendak menganalisis kesehatan mental yang ditinjau dari perubahan nilai-nilai yang terjadi pada masyarakat. 2. PERUBAHAN NILAI Budaya dibangun oleh komponen nilai yang dipegang dan norma yang dianut masyarakat. Nilai adalah pandangan yang sifatnya abstrak dan ideal sedangkan norma adalah seperangkat prinsip atau aturan yang memainkan peran dalam menyusun tatanan masyarakat (Giddens, 1989). Terkadang konsep mengenai nilai dan norma dicampuradukkan oleh karena itu perlu diketengahkan contoh yang membedakan nilai dan norma. Misalnya tinjauan pada masalah pernikahan, monogami atau poligami adalah mengacu pada nilai tetapi Interaksi antara istri dan mertua adalah mengacu pada

5

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

norma*).

Oleh karena itu dalam pembahasan mengenai pergeseran budaya sebuah

masyarakat tidak lepas dari nilai-nilai yang dipegang sebuah komunitas. Demikian juga dengan perubahan sosial, perubahan sosial selalu mengacu pada perubahan nilai-nilai dan perubahan struktur sosial (Lauer, 2003) Salah satu diskursus mengenai perubahan nilai adalah proses akulturasi. Akulturasi adalah bentuk akomodasi yang dilakukan individu dari satu latar belakang budaya menuju budaya yang lain. Dalam kasus yang dijumpai pada negara berkembang proses akulturasi disebabkan oleh faktor internal berupa keinginan individu dan faktor eksternal berupa tekanan pemerintah (pressure from government). Pada penduduk pribumi (aboriginal communities), proses akulturasi sering disebabkan oleh harapan dari luar penduduk pribumi. Berkaitan dengan dua budaya yang sedang berinteraksi, Berry (1998) memberi label pada budaya yang dominan dalam proses akulturasi (yang kebanyakan adalah budaya dari luar) dengan nama budaya dominan (dominant culture), sedangkan budaya yang tidak mendominasi, yang kebanyakan adalah budaya lokal yang menjadi identitas individu sebelum proses akulturasi, dengan term (non-dominant culture). Lauer (2003) mengatakan bahwa akulturasi mengacu pada pengaruh satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Akulturasi adalah satu pola perubahan dimana terdapat tingkat penyatuan antara dua kebudayaan. Penyatuan ini dapat menimbulkan perubahan dalam kedua kebudyaan. Penyatuan di sini tidak berarti bahwa kesamaannya lebih banyak daripada perbedaannya, tetapi hanya berarti bahwa kedua kebudayaan menjadi semakin serupa dibanding dengan sebelum terjadi kontak antara keduanya. Graves (dalam Berry, 1998) membedakan akulturasi menjadi dua bagian, yaitu akulturasi dalam tingkatan komunitas (group level phenomenon) dan akulturasi psikologis (psychological acculturation). Bagian pertama menekankan pada perubahan budaya sebuah komunitas sedangkan tipe kedua menekankan pada perubahan psikologis

*

Pada beberapa masyakat, ada sebuah norma yang menghendaki suami atau istri memiliki kedekatan dengan mertua. Pada masyarakat lainnya, hubungan antara suami atau istri dengan mertua dibatasi dengan jarak (Giddens, 1989)

6

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

individu. Pembagian ini sangat penting untuk diperhatikan, karena pada akulturasi pada sebuah komunitas, tidak semua individu ikut di dalamnya. Selain ditinjau berdasarkan pembagian berdasarkan partisipan, akulturasi juga dapat ditinjau berdasarkan tiga bentuk, yaitu kesengajaan (voluntariness), perpindahan (mobility) dan kestabilan (permanence). 1. Kesengajaan (voluntariness) Proses akulturasi dilihat dari proses partisipasi individu. Ada individu yang dengan sengaja mengikuti proses akulturasi (misalnya karena berimigrasi), ada juga individu yang tidak sengaja (misalnya karena pengungsian atau pengaruh luar). 2. Perpindahan (mobility). Ada individu yang mengalami proses akluturasi yang dikarenakan berpindah tempat (migrasi atau pengungsian), ada pula yang mengikuti akulturasi karena tidak berpindah (misalnya pengaruh budaya luar pada penduduk pribumi). 3. Kestabilan (permanence) Proses akultuasi berjalan menetap (permanen) ketika individu berada pada tempat yang permanen, dan proses akulturasi berjalan temporer ketika individu tidak menetap pada tempat bersangkutan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa proses akulturasi yang terjadi pada masyarakat Indonesia adalah akulturasi yang ditinjau berdasarkan kesengajaan. Karena sebagai penduduk pribumi yang pasif dan tinggal menetap, akulturasi terjadi karena pengaruh budaya luar melalui media massa, interaksi perdagangan, atau interaksi lainnya. Berry (1998) memfomulasikan strategi akulturasi yang terdiri menjadi empat macam yaitu : integrasi, asimilasi, separasi, dan marjinalisasi. 1. Integrasi. Integrasi didefinisikan sebagai budaya luar (cultural maintenance) yang berkombinasi dengan budaya lokal (host society). Dengan kata lain, individu tetap memegang budayanya tetapi bersamaan dengan hal tersebut individu ingin turut berpartisipasi dan menjadi bagian integral dari jaringan sosial yang lebih besar. 2. Asimilasi. Asimilasi diartikan sebagai tidak adanya kontak dengan budaya lokal tetapi individu lebih memilih kontak dengan budaya luar. Dengan kata lain individu

7

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

tidak menegakkan latar belakang nilai, tetapi justru mencoba berinteraksi pada budaya lain. 3. Separasi. Separasi diartikan sebagai individu hanya mengadakan interaksi dengan budayanya sendiri tetapi pada budaya luar tidak mengadakan interaksi. 4. Marjinalisasi. Marjinalisasi adalah ketiadaan interaksi antara individu dengan kedua budaya, baik budayanya sendiri maupun budaya luar. Keempat macam strategi akulturasi dapat dipaparkan secara visual, dimana tiap strategi bergantung kepada kelompok mana yang dipertimbangkan. Paparan visual tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Apakah individu berinteraksi pada identitas dan karakteristik budayanya?

Apakah individu

Ya

tidak

Ya

INTEGRASI

ASIMILASI

tidak

SEPARASI

MARJINALISASI

berinteraksi dengan masyarakat luar?

Gambar 2. Paparan Visual Strategi dalam Proses Akulturasi Konsep integrasi yang diperkenalkan oleh Berry (1997) tercampurkan dengan definisi umum dalam berbagai pendekatan, misalnya pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi mendefinisikan integrasi sebagai integrasi individu dalam kelompoknya yang membicarakan partisipasi individu dalam kelompok sampai dengan integrasi nilai, norma dan peran dalam kelompok (Giddens, 1989). Akulturasi kerap berlawanan dengan pengalaman baru individu. Akulturasi merupakan stresor yang menantang individu yang mampu menurunkan status kesehatan mental individu. Pada model akulturatif stres, strategi integrasi dalam mengantisipasi memunculkan dengan kesehatan mental individu yang optimal, sebaliknya strategi marjinalisasi menurunkan kualitas kesehatan mental (Giddens, 1998). Selain itu juga beberapa penelitian menemukan bahwa strategi akulturasi juga berkaitan dengan kesehatan mental individu. Melalui studi yang dilakukan di Asia Selatan (Krishnan dan Berry, dalam Berry 1998) menemukan bahwa integrasi berkaitan dengan rendahnya tingkat stres, separation berperan pada stres psikosomatik

8

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

(psychosomatic stress) dan asimilasi memberikan peran pada munculnya stres psikologis (psychological stress). Studi pada tempat yang lain juga menemukan hal yang sama, yaitu asimilasi dan marjinalisasi berperan terhadap munculnya evaluasi negatif individu, tendensi depresi, stres psikologis dan stres psikosomatis. Integrasi dapat dengan mudah dilakukan oleh individu ketika budaya non dominan dapat mengadopsi beberapa nilai fundamental budaya yang dominan dan pada saat yang bersamaan budaya yang dominan juga mampu beradaptasi dengan lembaga masyarakat, misalnya pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Selain itu faktor-faktor seperti rendahnya prasangka (etnosentris, rasis dan diskriminasi) yang dapat memperlancar adanya kerjasama yang saling menguntungkan juga dipertimbangkan sebagai faktor yang berpengaruh. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jayasurya (dalam Berry, 1998) menemukan bahwa individu yang memiliki orientasi terhadap proses akluturasi dan ingin berperan serta pada tataran masyarakat yang lebih luas dan menahan latar belakang nilai yang dimilikinya, cenderung dapat mengakomodasi proses akulturasi. Perubahan nilai selalu menimbulkan reaksi pada individu. Moenir (1992) mengelompokkan reaksi-reaksi perubahan dalam beberapa macam. 1. Perasaan-perasaan Dasar terhadap Perubahan. Pada dasarnya instink manusia merasa bahwa perubahan adalah hal yang membuat kestabilan manusia terganggu. 2. Perasaan-perasaan Tidak Aman. Perasaan tidak aman merupakan konsekuensi logis yang dikarenakan aspek kehidupan individu menjadi berbeda dari biasanya. 3. Norma-norma dan Keyakinan Budaya. Tergantung seberapa mirip budaya yang masuk dengan budaya yang dimiliki, individu akan dapat menerima perubahan. 4. Kepercayaan, yang berkaitan dengan seberapa besar tingkat kepercayaan individu terhadap terhadap perubahan. 5. Pengalaman. Individu yang pernah memiliki banyak pengalaman mengenai perubahan akan mudah menerima perubahan karena dimaknai sebagai transisi menuju peningkatan. 6. Ancaman. Apabila perubahan dipersepsi mengancam kebutuhan yang mendasar, maka perasaan terancam akan semakin kuat. 7. Kekhawatiran dan Harapan, yang berkaitan dengan kemampuan untuk mencukupi kebutuhan individu.

9

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

8. Cara Perubahan Dilakukan, yang menekankan apakah perubahan dipaksakan atau ditawarkan kepada individu. Jika perubahan merupakan pemaksaan, misalnya karena kebijakan pemerintah maka adaptasi yang dilakukan oleh individu menjadi sukar.

Tabel 1. Beberapa Reaksi Terhadap Adanya Perubahan Reaksi Penerimaan

Tidak Peduli

Penolakan Pasif

Penolakan Aktif

• • • • • • • • • • • • • • •

Indikator Sikap Antusias Mau bekerja sama secara suka rela Menerima perubahan apa adanya Menyerah secara pasif Apatis, tidak tertarik lagi dengan pekerjaan Hanya melakukan yang diminta Tidak ada kemauan belajar Tingkah laku regresif Hanya mengerjakan apa yang ada dalam peraturan Mengerjakan tugas sesedikit mungkin Melambatkan tempo kerja Menarik diri dan menolak pekerjaan Sering membuat kesalahan secara sengaja Cenderung merusak Sabotase terencana

Merton (dalam Giddens, 1989) mengidentifikasi beberapa reaksi individu terhadap ketegangan antara nilai sosial yang dan keterbatasan sarana dalam mencapainya. Reaksi tersebut antara lain: konformis (conformist), dimana individu menerima baik nilai yang dianut dan sarana konvensional. Inovator (innovators) dimana individu menerima nilai sosial akan tetapi menggunakan sumber-sumber ilegal untuk mengikutinya. Secara umum, perubahan nilai-nilai merupakan salah satu syarat terpenting untuk berfungsinya institusi modern secara substansial dan efektif. Penerimaan terhadap perubahan nilai merupakan indikasi kesiapan sebuah komunitas untuk meningkatkan kualitasnya. 3. KESEHATAN MENTAL Kesehatan mental bukan hanya satu dimensi saja dari kesehatan manusia secara keseluruhan. Ia juga merupakan dimensi yang berkaitan dengan kapasitas keberadaan manusia yang meliputi kapasitas dalam berpikir, dalam menetapkan hubungan

10

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

interdependensi dengan individu lain, dalam berkarya, dalam menciptakan budaya dan menemukan makna dalam hidup. dalam hal ini kesehatan mental merupakan hal yang penting dalam perkembangan dan kehidupan manusia secara sosial. Mengingat kesehatan mental memberikan fokus pada faktor resiko dan faktor kerentanan yang dapat mengganggu kesehatan mental individu, gagasan mengenai kesehatan mental tidak hanya berkisar pada terhindarnya individu dari gangguan. Kesehatan mental juga mengkaji konstrak positif mengenai kenyamanan hidup (well being) yang mencerminkan harmoni personal dan sosial (Almeida, 2001). Kesehatan

mental

juga

merangkum

permasalahan

sosial,

misalnya

ketidakmampuan untuk melaksanakan peran individu dalam lingkungan sosial yang ditandai dengan adanya konflik nilai (Proulx, 1988). Banyak riset dengan telah menekankan pada unsur permasalahan sosial dibanding dengan gangguan psikologis. Kebanyakan beberapa psikolog pada tidak lagi menggunakan label diagnostik konvensional tetapi memusatkan pada permasalahan sosial. Kesehatan mental individu terdiri dari komponen fisik, emosi, spiritual dan lingkungan. Ketika komponenkomponen tersebut berhubungan secara harmonis, maka individu akan memiliki kesehatan mental yang optimal. Namun ketika komponen tersebut tidak seimbang (unbalanced), maka ada kesehatan mental individu terganggu. Berry (dalam Pink, 2001), memperkenalkan model stres akulturatif (model of acculturative stress), yang menggambarkan pengaruh stresor yang kuat pada proses akulturasi. Model ini didasarkan pada model stres psikologis (model of psychological stress) dari Lazarus (1984) yang menjelaskan hubungan non-linier antara stresor dengan kesehatan. Proses akulturasi dimulai dari pengalaman dalam menangani (to cope) dua nilai budaya yang berbeda. Individu menilai nilai pada budaya yang baru sebagai hambatan atau tantangan. Proses akulturasi ini menyebabkan ketidakseimbngan pada individu sehingga memunculkan stres. Kesehatan mental bukan sekedar terbebasnya individu dari berbagai macam gangguan psikologis, tetapi lebih dari itu, kesehatan mental berkaitan dengan kapasitas dan kualitas dimana individu mampu beradaptasi dengan perubahan, memanaje situasi yang krisis, mendemonstrasikan hubungan yang bermakna dengan individu lain dan menikmati kehidupan (Almeida, 2001).

11

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa kesehatan mental merupakan status keseimbangan dan harmoni pada internal psikis. Order maupun disorder adalah satu sistem yang terbuka sehingga menyebabkan keduanya bukan merupakan kutub yang berlawanan dalam satu kontinum, dimana yang satu merupakan kebalikan dari yang lain. Order dan disorder adalah dimensi dalam satu proses yang sama dengan hubungan yang sangat kompleks. Akhirnya kita melihat bahwa sehat dan sakit bukan merupakan hal dikotomi. Oleh karena itu Kesehatan mental diartikan dalam kerangka ‘keberfungsian dan kualitas hidup’ (Functioning and Quality of Life). sebagai salah satu area dimana indikasi kesehatan diterapkan pada masa depan kesehatan komunitas (Kovess, 1999). Jahoda (dalam Andersson, 1999) membuat kriteria mengenai kesehatan mental secara positif. Kriteria tersebut antara lain: 1) Sense of identity, yang memuat selfacceptance dan self-esteem. 2) Realizing One’s Potential, yang menjelaskan kemampuan individu merealisasikan potensi yang dimiliki. 3) Unifying Outlook and Sense of Meaning and Purpose To Life, yang menjelaskan cara individu dalam mencapai tujuan hidupnya. 4) Autonomy, yang memuat penentuan diri (selfdetermination) yang disesuaikan dengan harapan masyarakat. 5) Accurate Perception, dalam hal persepsi terhadap realitas tanpa mengindahkan situasi objektif. 6) Mastery Of The Environment, yang termanifestasikan dalam hubungan interpersonal Selain itu ada beberapa ahli lain juga menawarkan kriteria kesehatan mental yang melibatkan beberapa atribut seperti kemampuan koping, optimis, harga diri, kemampuan beradaptasi, aspirasi dan prestasi yang kongruen, perasaan aman, tanggung jawab, menikmati aktifitas yang dilakukan. 4. PERUBAHAN NILAI DAN KESEHATAN MENTAL Kesehatan mental dan kualitas hidup berkaitan erat dengan perubahan sosial dan pergeseran budaya. (Marazina, 2001). Prince (1993) menemukan masalah konflik nilai individu pada masyarakat Quebec dengan menekankan pada reaksi terhadap kesedihan (grief reactions). Dia menemukan nilai sosial pada budaya disana menghambat masyarakat untuk mengekspresikan kesedihannya. Keterkaitan perubahan nilai dengan terganggunya atau meningkatnya kesehatan mental tampak pada beberapa faktor, yang terbagi menjadi faktor fisik dan psikologis.

12

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

Faktor fisik berkaitan dengan penggunaan teknologi dan alat-alat, sedangkan faktorfaktor psikologis berkaitan dengan struktur psikologis individu yang mengalami perubahan nilai: Kehendak dari adanya perubahan nilai. Para ahli psikologi sosial yang lebih banyak meneliti perubahan dalam konteks modernisasi dan perubahan sosial seperti Hagen dan McClelland, memusatkan perhatian pada peranan individu dalam masyarakat yang sedang membangun. Masyarakat yang sedang membangun memerlukan sejenis individu dengan karakter tertentu, misalnya memiliki kepribadian kreatif (Hagen), memiliki motivasi berprestasi (McClelland) dan manusia modern (Inkeles). Kesemua ahli berpandangan bahwa perubahan memerlukan sejenis individu yang membantu modernitas (Giddens, 1989). Masalah muncul ke permukaan ketika kualitas-kualitas yang dibutuhkan pada periode baru setelah perubahan tidak dimiliki oleh individu, misalnya kemandirian, kepribadian tahan banting, harga diri, strategi koping dan keterampilan sosial. Kesiapan individu. Selain berkaitan dengan tingkat perubahan nilai secara objektif, keterkaitan perubahan nilai dengan kegelisahan individu juga berkaitan dengan tingkat perubahan yang dibayangkan individu (Lauer, 2003). Semakin tinggi tingkat perubahan yang dibayangkan individu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dirasakan. Korelasi antar kedua variabel ini rendah ketika individu memaknai perubahan sebagai sesuatu hal yang dikehendaki untuk memperbaiki taraf hidup mereka (Andersson, 2001). Hasil yang sama juga ditemukan melalui penelitian yang dilakukan oleh Vinohur dan Selzer. Mereka menemukan bahwa perubahan nilai berhubungan langsung dengan ketegangan psikologis dan kegelisahan (restless) individu. Tingkat perubahan yang tinggi ternyata menimbulkan ketagangan yang lebih besar dibanding dengan tingkat perubahan yang rendah. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Vinohur dan Selzer (1999) adalah: ketegangan yang tinggi terjadi ketika perubahan yang dibayangkan berjalan dengan cepat dan tidak dikehendaki. Keterbukaan individu terhadap nilai masyarakatnya dan nilai masyarakat luar. Individu yang mencapai dan menghendaki intergrasi mengalami sedikit masalah. Sebuah studi yang dilakukan di Amerika tengah menemukan bahwa individu yang

13

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

mencari integrasi (seeking integration) memiliki simptom psikologis yang relatif lebih rendah daripada individu yang mencari akulturasi dengan cara lain. Individu yang memiliki perasaan terpinggirkan (marginalized) memiliki tingkat akulturasi stres yang tinggi. Sebuah studi dilakukan oleh Holsinger (Lauer, 2000) pada lembaga pendidikan, menemukan bahwa pada sekolah-sekolah yang memiliki keterbukaan terhadap nilainilai memiliki sekor kemodernan yang tinggi. Sekolah-sekolah ini dalam praktek kesehariannya mencoba merangkum masukan-masukan dari luar untuk meningkatkan kualitasnya. Komitmen Individu terhadap nilai. Suseno (2000) mengibaratkan tatanan nilainilai di dalam masyarakat yang sudah berjalan antar generasi ibarat sebuah taman norma-norma. Tidak ada keraguan bagi masyarakat tersebut untuk memegang normanorma tersebut karena mereka sudah mengalami proses pembatinan (internalisasi) norma-norma tersebut. Di sisi lain norma-norma terbukti sudah mengawal kehidupan masyarakat agar tetap berada dalam keseimbangan. Oleh karena itu, ketika angin puyuh dari luar (pengaruh nilai-nilai eksternal) melabrak taman tersebut, permasalahan yang signifikan tidak muncul ke permukaan. Analogi yang dikemukakan oleh Suseno (2000) ini dapat dipakai untuk meninjau munculnya permasalahan individu yang dikarenakan perubahan nilai. Masalah muncul tatkala individu tidak memiliki komitmen terhadap sebuah nilai. Contoh konkrit mengenai hal ini dikemukakan oleh Budiman mengenai korban mode (Psikomedia, 2001). Budiman mengatakan bahwa korban mode adalah ketidaksiapan mentalitas pemakai dalam menerima nilai yang dibawa oleh pakaian. Dikatakan oleh Budiman, bahwa mengenakan rok mini berarti menerima konsekuensi untuk yakin bahwa bagian tubuh tertentu dengan sengaja dipertontonkan. Oleh karena itu kalau seorang gadis masih malu-malu “gadis timur” dalam memakai rok mini maka ia belum memiliki komitmen dengan budaya luar (Psikomedia, 2001). Secara lebih gamblang ketegangan dan stres yang dialami pada waktu perubahan nilai dapat ditilik dari Berry (1997) yang mengemukakan proses akulturasi dua budaya. Berry membagi proses akulturasi menjadi dua bagian, yaitu level kelompok dan level individu. Dari model tersebut dapat diketahui mengenai faktor-faktor yang

14

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

mempengaruhi terjadinya adaptasi yang merupakan muara akhir dari akulturasi. Paparan secara visual dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 2, Tahap-tahap akulturasi budaya (Berry, 1998) Gambar 2 memperlihatkan bahwa sebelum menuju pada adaptasi, tahap-tahap sebelumnya dipengaruhi oleh beberapa variabel yang menjadi mediator dan sekaligus dapat menjadi moderator, misalnya strategi koping. Strategi koping menjadi mediator ketika menghubungkan stresor dan reaksi terhadap stres, dan menjadi moderator ketika menghubungkan tingkat stresor dan stres yang dialami individu. Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan di muka, periode munculnya ketegangan-ketegangan pada diri individu dapat dimaknai sebagai transisi logis sebelum menuju kepada adaptasi terhadap perubahan nilai. Oleh karena itu para ahli mengguanakan term yang positif ketika membahas perubahan nilai adalah perubahan perilaku (behavioral shift), pendidikan budaya (culture learning) atau keterampilan sosial (social skill acquisition). Munculnya masalah pada individu maupun komunitas dalam bentuk tindakan kriminal, penyalahgunaan obat terlarang, tindakan asusila, ataupun munculnya simtom-simtom patologis, merupakan wujud dari kurang berperannya faktor-faktor moderator (strategi koping, dukungan sosial, kepribadian

15

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

tahan banting, kemandirian) pada proses perubahan nilai. Oleh karena itu muncullah beberapa status yang menggambarkan hal ini, misalnya guncangan masa depan (culture shock) atau accultirative stress yang terbukti memunculkan depresi dan gangguan psikologis (mental disease) (Berry, 1998). Munculnya status seperti ini karena perubahan nilai dapat menghadapkan individu pada stresor yang memaksa individu untuk melakukan koping dan mendemonstrasikan potensi (personal resources) yang dimilikinya. PENUTUP Tidak setiap jenis perubahan sosial berkaitan dengan gangguan psikologis. Perubahan budaya yang dibarengi dengan perubahan dalam bidang sosial dan psikologis memang terbukti meningkatkan ketegangan yang dirasakan anggota masyarakat. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa ada sebuah tingkat perubahan yang membawa pada kemanfaatan, Starbuch (Lauer, 2000) menamakannya dengan perubahan optimal. Dari hasil penelitiannya pada kehidupan organisasi, Starbuch menemukan bahwa individu tidak senang ketika berada pada lingkungan yang terlalu stabil. Seidenberg (Lauer, 2000) lebih jelas memformulasikan kondisi tersebut dalam “trauma yang ditimbulkan ketiadaan persaingan” dimana situasi yang memiliki sistem tertutup dapat menimbulkan trauma.

16

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

DAFTAR PUSTAKA Almeida, J.M.C. 2001. Mental Health Is Public Health: Need To Enhance The Value And Visibility Of Mental Health. Makalah, dalam Seminar Mental Health Community And Culture In The Eu Member States. tidak diterbitkan. Andersson, L. 1999. What Are The Challenges For Good Mental Health Among The Elderly? Makalah, tidak diterbitkan. European Conference on Promotion of Mental Health and Social Inclusion. Ministry Of Social Affairs And Health Berry, J.E. 1998. Acculturation and Health: Theory and Research. In Kazarian S.S & Evans D. (eds). Cultural Clinical Psychology: Theory, Research and Practice. New York: Oxford University Press. Cooper, C. R. dan Denner, J. 1998. Theories linking culture and psychology: universal and community-specific processes. www. Findarticles.com Darmadi, S. 2002. Tercabik- cabiknya Kesetiakawanan Sosial. Suara Merdeka Kamis, 20 Desember 2001 Giddens, A. 1989. Sociology. Cambridge: Polity Press Ikeda, D. 1990. Hidup: Muiara Penuh Rahasia. Jakarta: PT Indira Kleden, K. 2002. Kebangkrutan Moral Atau Ketakutan Politik?. Kompas 20 Maret 2001. Kompas Sabtu, 09 November 2002. Nilai Kejuangan Tergeser Nilai Global. Kovess. V. 1999 Need For A Comprehensive Mental Health Monitoring System In Europe Mental Health Is Public Health. Makalah, tidak diterbitkan. European Conference on Promotion of Mental Health and Social Inclusion. Ministry Of Social Affairs And Health Lazarus, R.S. 1984. Emotion and Adaptation. New York: Oxford Press. Lauer, R. 2003. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Masalah Sosial di Perkotaan Yogyakarta. www. jogjakita.or.id/appetite/sos1.php Mezzina, R. 2001. Globalisation and the challenge for mental health services. Birmingham. Tidak diterbitkan. Moenir, H.A.S. 1992. Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia. Indonesia: Penerbit Bumi Aksara. Pink, G. 2001. Social Integration, Well-Being And Specific Stressors Of Adolescent Migrants In Graz. Makalah dalam seminar Mental Health Community And Culture In The Eu Member States. Tidak diterbitkan. Psikomedia, Edisi Maret 2000. Korban Mode.

17

Perubahan Nilai dan Kesehatan Mental

Servaes, M. 1999. Invited Comment. Makalah, tidak diterbitkan. European Conference on Promotion of Mental Health and Social Inclusion. Ministry Of Social Affairs And Health Sioui, G. (1992). For An Amerindian Autohistory: An Essay on the Foundations of a Social Ethic . Montreal: McGill-Queen's Press. Suseno, F.M. 2000. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius Zohar, D. dan Marshal I. 2000. Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan

18