Aliran kalam yang menyatakan bahwa al qur an adalah makhluk bukan kalamullah adalah

Aliran kalam yang menyatakan bahwa al qur an adalah makhluk bukan kalamullah adalah
Para ulama menyebutkan salah satu sifat Al qur’an adalah Kalâmullah. Ungkapan ini disebut sebanyak tiga kali dalam Al qur’an, dalam Surah Al Baqarah (2) ayat75, ayat 6 dan Al Fath (48) ayat 15 dan at-Taubah (9) ayat 6  dan ayat terakhir ini terkait dengan Al qur’an sendiri.

Allah SWT. berfirman:

وَ إنْ أحدٌ مِنَ المُشْرِكينَ اسْتَجارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كلامَ اللهِ ثُمَّ أبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَومٌ لا يَفْقَهُون.

Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta pelindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia mendengar Kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahuai.(QS:9;6)

Dan sebelum kita menelaah pengertian yang terkandung di balik penamaan Al qur’an dengan Kalamullah marilah kita sedikit mempelajari tafsir ayat di atas.

Dalam ayat-ayat sebelumnya ditegaskan hukum diangkatnya kekebalan pengamanan atas orang-orang Musyrik, kecuali mereka yang memiliki perjanjian perdamaian kepada kaum Muslim. Dan ayat ini berfungis sebagai penepis anggapan bahwa semua kaum Musyrik tanpa terkecuali disamaratakan dalam hukum di atas. Ayat ini mengatakan bahwa jika ada seseorang dari kaum Musyrik- sekalipun bukan dari mereka yang telah memiliki perjanjian pengamanan- datang dan meminta perlindungan dengan tujuan ingin mendapatkan kejelasan tentang kebenaran agama Allah, maka lindungilah ia sehingga ia dengan leluasa mendengar dan mengenal kebenaran agama Islam, kemudian setelah ia mendapatkan kejelasan bukti-bukti kebenaran Islam sampaikan ia ketempat semula di mana ia mendapat keamanan agar ia memiliki kebebasan untuk melilih sikap, apakah menerima kebanaran Islam atau tidak.

Ayat di atas diperlukan dan sangat tepat penempatannya mengingat pondasi da’wah Islam dengan berbagai fariasinya seperti janji dan ancaman, bertia gembira dan peringatan, dan konsekuensinya seperti penetapan perjanjian, hukum peperangan dll. adalah untuk menghalangi manusia dari kesesatan dan membimbing menuju petunjuk dan kesadaran serta menyelamatkan dari kesengsaraan kemusyrikan menuju kebagaian konsep tauhid.

Dan ini semua meninscayakan adanya perhatian yang serius terhadap semua jalan yang dapat diharap darinya sampainya petunjuk dan sukses menebar kebenaran, walau itu kecil dan sedikit. Dan kendati seorang Musyrik yang bukan mu’ahid (memiliki ikatan perjanjian damai dengan kaum Muslim) telah diangkat kekebalan dzimmah  (pengamanan)nya dan dihalalkan darahnya serta ditiadakan hak kehormatan semua yang terkait dengannya, seperti harta dan kehormatan, namun demikian Allah SWT. menetapkan yang demikian agar kebenaran hidup subur dan kebatilan menjadi padam. Oleh karenanya apabila ada padanya secerca harapan kebaikan dan keseriusan mengenal kebenaran dan meninggalkan kesesatan kemusyrikan maka hukum-hukum di atas tidak diberlakukan, agar ia berlpeuang mendengar hujah kebenaran. Dan apabila setelah itu ia tetap bersih-keras menolak kebenaran Allah SWT. Dan di rasa tidak ada harapan memberinya petunjuk dan menyelamatkannya dari kesesatan, maka hukum awal diberlakukan kembali.

Jika ada seseorang dari kaum Musyrik meminta perlindungan pengamanan atas dirinya dengan tujuan mendengar Kalamullah dan menyingkap dari mata hatinya tabir kejahilan serta tegaknya hujjah kebenaran atasnya, maka wajib hukumnya untuk memberikan perlindungan, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui kebenaran dan adalah kewajiban da’wah untuk mengenalkannya. Dan apabila ia tetap bersikras dalam kesesatan dan keangkuhannya maka ia akan tergolong mereka yang di cabut darinya kekebalan dan pengamanan. Bumi Allah SWT. harus dibersihkan dari kekotoran keberadaanya dengan cara apapun. Ini kira-kira yang dapat difahami dari pengertian ayat di atas.

Dan konsep ini adalah puncak perhatian Islam terhadap dasar-dasar keutamaan dan kehormatan serta menebar rahmat, kelemah-lembutan dan kemulian manusia yang dijunjung tinggi oleh Islam.

Dari keterang ringkas di atas dapat difahami beberapa hal:

  1. Ayat di atas mengkhususkan keumuman ayat sebelumnya yang memerintahkan memerangi kaum Musyrik di manapun mereka berada.
  2. Firman “supaya ia mendengar Kalam Allah”sebagai tujuan istijârah (permintaan pengamanan) dan ijarah (pemberian pengamanan). Ia diberi perlindungan agar dapat mendengar firman Allah SWT. dan menanyakan apa yang ia butuhkan demi mendapat kejelasan. Dan apabila ia telah mendapatkan kesempatan untuk itu maka cukuplah baginya perlindungan yang diberikan untuknya dan tibalah saatnya ia dipersilahkan kembali ketempat yang aman baginya. Pedang-pedang kaum Muslim tidak akan mengancamnya atau memaksanya kenerima kebanaran Islam, ia babas memilih sikap sesuai dengan kebebasannya.
  3. Yang di maksud dengan Kalâmullah di sini adalah ayat Al qur’an yang manapun yang dapat memberinya kejelasan tentang dasar-dasar ajaran Allah SWT. Dan menepis keraguan-keraguan yang menghinggap di pikirannya.
  4. Yang di maksud dengan mendengar Kalâmullah adalah mengenal kebenaran dan dasar-dasar agama, walaupun dapat juga diartikan mendengan firman dalam teks aslinya, tentunya bagi yang mengerti bahasa Arab dengan baik. Dan apabila ia bukan yang mengerti bahasa Arab dengan baik maka maksud darinya ialah mengenal dasar-dasar agama.
  5. Hukum yang terkandung dalam ayat di atas tetap muhkam (tidak mansukh), sebab dalam dasar pandangan Islam, tiada sanksi yang akan diberlakuknan sebelum tegaknya hujjah dan bukti.
  6. Ayat di atas mewajibkan hukum memberikan perlindungan apabila ia meminta perlindungan untuk kepentingan agama, bukan untuk kepentingan duniawi, seperti bergadang atau tour misalnya. Dan apabila tidak, maka tidak ada petunjuk kewajiban dalam ayat itu.
  7. Ayat ini memuat petunjuk betapa besar perhatian Islam dalam membuka pintu hidayah di hadapan manusia dan meberikan kebebasan memlilih, agar yang sukses, ia sukses atas kejelasan bukti dan begitu juga yang celaka, ia celaka atas pilihannya sendiri setelah tegaknya bukti kebenaran baginya.
  8. Ayat di atas juga memberikan pejunjuk bahwa keyakinan dasar agama haruslah diterima dengan dasar kepastian keyakinan bukan dengan jalan taklid buta.

 Allah SWT. Adalah Mutakallim

Umat Islam sepakat –berdasarkan bukti Al qur’an dan sunnah- bahwa Allah SWT. adalah Mutakallim. Konon masalah ini adalah masalah pertama yang menyibukkan pikiran para sarjana dalam ilmu Kalam. Perbincangan seputar kalâmullah; apa dan bagaimana telah menyita perhatian para teoloq Islam di masa para Khulafa’ bani Umayyah dan Abbasiyah dan telah menimbulkan perpecahan di tenganh-tengah umat Islam. Perdebatan seputar masalah ini mendapat sambutan dari para Khulafa’ dengan tujuan agar para ulama’ dan pemikir Islam tersibukkan dari mengkritik tingkah laku dan kebijakan mereka. Di samping itu musuh-musuh Islam –dari kalangan Nasrani-yang menyusup di tengan-tengan masyarakat Muslim ikut serta memanaskan suasana perdebatan tidak sehat itu, seperti Yohanes ad-Dimasyqi, seorang pejabat tinggi di istana dinasti Umawiyyah.[1]

Dan sebelum kita menyimak pandangan mazhab-mazhab Islam tentang hakikat Kalâmullah dan apakah ia qadim atau hâdist, marilah kita memperhatikan ayat-ayat Al qur’an yang menyebut sifat ini untuk Allah SWT.

Allah SWT. berfirman:

تِلكَ الرُسُلُ َفَضَّلْنا بَعْضَهُمْ على بَعْضٍ, مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللهُ.

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagaian (adri) mereka atas sebagaian yang lain. Diantara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia)…”. (QS:2;253)

وَ كَلَّمَ اللهُ موسَى تَكْلِيْما.

“Dan Allah telah berbica kepada Musa dengan langsung”. (QS:4;164)

و لما جاءَ موسى لِمِيْقاتِنا و كَلَّمَهُ رَبُّهُ.

Dan tatkala Musa dating untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami temtukan dan Tuhannya telah berfirman (langsung) kepadanya.(QS:7;143)

و ما كان لِبَشَرٍ أنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إلاَّ وَحْيًا أوْ مِنْ وراءِ حِجابٍ أو يُرسِلَ رسولاً فَيُوحِيْ بِإذْنِهِ ما يَشاءُ إنَّهُ عَلِيٌّ قَديرٌ.

Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi Maha Bijaksana. (QS:42;51)

Dalam ayat terakhir di atas Allah menerangkan kalam Allah SWT. dilakukan melalui tiga cara:

  1. Dengan perantaraan wahyu.
  2. Atau dari belakang tabir.
  3. Atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat).

Dengan perantaraan wahyu isyarat kalam/firman yang dilontarkan langsung kepada para nabi dengan cara yang samar dan cepat, seperti difahami dari arti kata wahyu sendiri, sebagaimana telah di terangkan sebelumnya.

Atau dari belakang tabir isyarat kedapa kalam yang di dengar oleh Nabi Musa as, seperti di terangkan dalam ayat 30 surah Al Qashash, dimana Allah SWT. menciptakan suara yang di dengan Musa as. dari balik sebatang pohon.

Atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) isyarat kepada wahyu yang disampaikan melalui perantaraan malaikat, seperti di sebut dalam ayat193-195 surah asy-Syu’araa’:

“Dan sesungguhnya Al qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam* dia di bawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril)* ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah satu di antara orang-orang yang memberi peringatan…”. (QS:26;193-195)

Dan pada kenyataannya bahwa dalam ketiga cara di atas yang mewahyukan adalah Allah SWT. terkadang secara langsung  tanpa perantaraan, terkadang dari balik tabir dengan menciptakan suara dan terkadang melalui perantaraan malaikat pembawa wahyu (Jibril).

Hakikat Kalâmullah

Tentang apa dan bagaimana kalamullah, terdapat perbedaan di antara para ulama’. Di bawah ini akan kami sebutkan secara ringkas pendefenisian mereka.

  1. Konsep Mu’tazilah dan Syi’ah Imamiyah:

Kalamullah adalah suara dan huruf yang Allah SWT. ciptakan pada sesuatu tertentu, seperti  Lauhul Mahfudz, Jibril atau seorang nabi. Ia (kalam) tidak berdiri pada Dzat Allah SWT. Jadi Makna Allah Maha Mutakallim (Berbicara) ialah Dia mewujudkan kalam (pembicaraan), dan tidak termasuk syarat pelaku sesuatu pekerjaan bahwa pekerjaan itu bersemayam pada pelakunya.[2]

Dan pengertian seperti di atas tidak diperselisihkan oleh kelompok lain, hanya saja, seperti kelompok Asy’ariyah menetapkan pengertian lain tentang makan kalam. Dalam Syarah Al Mawâqif di katakan: Pengertian yang dikatakan oleh kaum Mu’tazilah tidak kami (Ahlusunnah_pen) tolak, kami juga mengatakannya dan menamakannya dengan kalam lafdzi, kami mengakuinya sebagai Hâdits  (tidak qadim_pen) dan tidak bertempat pada Dzat Allah – ta’ala-, akan tetapi kami menetapkan perkara lain di balik pengertian di atas.[3]

Dan konsep Kalâmullah di atas tepat dalam pengertian pembicaraan yang dialamatkan kepada seseorang atau umat, dan berdasarkan pengertian di atas, ayat-ayat yang saya sebutkan sebelumnya harus difahami. Adapun pengertian kalam Allah SWT. ketika tidak ada lawan bicara, maka pengertiannya ialah pekerjaan Allah SWT. yang menampilkan Kemaha Indahan Dzat-Nya, sebagaimana dikemukakan dalam konsep Hukama’ yang akan saya sebutkan. Allah SWT. dalam banyak ayat Al qur’an telah menyebut pekerjaan-Nya dengan sebutan kalam.

  1. Konsep para Hukama’ (Orang Bijak):

Kalam Allah SWT. tidak terbatas pada apa yang didefinisikan kelompok Mu’atzilah. Alam raya ini adalah kalam Allah, Allah SWT. ber-kalam dengan arti mewujudkannya dari ketiadaan dan dengannya Allah menampakkan Asma’ dan sifat-sifat-Nya yang tersimpan.

Kalamullah adalah huruf dan suara yang tegak pada Dzat Allah SWT., ia adalah bersifat Qadim. Sebagian dari kelompok ini cukup ekstrim sehingga mengatakan bahwa sampul dan kertas yang bertuliskan huruf-huruf Al qur’an juga bersifat qadim.[4] 

Konsep yang dicetuskan Abul Hasan Al Asy’ari tidak berbeda dengan konsep ketiga di atas, hanya saja ia memodifikasi sehingga diharap tidak bertentangan dengan akal sehat. Ia mengatakan bahwa berfirman termasuk sifat Dzat, akan tetapi tidak seperti konsep konyol kelompok Hanbali, ia mengartikannya dengan Kalam Nafsi. Artinya sesuatu yang ada dalam benak seorang pembicara ketika ia hendak menyampaikan sebuah pembiracaraan, ia bukan terdiri dari huruf atau suara. Allah Maha Mutakallim artinya apa yang ada dalam Dzat Allah SWT. sejak azali.

Konsep kalam nafsi kendati masyhur dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy’ari (pendiri aliran Asy’ariyah), namum kita tidak dapat menemukannya dalam dua buku beliau, baik dalam Al Ibanah maupun dalam Al Luma’. Dalam keduanya beliau hanya menekankan masalah bahwa kalam Allah itu bukan makhluk.

Kalâmullah Qadîm Atau Hâdits\Makhluk

Pada akhir abad kedua Hijrah muncul perbincangan seputar masalah apakah kalamullah makhluk atau qadim. Kaum Mu’tazilah dengan dukungan Khalifah Ma’mun meyakini bahwa Al qur’an adalah makhluk.

Pada tahun 212 H. Khalifah Ma’mun mengumumkan bahwa mazhab yang haq adalah bahwa Al qur’an makhluk. Sejak itu ia mengajak meyakininya dalam majlis-majlis diskusi yang ia adakan di istana kekhalifahan. Ia mengemukakan argumentasi mantap tentangnya, dan masing-masing peserta diberi kebebasan menyampaikan pendapatnya.

Akan tetapi pada tahun218 H. yaitu tahun kematiannya, ia berpendapat untuk memaksa dengan kekuasaannya agar semua meyakini seperti pendapatnya. Ia menulis sepucuk surat kepada gubenur kota Baghdad; Ishaq bin Ibrahim berisikan pendapatnya tentang Al qur’an dan meminta semua meyakininya. Maka Ishaq bercepat-cepat melaksanakan perintah tersebut dan mengumpulkan para ulama’ dan merekapun menyatakan sependapat dengan Khalifah Ma’mun, kecuali empat ulama’: Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Nuh, Al Qawariri dan Sajadah, mereka bertahan mengatakan bahwa Al qur’an bukan makhluk. Atas sikap mereka, mereka diborgol. Dan kemudian dua dari mereka menyerah dan mengikuti pendapat Khalifah Ma’mun sementara dua lainnya, yaitu Ahmad dan Muhammad bin Nuh bertahan. Keduanya di giring ke kota Thurthus untuk dihadapkan kepada Khalifah Ma’mun, dan di tengah jalan Muhammad bin Nuh meninggal dunia. Dan sebelum Imam Ahmad sampai dan di hadapkan kepada Khalifah Ma’mun, sang Khalifah mati dan berwasiat kepada penerusnya agar berjalan atas kebijakan yang sama. Dan Khalifah Al Mu’tashim kemudian Al Watsiq berkuasa sepeninggal Ma’mun dan merekapun menempuh kebijakan yang sama.

Seperti telah disinggung bahwa Ahli hadis, dan di barisan terdepan mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal adalah kelompok yang menyakini bahwa kalamullah adalah bukan makhluk. Ia menanggung berbagai penderitaan dalam mempertahankan keyakinannya. Ia menyakini konsep tersebut walaupun tidak ada nash tentangnya baik dari Nabi saw. maupun dari para sahabat. Memang pada awalnya ia menyakini bahwa berbicara seputar masalah itu adalah bid’ah akan tetapi setelah topan fitnah berlalu dengan kematian para penguasa Abbasiyah yang memaksa para ulama’ menyakini bahwa Al qur’an adalah makhluk\hâdits, dan lahirlah era baru -sepeninggal Khalifah Ma’mun dan dua penerusnya; Khalifah Al Mu’tashim kemudian Al Watsiq- di bawah kekhilafahan Al Mutawakil yang bertolak belakang dengan para pendahulunya serta mendukung pandangan Imam Ahli hadis, dan meminta Imam Ahmad untuk mengemukakan pandangannya tentang Al qur’an, beliau menegaskan bahwa ia bukan makhluk, kendati demikian- kata Abu Zuhrah- tidak pernah dinukil dari Ahmad bahwa beliau mengatakan bahwa Al qur’an itu qadim.[5]

Dan apabila kita menengok sejarah kebelakang, maka kita akan menemukan bahwa masalah Al qur’an bukan makhluk itu telah muncul di abad kedua Hijrah. Orang pertama yang mengatakannya adalah Ja’ad bin Dirham hanya saja pendapat itu terpendam hingga masa Khalifah Ma’mun.

Komentataor kitab Al Ushul Al Khamsah karya Abdul Jabbar mengatakan: pembicaraan seputar Al qur’an dan Kalâmullah adalah salah satu masalah penting yang dihadapi para pemikir Islam. Ia telah menimbulkan kekacauan besar di tengah-tengah barisan para ulama’ dan kaum awam dan terkait dengan sebuah bencana besar yang di kenal dengan bencana Imam Ahmad bin Hambal. Slogan kedua teori itu ialah “Apakah Al qur’an itu makhluk atau bukan makhluk?”. Kelompok Mu’tazilah berada di barisan yang mengumandangkan konsep Al qur’an makhluk, mereka merangkul kedalam barisan mereka Kahlifah agung yaitu Ma’mun dan seorang adi patih agung yaitu Ahmad bin Abi Daud. Dalam perselisihan itu banyak yang menjadi korban dan mereka yang meyakini bahwa Al qur’an itu bukan makhluk bertahan di atas pendapat mereka, mereka tidak menikmati sedikitpun urusan pemerintahan. Dan mereka yang meyakini bahwa Al qur’an adalah makhluk mulai mundur teratur di bawah tekanan massa dan Imam Ahmad bin Hambal keluar dari kemelut bencana sebagai pemenang dan contoh model keteguhan dalam mempertahankan keyakinan\akidah. Sebagaimana kelompok Mu’tazilah dengan sikap mereka dan usaha mereka untuk memaksa manusia meyakni seperti keyakinan mereka menampilkan contoh buruk campur tangan dalam masalah pemikiran, padahal mereka adalah penganjur kebebasan berfikir.[6]

Dan setelah menyimak sekilas sejarah pergolakan pemikiran antara kedua kelompok bersetru di atas, marilah kita simak komentar mereka:

Al qur’an Makhluk Atau Bukan Makhluk?

Imam Ahmad bin Hambal berkata: Al qur’an Kalâmullah bukan makhluk. Barang siapa menganggap bahwa Al qur’an makhluk maka ia adalah orang Jahmi, ia kafir. Dan barang siapa mengatakan bahwa Al qur’an kalamullah– Azza wa Jalla– dan berhenti, tidak mengatakan apakah ia makhluk atau bukan makhluk maka ia lebih jahat dari yang pertama. Dan barang siapa mengatakan bahwa ucapan dan bacaan ayat-ayat Al qur’an kita itu makhluk dan Al qur’an adalah Kalâmullah maka ia adalah Jahmi. Dan barang siapa yang tidak megkafirkan mereka semua maka ia seperti mereka juga…[7]

Abul Hasan Al Asy’ari berkata, “Kami berpendapat bahwa Al qur’an adalah Kalamullah, ia bukan makhluk dan barangsiapa mengatakan ia makhluk maka ia telah kafir.”[8]

Dalam kitabnya Al Ibanah, Abul Hasan Al Asy’ari menukil berita tentang  kemusyrikan Abu Hanifah (Imam mazhab Hanafi) dan sikap berlepas tangan darinya karena ia meyakni bahwa Al qur’an itu makhluk. Demikian juga pemaksaan atas Ibnu Abi Laila agar betaubat karenanya, dan iapun menyatakan bertaubat karena takut ancaman.[9]

Dan Imam Bukhari-pun Dikafirkan!!

Imam Bukhari di antara mereka yang menjadi korban pengkafiran Imam Ahmad dan Al Asy’ari, sebab Imam Bukhari termasuk tokoh kelompok Lafdziyah yang berpendapat bahwa bacaan Al qur’an kita adalah makhluk. Para ulama’ seperti adz-Dzahabi kebingungan menghadapi kenyataan ini, di mana Imam Bukhari- imam hadis nomer wahid ini- harus menjadi korban keganasan fatwa pengkafiran Imam Ahmad, adz Dzuhali dan teman-temannya, mengingat konsekuensi pengkafiran itu sangat riskan. Dan selain itu, hal tersebut mencerminkan perseteruan berat antara tokoh-tokoh sentral Ahlusunah yang selama ini di kesankan begitu harmonis dan saling bersikap mesra.[10]

Pandangan Mu’tazilah 

Sementara kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa barang siapa meyakini bahwa Al qur’an bukan makhluk\qadim kama ia telah musyrik[11], karena mensekutukan Allah SWT. dan meyakini ada lebih dari satu yang menyandang sifat qadim.

Sikap Para Imam Ahlulbait as.

Dan di tengah-tengah fanatisme kemazhaban seperti ini hilanglah obyektifitas ilmiah, sehingga terlihat jelas raibnya suasana diskusi sehat dan sikap toleransi. Arogansi ilmiah dan ekstrim serta berjatuhannya korban demi korban mengindikasikan bahwa berkeras-keras dalam masalah ini tidak lagi demi menegakkan kebenaran atau menepis keraguan dari pikiran umat. Akan tetapi masing-masing yang kelompok bertikai tersebut memanfa’atkannya sebagai peluang balas dendam terhadap lawannya. Oleh karena itu kita melihat bahwa para Imam Ahlulbait as. menjauhkan diri dari keterlibatan dalam memperdebatkan masalah ini dan mengarahkan para sahabat mereka agar tidak terhayut dalam perdebatan seputar masalah itu.

Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa riwayat arahan para Imam as.

Ketika Rayyan ibn Shalt bertanya kepada Imam Ridha as.: Apa pendapat Anda tentang Al qur’an? Beliau menjawab:

كلامُ اللهِ لا تَتَجاوَزُوهُ ولا تَطْلُبوا الهُدَى في غَيْرِهِ فَتَضِلُّوا.

Ia adalah kalam Allah, janganlah kamu melampauinya dan jangan kamu mencari petunjuk dari selainnya maka kamu akan tersesat.[12]

Ali ibn Salim meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: Aku bertanya kepada Imam Ja’fa ash-Shadiq as., aku berkata: Wahai putra Rasulullah, apa pendapat Anda tentang Al qur’an? Imam Ja’far as. menjawab:

هُو كلامُ اللهِ, و قولُ اللهِ, و كتابُ اللهِ, و وَحْيُ اللهِ و تَنْزيلُهُ. و هو الكتابُ العزيزُ لا يَأْتِيْهِ الباطِلُ مِنْ بينِ يديْهِ ولا مِنْ خَلْفِهِ, تنزيلٌ مِن حكيمٍ حميدٍ.

“Ia adalah kalam Allah, firman Allah, kitab Allah, wahyu Allah dan Tanzîl-Nya. Dia adalah kitab yang kokoh tiada datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun belakang, (kitab yang) di turunkan dari Dzat yang Maha Bijak dan Maha Terpuji.”[13]

Dan ketika Sulaiman bin Ja’far Al Ja’fari bertanya kepada Imam Musa (Al Kadzim) ibn Ja’far as.: Wahai putra Rasulullah, apa pendapat Anda tentang Al qur’an? Orang-orang di sekitar kita telah berselisih tentangnya, ada sekelompok yang mengatakan ia makhluk dan ada yang mengatakan bukan makhluk. Beliau as. menjawab: Saya tidak berpendapat seperti yang mereka ucapkan. Saya mengatakan bahwa ia adalah kalam Allah.[14]

Dalam hadis terakhir ini kita saksikan Imam Musa as. menhindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah itu mengingat tidak adanya maslahat untuk Islam. Dan mencukupkan dengan memberikan penjelasan bahwa Al qur’an adalah Kalâmullah akan lebih mengubur benih perselisihan. Namun demikian, tidak berarti para Imam as.membiarkan masalah ini tanpa penjelasan tuntas. Ketika mereka melihat situasi mengizinkan dan kondisi diskusi jauh dari fanatisme dan murni mencari penjelasan maka merekapun menerangkan pandangan Islam yang sebenarnya dalam masalah ini. Mereka mengaskan bahwa hanya Allah SWT. Sang Maha Pencipta (Khaliq) dan selain-Nya adalah makhluk, dan Al qur’an bukanlah Dzat Allah SWT. sehingga ia (Al qur’an) yang di turunkan dan Allah (Dzat yang menurunkannya) adalah satu. Al qur’an adalah bukan Allah SWT. dan dengan demikian tidak diragukan lagi ia adalah makhluk.

Muhammad bin Isa bin  Ubaid Al Yaqthini meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa ar-Ridha as.menulis sepucuk surat kepada para Syi’ahnya di kota Baghdad: Dengan nama Allah Maha Penyayang Maha Pengasih. Semoga Allah menyelamatkan kita dari fitnah (kekacauan), jika Dia melakukannya maka Dia telah memberi anugrah besar dan jika tidak maka celaka kita. Kami berpendapat bahwa berdebat tentang Al qur’an adalah bid’ah, bersekutu di dalamnya si penanya dan penjawab. Si penanya melibatkan diri dalam hal yang bukan urusannya dan si penjawab memaksa diri melakukan yang bukan tanggungannya. Dan tiada pencipta kecuali Allah – Azza wa Jalla– dan selain-Nya adalah makhluk. Al qur’an adalah kalamullah, jangan jadikan nama untuknya dari dirimu sendiri maka kamu tergolong orang-orang yang sesat. Semoga Allah menjadikan kami dan Anda dari mereka yang takut kepada Tuhan mereka dengan ghaib dan khawatir terhadap hari kiamat.[15]

______________________

[1] Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah; Abu Zuhrah;294.

[2] Syarah Ushûl Al Khamsah; Al Qadhi Abdul Jabbar (W:415H):528 dan Syarh Al Mawaqif:495.

[3] Syarh Al Mawaqif:1\77.

[4] Al Mawaqif:293.

[5] Tarikh Al Madzahib Al Islamiah:300.

[6] Al Ushûl Al Khamsah:527.

[7] Kitab As-Sunnah; Ahmad bin Hambal.

[8] Al Ibanah:21 dan perhatikan Maqalatul Islamiyyin:321.

[9] Hal:71-72.

[10] Lebih lanjut tentang kebingungan adz-Dzahabi baca: Siyar A’lâm an-Nubalâ’:11\177 dan 11\510,12\79 dan 12\160 dan Mizân Al I’tidal:1\544.

[11] Lihat Al Ilahiyat; Syeikh Ja’far Subhani:1\207.

[12] Musnad Imam ar-Ridha as.:1\307 hadis no.4 dan 10 pada kitab at-Tafsir. Dan Tauhid ash-Shaduq, bab Al Qur’an Ma Huwa, hadis no.2. hal: 223.

[13] Tauhid ash-Shaduq:224, bab Al Qur’an Ma Huwa, hadis no.3.

[14] Ibid, hadis no.5.

[15] Ibid, hadis no.4.