9. jelaskan tiga faktor penyebab kemunduran islam di dunia menurut analisis kalian!

Seiring berjalannya waktu eksistensi masyarakat muslim di berbagai negara terus bertambah. Akan tetapi, eksistensi negara mayoritas muslim dinilai masih perlu ditingkatkan agar mampu berkembang pesat seperti kejayaannya pada masa silam. Oleh karena itu, dalam rangka menyusun kesadaran pola pikir masyarakat muslim, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) UII mengadakan acara yang bertemakan “Imajinasi Membingkai Peradaban Islam”. Acara pada Kamis (15/07) tersebut menghadirkan Prof. Fathul Wahid, S.T., M,Sc., Ph.D. selaku Rektor UII dan Drs. Imam Mudjiono, M.Ag., sebagai pembicara melalui platform daring.

Prof. Fathul Wahid mengungkap beberapa hal yang membuat umat Islam saat ini sedikit mengalami kemunduran. Ia menyebut masyarakat kurang mengapresiasi bakat di dalam dirinya, kurang mampu mengikuti perkembangan zaman, dan lamban dalam menelaah realita sosial. 

“Kegagalan dalam memahami realitas kontemporer menyebabkan kita gagap melihat perkembangan yang ada sehingga seringkali kita menggunakan kacamata yang lama dengan yang baru yang akhirnya esensinya terlewat,” ungkapnya.

Ia juga menekankan peranan ilmu sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kemajuan pola pikir seorang muslim. “Kemudian ilmu itu mendapat posisi yang luar biasa penting dalam kehidupan kita, karena pandangan kita itu dipengaruhi oleh ilmu yang kita kuasai termasuk untuk mengisi hati kita, menjaga eksistensi hati,” ujarnya saat menjadi pemateri.

Di samping itu, Imam Mudjiono berpendapat, kemunduran kaum muslim saat ini tak lain karena banyak masyarakat yang telah meninggalkan kitab suci, yakni Al-Qur’an. Sehingga saat ini kitab suci yang merupakan pedoman kehidupan bagi umat muslim itu hanya sebagai ajang perlombaan, hanya sedikit orang yang mampu mengamalkan isi kandungan dari kitab suci tersebut.

“Orang Islam mundur karena meninggalkan kitab suci mereka. Al-Qur’an hanya dijadikan ajang perlombaan dan ayat-Nya hanya dijadikan tulisan di atas kertas putih kecil,” imbuhnya.

Ia juga menjelaskan, kemajuan pola pikir dan peradaban masyarakat non muslim cenderung mengamalkan kandungan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Sehingga, peradaban masyarakat non muslim secara tidak langsung telah menjalankan hal hal yang terdapat di dalam kandungan kitab suci umat Islam.

“Non muslim disiplin, kerja keras, masalah gatal kepada ilmu, pengabdian, kepedulian kepada fakir miskin mereka amalkan, ini jawaban sangat strategis dari Syaikh Amir Syakib Arslan,” ucapnya.

Pada akhir acara, ia menerangkan bahwa solusi cerdas dalam meningkatkan paradigma berpikir hebat adalah dengan cara mengevaluasi diri sendiri dan mengajak lingkungan sekitar untuk berpikir progresif. “Mari mahasiswa kita mari para siswa kita, kita latih kita wujudkan kita bangkitkan mimpi itu. Dulu Bung Karno pernah bilang gantungkan cita citamu setinggi langit, tapi tidak banyak yang mengamalkan,” pungkasnya. (AMG/ESP)

Kemunduran Peradaban Islam

Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.

Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20M Faktor-faktor tersebut adalah sbb:

Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.

Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.”Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.

Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.

Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.

Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:

Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.

Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.

Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:

…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, ….jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.

Lebih lanjut ia menyatakan:

Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4) orientasi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.

Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.

Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.

Membangun Kembali peradaban Islam

Membangun kembali peradaban Islam memerlukan beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam dimasa lalu, kedua, memahami kondisi ummat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi ummat Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. Yang pertama telah kita bahas di atas, dimana telah digambarkan mengenai cara-cara bagaimana kejayaan peradaban Islam itu dicapai dan bagaimana kejatuhannya itu terjadi. Sedangkan yang kedua akan kita bahas khususnya untuk mencari solusi yang berupa langkah-langkah strategis dan juga praktis. Pada saat yang sama kita perlu memahami Islam dengan menggali konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat membentuk bangunan baru peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman. Artinya dengan konsep-konsep Islam kita dapat bersikap kritis ataupun apresiatif terhadap konsep-konsep yang datang dari luar Islam.

Bagian 2  <<  >>  (Bersambung)

___________
Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil,  lahir di Gontor, 13 September 1958, adalah putra ke-9 dari KH Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Beliau juga Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA dan direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), lulus program Ph.D. dari International Institute of Islamic Thought and Civilization – International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006, setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul ‘Al-Ghazali’s Concept of Causality’, di hadapan para penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Osman Bakar, Prof. Dr. Ibrahim Zein, dan Prof. Dr. Torlah. Prof. Dr. Alparslan Acikgence, penguji eksternal dari Turki, memuji kajian Hamid terhadap teori kausalitas al-Ghazali pada kajian sejarah pemikiran Islam. Sebab, pendekatan Hamid terhadap konsep kausalitas al-Ghazali telah menjelaskan sesuatu yang selama ini telah dilewatkan oleh kebanyakan pengkaji al-Ghazali. 

Comments

comments