5 Apa yang dimaksud dengan asas legalitas dan apa konsekuensinya serta sebutkan sumber hukumnya?

Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan kuliah umum hukum pidana bertemakan “Asas Legalitas dalam Pembahaharuan Hukum Pidana” pada Kamis (18/3). Kuliah umum menghadirkan narasumber Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Dipandu Dosen Hukum Pidana FH UII, Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H. , kuliah umum diikuti lebih dari 450 peserta dan disiarkan secara live stream melalui YouTube FH UII Yogyakarta. Membuka acara, kuliah umum diawali dengan sambutan dari Dekan FH UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H.

Prof. Barda Nawawi Arief selaku pembicara memaparkan materi mengenai asas legalitas yang mengatur tentang sumber hukum. Asas legalitas merupakan asas tentang dasar legalitasi/ dasar hukum/ sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan delik atau bukan. Hakikat dari asas legalitas mengatur tentang sumber hukum. Di dalamnya mengandung asas legalitas Pasal 1 KUHP yang berarti asal dari perbuatan bilamana memenuhi rumusan Undang-Undang itu disebut dengan delik atau tindak pidana dan harus dipidana.

Lebih lanjut Prof. Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa rumusan asas legalitas berasal dari peninggalan Belanda dan dikenal sebagai asas legalitas formil. Asas legalitas adalah asas tentang sumber hukum, khususnya di bidang hukum pidana, yang menyatakan sumber hukum pidana adalah Undang-Undang. Rumusan formulasi asas legalitas bila dilihat dari sistem hukum nasional maka jelas tidak sesuai maupun harmonis. Sistem hukum nasional mengakui hukum yang tidak tertulis sebagai salah satu sumber hukum. Hal ini bisa menjadikan salah satu alasan untuk melakukan pembaharuan.

Di sisi lain, Prof. Barda Nawawi Arief menyebutkan adanya kekurangan yang ada dalam praktek bahwa dengan menyatakan sumber hukum itu hanya UU, maka bisa disebutkan jika itu terlalu kaku. Secara teoritik, asas itu ada dua adalah asas untuk menyatakan suatu perbuatan itu delik atau bukan dan ada asas legalitas yang negatif yang artinya walaupun suatu perbuatan memenuhi rumusan UU tetapi perbuatan itu secara substantif tidak bersifat melawan hukum maka itu bukan delik/ tindak pidana. Jelas ada kekurangan, karena dalam praktek itu perlu dilakukan. Beliau menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang bisa dikatakan tindak pidana, tidak hanya memenuhi rumusan UU saja tetapi harus juga diuji dan dikaji dari sudut materiil/substantif.

Eksistensi hukum yang hidup merupakan masalah diperluasnya Asas Legalitas formal ke Legalitas Materiil. Alasan bahwa asas legalitas formal diubah menjadi asas legalitas materiil ada 5 landasan perluasan asas legalitas formal ke materiil antara lain a) Kebijakan legislatif nasional setelah kemerdekaan; b) Kesepakatan seminar-seminar Nasional; c) Kesepakatan Dokumen Global; d) Kajian komparatif; e) Landasan teoritik/ kajian ilmiah. Legalitas materiil dalam UUDS 1950 pernah dirumuskan sebagai “kebijakan konstitusional” di dalam Pasal 14 (2) UUDS 1950. Dalam pasal tersebut, digunakan istilah “aturan hukum” (Recht) yang tentunya lebih luas pengertiannya dari sekedar aturan UU (Wet) karena dapat berbentuk “hukum tertulis” maupun “hukum tidak tertulis”.

Perubahan yang dilakukan oleh RUU KUHP adalah perubahan secara materiil atau secara substantif. Dalam formulasi perubahan Pasal 1 ayat (1) di KUHP yang lama hanya ada formulasi asas legalitas yang positif namun asas legalitas yang negatif tidak ada. Dalam perkembangannya, di RUU KUHP pada Pasa 1 dimasukkan formulasi asas legalitas yang negatif. Di ayat (2) telah adanya draft tambahan yang menyatakan walaupun perbuatan itu memenuhi rumusan UU tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum maka itu tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana.

Pembaharuan hukum pidana nasional dan RUU KUHP adalah setelah 75 tahun merdeka belum memiliki KUHP nasional. RKUHP merupakan bentuk reformasi yang pertama kali dan sudah berjalan 75 tahun. WvS Bld 1881 sudah berubah 455x. Maka hukum pidana yang di dalamya berisikan norma dan nilai ( ide dasar/ konsep) memang perlu dilakukannya perubahan/ pembaharuan hukum pidana dalam nilai/ ide dasar/ konsepnya. (FHC/RS)

“Asas legalitas merupakan acuan yang mendasar dalam menerapkan hukum pidana atau biasa juga disebutkan sebagai pedoman dan jantung dalam hukum pidana.”

Banyak yang menggunakan asas legalitas sebagai sarana untuk membela kepentingan hukum pelaku tindak pidana atau untuk menentukan pertanggungjawaban pidana seorang terdakwa atas perbuatan yang dilakukan.

Penting untuk mengetahui makna asas legalitas menurut pada ahli hukum agar kita dapat menentukan makna yang sesuai dengan maksud dan disiplin ilmu hukum pidana, sehingga kita akan mampu mengkaji suatu perbuatan atau tindakan apakah dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak menurut asas legalitas.

Perlu diketahui bahwa terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana bahwa pengertian asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu.

Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) makna asas legalitas ini seperti disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP bahwa:

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada”

Hal ini sesuai dengan adegium yang berbunyi non obligat lex nisi promulgate yang berarti suatu hukum tidak mengikat kecuali telah diberlakukan.

Lalu, bagaimana makna asas ini menurut pada ahli hukum untuk dapat menjadi acuan dalam memahami permasalahan hukum pidana yang ada?

Berikut beberapa pandangan ahli hukum tentang makna asas legalitas yang penting untuk diketahui.

Seperti yang dikemukan oleh Enschede. Menurutnya, hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana jika diatur dalam perundang-undangan pidana, Kedua, kekuatan ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut (Lihat dalam: Ch.J.Enschede, 2002, Berginselen van Strafrecht, Kluwer, Deventer, hlm. 26).

Makna asas legalitas yang dikemukan oleh Enschede ini sama dengan makna legalitas yang dikemukan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya (Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Bandung:2003, hal. 42) bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang-undang dan ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.

Hal senada disampaikan oleh Sudarto yang juga mengemukakan ada dua hal yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tidak pidana.

Sudarto, kemudian menambahkan bahwa dari makna yang pertama terdapat dua konsekuensi yaitu perbuatan seseorang yang tidak terancam dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Sedangkan konsekuensi dari makna yang kedua adalah bahwa hukum pidana tidak berlaku surut (hal ini dapat dilihat dalam: Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang:1990, hlm. 22-24).

Selanjutnya, menurut Jan Rammelink ada tiga hal sebagai makna yang terkandung dalam asas legalitas. Ketiga hal tersebut yang dikemukakan Ramelink dalam bukunya (Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal terpenting dalam KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, hlm. 390) yaitu: Pertama, Konsep perundang-undangan yang diandalkan dalam ketentuan pasal 1. Menurutnya, tidak hanya perundang-undangan dalam arti formil yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan, tetapi menunjuk pada semua produk legislative yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Termaksud didalamnya adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota.

Kedua, undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat atau lex certa. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah bestimmtheitgebot. Perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan penuntutan pidana karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.

Ketiga, adalah perihal analogi. Asas legalitas juga mengandung makna larangan untuk menetapkan ketentuan pidana secara analogi atau dikenal dengan adagium “nullum crimen noela poena sine lege strica”.

Sementara menurut Groenhuijsen seperti yang dikutip Komariah Emong Sapardjaja dalam bukunya (Ajaran sifat melawan hukum materil dalam hukum pidana Indonesia (studi kasus tentang penerapan dan perkembangan dalam yurisprudensi) 2002, hlm. 5-6) bahwa, ada empat makna yang terkandung dalam asas ini, yaitu: Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur.

Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga, Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan; dan Keempat, terdapat peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.

Menurutnya, dua dari yang pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang dan dua yang lainnya merupakan pedoman bagi hakim. 
Dari beberapa pendapat para ahli diatas, maka pemahaman yang dapat diambil dari makna asas legalitas, antara lain:

  1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang;
  2. Tidak dibenarkan menerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;
  3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan, pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum tentu menghasilkan perbuatan pidana;
  4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau asa lex certa;
  5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana. Hal ini dikenal dengan prinsip non-retroaktif dari ketentuan pidana;
  6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang artinya hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang;
  7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang.
  8. Tidak boleh menerapkan asas analogi terhadap ketentuan pidana.

Asas legalitas yang selama ini kita kenal dalam hukum pidana merupakan acuan yang mendasar dalam menerapkan hukum pidana atau biasa juga disebutkan sebagai pedoman dan jantung dalam hukum pidana.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

BP Lawyers dapat membantu Anda:
Kami dapat membantu anda dalam memberikan solusi terbaik atas permasalahan mengenai perbuatan atau tindak pidana dalam kaitannya dengan penerapan asas legalitas. Anda dapat menghubungi kami melalui atau +6221 – 8067 – 4920.

Author :

Iskandar D.P, S.H./Bimo Prasetio, S.H.