Lingkungan alam dan lingkungan sosial tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia hal ini karena

Keberadaan manusia di dunia ini merupakan keberadaan dengan pilihan-pilihan hidup berdasarkan tantangan-tantangan yang dihadapinya. Tantangan-tantangan datangnya baik dari alam sekitarnya maupun dari sesame makhluk manusia yang juga dikaruniakan kemampuan dan kebebasan berpikir. Dengan kata lain kehidupan manusia mengekspresikan dirinya di dalam pola-pola kehidupan bersama yang secara evolusionistis diinstitusionalisasikan serta ditransmisikan dalam dimensi waktu dan tempat. Inilah kebudayaan manusia yang diciptakan oleh manusia sendiri serta menjadi tempat manusia itu dibesarkan (Tilaar: 2007, 63).

Keberadaan manusia tak terlepas dari pemikirannya untuk memenuhi kebutuhannya melalui sebuah pandangan dunia yakni mengenai idealisme setiap manusia. Idealisme adalah suatu pandangan dunia atau metafisik yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan ide, fikiran atau jiwa. Dunia mempunyai arti yang berlainan dari apa yang tampak pada permukannya. Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum fikiran dan kesadaran, dan tidak hanya oleh metode ilmu obyektif semata-mata.

Kebebasan berpikir merupakan langkah pertama untuk mencapai kebebasan menyatakan pikiran

Mochtar Lubis

Kesadaran akan pikirannya mempengaruhi terhadap kebebasan berpikirnya. Ada orang yang kurang paham dalam membedakan kebebasan menyatakan pikiran dan kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir merupakan langkah pertama untuk mencapai kebebasan menyatakan pikiran. (Mochtar Lubis: 2015, 15). Oleh karena alam mempunyai arti dan maksud, yang di antara aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia, maka seorang idealis bependapat bahwa terdapat suatu harmoni yang dalam antara manusia dan alam. Apa yang tertinggi dalam jiwa juga merupakan yang terdalam dalam alam.

Manusia merasa berada di rumahnya dalam alam; ia bukan orang asing atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini adalah suatu sistem yang logis dan spiritual, dan hal itu tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang baik. Jiwa (self) bukannya satuan yang terasing atau tidak riil, ia adalah bagian yang sebenarnya dari proses alam. Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktivitas, akal, jiwa atau perorangan. Manusia sebagai suatu bagian dari alam menunjukkan struktur alam dalam kehidupannya sendiri.

Manusia bukanlah semata-mata suatu probleme yang dapat dipecahkan secara matematis, demikian Garriel Marcel, melainkan suatu mystere, yang memilikisubjektifitas dan martabat yang khas, dan oleh karena itu, harus dihargai sesuai dengan derajatnya dan didekati melalui pengalaman diri. Manusia tidak mungkin dikotakan dalam satu sistem – yang akan menimbulkan stagnasi karena menganggapnya sebagai objek yang statis semata-mata – tetapi harus dihayati sepenuhnya untuk dapat diungkapkan secara murni dan otentik (Poespowardojo: 1993, 46).

Menurut Friedrich Nietzsche manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri. Keberadaan manusia dimuka bumi berpengaruh terhadap kondisi alam, sebab manusia merupakan bagian dari fenomena sosial. Maka, perlu suatu peran bagi manusia untuk menunjukan eksistensinya sebagai makluk terbaik dimuka bumi.

Baca :  Mengajarkan Siswa Berfikir Kreatif dengan Mendengar

Fungsi Kebudayaan

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik dibidang spiritual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut diatas, untuk sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri (Soerjono: 1982, 177). 

Adapun fungsi kebudayaan nasional menurut (Koentjaraningrat: 1974, 107-108) sebagai berikut:

  1. Kebudayaan nasional merupakan suatu sistem gagasan pralambang yang memberikan indentitas warga kepada warga Negara Indonesia.
  2. Kebudayaan Indonesia merupakan suatu sistem gagasan pralambang yang yang dapat dijadikan atau dipakai oleh semua warga Negara Indonesia yang Bhinneka itu saling berkenalan dan dengan demikian dapat memperkuat kesetiakawanan atau solidaritas.

Intinya, kebudayaan berfungsi sebagai pedoman tertinggi pengatur kehidupan berperilaku manusia. Sistem-sistem budaya membentuk nilai dan hukum-hukum kodrati bagi manusia, demi menemukan identitas bagi mereka. Melalui kebudayaan, manusia berusaha beradaptasi dan berdamai dengan lingkungannya.

Manusia dapat menggunakan aspek-aspek yang ada di dalam dirinya untuk mengatasi gangguan-gangguan yang mungkin terjadi dalam proses beradaptasi dengan lingkungannya. Inilah yang kemudian menjadi sebuah sikap mental, mentalitas kebudayaan dimana manusia berusaha berdamai dengan lingkungan untuk mencapai tujuan kodratinya.

Manusia tidak semata-mata mencapai tujuan kodratinya dengan beradaptasi dengan lingkungan saja. Melainkan, dengan mentalitas kebudayaan, manusia berusaha menemukan pemaknaan yang mendalam dan lebih daripada sekedar mengetahui di permukaan saja. Manusia mulai mencari makna-makna transeden dimana, makna transeden itu adalah salah satu unsur kebudayaan yang merupakan hasil cipta manusia.

Struktur dan Proses Pengembangan Kepribadian

Kepribadian berhubungan erat dengan tingkah-laku manusia. Maka Ruth Benedict menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah-laku yang bisa dipelajari. Dengan demikian tingkah-laku manusia bukanlah diditurunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi harus dipelajari kembali berulangulang dari orang dewasa dalam suatu genersi. Di sini dapat terlihat dengan jelas pentingnya peranan dan fungsi pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia.

Jadi proses pendidikan bukan terjadi secara pasif atau culture determined. Proses tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan terjadi inovasi dan penemuan-penemuan budaya lainnya, serta asimilasi, akulturasi dan seterusnya, tetapi melalui proses interaktif antara pendidik.

Di samping itu juga peranan lembaga-lembaga pendidikan haruslah mengkondisikan pengenalan, pemeliharaan dan pengembangan keseluruhan budaya. Dalam hal ini peranan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan. Di dalam lembagalembaga pendidikan (formal, non-formal, informal) terjadi interaksi budaya sekaligus proses pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan.

Di samping itu, di dalam lembaga-lembaga pendidikan perlu adanya pengembangan sikap penghargaan terhadap budaya nasional dan daerah sekaligus juga daya kristis dan analitis terhadap budaya luar. Terutama dalam lembaga-lembaga formal (sekolah-sekolah dan perguruan tinggi) perlu dikembangkan nilai-nilai budaya secara intensif, inovatif dan ekstensif.

Baca :  Revolusi Mental Pendidikan Indonesia, Menuju Merdeka Belajar

Manusia selalu melakukan rangkaian tindakan berupa invention dan innovation. Kedua indikator ini diwujudkan manusia dengan melakukan serangkaian tindak percobaan, dan pengembangan perluasan. Kemampuan ini akan baru dimiliki setiap orang apabila dimiliki setiap orang apabila memiliki pendidikan yang baik.

Semakin tingggi tingkat pendidikannya yang dijalani secara benar, jujur, disiplin dan mengikuti kurikulum yang bernilai dan bermutu, maka akan semakin tinggi kemampuan berinovasi dan berinvensi. Sehingga mampu menghasilkan orang-orang yang tingkat kecerdasan dan kepintaran (Panjaitan dkk :2014).

Proses Menuju Adil dan Makmur

Tri Sakti adalah syarat obyektif menuju Keadilan dan Kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Tri Sakti adalah conditio sine qua non bila Republik yang didirikan ingin terus bergerak maju dan melakukan lompatan ke depan. Dengan begitu, Tri Sakti adalah program yang harus dimenangkan dan terus diperkuat sekaligus strategi yang harus dijalankan (Susmana: 2015).

Dengan bercokolnya imperialisme-kolonialisme, tidak mungkin rakyat Indonesia bisa mengembangkan politik yang berdaulat. Dengan politik yang berdaulat, terbuka jalan untuk membangun ekonomi nasional yang tangguh dan keluar dari kerangka subordinat dan menjadi sumber penghisapan. Keduanya ini, daulat politik dan pembangunan ekonomi yang bermartabat dilandasi oleh pandangan politik bahwa kebudayaan menjadi sumber kekuatan dalam membangun pergerakan yaitu budaya gotong royong yang telah menjadi kepribadian rakyat di nusantara dalam menghadapi kehidupan.

Dengan bergotong-royong atau bersatu, kehidupan yang berat menjadi ringan. Bentuk-bentuk persatuan seperti ini masih banyak kita temui dalam berbagai kebutuhan kehidupan rakyat kita. Puncak dari gotong royong ini tentu saja adalah keberhasilan mengusir penjajah. Kehidupan ekonomi yang menjanjikan keberhasilan untuk kesejahteraan rakyat pun dilandasi oleh nilai dan semangat gotong-royong:  “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”

Pelaksanaan Tri Sakti yang berhasil dengan begitu harus dilandasi nilai dan semangat gotong-royong yang merupakan sakti ketiga. Dengan begitu ditegaskan bahwa kebudayaan sebagai kekuatan adalah kebudayaan rakyat yang selalu bergotong-royong menyelesaikan berbagai masalah termasuk masalah nasional.

Bung Karno adalah orang yang yakin terhadap jalannya Tri Sakti dengan semangat gotong royong yang merupakan akar kebudayaan rakyat Indonesia sebagaimana juga dikatakan Bung Karno pada 1 Juni 1945, di depan sidang BPUPKI yang sedang mencari dasar bagi pendirian Negara Republik Indonesia yang kemudian terkenal sebagai pidato hari Lahirnya Pancasila: “…maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong! Alangkah hebatnya!” (Susmana: 2015).

Dengan nilai dan semangat gotong royong yang telah mengakar dalam budaya rakyat itulah, kita dapat menyusun kebudayaan nasional yang tangguh dan bermartabat sekaligus terus-menerus memperkuat kedaulatan nasional dan membangun perekonomian nasional yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat!

Penyebab dan Proses Pembudayaan

Seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Seorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.

Baca :  Pendidikan Berkebudayaan

Anak-anak menghabiskan masa-masa awal kehidupan bersama keluarga dan memperoleh refleksi nilai dan pola perilaku keluarganya. Selanjutnya, kepada mereka ditunjukkan nilai-nilai dan pola-pola perilaku masyarakat. Anak-anak mempelajari norma-norma masyarakat melalui keluarga dan teman-teman bermain. Selain itu, mereka meniru berbagai macam tindakan yang terdapat dalam masyarakat. Kadang-kadang, orang tua mendorong anaknya supaya berperilaku sesuai dengan kehendak masyarakat dengan memberikan pujian dan menghukum mereka bila berperilaku menyimpang.

Transmisi kebudayaan artinya kebudayaan itu ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan para ahli pendidikan yang merumuskan proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan. Manusia atau pribadi adalah aktor dan sekaligus manipulator kebudayaan (Sudadio: 2015, 12). Seringkali berbagai norma dipelajari seseorang hanya sebagian-sebagian dengan mendengar dari orang lain dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda pula.

Sebetulnya, norma bukan saja diajarkan di lingkungan keluarga atau dalam pergaulan di masyarakat, tetapi diajarkan di sekolah-sekolah formal. Dalam hal ini, terjadi trasnsmisi kebudayaan yang terjadi pada bagian masyarakat. Manusia, butuh sebuah manifestasi hasil karyanya yang nyata. Dalam berkehidupan, manusia menghasilkan produk-produk yang berasala dari cipta rasa dan karsa mereka.

Kebudayaan, diadaptasi dari Koentjaraningrat, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1981: 182). Dengan kata lain, manusia adalah pelaku dari kebudayaan yang memanifestasikan kebudayaan itu sendiri. Manusia membentuk kebudayaan, menyusunnya dalam sendi-sendi kehidupan sehari-hari.

Manusia dan kebudayaan adalah relasi yang tak dapat dipisahkan. Dari manusia, kebudayaan terbentuk. Dengan kebudayaan, manusia membentuk perilaku sesuai nilai-nilai norma yang mereka miliki. Dengan kebudayaan, ada sebuah sistem budaya tertentu yang mengatur perilaku manusia dalam berkehidupan. Ia terdiri dari berbagai konsepsi-konsepsi, yang dirumuskan secara bersama oleh sekumpulan manusia dalam berproses berbudaya.

Dengan berbudaya dan membentuk kebudayaan, maka disinilah nilai-nilai manusia itu dibakukan. Nilai itu dibentuk dalam suatu sistem budaya yang diresapi dalam kehidupan manusia sehari-harinya. Melalui kebudayaan pula, manusia dapat bertarung menaklukkan lingkungan dan alam kodratinya. Dalam berbudaya, manusia menemukan kebutuhannya. Proses-proses kebudayaan ini dibentuk dalam suatu wujud kebudayaan. Manusia berusaha menemukan manifestasi kebutuhan mereka dalam suatu bentuk utuh. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini dibakukan dalam berbagai bentuk, melalui sistem-sistem nilai budayanya.

Lewat nilai-nilai budaya, manusia berusaha menggapai sebuah tujuan berupa perilaku adaptif yang dapat membantunya menguasai kodrat mereka sebagai manusia. Dengan proses berbudaya, manusia dapat mencapai bentuk kebudayaan utuh yang bisa membantu mereka beradaptasi dan menguasai lingkungan. Manusia juga dapat menentukan arah dan pola tujuan mereka melalui proses-proses kebudayaan. Dapat diperoleh pula, tujuan manusia itu untuk hidup dan berkembang.

Selain itu, kebudayaan dengan nilai-nilainya dianggap dapat menjadi penyelesaian masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam hidup bermasyarakat. Mentalitas kebudayaan manusia di satu tempat dan tempat lain berbeda. Hal ini disebabkan karena pengaruh kekuatan adaptasi yang diberikan terhadap lingkungan. Sehingga, pada akhirnya terbentuk pengharapan kebudayaan pada manusia-manusia yang menggunakan mentalitasnya untuk melangsungkan proses-proses berkebudayaan.