Yang termasuk alat dalam pembuatan sepatu batik adalah

(1)

TUGAS AKHIR KARYA SENI (TAKS)

Diajukan Kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

oleh: Dwi Astuti NIM. 11207241041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI KERAJINAN JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)
(3)
(4)
(5)

v

mendapatkan sesuatu yang diinginkan tercapai. Bismillah……. Amin.


(6)

vi

mengajariku arti perjuangan dan berusaha.

Terimakasih kalian telah menjadi inspirasi dan semangat hidupku. Semoga Allah selalu memberikan rahmat, melindungi dan menetapkan kalian pada jalan-Nya.


(7)

vii

rahmat dan karunia-Nya, sehingga Tugas Akhir Karya Seni ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa juga shalawat serta salam kita haturkan kepada nabi besar kita Muhammad saw, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman dzakiyah (cerdas) ini. Tugas Akhir Karya Seni yang berjudul “Pemanfaatan Kulit Kayu Lantung Sebagai Bahan Pembuatan Sepatu Batik Wanita” ini diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya saya sampaikan secara tulus kepada Bapak Ismadi, S. Pd., M.A. Selaku pembimbing dalam penyelesaian Tugas Akhir Karya Seni ini. Dan tak lupa untuk mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd. M.A., selaku Retor Universitas Negeri Yogyakarta

2. Dr. Widyastuti Purbani, MA., selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

3. Drs. Mardiyatmo, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

4. Dr. I Ketut Sunarya, M. Sn., selaku Ketua Prodi Pendidikan Seni Kerajinan, Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta


(8)
(9)

ix

HALAMAN PERSETUJUAN……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN PERNYATAAN……….. iv

HALAMAN MOTTO……… v

HALAMAN PERSEMBAHAN……….... vi

KATA PENGANTAR………... vii

DAFTAR ISI………. ix

DAFTAR TABEL……….. xii

DAFTAR GAMBAR………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xix

ABSTRAK………. xx

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Fokus Masalah ……….. 5

C. Tujuan Masalah ………. 5

D. Manfaat ……….. 6

BAB II KAJIAN TEORI ……….. 7

A. Tinjauan Tentang Kulit Kayu Lantung ………. 7

B. Tinjauan Tentang Sepatu ……….. 12


(10)

x

………... 19

C. Tinjauan Tentang Batik ………. 21

1. Motif Batik ……….. 21

2. Bahan Perintang……… 23

3. Zat Warna dan Zat Pembantu ……….. 24

D. Tinjauan Tentang Desain ……….. 25

1. Pengertian Desain ………... 25

2. Unsur Desain ……….. 27

E. Tinjauan Tentang Kulit ………. 31

BAB III METODE PENCIPTAAN ………. 35

A. Tahap Eksplorasi ………... 35

1. Sket Motif Batik.……….. 39

2. Sket Alternatif ………. 40

3. Sket Terpilih ……… 61

B. Tahap Perancangan ……….... 66

1. Aspek Fungsi ………... 67

2. Aspek Estetika ………. 67

3. Desain Motif Batik ……….. 68

4. Desain Sepatu ……….. 70

5. Pola Master Sepatu ……….. 75


(11)

xi

Bahan dan Alat Batik ………

1) Bahan Pembuatan Batik ………. 85

2) Alat Pembuatan Batik ……….. 87

b) Bahan dan Alat Sepatu ……….……… 88

1) Bahan Pembuatan Sepatu ……… 88

2) Alat Pembuatan Sepatu ………... 93

2. Pembatikan Bahan Kulit Kayu Lantung ……….. 96

3. Pemotongan Bahan ………. 104

BAB IV HASIL KARYA DAN PEMBAHASAN ………... 123

A. Hasil Karya ……… 123

B. Pembahasan ………... 135

BAB V KESIMPULAN DAN HASIL ………. 164

A. Kesimpulan ……… 164

B. Saran ……….. 165

DAFTAR PUSTAKA ………... 166


(12)
(13)

xiii

Gambar II :Daun dari Pohon Benda (Artocarpus elasticus)…….. 8

Gambar III :Bagn alur Pengolahan Kulit Kayu Lantung………… 9

Gambar IV :Sket Motif Batik Parang Klitik………... 39

Gambar V :Sket Motif Batik Parang Kusumo………... 39

Gambar VI :Sket Motif Batik Gurdo………... 40

Gambar VII :Sket Alternatif Sepatu Flat 1………... 41

Gambar VIII :Sket Alternatif Sepatu Flat 2………... 41

Gambar IX :Sket Alternatif Sepatu Casual 1……….. 42

Gambar X :Sket Alternatif Sepatu Casual 2……….. 42

Gambar XI :Sket Alternatif Sepatu Casual 3……….. 43

Gambar XII :Sket Alternatif Sepatu Casual 4……….. 43

Gambar XIII :Sket Alternatif Sepatu Oxford 1……….. 44

Gambar XIV :Sket Alternatif Sepatu Oxford 2……….. 44

Gambar XV :Sket Alternatif Sepatu Oxford 3……….. 45

Gambar XVI :Sket Alternatif Sepatu Oxford 4……….. 45

Gambar XVII :Sket Alternatif Sepatu Oxford 5……….. 46

Gambar XVIII :Sket Alternatif Sepatu Pump 1……… 46

Gambar XIX :Sket Alternatif Sepatu Pump 2……… 47

Gambar XX :Sket Alternatif Sepatu Pump 3……… 47

Gambar XXI :Sket Alternatif Sepatu Pump 4……… 48

Gambar XXII :Sket Alternatif Sepatu Pump 5……… 48

Gambar XXIII :Sket Alternatif Sepatu Boots 1……… 49

Gambar XXIV :Sket Alternatif Sepatu Boots 2……… 49

Gambar XXV :Sket Alternatif Sepatu Boots 3……… 50

Gambar XXVI :Sket Alternatif Sepatu Boots 4……… 50

Gambar XXVII :Sket Alternatif Sepatu Boots 5……… 51

Gambar XXVIII :Sket Alternatif Sepatu Boots 6……… 51


(14)

xiv

Gambar XXXIII :Sket Alternatif Sepatu Strap/Sandal 3………. 54

Gambar XXXIV :Sket Alternatif Sepatu Strap/Sandal 4………. 54

Gambar XXXV :Sket Alternatif Sepatu Semi Monk 1……….. 55

Gambar XXXVI :Sket Alternatif Sepatu Semi Monk 2……….. 55

Gambar XXXVII :Sket Alternatif Sepatu Semi Monk 3……….. 56

Gambar XXXVIII :Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 1………... 56

Gambar XXXIX :Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 2………... 57

Gambar XL :Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 3………... 57

Gambar XLI :Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 4………... 58

Gambar XLII :Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 5………... 58

Gambar XLIII :Sket Alternatif Sepatu Derby 1………... 59

Gambar XLIV :Sket Alternatif Sepatu Derby 2………... 59

Gambar XLV :Sket Alternatif Sepatu Derby 3………... 60

Gambar XLVI :Sket Alternatif Sepatu Derby 4………... 60

Gambar XLVII :Sket Alternatif Sepatu Derby 5………... 61

Gambar XLVIII :Sket Terpilih Sepatu Derby 1……….. 61

Gambar XLIX :Sket Terpilih Sepatu Derby 2……….. 62

Gambar L :Sket Terpilih Sepatu Semi Boots 3………. 62

Gambar LI :Sket Terpilih Sepatu Semi Monk 4………. 63

Gambar LII :Sket Terpilih Sepatu Boots 5………... 63

Gambar LIII :Sket Terpilih Sepatu Boots 6………... 64

Gambar LIV :Sket Terpilih Sepatu Boots 7………... 64

Gambar LV :Sket Terpilih Sepatu Pump 8………... 65

Gambar LVI :Sket Terpilih Sepatu Casual 9………. 65

Gambar LVII :Sket Terpilih Sepatu Flat 10……… 66

Gambar LVIII :Desain Motif Parang Klitik………. 68

Gambar LIX :Desain Motif Parang Kusumo………. 68


(15)

xv

Gambar LXIV :Desain Sepatu Semi Monk 4………... 71

Gambar LXV :Desain Sepatu Boots 5……… 71

Gambar LXVI :Desain Sepatu Boots 6……… 72

Gambar LXVII :Desain Sepatu Boots 7……… 72

Gambar LXVIII :Desain Sepatu Pump 8……… 73

Gambar LXIX :Desain Sepatu Casual 9………... 73

Gambar LXX :Desain Sepatu Flat 10……….. 74

Gambar LXXI :Pola Master Sepatu Derby 1……… 75

Gambar LXXII :Pola Master Sepatu Derby 2……….... 75

Gambar LXXIII :Pola Master Sepatu Semi Boots 3………... 76

Gambar LXXIV :Pola Master Sepatu Semi Monk 4………... 76

Gambar LXXV :Pola Master Sepatu Boots 5……… 77

Gambar LXXVI :Pola Master Sepatu Boots 6……… 77

Gambar LXXVII ;Pola Master Sepatu Boots 7……… 78

Gambar LXXVIII :Pola Master Sepatu Pump 8……… 78

Gambar LXXIX :Pola Master Sepatu Casual 9………... 79

Gambar LXXX :Pola Master Flat 10………. 79

Gambar LXXXI :Pola Potong Sepatu Derby 1………... 80

Gambar LXXXII :Pola Potong Sepatu Derby 2………... 80

Gambar LXXXIII :Pola Potong Sepatu Semi Boots 3………... 81

Gambar LXXXIV :Pola Potong Sepatu Semi Monk 4………... 81

Gambar LXXXV :Pola Potong Sepatu Boots 5……… 82

Gambar LXXXVI :Pola Potong Sepatu Boots 6……… 82

Gambar LXXXVII :Pola Potong Sepatu Boots 7……… 83

Gambar LXXXVIII :Pola Potong Sepatu Pump 8……… 83

Gambar LXXXIX :Pola Potong Sepatu Casual 9………... 84

Gambar XC :Pola Potong Sepatu Flat 10………. 84


(16)

xvi

Gambar XCV :Mesin Jahit……….. 94

Gambar XCVI :Pisau Seset, Gunting, Tang (Catut)………. 95

Gambar XCVII :Kaki Tiga………. 95

Gambar XCVIII :Paku Lasting……… 96

Gambar XCIX :Proses Memanaskan Malam/lilin……… 97

Gambar C :Proses Celup Cap Batik ke Malam/lilin……….. 98

Gambar CI :Proses Penempelan malam/lilin pada kulit kayu lantung……….. 98 Gambar CII :Pewarnaan dengan Naptol………... 100

Gambar CIII :Pewarnaan dengan Pembangkit………... 101

Gambar CIV :Mengangin-anginkan………... 101

Gambar CV :Proses Pelorodan……… 102

Gambar CVI :Mengangkat Setengah dari Kulit Lantung………….. 103

Gambar CVII :Merendam dengan air dingin……….. 103

Gambar CVIII :Hasil dari lilitan dengan Paper tip………... 105

Gambar CIX :Proses menjiplak pola diatas bahan tambahan……… 106

Gambar CX :Proses pengeleman dengan lem kuning……….. 107

Gambar CXI :Pemasangan sol dalam……… 108

Gambar CXII :Pengeleman pada permukaan bawah sol dalam…….. 109

Gambar CXIII :Pengeleman kain keras untuk bagian ujung sepatu…. 109 Gambar CXIV :Pemasangan kain keras pada ujung sepatu …………. 110

Gambar CXV :Pemberian lem pada bagian tumit sepatu……… 110

Gambar CXVI :Pemasangan kain keras pada tumit sepatu………….. 111

Gambar CXVII :Pemasangan atasan sepatu………... 111

Gambar CXVIII :Penarikkan ujung atasan sepatu……….. 112

Gambar CXIX :Menarik bagian samping luar……….. 113

Gambar CXX :Proses pemakuan pada sisi samping dalam…………. 113


(17)

xvii

Gambar CXXV :Proses memukul bagian pingir-pinggir permukaan

bawah………...

116

Gambar CXXVI :Proses mencabut paku Lasting……… 117

Gambar CXXVII :Proses Menyeset……….. 117

Gambar CXXVIII Proses memberi tanda dengan tinta Perak……… 118

Gambar CXXIX :Proses Mengamplas………. 119

Gambar CXXX :Proses setelah diamplas dengan mesin kemudian disempurnakan dengan manual……… 119 Gambar CXXXI :Proses memberi lem setelah permukaan dibersihkan.. 120

Gambar CXXXII :Memberi lem pada sol luar……….. 120

Gambar CXXXIII :Pengeringan Lem……… 121

Gambar CXXXIV :Proses Perekatan Out sole………... 121

Gambar CXXXV :Proses Pengepresan dengan cara manual……… 122

Gambar CXXXVI :Karya Sepatu Derby Batik 1………... 124

Gambar CXXXVII :Karya Sepatu Derby Batik 2………... 125

Gambar CXXXVIII :Karya Sepatu Semi Boots 3………. 127

Gambar CXXXIX :Karya Sepatu Semi Monk Batik 4………... 128

Gambar CXL :Karya Sepatu Boots Batik 5……… 129

Gambar CXLI :Karya Sepatu Boots Batik 6……… 131

Gambar CXLII :Karya Sepatu Boots 7……….. 132

Gambar CXLIII :Karya Sepatu Pump Batik 8……… 133

Gambar CXLIV :Karya Sepatu Casual Batik 9………... 134

Gambar CXLV :Karya Sepatu Flat Batik 10………. 135

Gambar CXLVI :Penerapan Sepatu Derby Batik 1 pada model………. 136

Gambar CXLVII :Penerapan Sepatu Derby Batik 2 pada model ……… 138

Gambar CXLVIII :Penerapan Sepatu Semi Boots Batik 3 pada model… 142 Gambar CXLIX :Penerapan Sepatu Semi Monk Batik 4 pada model… 144 Gambar CL :Penerapan Sepatu Boots Batik 5 pada model……….. 147


(18)

xviii

Gambar CLIV :Penerapan Sepatu Casual Batik 9 pada model……… 158 Gambar CLV :Penerapan Sepatu Flat Batik 10 pada model………... 160


(19)

xix Lampiran II : Kalkulasi Setiap Karya Sepatu Lampiran III : Sket Alternatif

Lampiran IV : Sket Terpilih Lampiran V : Desain

Lampiran VI : Pola Master Sepatu dan Pola Potong Sepatu


(20)

xx Oleh: Dwi Astuti 11207241041

ABSTRAK

Penulisan karya seni ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses penciptaan karya seni kerajinan dan hasil karya sepatu batik wanita yang berbahan kulit kayu lantung dengan motif parang klitik, parang kusumo, dan gurdo .

Penciptaan karya sepatu ini melalui beberapa tahapan dalam penciptaan karya seni, tahapan tersebut adalah eksplorasi, perancangan, dan perwujudan. Penciptaan difokuskan pada kulit kayu lantung sebagai bahan pembuatan sepatu wanita. Tahapan eksplorasi berupa pengamatan tentang motif yang digunakan dan berupa pengamatan perkembangan model sepatu, pengamatan karakteristik bahan kulit kayu lantung, dan pembuatan sket alternatif sepatu. Tahapan Perancangan berupa pembuatan dan pola master sepatu. Tahap perwujudan adalah proses pembuatan karya.

Konsep penciptaan karya seni ini mengeksploasi bahan dari alam yaitu kulit kayu lantung yang diolah dan di batik dengan motif klasik Yogyakarta yaitu motif parang klitik, parang kusumo, dan gurdo. Warna untuk batik kulit ini menggunakan warna cokelat dari warna asli kulit kayu lantung dikombinasi kulit sapi cokelat tua. Hasil karya yang diwujudkan adalah 2 pasang sepatu derby, 4 pasang sepatu boots, 1 pasang sepatu semi monk, 1 pasang sepatu pump, 1 pasang sepatu casual, dan 1 pasang sepatu flat batik.


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia untuk luas hutan tropis di Indonesia sekitar 39.549.447 hektar. Hutan tropis tersebut terletak di beberapa pulau seperti, Sumatra, Kalimantan, Bengkulu, Sulawesi, dan Papua. Keberagaman pohon yang tumbuh subur di Indonesia yang belum di manfaatkan secara optimal. Kurang lebih dua ton per bulan sepuluh hektar, dan di Kalimantan diperkirakan kurang lebih 7.382.000Ha, yang bila di proses dapat menghasilkan kulit lantung sebanyak 10 ton. Kualitas kulit lantung juga di pengaruhi oleh umur tebang pohon, semakin tebal kulit maka kualitas tarik kulit semakin tinggi. Kekuatan tarik kulit kayu ini masih sangat rentan dan menjadi salah satu kelemahan dari kulit lantung. Maka diperlukan cara agar kulit lantung ini dapat meningkatkan kualitas kekuatan tarik, daya serap, serta tahan jamur meningkat. Menurut Haygreen, dkk (1986: 211) dalam bukunya menyatakan bahwa kulit yang lebih kuat, seperti hickory, dinyatakan sangat berserat, sedangkan kulit berkekuatan rendah cenderung memiliki sifat tidak berserat atau sifat gumpalan. Kekuatan tekan kulit jauh dibawah kekuatan tekan kayu sejajar serat.

Di Bengkulu kulit lantung ini pada awalnya hanya di manfaatkan sebagai tali dan rompi oleh suku Dayak. Keindahan yang terdapat pada kulit lantung ini terdapat pada karakteristik seratnya yang lentur, kuat, memiliki tekstur serat yang menarik. Ciri yang paling menonjol dimiliki kulit kayu ini, seratnya tidak terjalin


(22)

membentuk sudut tetapi hanya menuju satu arah (sejajar) seperti semua serat alam lainnya. Kulit lantung mentah yang ada dipasaran ini harus ditingkatkan lagi mutunya dengan berbagai proses sehingga dapat menghasilkan bahan baku yang baru. Dengan begitu kualitas kulit lantung ini meningkat menjadi sesuatu yang menarik lagi, yang dari sebelumnya hanya dimanfaatkan menjadi tali dan rompi suku Dayak.

Selain hasil kekayaan alam di Indonesia yang melimpah Negara ini juga memiliki keanekaragaman budaya yang unik. Salah satu keunikan budaya tersebut adalah batik. Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang memberikan nilai positif baik dari sisi ekonomi dan budaya dengan keunikan serta kekhasan sehingga mampu bertahan hingga sampai saat ini ditengah derasnya gempuran globalisasi dunia, terutama didaerah Jawa. Awal mula keberadaan batik di Indonesia memang pertama kali muncul di Daerah Pulau Jawa.

Sejarah perkembangan batik ini, tidak lepas dari peran kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan setelahnya. Ami Wahyu (2012: 7), menyatakan bahwa:

Dari beberapa catatan, perkembangan batik terjadi pada zaman kerajaan Mataram dan berlanjut pada masa kejayaan kerajaan di Yogyakarta dan Solo. Pada awalnya batik hanya dibuat di kalangan kerabat keraton dan hanya dikenakan oleh keluarga kerajaan dan punggawa. Punggawa keraton yang tinggal di luar istana inilah yang membawa ke luar. Keluarga mereka membuatnya di tempat mereka masing-masing.

Dari inilah batik berkembang dan mampu dikenakan oleh kalangan manapun. Batik dapat digunakan oleh siapapun yang ingin menggunakan tanpa memikirkan larangan yang berlaku sebelumnya. Dengan tanpa melihat kedudukan atau status sosial orang tersebut batik dapat dipakai/digunakan. Dengan perkembangan ini batik mampu menyebar keseluruh daerah pulau Jawa.


(23)

Oleh karena itu batik menjadi berkembang dan selanjutnya dilestarikan melalui industri-industri yang muncul di daerah penghasil batik maupun daerah lainnya yang mencoba untuk merintis perkembangan batik melalui industrinya. Banyaknya industri-industri yang bermunculan industri batik yang mencoba menghasilkan karya batik dengan ciri khas masing-masing. Dengan menghasilkan batik berbeda dengan industri lainnya dari segi bahan, adapula yang mengembangkan motif batik modern sesuai dengan daya kreatifitas mereka.

Batik yang pada mulanya adalah kain putih yang ditenun sendiri, namun dengan perkembangannya. Untuk bahan batik sudah semakin bervariasi seperti menggunakan dari katun dan sutera asli sampai bahan sintetis, kayu, kulit hewan. Batik di dalam dunia model dan fashion design industry yang membuat batik semakin kokoh dan eksis terhadap batik tidak hanya berkaitan dengan busana batik, sepatu, tas, dan aksesoris, juga telah merambah home furnishing seperti piring dengan corak batik, taplak meja, bantal, serbet. Semakin luasnya perkembangan ini tentu sangat baik untuk terus ditingkatkan dimasa yang akan datang.

Melihat dari meluasnya perkembangan ini batik yang dari awalnya hanya selembar kain yang kemudian berkembang menjadi berbagai kerajinan-kerajinan batik dengan media yang digunakan bukan kain lagi. Ini juga dapat diaplikasikan dalam produk sepatu. Karena pada umumnya produk sepatu dibuat dengan bahan dari kulit binatang yang dimana kulit binatang merupakan material yang sudah tak asing di mata masyarakat dunia maupun Indonesia. Sepatu dari bahan serat yang


(24)

sudah berkembang sampai sekarang ini seperti, serat yang digunakan seperti mendong, agel, dan enceng gondok.

Melihat fashion saat ini begitu pesat terlebih di Indonesia berbagai pusat perbelanjaan berjajar di setiap daerah. Fashion wanita lebih mendominasi dibanding kaum fashion laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita cenderung memiliki anggapan bahwa penampilan dapat menunjukkan identitas diri, style, dan menambah kepercayaan diri. Fashion pakaian wanita merupakan salah satu barang yang paling banyak laris terjual. Selain pakaian, alas kaki atau sepatu juga menjadi barang yang tidak kalah dengan pakaian. Ini dikarenakan selain fungsinya sebagai alat pelindung kaki, sepatu juga merupakan fashion untuk menunjukkan identitas. Basuki, Dwi Asdono (2013: 8), mengatakan bahwa:

Sepatu/alas kaki pada awal perkembangannya adalah sebagai suatu protection of the foot, yaitu perlindungan terhadap kaki dari serangan bermacam-macam iklim (dingin/salju, panas, hujan), ataupun rasa sakit karena menginjak suatu benda tajam/runcing, seperti batu, kerikil, duri, dan lain sebagainya, yang kemudian berkembang fungsinya menjadi salah satu busana manusia dan juga untuk mengukur derajat atau status sosial manusia.

Dalam upaya meningkatkan mutu dan desain kerajinan, desain produk kerajinan pada dasarnya tidak lepas dari fenomena kebudayaan, selain itu tidak lepas dari nilai spiritual. Kerajinan kulit lantung didalam masyarakat bengkulu yang masih bergulat dengan produk-produk seperti topi, tas, cinderamata, asesoris. Padahal masih banyak yang dapat dibuat dari bahan baku kulit lantung seperti bisa dijadikan alternatif bahan pembuatan sepatu. Sepatu kemudian dapat dikembangkan lagi dari segi desain yang tentunya disukai oleh kalangan masyarakat luas. Selain itu produk penuh dari kulit lantung juga dapat


(25)

dikombinasi dengan berbagai bahan kulit lainnya. Adanya produksi sepatu dengan bahan kulit lantung yang kombinasikan diharapkan dapat memberikan inovasi baru dan meningkatkan nilai ekonomis dari kulit lantung.

Untuk menambah nilai keindahan di kulit lantung sendiri dapat ditambah dengan teknik batik sebagai cara untuk mempercantik tekstur serat yang unik dan menjadi ciri khusus di produk kulit lantung ini. Banyaknya seni kerajinan serta teknik yang dapat diterapkan seperti membatik, kulit lantung ini dapat di tambah dengan teknik batik dengan berbagai motif dari Yogyakarta. Untuk menambah identitas Yogyakarta sebagai kota kerajinan. Maka berdasarkan latar belakang itulah, penciptaan sepatu ini akan memanfaatkan kulit kayu lantung sebagai bahan utama dalam pembuatan sepatu batik wanita.

B. Fokus Masalah

Fokus masalah untuk Tugas Akhir Karya Seni ini difokuskan pada penciptaan sepatu batik wanita berbahan kulit kayu lantung. Dengan penerapan motif batik parang klitik, parang kusuma, dan gurdo.

C. Tujuan Masalah

Tujuan maslah dari sepatu batik wanita berbahan kulit kayu lantung adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan metode penciptaan sepatu batik wanita berbahan kulit kayu lantung.


(26)

2. Mendeskripsikan hasil karya sepatu batik wanita berbahan kulit kayu lantung.

D. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dalam Tugas Akhir Karya Seni ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan dapat menambah pengetahuan yang mendalam tentang kerajinan kulit, khususnya tentang kulit lantung sebagai bahan pengganti pembuatan sepatu dan sebagai sarana penerapan teori-teori yang dipelajari waktu kuliah.

b. Dapat menambah referensi dan koleksi serta dapat digunakan sebagai acuan dalam pembuatan karya yang akan datang. Serta mudah-mudahan dengan adanya koleksi dan referensi tersebut dapat menciptakan karya baru dan lebih memiliki nilai estetika dari karya sebelumnya.

2. Manfaat Praktis

a. Alternatif bahan yang dapat digunakan selain menggunakan kulit hewan kepada para pengrajin sepatu dalam hal strategi pemanfaatan bahan guna menambah bahan-bahan dalam pembuatan sepatu.

b. Sepatu batik lantung dapat menjadi koleksi sepatu bagi wanita yang suka dengan jenis sepatu berbahan alam.

c. Menambah pendapatan masyarakat/ pengrajin sepatu dalam home industry khusus kerajinan sepatu batik lantung.


(27)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Kulit Kayu Lantung

Artocarpus elasticus adalah Famili Moraceace yang juga dikenal sebagai

tanaman lantung atau jomok. Serat Moraceace termasuk serat selullosa dan merupakan serat alam. Kulit lantung ini merupakan salah satu dari 18 jenis kulit kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai kain kulit kayu di Indonesia (Prisanti,Intan: 2).

Famili Moraceace atau suku ara-araan ini adalah salah satu anggota

tumbuhan berbunga. Tumbuhan beringin, ara, tin, pohon Bodhi, dan murbei ini merupakan salah satu suku dari family Moraceace. Untuk Ciri khas suku ini dapat dilihat dari daunnya yang relatif tebal, agak berdaging (sukulen), serta dari buahnya yang bukan merupakan buah sejati karena terbentuk dari dasar bunga yang membesar lalu menutup sehingga membentuk bulatan seperti buah. Bunganya tersembunyi di dalam “buah” dan diserbuki oleh serangga tertentu. Untuk Klasifikasi Ilmiah:

Kerajaan : Plantae.

Divisi : Tracheophyta. Kelas : Magnoliopsida. Ordo : Rosales.

Famili : Moraceae. Genus : Artocarpus.


(28)

Gambar I: Artocarpus elasticus (Sumber: http://alamendah.org/)

Gambar II: Daun dari pohon Benda (Artocarpus elasticus) (Sumber: http://alamendah.org/)

Dalam Sastrapradja, Setijati (1979: 13), salah satu jenis yang termasuk dalam family Moraceae adalah, Benda (Artocarpus elasticus) ini digolongkan dalam suku Moraceae dan genus Artocarpus ini masih kerabat dekat dengan Nangka, Sukun, cempedak. Tumbuhan ini berumah satu (Monoecious), berukuran


(29)

sedang, dengan tinggi pohon dapat mencapai 50 m dan memiliki daun penumpu (stipula) sepanjang 6-20 cm, berambut panjang kuning hingga merah, yang membungkus ujung ranting. Daunnya tunggal, berbentuk bundar telur jorong, ujung daun meruncing, bertepi rata hingga menggelombang, dan pangkalnya membulat hingga menyempit. Kayu berwarna kuning muda menkilap, termasuk dalam kelas keawetan III-V, kelas kekuatan III-V dengan B. J. O. 44. Di Jawa Barat kayu tersebut banyak digunakan sebagai bahan untuk pembuatan tiang rumah dan perahu. Di samping itu dapat dipakai sebagai bahan kayu lapis, papan dinding bahan pembungkus dan pembuatan kapal. Kulit batangnnya berserat panjang, mudah mengelupas dan banyak digunakan untuk pembuatan tali, dinding rumah, bahan kertas, dan bahan pakaian.

Setelah melihat klasifikasi ilmiah dari famili kulit lantung ini kemudian kulit batang tersebut dapat diolah dengan sedemikian rupa. Pengolahan Kulit lantung menjadi lembaran serat, dapat digambarkan secara singkat alur proses pengolahannya berikut:

Bagan I. Alur Pengolahan Kulit Lantung.

Gambar III: Bagan alur pengolahan kulit lantung (Sumber: Murwanti, 5:1999)

Penebangan Pemotongan an

Pengelupasan Pemipihan


(30)

Kulit pohon yang digunakan adalah kulit dari tumbuhan muda yang belum berbuah. Proses pengolahan setelah pemotongan direndam ke dalam air agar kulit menjadi lemas sehingga mudah di kempa.

Pemotongan, panjang serat hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan perhitungan mengkeret serat sewaktu pemipihan, ketebalan dan kekuatan tarik.

Penelupasan, pengelupasan kulit kayu dilaksanakan dengan tahapan: a. Pengelupasan kulit kayu dilaksanakan dengan pisau kupas (kulit luar) b. Pemukulan kulit agar tidak sobek

c. Pengelupasan kulit dalam.

Penempaan/pemipihan, ketebalan lembaran kulit bervariasi sesuai dengan kegunaan. Agar ketebalan lembaran kulit sesuai dengan yang diinginkan maka perlu pemipihan secara berulang-ulang dengan pemukul bergerigi ini menggunakan alat tradisional batu ike dan untuk pegangannya terbuat dari kayu. Pada proses penempaan dalam keadaan basah, maka perlu disiram air untuk menghindari kulit menjadi patah-patah/pecah.

Pengeringan, setelah serat dipipihkan menjadi lembaran perlu dikeringkan. Maksud pengeringan untuk mencegah timbulnya jamur, bakteri yang dapat merusak serat.

Menurut Murwati (1999: 4) Sifat-sifat serat seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, kapasitas serap/daya serap dan waktu serap rata-rata disajikan pada tabel berikut ini:


(31)

Tabel 1. Sifat-sifat fisik kulit kayu Lantung No. Ketebalan

serat (mm) Kekuatan Tarik (N) Kekuatan sobek (N) Mulur (%) Waktu serap (dt) Kapasitas serap (%)

1 0.58 176,58 6,08 4,20 18,00 463,9

2 1,01 485,59 5,79 4,32 16,27 296,5

3 1,37 931,16 10,99 3,20 36,80 248,4

4 1,16 371,30 26,78 2,91 99,00 407,5

5 1,43 282,00 33,63 2,91 26,70 421,0

Tabel 1: Sifat-sifat Fisik Kulit Kayu Lantung (Sumber: Murwati, 4: 1999)

Sejalan dengan pendapat tersebut dari Murwati, Eustasia Sri (2010: 3) juga menegaskan, untuk ketebalan kulit kayu lantung yang ada dipasaran bervariasi dari ketebalan rata 0,475 mm sampai dengan 1,020 mm dan dikelompokkan menjadi 3, yaitu tipis (A) mempunyai ketebalan rata-rata 0,475 mm, sedang (B) mempunyai ketebalan rata-rata 0,913 mm dan tebal (C) mempunyai ketebalan rata-rata 1,02 mm.

Kekuatan tarik dan sobek merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan apabila kita akan membuat aksesoris seperti tas ataupun sepatu, kekuatan tarik kulit kayu lantung menurut Murwati, (2005: 3) kulit kayu setelah hasil uji menggunakan T Test untuk kulit kayu diperoleh T hit 0,830,Ttab:4,303 sehingga HO diterima berarti kekuatan tarik sesudah diperoses batik sama dengan sebelum diproses batik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses pembatikan tidak akan mengurangi kekuatan tarik kulit kayu.


(32)

Daya serap adalah salah satu faktor yang menentukkan kegunaan serat atau kain untuk tujuan tertentu, misalnya untuk tujuan penyerapan uap air.Hampir semua serat menyerap uap air sampai batas tertentu. Pengujian daya serap kulit kayu lantung ini sangat diperlukan dan sangat erat hubungannya dengan daya tahan terhadap tumbuhnya jamur. Semakin mudah menyerap air akan semakin lembab sehingga kemungkinan untuk tumbuhnya jamur akan semakin cepat. Dari hasil uji menggunakan T Test diperoleh T hit 22,217,00Ttab:4,303 sehingga HO ditolak berarti daya serap sesudah proses batik berbeda dengan sebelum diproses batik. Daya serap sebelum diproses batik lebih besar daripada sesudah dibatik. Hal ini disebabkan selama proses batik pori-pori serat terisi bahan-bahan lain (pewarna, malam dll) sehingga akan mengurangi permeabilitas bahan (Murwati: 2005: 4).

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kulit kayu lantung mempunyai karakteristik serat yang lentur, kuat dan memiliki tekstur serat yang menarik, warna-warna natural seperti cokelat, krem, dan putih, ditambah dengan proses tradisional dapat menciptakan bahan yang sangat menarik untuk dimanfaatkan.

B. Tinjauan Tentang Sepatu 1. Sepatu

Sepatu memiliki fungsi sebagai pelindung kaki, dimana dengan menggunakan sepatu merupakan salah satu cara untuk menjaga kesehatan kaki tetap sehat. Di samping itu sepatu/alas kaki mempunyai tugas untuk melindungi kaki dalam pengertian enak di pakai (comfortable) sesuai dengan syarat-syarat


(33)

standar formal dengan fungsi kaki. Kaki yang memiliki kewajiban untuk mendukung tubuh dan digunakan untuk berjalan selama manusia hidup (Basuki, 2013: 3).

Dapat ditunjukkan banyak bukti dari sejarah, bahwa sepatu/alas kaki dalam bentuk apapun juga merupakan kebutuhan primer bagi nenek moyang kita karena banyak hal, mereka mencari cara untuk melindungi kaki mereka dari berbagai pengaruh iklim. Alas kaki dipakai sebagai sarana untuk mencari makan, berjalan, melalui karang-karang yang tajam, padang pasir yang panas dan juga tanah yang kasar. Selama berabad-abad sepatu/alas kaki hanya sebagai pelindung kaki, sampai pada abad pertengahan maka sepatu/alas kaki mempunyai nilai tinggi yang dikaitkan dengan status hidup mereka, oleh karena itu kadang-kadang sepatu/alas kaki diberi hiasan dari emas atau permata.

Reynolds, Helen (2010: 18) mengatakan bahwa, sandal merupakan salah satu jenis sepatu tertua, bentuk yang terbuka membuatnya menjadi alas kaki yang ideal di tengah udara panas. Penduduk mesir kuno awal membuat sandal jepit dari batang papyrus, tapi kemudian juga menggunakan daun palem atau kulit.

Sepatu merupakan lapik atau pembungkus kaki yang biasanya dibuat dari kulit (karet dan sebagainya), bagian telapak dan tumitnya tebal dan keras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 919).

Maka sepatu adalah salah satu pelengkap busana manusia untuk dikenakan pada bagian tubuh manusia yaitu kaki yang memiliki fungsi sebagai pelindung kaki dari bagian atas sampai telapak kaki, dengan perkembangannya sepatu juga


(34)

memiliki fungsi menunjukkan status sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat.

2. Komponen Sepatu

Sebuah sepatu terdapat beberapa bagian dan komponen sepatu yang dirakit jadi satu dengan bentuk dan desain yang bermacam-macam. Dilihat dari cara dan letak pengerjaannya, sepatu dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu atasan dan bawahan sepatu (Basuki, 2013: 47) :

a) Atas Sepatu (Shoe Upper)

Alas sepatu Ini adalah bagian atas sepatu yang mempunyai tugas untuk melindungi dan menutup bagian atas dan samping sepatu. Kemudian untuk bahannya yang cocok untuk bagian atas umumnya: tipis, lunak dan fleksible (Basuki, 2013: 47).

Bagian-bagian atas sepatu (Shoe Upper) terdiri dari:

1) Vamp

Komponen bagian depan sepatu, variasi potongan vamp terdiri dari satu bagian (Whole cut Vamp), dua bagian (Toe Cap), kemudian variasi potongan lain yang dirakit menjadi satu unit (Half Vamp) (Basuki, 2013: 50).

2) Quarter

Bagian atas sepatu yang terdapat disamping berbatasan dengan Vamp sampai belakang sepatu yang terdiri dari bagian samping dalam (quarter in), dan bagian luar (quarter out). (Basuki, 2013: 54).


(35)

3) Counter

Merupakan bagian yang ditempelkan pada pinggang quarter, namun kadang untuk bagian ini dibuat variasi berupa jahitan pada badan quarter. Sekarang, hampir semua sepatu diproduksi dengan memakai counter tersebut (Basuki, 2013: 55-56).

4) Back Strap

Jahitan yang terdapat dibelakang tumit sepatu untuk menyambung kedua quarter yang memerlukan perhatian pada saat proses tekanan dan tarikan saat

lasting (Basuki, 2013: 58).

b) Bawah Sepatu (Shoe Bottom)

Merupakan bagian sepatu yang melindungi dan menjadi alas telapak kaki dan terdiri dari beberapa komponen sepatu yang dirakit menjadi satu, terkecuali hak, jika terpisah dari sol luarnya. Bagian bawah sepatu ini benar-benar mendapat tekanan dari berat tubuh, maka dibutuhkan bahan yang digunakan harus labih tebal dan kuat berbeda dengan bagian atas sepatu. Komponen bawah tersebut adalah sebagai berikut uraiannya:

1) In Sole

Sol yang menjadi pondasi untuk pembuatan sepatu berbentuk seperti telapak acuan. Letak dari sol dalam ini terdapat di paling dalam (setelah kaki) yang dibatasi oleh pelapis sol dan kaos kaki. Sol ini terdiri dari 2 bentuk seperti, utuh keseluruhan sol dalam hanya terdiri dari satu lapis saja, dan kemudian


(36)

blended in sole ini terdiri dari dua lapisan terbuat dari bahan yang fleksible di bagian ujungnya dan bahan keras (rigid backer) berfungsi juga untuk penguat

(shank) dibagian pinggang sepatu (Basuki, 2013: 63).

2) Filler (Isian)

Pengisian pada rongga yang terdapat di antara sol dalam dan sol luar. Bahan pengisi biasanya semacam gabus, atau semacam bahan untuk topi (Basuki, 2013: 66).

3) Sock Lining (Tatakan)

Komponen sepatu yang memiliki fungsi yang sama untuk pelapis agar sepatu enak dalam pemakaiannya. Komponen ini juga bisa dibilang sebagai pelengkap sepatu dan biasanya untuk menempatkan nama perusahaan, merk, logo, ukuran (Basuki, 2013: 71).

4) Outer Sole (Sol Luar)

Penutup paling luar bagian bawah sepatu sebagai alas sepatu, sol luar terbuat dari bermacam-macam bahan seperti, karet, kulit, bahan sintetis (Basuki, 2013:67).

5) Heel (Hak)

Komponen bagian paling bawah yang berfungsi memberi sokongan pada bagian tumit karena tekanan kaki agar mendapat posisi berdiri yang seimbang.


(37)

Adapun macam heel untuk sepatu wanita seperti: Continental, Cuban, Louis,

Military, Wedges, Spring, Dutch Boy, Trimmed. Ditambah dengan jenis heel yang

terbaut dari lapisan dari bahan kulit /Leather board yang tersusun tinggi sesuai kebutuhan (Basuki, 2013: 67).

6) Top Piece

Penutup hak paling luar yang berhubungan langsung dengan lantai/tanah disebut juga dengan Top Lift (Basuki, 2013: 68).

3. Bentuk dasar Sepatu

Pada perkembangannya sepatu/alas kaki dapat dikategorikan menjadi beberapa macam bentuk sepatu/alas kaki, adapun macamnya a) Pump atau Court Shoe, b) Oxford shoe, c) Derby shoe, d) Monk shoe, d) Boots, sebagai berikut (Basuki, 2013: 37):

a) Pump atau Court Shoe

Model sepatu dengan potongan yang sangat rendah, bentuk desainnya sangat sederhana tetapi merupakan sepatu yang tidak mudah dibuat. Ini disebabkan bagian atas tidak dapat dengan mudah memegang kaki sewaktu dipakai untuk berjalan, yang dimaksud tanpa tumit yang tinggi (Basuki, 2013: 44).

b) Oxford Shoe

Sepatu dengan potongan rendah dengan nama aslinya berasal dari Oxford di Inggris tahun 1640. Bentuk dasarnya potongan rendah memiliki tiga atau empat


(38)

mata ayam.Sepatu Oxford sekarang ini setara kepopulerannya dengan

Derby/Gibson. Ciri khas dari Sepatu Oxford bagian vamp menempel diatas bagian

quarter (Basuki, 2013: 43).

c) Derby Shoe

Cirinya adalah Komponen Quarter menempel diatas komponen vamp. Dengan Komponen lidah menjadi satu atau terpisah, memakai tali sepatu (Basuki, 2013: 46).

d) Monk Shoe

Sepatu dengan bentuk yang sederhana dan kadang disebut juga sebagai

three Upper Section. Salah satu dari quarter (quarter in) dipasang sejenis strap

(tali) yang menempel pada sisi luar quarter (quarter out) kemudian diikat dengan sebuah gesper sebagai pengikat kaki (Basuki, 2013: 42).

e) Boot

Pertama ditemukan di Thebes sekitar 4.500 tahun yang lalu, juga terlihat pada gambar-gambar kuno di kehidupan bangsa Etruscan di abad 16 SM. Sepatu boot adalah sepatu yang menutup kaki sampai bagian tumit atau diatasnya (Basuki, 2013: 39).


(39)

4. Struktur Kaki

Wiryodiningrat, Suliestiyah (2008: 1) berpendapat bahwa, pada umumnya kaki dibangun atas komponen-komponen dan mempunyai kandungan sebagai berikut: (1) Kulit, mengandung 17%, (2) Tenunan dibawah kaki, terdiri atas lemak, urat syaraf dan serabut darah 26%, (3) Tulang, urat (tendon) dan Ligament 43%, (4) Otot-otot.

Kulit merupakan lapisan paling luar yang melengkapi dan menyempurnakan bentuk tubuh. Memiliki fungsi untuk menjaga dan menutupi seluruh tubuh makhluk hidup, termasuk kulit pada kaki. Untuk kelenjar keringat yang keluar pada kulit jika diukur per inci persegi adalah banyak sekali. Kelenjar keringat memiliki fungsi untuk mengeluarkan sisa pembakaran tubuh. Dalam keadaan istirahat telapak kaki mengeluarkan lebih banyak zat cair dibanding pada bagian atas kaki, rata-rata seluruh kaki mengeluarkan 60-70 g/m2h. Selama berjala lebih kurang 40% zat cair yang dikeluarkan pleh kaki hilang karena kerja memompa 10-15 % zat cair hilang karena difusi, dan sisanya 50% harus diserap oleh sepatu

Maka untuk kaki disusun oleh beberapa macam tulang masing-masing tulang mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ada yang berfungsi sebagai penguat, ada juga sebagai alat keseimbangan. Oleh karena itu penting sekaliarti kaki bagi manusia, dan orang lalu berusaha melindunginya dengan jalan menutup kaki tersebut dengan apa yang disebut dengan sepatu. Wiryodiningrat, (2008: 4) menuturkan bahwa, tak lepas juga alas kaki/sepatu yang baik harus dapat menjamin 4 hal, sebagai berikut:


(40)

a) Menjadi suatu media terjadinya sistem pertukaran udara.

b) Bahan-bahan yang digunakan harus dibuat dar bahan yang tidak akan mengeluarkan udara.

c) Melindungi kulit dan urat syaraf dari gesekan dan tekanan.

Masyarakat dengan aktifitas yang berbeda-beda juga, juga dapat mengakibatkan bentuk kaki berubah dari yang normal menjadi abnormal, Anonim (1960: 7) bahwa, bentuk kaki ada yang normal, dan ada yang abnormal penjelasannya adapun sebagai berikut:

1) Kaki yang Normal

Pertumbuhan tulang-tulang wajar jadi bentuk kaki biasa 2) Kaki yang Abnormal

Kadang-kadang sebab-sebab dari dalam (penyakit), orang dapat rusak kakinya, atau tumbuh dengan tidak semestinya. Kaki yang seperti itu dinamakan dengan kaki Abnormal. Untuk kaki yang abnormal bentuknya:

a. Kaki Datar (Plat foot)

Disini tulang lekuk bentuknya datar sehingga rata dengan tanah. b. Kaki Renggang

Untuk jari-jari kaki pertumbuhannya menuju keluar. c. Kaki Lengkung

Tulang lekuk kaki begitu melengkung sehingga telapak kaki Nampak pendek.


(41)

C. Tinjauan Tentang Batik

Kuswadji dalam Aziz, Ibnu (2010: 1), berpendapat bahwa batik berasal dari bahasa jawa ‘Mbatik’ kata mbat dalam bahasa Jawa yang juga disebut

ngembat. Kata tersebut bermakna melontarkan atau bisa juga melemparkan.

Sedangkan kata ‘tik’ dapat diartikan sebagai titik sehingga yang dimaksud batik/mbatik adalah melemparkan titik berkali-kali pada kain.

Ada juga yang berpendapat secara etimologi dan terminologinya, batik merupakan rangkaian kata mbat dan tik. AstiMusman dan Ambar B.Arini (2011: 1) menyatakan bahwa Mbat dalam bahasa Jawa diartikan sebagai ngembat atau melempar berkali-kali, sedangkan tik berasal dari kata titik. Jadi, membatik berarti melempar titik-titik berkali-kali pada kain. Sehingga akhirnya bentuk-bentuk titik tersebut berhimpitan menjadi bentuk garis. Selain itu, batik juga berasal dari kata mbat yang merupakan kependekkan dari kata membuat, sedangkan tik adalah titik. Ada juga yang berpendapat bahwa batik berasal dari gabungan dua kata bahasa jawa amba yang bermakna menulis dan titik yang bermakna titik.

Pendapat Soedjoko dalam Aziz, Ibnu (2010: 1), batik berasal dari bahasa sunda. Dalam bahasa sunda, batik memiliki makna menyungging pada kain ditemukan babad sengkala (1633) dan Pandji lengkara (1770).

a) Motif Batik

Dari semua karya batik, dari batik tulis, batik cap, maupun batik printing unsur utama yang dapat membentuk sebuah karya batik adalah motif. Motif merupakan unsur utama dalam pembuatan karya batik. “Motif Batik adalah


(42)

kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Motif Batik disebut juga corak batik atau pola batik tersebut diungkap” (Sewan Susanto, 1973: 212). Pemakaian motif batik tersebut sering dikaitkan dengan makna yang simbolis. Misalnya seperti, motif gurda pada batik klasik atau tradisional. Ini sebagai lambang kendaraan menuju surga (AstiMusman dan Ambar B. Ariani, 2011: 37). Adapun motif klasik atau motif tradisional.

Pada bukunya Kusrianto, (2013: viii) menyebutkan istilah motif untuk menyebutkan desain secara keseluruhan dari sebuah kain batik. Sebuah motif terdiri dari sekumpulan ornamen atau ragam hias. Dapat juga diartikan bagian pokok dari pola batik. Dimana istilah ornamen sendiri memiliki arti dalam pembahasan tentang batik adalah sebagai bentuk objek (gambar) yang berfungsi sebagai penghias dan pengisi. Kemudian untuk ragam hias, ini digunakan untuk menyebut ornamen yang memiliki bentuk yang sudah khas. Dan untuk istilah Pola merupakan penggabungan bagian dari motif atau digunakan untuk menyebut sebuah rancangan gambar suatu motif di atas kertas yang akan diterapkan pada kain.

Motif dapat juga disebut dengan dasar atau pokok dari suatu gambar yang symbol atau lambang dibalik motif tersebut. Motif terdiri atas unsur bentuk atau objek, skala atau proporsi, dan komposisi. Motif menjadi kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan (Wulandari, 2011:113). Dikatakan lagi bahwa motif sering dikaitkan dengan makna simbolik, ini dapat dicontohkan dengan penggunaan motif parang tentu saja menjadi milik raja pembuatnya dan keturunannya. Larangan penggunaanpun dicanangkan oleh Sri Sultan HB I pada


(43)

tahun 1785, yang termasuk kain motif parang rusak barong dan motif parang lainnya.Wulandari, 2011: 20) mengatakan dalam bukunya,

Terakhir, Sri Sultan HB VIII menetapkan revisi larangan tersebut dengan membuat Pranatan Dalem bab Namanipun Pengangge ing Nagari

Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dimuat dalam Rijksblad van

Dyogyakarta No 19 Tahun 1927. Sampai sekarang tidak diperbaharui yang kemudian menjadi semacam aturan tidak tertulis yang menjadi tradisi di lingkungan keraton.

Aturan dan larangan dengan penggunaan motif batik, seperti batik corak parang rusak dilarang dipakai saat pernikahan dengan harapan agar terhindar dari rumah tangga yang rusak. Kemudian untuk motif corak sido mukti atau sido luhur digunakan pada saat acara pernikahan diharapkan kelak kehidupan anaknya menjadi orang yang luhur dan terpandang.Wulandari, 2011: 58) mengatakan,

Seiring dengan perkembangan zaman, pihak keraton melonggarkan kebijakan mengenai motif larangan. Peraturan motif larangan sekarang hanya berlaku di dalam keraton, terutama bila ada ada upacara-upacara adat atau upacara kebesaran. Motif larangan sekarang menjadi motif batik yang dapat digunakan masyarakat umum.

Maka dengan adanya pencanangan dari pihak keraton tersebut pemakain motif yang awalnya dilarang untuk dipakai oleh masyarakat umum yang kemudian dapat bebas digunakan olah masyarakat ini sangat membantu bagi kalangan industri batik. Hingga sampai saat ini motif batik keraton sudah terkenal sampai mancanegara.

b) Bahan Perintang

Bahan perintang yang dimaksud adalah malam/lilin batik, bahan yang digunakan dalam membatik. Bahan ini dipakai untuk menutup permukaan kulit kayu menurut gambar motif batik. Sehingga permukaan yang tertutup malam/lilin


(44)

batik tersebut menolak atau resist terhadap zat warna yang diberikan pada kulit kayu tersebut. Malam/lilin ini bukan terdiri dari satu macam bahan, tetapi campuran dari beberapa bahan pokok lilin. Sebagai bahan pokok lilin adalah antara lain: Gondorukem, damar mata kucing, parafin, (putih dan kuning),

microwax, lemak binatang (kendal, gajih), minyak kelapa, lilin tawon, lilin

lanceng (Sewan, 1973: 58). Jumlah bahan pokok yang dipakai dan perbandingannya adalah bermacam-macam, menurut pemakaiannya dan pengalamannya masing-masing. Dari campuran bahan-bahan pokok lilin batik, pada suatu perbandingan sedemikian rupa sehingga mencapai sifat-sifat yang dikehendaki seperti daya tahan tembus kebasahan tinggi, lemas, atau fleksible dan tidak mudah pecah. Dapat membuat gambar atau motif dengan garis-garis tajam, mudah dilepaskan kembali pada waktu dilorod.

c) Zat Warna dan Zat Pembantu

Menurut Haryani Winotosastro dalam Musman (2011: 24), dalam proses batik membutuhkan dua macam pewarnaan. Pada awalnya menggunakan pewarna alami dari bahan alam antara lain daun, kulit pohon, kayu, kulit akar, bunga, dan sebagainya. Dengan berkembangnya zaman akan pewarnaan yang lebih mudah menggunakannya. Maka dipakailah pewrana kimiawi/sintetis, ini diperoleh dari bahan naphtol, indigosol,dan rapid.

1) Naphtol

Merupakan Zat Naphtol yang disebut “Developed Azo Dyes,” karena jika digabungkan dengan garam diazo baru timbul warnanya dan tidak larut dalam air.


(45)

Kemudian Zat napthol-AS (AS: Anilid Saure) suatu senyawa mengandung inti siklis dan asam anilin, dan mengganti kedudukan Beta-Napthol dalam pewarnaan. Garam ialah bahan pembangkit warna napthol. Nama dagang pabrik yang mengeluarkan, misalnya Ciba (Cibanapthol), ICI (Brenthol), Sandoz (Calcot). (Susanto, (1973: 88).

2) Indigosol

Indigosol disebut juga dengan cat bejana-larut, yaitu leuco-ester-Natrium dari cat bejana, (natrium disulfonester leuso indigo) (Murwati, 1999: 6).

3) Cat Rapid

Rapid ialah Naptol yang telah dicampurkan dengan garam diazo dalam bentuk yang tidak dapat bergabung (koppelen) dengan Naptol, yaitu “anti -diazotat”. Jika terkena asam anorganik, maka bentuk anti-diazotat berubah menjadi bentuk iso-merinya disebut dengan “syndiazotat”, dan bentuk ini dapat bergabung dengan Naptol dan timbul warna.

D. Tinjauan Tentang Desain a. Pengertian Desain

Menurut Petrussumadi, (1991: 9), desain merupakan rancangan yang menjadi dasar pembuatan suatu benda buatan. Proses desain lazim dibuat diatas kertas ataupun alas gambar lainnya, misalnya diatas kertas tetapi sering pula cukup tergambar di dalam pikirannya. Sebuah desain dihasilkan melalui berbagai


(46)

pertimbangan, sehingga berdasarkan desain yang di tuangkan diatas kertas atau lainnya, orang lain dapat dengan jelas menangkap maksudnya dan kemudian mengerjakan pembuatan benda yang dimaksud.

Menurut Susanto, Mikke (2011: 102) desain merupakan aktivitas ekspresi rancangan seniman dalam berkarya yang mengkomposisikan berbagai elemen dan unsur yang mendukung. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut seperti apa yang diutarakan oleh Sanyoto, (2010):

1) Kesederhanaan (Simplicity)

Kesederhanaan adalah kesan tidak lebih dan tidak kurang namun tidak sedikit pula, tetapi yang tepat adalah “pas”(Sanyoto, 2010: 263). Jadi kesederhanaan itu masalah rasa. Manakala dalam menata karya seni maupun desain dapat dicoba untuk menambah objek yang kemudian dirasakan, apakah pas atau tambah ruwet, jika tambah ruwet maka dapat dihilangkan atau dapat juga dilakukan sebaliknya. Menambah objek/elemen atau mengurangi tentu mempertimbangkan prinsip-prinsip yang lain, diantaranya irama, kesatuan, keseimbangan, dominasi, proposi.

2) Keselarasan/Irama (Ritme)

Keselarasaan merupakan kesan gerak pengulangan atau gerak mengalir yang ajeg, teratur, terus menerus. Ajeg sesungguhnya istilah bahasa jawa yang artinya terus-menerus dengan jarak, waktu, gerak, yang sama (Sanyoto, 2010: 157).


(47)

3) Kesatuan (unity)

Kesatuan adalah seluruh bagian-bagian atau dari unsur/elemen yang disusun harus saling mendukung, tidak ada bagian-bagian yang menganggu, terasa keluar dari susunan atau dapat dipisahkan. Dalam prinsip kesatuan yang sebenarnya adanya saling hubungan antar unsur yang disusunsama (Sanyoto, 2010: 213).

4) Keseimbangan (balance)

Keseimbangan merupakan prinsip desain yang paling banyak menuntut kepekaan perasaan terhadap hasil penataan unsur-unsur desain. Sebuah desain dikatakan seimbang manakala dari bagian pada karya memiliki beban yang sama, sehingga akan membawa rasa tenang dan enak dilihat (Petrussumadi, 1991: 15).

b. Unsur Desain

Membentuk sebuah karya seni sama halnya seperti membangun sebuah pondasi dimana membutuhkan material-material agar dapat membangun pondasi tersebut. Sama halnya dalam membentuk karya seni, ini akan membutuhkan bahan atau unsur-unsur dalam mendesain karya seni seperti, bentuk, garis, ukuran, arah, warna, value, tekstur, ruang (Sanyoto, 2010: 8). Adapun mengkombinasi dari elemen-elemen desain dengan unsur desain salah satu proses dalam membentuk sebuah desain karya seni. Beberapa unsur tersebut dapat pula menjadi tolak ukur dalam penyesuaian karakter dan bentuk. Unsur tersebut antara lain:


(48)

1) Bentuk

Bentuk (form) merupakan penggabungan unsur bidang. Misal, sebuah bujur sangkar terwujud dari enam sisi bidang yang disatukan.

2) Ukuran

Ini bukan besaran sentimeter atau meter, tetapi ukuran yang bersifat nisbi. Nisbi yang artinya ukuran tersebut tidak memiliki nlai mutlak atau tetap, yakni bersifat relatif atau tergantung pada area dimana bentuk itu berada.

3) Bidang

Bidang atau shape adalah area, suatu bentuk yang memiliki dimensi panjang dan lebar dan menutupi area.

4) Warna

Warna merupakan pancaran cahaya melalui suatu benda yang diterima oleh indra penglihatan yang kemudian diterjemahkan oleh otak sebagai warna tertentu manakala pemilik otak tidak buta warna.

5) Tekstur

Nilai atau ciri khas suatu permukaan atau barik. Barik merupakan dapat diraba atau yang berkaitan dengan indera peraba. Suatu permukaan terbagi menjadi tekstur nyata dan tekstur semu. Tekstur nyata, misalnya pada batang kayu, batu, amplas, goni dan sebagainya. Untuk tekstur semu, jika dilihat terlihat


(49)

kasar namun jika di raba halus misalnya goresan bebas, tempelan kertas, goresan silang-silang (Sanyoto, 2010: 120).

Selain itu dalam mendesain harus memperhatikan segi fungsi, segi ergonomis, segi ekonomis, dan segi estetika.

1) Segi Fungsi

Ditinjau dari segi fungsinya karya seni sepatu batik ini mempunyai dwi fungsi yaitu sebagai benda yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagai alas untuk melindungi kaki, selain itu dapat juga digunakan sebagai karya seni yang dapat menjadi tolak ukur si pemakainya

2) Segi Ergonomi

Ditinjau dari segi ergonominya, tidak lepas dari cabang ergonomi yang mempelajari tentang ukuran tubuh manusia baik dalam kondisi statis maupun dinamis, Dalam bidang seni kriya seperti mebel, interior, arsitektur maupun lainnya. Karya-karya yang bersifat ergonomi diciptakan cenderung harus memiliki

sifat sesuai desain dan nyaman dipakai (Susanto, Mikke, 2011: 123). Karya seni sepatu batik ini diciptakan untuk betul-betul memenuhi kriteria

pengguna sepatu antara lain, keindahan, dan keamanan. a) Keindahan

Berpegangan pada konsep, ide, gagasan, dan pemahaman diharapkan bisa membangkitkan dan menampilkan nilai keindahan serta rasa bahagia. Sesuatu yang indah akan menimbulkan rasa menarik pada karya seni tersebut.


(50)

b) Kenyamanan

Pertimbangan penggunaan bahan yang dipakai, konstruksi, serta proses finishing tentu saat dipakai sepatu batik akan tetap nyaman. Karena telah melalui proses pembentukan dan dengan rancangan yang cermat sehingga sepatu batik akan lebih aman digunakan.

3) Segi Ekonomi

Ditinjau dari segi ekonomi karya didesain dan dibuat dengan sederhana, bahan yang mungkin digolongkan terjangkau tanpa meninggalkan nilai fungsi dan estetis, sehingga dengan biaya yang tidak terlalu banyak dapat memaksimalkan karya dengan baik.

4) Segi Estetika

Dalam Gustami, SP (2007: xii), bahwa seni sebagai ekspresi individual, dan kriya sebagai pembuatan sebuah karya fungsional yang berguna bagi kehidupan. Saat ini, kebanyakan hasil karya seni kriya memiliki fungsi seperti seni lainnya, yaitu memberikan keindahan dan kesenangan serta membangkitkan buah fikiran kesenimannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam segi estetika karya seni yang berupa sepatu batik ini, selain menekankan pada nilai fungsi, juga sebagai ekspresi individu. Segi estetika tersebut dapat menimbulkan rasa senang, indah serta rasa ingin berkarya muncul kembali.


(51)

E. Tinjauan Tentang Kulit

Kulit memiliki fungsi sebagai indra perasa, tempat pengeluaran hasil pembakaran (gegetahan), sebagai pelindung dari kerusakan bakteri kulit, dan masih banyak lagi. Dalam dunia perkulitan jika dilihat dari sisi bahannya, dikenal dengan dua kelompok besar kulit yaitu: Pertama kulit yang telah mengalami proses pengolahan penyamakan kulit disebut leather atau kulit samak. Jenis ini digunakan sebagai bahan baku industri persepatuan/nonpersepatuan umumnya barang-barang fungsional. Kedua, Kulit yang belum mengalami proses kimiawi, jenis ini sering digunakan dalam seni tatah sungging untuk bahan utama. Ini sering dibut dengan kulit perkamen atau kulit mentah.

Dalam dunia perindustrian persepatuan bahan utama yang sering digunakan adalah dengan menggunakan bahan utama kulit tersamak dari binatang. Menurut Sunarto (2001: 41) pemilihan kualitas kulit dibedakan menjadi 4 kelas yaitu:

a. Primes (kualitas 1)

Kulit kualitas no 1, ini merupakan kulit yang memiliki struktur yang baik, menunjukkan warna yang hidup dan bersih, pentangan bagus, hanya boleh ada cacat pada bagian kaki, kepala, dan ekor, yang tidak disebabkan oleh kutu kulit.

b. Seconds

Untuk kualitas kedua ini memiliki struktur tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk, warna cukup tidak perlu hidup, pentangan sedang, Permukaan kulit memiliki cacat lebih berat disbanding kulit kualitas 1, dan tidak merusak rajah.


(52)

c. Thirds

Kulit ini merupakan kulit yang kosong, lemas, warna layu dan suram, cacat banyak, pentangan kasar.

d. Rejects

Kulit paling buruk ini memiliki ciri-ciri seperti, struktur jelek, flek-flek sangat banyak, kulit berasal dari binatang yang mati sebelum dipotong misal karena sakit, seluruh kulit rusak dimakan serangga, bulu terlepas banyak, tipis.

Melanjutkan lagi pendapat dari Sunarto (2001: 41) dalam pemilihan kulit tersamak ada beberapa tes yang dapat dilakukan seperti organoleptis (tes yang memanfaatkan indra manusia namun tes ini kurang objektif dan terbatas), fisis (untuk mengetahui sifat fisik dari kulit menggunakan alat mekanis agar hasil lebih objektif, dan kimiawi (menguji kandungan zat yang mempengaruhi mutu kulit).

Adapun menurut Sunarto (2001: 47) macam kulit tersamak yang dibedakan menurut tujuan pemakaiannya sebagai berikut.

a. Kulit Sol

Kulit ini tebal, agak kaku, susah di lipat. Kulit sol ini sering digunakan untuk pembuatan sol panjang, separo dari sepatu berat seperti sepatu tentara dan sepatu pekerja. Kulit ini disamak nabati yang kemudian memiliki serat yang kuat dan padat. Kulit yang berkarakter demikian terdapat pada sapi jantan dan sapi yang kulit basahnya dapat mencapai 30 kg.


(53)

b. Kulit Box

Kulit yang dibuat dari kulit sapi atau anak sapi yang berat basahnya antara 15 kg-25 kg. Untuk tebalnya berkisar antara 1,6 mm-2,2 mm atau sesuai dengan kebutuhan. Jenis ini merupakan kulit atasan untuk sepatu yang digemukkan, dan diberi warna yang berfariasi. Kulit box ini memiliki sifat lemas, pegangan penuh, struktur kuat, tidak mudah pecah. Kemudian kulit box ini digunkan dalam pembuatan sepatu biasa atau sepatu kerja.

c. Kulit Glace

Penyebutan kulit glace ini sebenarnya tidak benar namun dalam perdagangan kulit ini terkenal dengan glace. Jadi sebenarnya kulit glace ini terbagi menjadi dua nama yaitu, Kulit Chevrau yang dibuat dari kulit kambing yang disamak dengan chrome. Kemudian kulit Chevrette yang dibuat dari kulit domba, dengan samak krom. Kulit chevrette masih dibawah chevrau kulit ini hanya dipakai dalam pembuatan sepatu. Kedua jenis ini dalam perdagangan sering di sebut dengan kulit Glace.

d. Kulit Nubuk dan kulit Velour

Kulit yang terbuat dari kulit sapi besar, disamak krom, dan bagian luar digosok sedikit sehingga halus, sehingga jika diraba akan terasa seperti beludru. Adapun kulit Velour juga disebut dengan kulit beludru, kulit ini dibuat dari kulit anak sapi, sapi kecil,babi. Untuk kulit Velour yang digosok hingga jika diraba seperti beludru, adalah bagian dagingnya.


(54)

e. Kulit Reptil

Kulit yang dikelompokkan sebagai kulit reptil misalnya ular, biawak, dan buaya. Umumnya kulit ini disamak dengan penyamakan nabati, sintetis, atau krom. Kulit ini dapat digunakan dalam pembuatan sepatu, tas wanita, dompet, ikat pinggang, dan lain sebagainya.


(55)

BAB III

METODE PENCIPTAAN

Penciptaan karya seni sepatu batik ini menggunakan metode penciptaan seni kriya. Proses penciptaan karya seni kriya dapat dilakukan secara intuitif, tetapi dapat pula ditempuh melalui metode ilmiah yang direncanakan secara seksama, analitis, dan sistematis. Dalam konteks metodologis, terdapat tiga tahap penciptaan seni kriya, yaitu eksplorasi, perancangan, dan perwujudan (Gustami, SP, 2007: 329).

A. Tahap Eksplorasi

Aktivitas penjelajahan menggali sumber ide dengan langkah identifikasi dan perumusan masalah: penelusuran, penggalian, pengumpulan data dan referensi, disamping itu dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan pemecahan masalah secara teoritis yang hasilnya digunakan sebagai dasar perancangan. Pengolahan dan analisis data tersebut dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan sumber inspirasi penciptaan karya seni kriya dan proses penciptaan yang akan dijalani. Kegiatan ini meliputi:

1. Pengumpulan informasi melalui studi pustaka dan studi lapangan untuk mendapatkan pemahaman guna menguatkan gagasan penciptaan dan menguatkan keputusan-keputusan dalam menyusun konsep penciptaan karya. 2. Melakukan analisis terhadap bentuk, bahan dan teknik yang digunakan dalam


(56)

3. Mengembangkan imajinasi untuk mendapatkan bentuk-bentuk sepatu yang kreatif.

Dalam tahapan ini merupakan tahapan awal dalam menciptakan suatu seni kriya, tahapan awal membahas tentang motif batik yang digunakan untuk membuat seni kriya sepatu batik ini. Sebagai studi pustaka tentang motif yang gunakan dalam menciptakan karya seni sepatu batik ini. Dimana motif yang digunakan dalam mengeksplorasi bentuk sepatu batik ini menggunakan motif batik yang sudah ada sebelumnya, yang menjadi ciri khas dari batik di Yogyakarta sendiri.

a) Motif Parang Kusumo

Susanto, Mikke (2011: 291) Parang (Jawa.) berarti “senjata/pisau tajam”atau permukaan bumi yang berbatu”, merupakan corak dalam ornament atau biasa dipakai dalam motif batik. Motif parang atau liris juga merupakan motif yang tersusun menurut garis miring atau garis diagonal. Dan Hamzuri (1981: 39) berpendapat bahwa Kata “Kusuma = Bunga”.

Ditambah dengan penjelasan dari Prasetyo, Anindito (2012: 51) untuk filosofi batik parang kusuma adalah dari kata kusuma yang memiliki arti bunga yang mekar, diharapkan pemakainya terlihat indah. Motif ini sering dipakai sebagai kain saat tukar cincin.

Selain memiliki makna bunga yang mekar motif ini bermakna hidup harus dilandasi dengan perjuangan untuk mencari kebahagiaan lahir batin. Di masyarakat jawa, kebaikan pribadinya tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana lahir batin. Yang


(57)

artinya mereka harus mematuhi aturan bermasyarakat dan taat kepada perintah Tuhan.Jadi diharapkan dalam menggunakan motif ini si pengguna tidak lupa dengan Tuhan-Nya dan norma-norma yang sudah ada walaupun zaman semakin terbuka lebar.

b) Motif Parang klitik

Telah dijelaskan diatas tentang pengertian parang, yang merupakan senjata tajam. Namun selain sebagai senjata tajam menurut Wulandari, Ari (2011: 136) :

Batik parang atau lereng berasal dari kata mereng (lereng bukit). Sejarah Motif ini diawali dari pelarian keluarga kerajaan dari Keraton Kartasura. Para keluarga raja terpaksa bersembunyi di daerah pegunungan agar

terhindar dari

bahaya………..Motif

ini berarti juga tapa brata para raja yang dilakukan di lereng-lereng pegunungan untuk mendapatkan wahyu atau wangsit. Dalam tapa brata itulah mereka dapat melihat pemandangan gunung dan pegunungan yang berderet-deret sehingga menyerupai pereng atau lereng.

Ditambah dengan pengertian dari kata klitik sendiri dalam Hamzuri (1981: 38) “Klitik = Small”. Kemudian dalam Lisbijanto, Herry (2013: 67) berpendapat, parang klitik merupakan motif yang menggambarkan perilaku manusia yang halus budi pekertinya dan bijaksana. Makna dalam menggunakan motif ini adalah agar putri raja dapat mempunyai budi pekerti yang halus dan bijaksana. Jadi dengan menggunakan motif batik ini diharapkan si pengguna memiliki budi pekerti yang halus dan bijaksana sesuai dengan fungsi motif sebelumnya..

c) Motif Gurdo.

Pengertian “Gurdo = garuda” Hamzuri (1981: 59). Susanto, (1973: 265) Garuda merupakan gambaran makhluk khayalan yang perkasa dan sakti dan juga sebagai kendaraan Dewa Wisnu. Di dalam morif batik Garuda digambarkan


(58)

sebagai stilir dari burung garuda yang perkasa seperti Rajawali. Bentuk gambar stilir dari burung garuda ini seolah-olah menggambar makhluk bersayap. Dari bentuk stilirnya pangkal sayap digambarkan kepala burung atau kepala burung raksasa atau yang lainnya, kemudian untuk bentuk sayapnya dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sayap terbuka dan tertutup. Motif Garuda ini dalam motif batik sangat terkenal dan hampir menjadi ciri umum yang artinya motif garuda ini adalah ciri khas batik Indonesia.

Ada juga yang berpendapat, seperti diketahui garuda merupakan burung besar. Dalam pandangan jawa burung garuda sangat penting kedudukannya, Motif gurda ini memiliki dua buah sayap (lar) dan ditengah terdapat badan dan ekor. Selain sebagai tunggangan Dewa Wisnu juga sebagai lambang matahari. Dalam masyarkat jawa garuda selain sebagai simbol kehidupan juga sebagai simbol kejantanan. Jadi dengan menggunakan motif gurdo ini diharapkan selalu dalam kecukupan dan kebahagiaan serta tabah dan kokoh. Serta akan terlihat kuat dan berwibawa.

Langkah selanjutnya adalah pembuatan sket-sket gambar alternatif yang telah dieksplorasi sebanyak 40 sket alternatif, yang kemudian dari sket-sket alternatif tersebut di tentukan sket terpilih sebanyak 10 sket alternatif terbaik yang diwujudkan. Kertas yang digunakan untuk membuat sket tersebut menggunakan kertas A4, secara manual menggunakan pensil. Sket-sket motif batik, Sket alternatif, dan sket terpilih berikut adalah sket-sket :


(59)

1) Sket Motif Batik

Gambar IV: Sket Motif Batik Parang Klitik (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar V: Sket Motif Batik Parang Kusumo (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(60)

Gambar VI: Sket Motif Batik Gurdo (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

2) Sket Alternatif

Sket alternatif merupakan langkah dari pembuatan rancangan maupun sebuah karya. Sket-sket dimaksudkan untuk mencari alternatif bentuk-bentuk sesuai dengan kemampuan berkreasi sesuai dengan tema yang diusung. Dengan melalui pembuatan sket-sket alternatif dapat memberikan perwujudan dalam proses karya yang sesuai dengan keinginan. Dengan membuat sket alternatif ini dapat menghindari terjadinya kesalahan dalam mebmbuat karya. Beberapa hasil rancangan yang telah dikembangkan menjadi sket-sket alternatif.


(61)

Gambar VII: Sket Alternatif Sepatu Flat 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar VIII: Sket Alternatif Sepatu Flat 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(62)

Gambar IX: Sket Alternatif Sepatu Casual 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar X: Sket Alternatif Sepatu Casual 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(63)

Gambar XI: Sket Alternatif Sepatu Casual 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XII: Sket Alternatif Sepatu Casual 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(64)

Gambar XIII: Sket Alternatif Sepatu Oxford 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XIV: Sket Alternatif Sepatu Oxford 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(65)

Gambar XV: Sket Alternatif Sepatu Oxford 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XVI: Sket Alternatif Sepatu Oxford 4 (Sumber: Dokumetasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(66)

Gambar XVII: Sket Alternatif Sepatu Oxford 5 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XVIII: Sket Alternatif Sepatu Pump 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(67)

Gambar XIX: Sket Alternatif Sepatu Pump 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XX: Sket Alternatif Sepatu Pump 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(68)

Gambar XXI: Sket Alternatif Sepatu Pump 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXII: Sket Alternatif Sepatu Pump 5 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(69)

Gambar XXIII: Sket Alternatif Sepatu Boots 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXIV: Sket Alternatif Sepatu Boots 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(70)

Gambar XXV: Sket Alternatif Sepatu Boots 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXVI: Sket Alternatif Sepatu Boots 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti,Agustus 2015)


(71)

Gambar XXVII: Sket Alternatif Sepatu Boots 5 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXVIII: Sket Alternatif Sepatu Boots 6 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(72)

Gambar XXIX: Sket Alternatif Sepatu Boots 7 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXX: Sket Alternatif Sepatu Boots 8 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(73)

Gambar XXXI: Sket Alternatif Sepatu Strap/Sandal 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXXII: Sket Alternatif Sepatu Strap/Sandal 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(74)

Gambar XXXIII: Sket Alternatif Sepatu Strap/Sandal 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXXIV: Sket Alternatif Sepatu Strap/Sandal 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(75)

Gambar XXXV: Sket Alternatif Sepatu Semi Monk 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXXVI: Sket Alternatif Sepatu Semi Monk 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(76)

Gambar XXXVII: Sket Alternatif Sepatu Semi Monk 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XXXVIII: Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti,Agustus 2015)


(77)

Gambar XXXIX: Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agsutus 2015)

Gambar XL: Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(78)

Gambar XLI: Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XLII: Sket Alternatif Sepatu Semi Boots 5 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(79)

Gambar XLIII: Sket Alternatif Sepatu Derby 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XLIV: Sket Alternatif Sepatu Derby 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(80)

Gambar XLV: Sket Alternatif Sepatu Derby 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar XLVI: Sket Alternatif Sepatu Derby 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(81)

Gambar XLVII: Sket Alternatif Sepatu Derby 5 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

3) Sket Terpilih

Adapun dari sket-sket alternatif yang telah di eksplorasi, yang kemudian ditentukan sket terpilih yaitu sebagai berikut:

Gambar XLVIII: Sket Terpilih Sepatu Derby 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(82)

Gambar XLIX: Sket Terpilih Sepatu Derby 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar L: Sket Terpilih Sepatu Semi Boots 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(83)

Gambar LI: Sket Terpilih Sepatu Semi Monk 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LII: Sket Terpilih Sepatu Boots 5 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(84)

Gambar LIII: Sket Terpilih Sepatu Boots 6 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LIV: Sket Terpilih Sepatu Boots 7 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(85)

Gambar LV: Sket Terpilih Sepatu Pump 8 (Sumber: Dukemntasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LVI: Sket Terpilih Sepatu Casual 9 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(86)

Gambar LVII: Sket Terpilih Sepatu Flat 10 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

B. Tahap Perancangan

Pada tahapan perencanaan ini membahas tentang motif yang akan direncanakan, bentuk, dan warna yang direncanakan, gambar kerja (pola, komponen sepatu). Pada tahap pembuatan batik adapun ditahap perencanaan motif dan warna karya seni ini dibuat pada kertas A4 dengan pensil warna. Sedangkan untuk perencanaan pembuatan pola master sepatu, pola potong sepatu. dibuat dengan manual menggunakan kertas A4 kemudian diolah kembali dengan bantuan aplikasi CorelDraw.

Di dalam merancang suatu karya seni diperlukan beberapa aspek yang mendukung untuk mewujudkan karya seni sepatu batik berbahan kulit kayu lantung.


(87)

Adapun perencanaan penciptaan karya dilihat dari beberapa aspek, yaitu: 1. Aspek Fungsi

Sesuai dengan fungsi sebuah sepatu sebagai pemenuhan kebutuhan kaki untuk melindungi kesehatan kaki, yang juga dapat sebagai salah satu karya seni si pemakai sepatu sebagai tolak ukurnya.

2. Aspek Estetika

a. Pemilihan Model/bentuk

Dalam perencanaan ini akan diciptakan 10 jenis sepatu wanita dengan jenis sepatu yang berbeda. Dengan kegunaan yang sama di pakai untuk kaki dan digunakan untuk berbagai acara yang berbeda-beda.

b. Pemilihan Ornamen/Motif

Motif yang digunakan/diterapkan pada sepatu batik untuk wanita ini dengan memakai salah satu motif klasik khas Yogyakarta. Penciptaan motif untuk sepatu batik wanita ini akan memakai motif parang kusumo, parang klitik, motif gurda. Penggunaan motif khas Yogyakarta ini disesuaikan dengan filosofi arti dari nama dari motif yang digunakan dan sesuai dengan jenis sepatu.

c. Teknik yang digunakan

Teknik yang digunakan untuk proses penciptaan sepatu batik wanita ini yaitu dengan teknik dibatik. Dan untuk bahan yang digunakan untuk sepatu batik wanita ini menggunakan Kulit Kayu Lantung. Pembatikkan pada proses ini dengan proses batik cap.


(88)

d. Skala/Proporsi

Untuk proporsi ukuran sepatu batik wanita yang akan dibuat akan menggunakan acuan sepatu wanita dari ukuran 36-40 cm. Ukuran ini merupakan ukuran sepatu standar wanita pada umumnya.

e. Segi Ergonomi

Kenyamanan penggunaan bahan dalam proses pembentukan sepatu menunjang fungsi dari sebuah sepatu begitu juga dengan ukuran sepatu menjadi tolak ukur dari kenyamanan sepatu. Kemudian untuk keindahan dari sepatu ini terdapat pada motif yang diterapkan pada kulit kayu serta keindahan tekstur dari kulit kayu sendiri.

3. Desain Motif Batik

Gambar LVIII: Desain Motif Parang Klitik (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)


(89)

Gambar LIX: Desain Motif Parang Kusumo (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)

Gambar LX: Desain Motif Gurdo (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)


(90)

4. Desain Sepatu

Gambar LXI: Desain sepatu Derby 1 Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)

Gambar LXII: Desain Sepatu Derby 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)


(91)

Gambar LXIII: Desain Sepatu Semi Boots 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)

Gambar LXIV: Desain Sepatu Semi Monk 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agusttus 2015)


(92)

Gambar LXV: Desain Sepatu Boots 5 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015.

Gambar LXVI: Desain Sepatu Boots 6 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015


(93)

Gambar LXVII: Desain Sepatu Boots 7 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agusttus 2015)

Gambar LXVIII: Desain Sepatu Pump 8 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)


(94)

Gambar LXIX: Desain Sepatu Casual 9 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)

Gambar LXX: Desain Sepatu Flat 10 (Sumber: Dokumentasi Dwi, Agustus 2015)


(95)

5. Pola Master Sepatu.

Gambar LXXI: Pola Master Sepatu Derby 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LXXII: Pola Master Sepatu Derby 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(96)

Gambar LXXIII: Pola Master Sepatu Semi Boots 3 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LXXIV: Pola Master Sepatu Semi Monk 4 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(97)

Gambar LXXV: Pola Master Sepatu Boots 5 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LXXVI: Pola Master Sepatu Boots 6 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(98)

Gambar LXXVII: Pola Master Sepatu Boots 7 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LXXVIII: Pola Master Sepatu Pumps 8 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(99)

Gambar LXXIX: Pola Master Sepatu Casual 9 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LXXX: Pola Master Sepatu Flat 10 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(100)

6. Pola Potong Sepatu.

Gambar LXXXI: Pola potong Sepatu Derby 1 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)

Gambar LXXXII: Pola Potong Sepatu Derby 2 (Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015)


(1)
(2)

Lampiran VII

Desain Logo, Desain Katalog, Desain Name

Take, dan Banner


(3)
(4)
(5)
(6)