Dalam Al-Quran, wasiat untuk harta warisan antara lain disebut dalam Surah Al-Baqarah ayat 180: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma‘ruf, (ini adalah) hak (yang harus dilaksanakan, yakni kewajiban) atas orang-orang yang bertakwa” Akan tetapi, menurut pakar tafsir Al-Quran Quraish Shihab, ayat di atas turun sebelum adanya ketetapan mengenai hak waris dalam Al-Quran. Setelah adanya ayat-ayat yang mengatur tentang hak-hak waris tersebut maka ayat ini tidak berlaku lagi, kendati sebelumnya adalah wajib. Akan tetapi, Quraish Shihab selanjutnya menjelaskan, wasiat – apabila ada – tetap harus dilaksanakan dengan syarat ma‘rûf, yakni adil serta sesuai dengan tuntunan agama. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa agama menuntun untuk tidak memberi wasiat kepada yang telah mendapat warisan. Wasiat dapat diberikan untuk lembaga sosial dan keagamaan atau pribadi tertentu, hanya saja ditekankan bahwa yang diberi benar-benar ada wujudnya, jelas identitasnya, serta wajar menerimanya. Jadi, wasiat tidak ditujukan pada ahli waris, melainkan pada orang lain. Demikian pendapat Quraish Shihab mengenai wasiat dalam tulisannya yang berjudul “Wasiat” yang dimuat dalam situs Pusat Studi Al-Quran (psq.or.id). Dalam hukum Indonesia, hukum waris Islam antara lain telah dikodifikasikan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 171 huruf f KHI menyatakan bahwa yang dimaksud dengan wasiat adalah: “pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia” Pasal 171 huruf a KHI juga menyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Jadi, yang diatur dalam hukum kewarisan Islam adalah siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan Islam tidak mengatur mengenai pesan pewaris seperti yang Anda tanyakan tersebut. Karena tidak ada aturannya, maka menurut kami pesan nenek Anda tersebut boleh saja dilakukan. Hal ini sepanjang wasiatnya tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur'an. Jadi, walaupun ada pesan dari pewaris, tetap perlu ditinjau, apakah ada ketentuan Al-Qur'an yang dilanggar. Apabila ada, maka yang berlaku adalah ketentuan Al-Qur'an. Menurut Prof. H Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu – Islam” dalam hal terjadi sengketa karena pewarisan, cara penyelesaiannya adalah: 1. Mengadakan pertemuan khusus di antara para ahli waris serta anggota keluarga untuk mencapai kesepakatan mengenai penyelesaian masalah kewarisan tersebut. Catatan:Kesepakatan ahli waris dalam menyelesaikan sengketa ini diakui juga oleh Quraish Shihab. Quraish Shihab mengatakan bahwa jika salah seorang di antara ahli waris bersedia memberi haknya kepada orang lain, atau semua ahli waris sepakat membaginya secara merata, selama pembagian secara merata itu bukan atas dasar menilai bahwa kadar pembagian yang ditetapkan Allah tidak adil atau keliru. Dasarnya adalah karena harta warisan merupakan hak masing-masing ahli waris berdasarkan anugerah Allah Swt. dan berdasarkan ketetapan-Nya (M. Quraish Shihab, Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab, Bandung: Al-Bayan, 2002, hal. 181). 2. Mengajukan perkara tersebut kepada Pengadilan Agama. Pasal 188 KHI menyebutkan bahwa dalam hal pembagian harta warisan, ahli waris dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan. Demikian penjelasan kami. Semoga bermanfaat. Dasar hukum: Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Rukun dan Syarat dalam Waris Islam Pembagian harta waris telah secara jelas diatur pada sistem waris Islam, terutama terkait unsur-unsur yang meliputi rukun dan syarat yang wajib dipenuhi dalam penerapan waris Islam. Namun sangat disayangkan, pada kenyataannya dijumpai tradisi pembagian harta waris kepada ahli waris ketika pewaris masih hidup. Jelas bahwa tradisi semacam ini termasuk dalam salah satu bentuk penyimpangan pemberlakuan sistem waris Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam sistem waris Islam terdapat rukun dan syarat utama yang wajib dipenuhi dalam pembagian waris yaitu adanya kematian dari pewaris secara hakiki, hukmy, atau taqdiri. Rukun pertama yang wajib dipenuhi adalah adanya pewaris, yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.[1] Hal senada dinyatakan Sayid Sabiq bahwa dalam suatu peristiwa waris-mewaris perlu diperhatikan rukun yang harus terpenuhi seluruhnya, jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka tidak dapat terlaksana. Adapun rukun yang dimaksud adalah:[2]
Lebih lanjut Abd ShomaddanPrawitra menegaskan bahwa dalam pembagian waris, segala harta beserta haknya tidak dapat dibagikan, kecuali orang tersebut benar-benar meninggal dunia atau hakim telah memutuskan tentang kematiannya.[4] Sedangkan Yaswirman mengemukakan bahwa warisan dalam Islam berarti pemindahan hak dalam bentuk pembagian harta kepada sejumlah ahli waris menurut bagiannya masing-masing. Harta yang semula milik seorang saja, namun ketika seorang tersebut telah meninggal dunia, maka harta tersebut menjadi milik beberapa orang.[5] Dari beberapa uraian pendapat di atas dapat jelas disimpulkan bahwa peralihan hak milik harta waris tidak dapat berpindah, kecuali jika telah terjadi peristiwa kematian seseorang. Peristiwa kematian merupakan unsur terpenting dalam pembagian harta waris. Tanpa kematian, maka harta waris dilarang/ tidak dapat dibagi diantara ahli waris. Hibah kepada Ahli Waris Di sisi lain terkait pemberian suatu benda dari seseorang kepada orang lain ketika kedua pihak masih hidup, hal tersebut bukan termasuk dalam peralihan hak milik harta waris, namun dapat dikategorikan sebagai hibah/hadiah. Pada Pasal 171 huruf g KHI diterangkan mengenai definisi hibah, yaitu pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Salah satu unsur utama dari hibah yaitu peralihan hak milik ketika pemberinya masih hidup. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Afdol bahwa hibah adalah pemberian sebagian harta kekayaan seseorang kepada orang lain pada waktu mereka masih hidup. Lebih lanjut Afdol menegaskan adanya jumlah batasan dalam pemberian hibah bahwa ”pemberian melalui hibah tidak boleh lebih dari sepertiga bagian harta kekayaan si pemberi hibah”.[6] Pendapat ini sejalan dengan Pasal 210 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa seseorang dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Pada dasarnya, penulis berpendapat bahwa jika seorang ayah atau ibu menghibahkan hartanya kepada anak-anaknya sebelum dia meninggal hukumnya halal/boleh/mubah/jaiz, asal memenuhi syarat-syarat berikut:
Kesimpulannya, sebagai seorang muslim wajib tunduk pada prinsip syariah (shariah compliance). Dengan berpegang teguh pada asas ijbari, yang merupakan asas yang paling utama dalam sistem waris Islam sebagaimana dijelaskan dalam artikel Risiko Hukum Jika Menunda Pembagian Warisan, pada setiap pembagian harta waris jika pewarisnya muslim maka wajib dibagi menurut hukum waris Islam sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al Quran, tanpa melakukan upaya untuk melakukan hiilah (rekayasa hukum) yang mengakibatkan haram hukumnya. Adapun hibah dapat dilakukan asalkan sesuai dengan ketentuan yang kami jelaskan di atas. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Referensi:
[1] Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) [2] Sayid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, (Semarang: Toha Putera), 1972, hal. 426 [3] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ,(Jakarta: Rajawali Press), 1993, hal. 22 [4] Abd Shomad, Prawitra Thalib, Hukum Waris Islam di Indonesia, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Lutfansah Mediatama, 2013, hal.42. [5] Yaswirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajagrafindo Persada), 2011, hal.212. [6] Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam secara Adil, (Surabaya: Airlangga University Press), 2003, hal.100. |