Batasan Taat Pada Pemimpin Rasullullah semasa hidupnya telah bersabda kepada para sahabat, bahwa akan ada khalifah-khalifah dan pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW (at-Tuhfah 63). Dan sesuai dengan sabda Rasullullah, umat Islam tidak dibiarkan hancur pasca meninggalnya Rasullullah (sebagaimana umat-umat sebelumnya ketika ditinggal Nabi mereka) walaupun tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad yang meneruskan syariatnya, tergantikan oleh para khalifah dan pemimpin yang menegakkan Islam dengan perintah pada yang ma’ruf dan larangan terhadap munkar. Sayangnya, diantara para pemimpin itu ada yang berlaku tidak adil, membunuh sesama muslim dan merampas hak rakyatnya. Hal ini menimbulkan berbagai keresahan diantara masyarakat lantaran kewajiban untuk mengikuti dan patuh terhadap pemimpinnya setelah bai’at, dengan ancaman hukuman bagi siapa pun yang memberontak oleh rezim yang berkuasa saat itu. Seperti hukuman gantung yang terjadi pada Sayyid Qutb dan sebagian Ikhwanul Mu’minin karena melawan rezim Gamal Abdul Nasir yang mendirikan pemerintahan sekuler-nasionalis di Mesir. Dalam hadits pun dikatakan bahwa barangsiapa yang memberontak pada pemimpinnya, walaupun hanya sejengkal, maka kematiannya sama seperti orang Jahiliyyah. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً» رواه البخاري Hadits inilah yang terkadang dipakai beberapa pemimpin untuk mendapatkan ketaatan dari masyarakatnya. Padahal sejatinya, apa yang dilakukan Sayyid Qutb adalah sebagai gerakan untuk menentang politik dan hukum-hukum yang tidak berlandaskan syari’at Islam. Terlebih zaman modern ini, dimana sebagian pemimpin telah mencampurkan adukkan beberapa hukum Negara dengan paham sekularisme, liberalisme, dan paham lainnya dengan tujuan untuk menjauhkan masyarakat dari Islam. Lalu, haruskah umat muslim menaati mereka? Tidak hanya terjadi pada zaman modern ini, tetapi hal ini pernah terjadi pada masa daulah Umayyah dan setelahnya, terdapat perintah untuk membunuh sesama muslim bagi yang tidak mau berbai’at kepada pemimpinnya, para golongan saling membunuh demi memperebutkan posisi khilafah. Baca juga: Radikal: Menguak Maknanya bersama Dr. Syamsuddin Arif, M.AAkan tetapi, hadits di atas tidaklah mutlak berdiri sendiri. Sejatinya, Rasullulah SAW juga menekankan dalam sabdanya akan hal-hal yang harus diikuti dan ditolak terhadap seorang pemimpin melalui konteks dan peristiwa yang berbeda. حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنِي نَافِعٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ» رواه البخاري Dari Abdillah RA berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Wajib untuk mendengar dan mentaati (pemimpinnya) atas seorang muslim, baik suka maupun terpaksa. Kecuali bila dia diperintah untuk kemaksiatan. Jika dia diperintah untuk kemaksiatan, tidak ada kewajiban baginya untuk tunduk dan patuh kepada pemimpinnya.” HR.Bukahri Hadits Ibnu Umar yang satu ini berkaitan dengan hadits pertama yang mengajak umat untuk taat dan patuh terhadap terhadap pemimpinnya dan sabar terhadap hal-hal yang tidak disukai dari pemimpinnya dengan ancaman akan keadaan kematiannya sebanding dengan orang jahiliyyah jika ia memisahkan diri dari jama’ah. Hal inilah yang membuat Ibnu Umar tetap berbaiat terhadap kepemimpinan Yazid walau sebagian umat telah melepaskan baiatnya melihat lemahnya kepemimpinan Yazid bin Mua’wiyyah, padahal di waktu yang sama, sebagian sahabat mengajukan diri mereka untuk membaiat Ibnu Umar yang langsung ditolak tegas dengan dalil di atas. Tapi hal ini tidak mengharuskan umat untuk taat terhadap hal-hal yang dianggap keluar dari agama ataupun maksiat, karena pada hadits kedua (hadits Ibnu Umar) memeberikan batasan terhadap hal-hal yang harus dan tidak boleh ditaati. Di dalam hadits dikatakan, bahwa jika kita diperintahkan terhadap kemaksiatan, kemunkaran, maka tidak ada kewajiban untuk taat dan patuh terhadap perintahnya, dan barang siapa mampu untuk menghalangi perintah itu, maka tidak ada larangan baginya untuk menentangnya. Baca juga: Pengkultusan Orang SholehSejak dulu, telah banyak ulama yang mengkrtitik penguasa yang lalim demi kebenaran yang berujung pada kriminalisasi ulama dan penyiksaan. Sayyid Qutb salah satu contoh kontemporer. Sebagian masyarakat yang takut memilih untuk patuh. Contoh pada masa klasik adalah Imam Nawawi yang berani berhadapan langsung dengan penguasa untuk menyampaikan kritiknya. Tidak semua orang berani untuk melawan dan mengkritik secara langsung perintah pemimpin yang tergolong maksiat, dengan bayangan akan siksaan maupun penggalan. Dalam hadits lain, diperbolehkan untuk hijrah dan pergi ke tempat yang lebih aman jika tidak mampu untuk menolak dan melawan perintah pemimpin yang salah. Salah satunya adalah Sa’id bin Jubair, seorang tabiin yang dipaksa mengaku kafir oleh panglima Umayyah –Hajaj bin Yusuf- memutuskan meninggalkan Irak dan pergi ke dekat Mekah. Baca juga: Mencetak Pemimpin Masa DepanDalam hadits ‘Ubadah disampaikan bahwa “taat dan patuh” terhadap pemimpin tidah berlaku jika hal itu berkaitan dengan kekafiran. Baik masyarakat sosial maupun individu wajib untuk menolaknya, dan jika merasa ia lemah ataupun tidak kuasa atas pemimpinnya, maka dianjurkan baginya untuk hijrah ke tanah lain, guna menghindari kekafiran dan kemaksiatan yang dilakukan pemimpinnya. Dalam hadits Mu’adz yang diriwayatkan Ahmad disebutkan bahwa tidak ada kewajiban untuk taat kepada siapa pun yang tidak menaati perintah Allah, dalam kasus ini khususnya terkait pada hal kepemimpinan. Begitu pula dalam hadits ‘Imron bin Husoin dengan sanad yang kuat (qowi’) mengatakan hal yang serupa. Batasan taat pada pemimpin juga telah ditegaskan dalam Al-qur’an surat an-Nisa ayat 59; يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ Surat An-Nisa ayat 59 turun sebagai batasan taat kepada perintah pimpinan. Dari hadits Ibnu Juraij mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan diutuskan Abdullah bin Hudzafah bin Qais sebagai pemimpin suatu pasukan. Cerita lebih lanjut disampaikan dalam hadits Ali yang mengatakan bahwa pasukan Abdullah bin Hudzafah pernah membuatnya marah, hingga ia memerintahkan psaukannya untuk masuk kedalam api unggun. Sebagian menolak perintah tersebut dan mengadukannya pada Rasullullah yang langsung menjawab, “tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sebab ketaatan hanya dalam kebaikan,”. Dan ayat ini turun sebagai petunjuk, apabila berselisih pendapat akan apa yang harus ditaati, hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya Baca juga: Pemimpin Idaman Ala Gontorحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا، وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ: ادْخُلُوهَا، فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا، وَقَالَ آخَرُونَ: إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا، فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا: «لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ»، وَقَالَ لِلْآخَرِينَ: «لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوفِ» Sayyid Qutb menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘Ulul Amri dalam surat an-Nisa ayat 59 yaitu pemimpin dan ulama. Karena pemimpin mempunyai kewajiban untuk memerintah dan menetapkan hukum. Dalam buku Fii Dzilalil Qur’an. Sayyid menafsirkan bahwa urutan “taat” kepada pemimpin berada di urutan ketiga, yaitu setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menandakan bahwa pemimpin yang harus kita taati dan patuhi terlingkup pada mereka yang taat pada aturan dan syari’at Allah serta apa yang disampaikan Rasullullah. karena itulah, perintah “أطيعوا” atau taatilah tidak diulangi pada lafadz Ulul Amri. Sekali lagi, Sayyid menekankan bahwa kata “taat” hanya berlaku pada hal-hal yang baik, bukan terhadap kemaksiatan. (Fii Dzilali-l-Qur’an 2/691) Jadi, dalam melakukan sesuatu, selalu ada batasannya. Begitu pula dalam hal ini terdapat batasan taat pada pemimpin. Setiap individu wajib untuk menunaikan bai’at kita terhadap pemimpin sampai akhir pemerintahannya, dalam hal yang disukai maupun tidak, selama perintah itu bukan untuk kekafiran, ataupun kemaksiatan. Jika hal itu terjadi, kita boleh untuk menentang, menolak, demo, walau bukan memberontak secara total dalam kepemimpinannya, mengingat pada hadits pertama mengharuskan kita untuk taat pada pemimpin.[Nindhya Ayomi Delahara] Salah satu isu penting dalam kontestasi politik di berbagai negara, tak terkecuali negeri dengan mayoritas penduduk muslim, adalah mengenai kepemimpinan perempuan. Dalam realitas sehari-hari maupun kondisi politik terkini, sudah mulai banyak perempuan dengan jabatan strategis tertentu, baik di komunitas, organisasi, maupun pemerintahan, mulai skala daerah hingga nasional.
|