Pusat pemerintahan Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946. Kala itu Jakarta tak aman lagi untuk pemerintahan Republik. Pertempuran antara pejuang Republik dengan serdadu Belanda dan tentara Sekutu meletus di beberapa tempat. Suara tembakannya terdengar hingga rumah presiden dan wakil presiden Indonesia. Kepindahan ke Yogyakarta menjadi salah satu upaya darurat untuk menyelamatkan masa depan Republik. Selain masalah keamanan, Republik juga berhadapan dengan masalah ekonomi. Keuangan Republik baru ini kembang-kempis alias bokek. Bahkan, menurut Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945–1958), Republik hampir kehabisan uang tunai ketika pusat pemerintahan hijrah ke Yogyakarta. Untungnya Republik masih punya cadangan emas batangan dan candu. Tapi ini pun belum cukup untuk memperpanjang umur Republik. Baca juga: Candu untuk Revolusi Indonesia Perlu cara lain untuk membiayai Republik. Salah satunya dengan mencetak uang sendiri. Tapi pencetakan ini membutuhkan waktu. Sementara kocek Republik terus defisit untuk pembayaran pegawai dan delegasi ke luar negeri. Prawoto Soemodilogo, mantan penasehat Cuo-Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat) bagian Ekonomi pada masa Jepang, mengusulkan agar pemerintah menarik dana dari masyarakat. Dana itu nantinya dianggap sebagai pinjaman negara dari rakyatnya. Termasuk dari orang asing. “Pinjaman itu harus disertai dengan kampanye dan publikasi yang besar,” kata Prawoto, dikutip John O. Sutter dalam Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy, 1940–1955. Baca juga: Emas untuk Perjuangan Republik Ide itu cukup menarik bagi pemerintah Republik. Menteri Keuangan Soerachman Tjokroadisoerjo kemudian membicarakan gagasan ini dengan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) –semacam DPR sementara. BP KNIP menyepakati cara ini. Tapi mereka ingin membatasi pinjaman pada warga Indonesia, bukan orang asing. Pemerintah menargetkan pinjaman dari warganya sebesar satu miliar rupiah. Dana itu akan dialokasikan untuk persiapan pendirian bank sirkulasi uang milik Republik (Poesat Bank Indonesia), menutup defisit anggaran, modal awal untuk kredit bank (Bank Rakyat Indonesia), dan proyek rekonstruksi. Ada sedikit keraguan dari pemerintah Republik ketika menggulirkan rencana ini. Tenaga penerangan untuk mengabarkan program ini terbatas. “Penerangan tidak dapat diadakan secukupnya berhubung dengan kesukaran-kesukaran teknis, seperti sukarnya perhubungan serta keadaan politik yang amat keruh,” terang Oey Beng To. Baca juga: A.A. Maramis, Pejabat Republik Urusan Candu Belum lagi soal kepercayaan warga Republik terhadap program Pinjaman Nasional. “Bagi negara baru, mengadakan pinjaman nasional serupa itu benar-benar merupakan suatu ujian besar bagi kepercayaan warga negara kepada pemerintahnya,” tambah Oey Beng To. Di luar dugaan, warga Republik ternyata menanggapi baik program Pinjaman Nasional. “Rencana pinjaman itu mendapat sambutan yang sangat memuaskan dari rakyat. Di mana-mana orang berusaha keras untuk menyediakannya,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1946). Tapi warga Republik harus menahan hasratnya lebih dulu. Sebab pemerintah belum resmi mengeluarkan aturan tentang Pinjaman Nasional. Setelah dua bulan didengungkan, Pinjaman Nasional resmi dikeluarkan pemerintah pada 29 April melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 1946. UU itu memuat bentuk Pinjaman Nasional. Warga akan memberikan pinjaman ke negara dalam bentuk uang rupiah dengan bukti surat pengakuan utang (obligasi) yang hanya dapat dimiliki warga negara Republik. Surat itu tak dapat dilepaskan kepada warga negara lain dan badan hukum negara lain. Baca juga: Lahirnya Uang Putih Negara akan mengganti utang dan bunga kepada warga selambatnya 40 tahun setelah Pinjaman Nasional digulirkan. Pemerintah juga menyatakan pinjaman itu akan berguna untuk menarik uang Jepang yang terlalu banyak beredar di masyarakat. Peredaran itu membuat tingkat inflasi tinggi sehingga merugikan Republik. Hanya dalam waktu 45 hari setelah pengumuman Pinjaman Nasional, dana yang terkumpul sudah mencapai 80 persen. Warga tumpah-ruah antre di bank-bank yang menjadi lokasi pembelian obligasi. “Hari pertama pendaftaran pinjaman nasional bank-bank dipadati oleh orang yang ingin membeli obligasi. Di Garut, pedagang Cina mengadakan pasar malam dan keuntungannya digunakan untuk membeli obligasi,” tulis Antara, 24 Mei 1946. Dari penjualan obligasi, Republik mendapat dana segar hingg Rp500 juta. Sekira Rp318 juta berasal dari Jawa dan Rp208 juta merupakan pembelian dari Sumatra. Kurang dari setahun, target Pinjaman Nasional berhasil tercapai. Baca juga: Uang Invasi Jepang “Berkat Obligasi Nasional tersebut, keuangan negara dapat diperkuat dan Poesat Bank Indonesia serta Bank Rakyat Indonesia segera dapat ikut serta menggerakkan perkreditan secara teratur, baik bagi pertanian maupun kerajinan rakyat,” tulis Oey Beng To. Tapi pengembalian Pinjaman Nasional itu justru bermasalah. Buruknya pencatatan, dokumentasi, dan pengarsipan menyebabkan pemerintah gagal bayar pokok pinjaman dan bunganya ke para krediturnya. Ditambah lagi keadaan semakin runyam akibat Agresi Militer Belanda I dan II. Oey Beng To menyebut kejadian-kejadian itu telah melenyapkan Pinjaman Nasional 1946 dari perhatian umum. Pembelajaran 5 Subtema 3 Buku Tematik Tema 2 Kelas 6 SD/MI
TRIBUNNEWS.COM - Berikut kunci jawaban Tema 2 Kelas 6 SD Halaman 132 135 136 Buku Siswa Tematik Terpadu Kurikulum 2013 edisi revisi 2018. Judul yang diusung Buku Tematik Kelas 6 SD/MI Tema 2 adalah Persatuan dalam Perbedaan. Sementara pada Subtema 3 dalam buku ini berjudul Bersatu Kita Teguh. Artikel ini berisi kunci jawaban soal yang ada dalam pembelajaran 5 di halaman 130-136. Baca: Kunci Jawaban Tema 2 Kelas 6 SD Halaman 123 125 126 127 128 129 Buku Tematik Subtema 3 Berikut kunci jawaban Tema 2 Kelas 6 SD/MI Subtema 3 pembelajaran 5 halaman 132 135 136 yang Tribunnews.com kutip dari Buku Guru SD/MI Kelas 6 SD Tema 2 dan beberapa sumber lainnya: Kunci Jawaban Halaman 132 Upaya Bangsa Indonesia Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat di Awal Masa Kemerdekaan Indonesia Pada awal berdirinya Republik Indonesia, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya harga barang-barang mahal akibat inflasi dan adanya blokade ekonomi oleh Belanda (NICA). Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah beserta rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan, di antaranya: Pada awal kemerdekaan, pemerintah dan rakyat Indonesia belum sempat melakukan perbaikan ekonomi secara baik. Baru bulan Februari 1946, pemerintah mulai memprakarsai usaha untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi yang mendesak. Upaya-upaya tersebut meliputi: Pada awal kemerdekaan masih belum sempat melakukan perbaikan ekonomi secara baik. Baru mulai Februari 1946, pemerintah mulai memprakarsai usaha untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi yang mendesak. Upaya-upaya itu diantaranya sebagai berikut: Program Pinjaman Nasional ini dilaksanakan oleh Menteri Keuangan lr. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP. Pinjaman Nasional akan dibayar kembali selama jangka waktu 40 tahun. Besar pinjaman yang dilakukan pada bulan Juli 1946 sebesar Rp. 1.000.000.000,00. Pada tahun pertama berhasil dikumpulkan uang sejumlah Rp. 500.000.000,00. Sukses yang dicapai ini menunjukkan besarnya dukungan dan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah RI. Foto: llustrasi Indonesia Awal Kemerdekaan | www.flickr.com by Boobook48 2. Konferensi Ekonomi (Februari 1946) Konferensi ini dihadiri oleh para cendekiawan, para gubernur dan para pejabat lainnya yang bertanggungjawab langsung mengenai masalah ekonomi di Jawa. Konferensi ini dipimpin oleh Menteri Kemakmuran, Ir. Darmawan Mangunkusumo. Tujuan konferensi ini adalah untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, seperti : a. Masalah produksi dan distribusi makanan Dalam masalah produksi dan distribusi bahan makanan disepakati bahwa sistem autarki lokal sebagai kelanjutan dari sistem ekonomi perang Jepang, secara berangsur-angsur akan dihapuskan dan diganti dengan sistem desentralisasi. Mengenai masalah sandang disepakati bahwa Badan Pengawasan Makanan Rakyat diganti dengan Badan Persediaan dan Pembagian Makanan (PPBM) yang dipimpin oleh dr. Sudarsono dan dibawah pengawasan Kementerian Kemakmuran. PPBM dapat dianggap sebagai awal dari terbentuknya Badan Urusan Logistik (Bulog). c. Status dan administrasi perkebunan-perkebunan Mengenai masalah penilaian kembali status dan administrasi perkebunan yang merupakan perusahaan vital bagi RI, konferensi ini menyumbangkan beberapa pokok pikiran. Pada masa Kabinet Sjahrir, persoalan status dan administrasi perkebunan ini dapat diselesaikan. Semua perkebunan dikuasai oleh negara dengan sistem sentralisasi di bawah pengawasan Kementerian Kemakmuran. Foto: llustrasi Indonesia Awal Kemerdekaan | www.flickr.com by Boobook48 Konferensi Ekonomi kedua diadakan di Solo pada tanggal 6 Mei 1946. Konferensi kedua ini membahas masalah perekonomian yang lebih luas, seperti program ekonomi pemerintah, masalah keuangan negara, pengendalian harga, distribusi dan alokasi tenaga manusia. Dalam konferensi ini Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta memberikan saran-saran yang berkaitan dengan masalah rehabilitasi pabrik gula. Hal ini disebabkan gula merupakan bahan ekspor yang penting, oleh karena itu pengusahaannya harus dikuasai oleh negara. Hasil ekspor ini diharapkan dapat dibelikan atau ditukar dengan barang-barang lainnya yang dibutuhkan RI. Saran yang disampaikan oleh Wakil Presiden ini dapat direalisasikan pada tanggal 21 Mei 1946 dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3/1946. Peraturan tersebut disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1946, tanggal 6 Juni 1946 mengenai pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). |