Uang Kerajaan di NusantaraMasa kejayaan kerajaan Hindu-BuddhaSebelum masa kerajaan Hindu-Buddha, perdagangan di Nusantara telah menuntut penggunaan alat pembayaran yang bisa diterima secara umum sebagai pengganti sistem barter. Mulanya alat pembayaran yang digunakan masih sangat sederhana, seperti di wilayah Irian yang memakai kulit kerang dengan jenis tertentu, lalu di wilayah Bengkulu dan Pekalongan yang memakai manik-manik, dan di wilayah Bekasi memakai belincung (semacam kapak batu) sebagai alat pembayaran pada saat itu. Show
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, alat pembayaran tersebut mengalami kemajuan, terutama dari bahan dan desainnya. Di Jawa misalnya, alat pembayaran sudah terbuat dari logam. Mata uang tertua dibuat sekitar awal abad ke-12, dari emas dan perak, yang disebut Krisnala (uang Ma) peninggalan kerajaan Jenggala. Sementara, di luar Jawa, kerajaan Buton meninggalkan uang Kampua yang beredar pada abad ke-9. Kerajaan-kerajaan besar Hindu-Buddha di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit pada masa itu telah mempunyai mata uang sendiri. Sayangnya, uang peninggalan di masa Kerajaan Sriwijaya belum ditemukan. Sedangkan Majapahit, meninggalkan uang Gobog yang terbuat dari tembaga, diperkirakan beredar pada abad ke-14 sampai ke-16. Selain sebagai alat pembayaran, uang ini juga banyak digunakan sebagai benda keramat. GOBOG MAJAPAHIT MA PERAK UANG KAMPUA Masa kejayaan kerajaan IslamPada abad ke-15, ketika Islam berkembang di Nusantara, beredar berbagai mata uang yang dikeluarkan oleh kerajaan-kerajaan Islam, seperti mata uang dari Samudra
Pasai, Aceh, Jambi, Palembang, Banten, dan Sumenep. Mata uang yang dikeluarkan pada umumnya bertuliskan Arab. Misalnya, Uang Kerajaan Jambi pada sisi belakang bertuliskan Arab “Sanat 1256” dan pada sisi depan “Cholafat al Mukmin”. Yang unik adalah uang Kerajaan Sumenep yang berasal dari uang asing dan kemudian diberi cap “Sumenep” dengan aksara Arab. Hal ini jadi salah satu bukti bahwa kerajaan-kerajaan Islam saat itu berperan aktif dalam kegiatan niaga di Nusantara, sehingga uang-uang kerajaan
tersebut beredar seiring dengan mata uang asing, bahkan bisa dipertukarkan. Misalnya satu Real Spanyol sama dengan 16 mas (dirham) Aceh dan 4 shilling Inggris sama dengan 5 mas (dirham) Aceh. DINARA/JINGGARA REAL BATU SUMENEP KASHA BANTEN KEUEH ACEH Uang KolonialVOC dan usaha-usaha pembiayaan perdagangannyaKongsi dagang Belanda, VOC (1602-1799) yang mendominasi perdagangan di Nusantara berusaha menggantikan semua
mata uang asing yang beredar di Nusantara. Untuk menggantikan Real Spanyol yang populer, dicetaklah uang Real Belanda. Selain itu, uang perak Belanda, Rijksdaalder, dijadikan alat pembayaran standar di Nusantara. Pada tahun 1727, VOC mengedarkan Duit (uang tembaga recehan) untuk menggantikan Cassie Cina. Lalu, pada tahun 1748, VOC memperkenalkan uang kertas dalam bentuk surat berharga (sertifikat). Sambutan baik masyarakat mendorong VOC untuk menambah jumlah sertifikat yang dijual, dengan nilai
nominal yang bervariasi, mulai dari 1 sampai 1000 Rijksdaalder. Sejak 1783, VOC mengedarkan uang kertas dengan jaminan perak 100%. RIJKSDAALDER STUIVER DUIT DUKATON |