Tuliskan tiga contoh bencana alam yang disebabkan kerusakan lingkungan karena faktor iklim

Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut:  Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai. Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain-lain) yang sedang dibudidayakan . Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban dan/atau kerugian. Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar. Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit). Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi. Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang terjadi di darat, laut dan udara. Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya (unsafe conditions). Adapun jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung pada macam industrinya, misalnya bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004. Konflik Sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu gerakan massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA). Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik internasional.

Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh melalui subversi, penghambatan, pengacauan dan/ atau penghancuran. Dalam perang, istilah ini digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer, tetapi dengan spionase. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa sruktur penting, seperti infrastruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain.

Sumber (https://bnpb.go.id//definisi-bencana)

Bencana Hidrometeorologi, sebuah istilah yang dalam satu dekade terakhir marak dibahas. Bencana meteorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter (curah hujan,kelembaban,temperatur,angin) meteorologi. Kekeringan, Banjir, Badai, Kebakaran hutan, El Nino, La Nina, Longsor, Tornado, Angin puyuh, topan, angin puting beliung, Gelombang dingin, Gelombang panas, Angin fohn (angin gending, angin brubu, angin bohorok, angin kumbang) adalah beberapa contoh bencana Hidrometeorologi. Bencana tersebut dimasukan kedalam bencana meteorologi karena bencana diatas disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi.

Perubahan cuaca hanya pemicu saja, penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang masif akibat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan frekuensi dan intensitas bencana di Indonesia terus meningkat selama 15 tahun terakhir.

Tuliskan tiga contoh bencana alam yang disebabkan kerusakan lingkungan karena faktor iklim
   
Tuliskan tiga contoh bencana alam yang disebabkan kerusakan lingkungan karena faktor iklim

Pada 2016 telah mengalami peningkatan jumlah kejadian bencana hidrometeorologi hingga 16 kali lebih tinggi dari jumlah kejadian bencana di tahun 2002. Bencana-bencana tersebut jelas akan memerikan dampak kerugian yang sangat besar. Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 diprediksi mencapai Rp 221 triliun, setara dengan 1,9 persen pendapatan ekonomi nasional.

Meningkatnya bencana hidrometeorologi merupakan konsekwensi dari meningkatnya kerentanan.

Tuliskan tiga contoh bencana alam yang disebabkan kerusakan lingkungan karena faktor iklim

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan, banjir dan longsor erat kaitannya dengan curah hujan tinggi akibat kondisi cuaca ekstrem sebagai konsekuensi dari perubahan iklim. Akan tetapi, curah hujan yang tinggi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya banjir di suatu wilayah. Faktor lingkungan, seperti infrastruktur sungai atau drainase yang buruk, penggundulan hutan, dan faktor lainnya sangat berpengaruh.

Berdasarkan data BMKG, dari peta frekuensi hujan lebat sepanjang tahun 2009-2016, wilayah Papua merupakan wilayah dengan frekuensi tertinggi kejadian hujan lebatnya. Namun, jika dilihat dari peta frekuensi kejadian banjir atau longsor dalam kurun ini, kejadian banjir di Papua yang terendah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pulau Jawa sebagai wilayah dengan tingkat pembangunan yang tinggi, frekuensi kejadian banjir dan longsornya juga sangat tinggi.

Frekuensi curah hujan tinggi tidak selalu dapat menimbulkan kejadian banjir dan longsor di suatu wilayah, tetapi lebih bergantung pada kondisi lingkungan setempat. Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan, intensitas bencana alam yang terus meningkat adalah akibat daya dukung lingkungan yang dari tahun ke tahun semakin lemah. Kerusakan ekologi terjadi secara masif karena didorong oleh penyalahgunaan lahan.

Kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona lindung, resapan air, dan penyangga sistem hidrologi telah berubah menjadi pertanian, perkebunan, pertambangan, dan permukiman. Perubahan tersebut telah berlangsung sejak lama sehingga dampak yang ditimbulkan saat ini merupakan akumulasi dan memunculkan lahan kritis yang tersebar di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi seperti di Pulau Jawa. Baca “Bencana Lingkungan yang Tiada Akhir”.

Tuliskan tiga contoh bencana alam yang disebabkan kerusakan lingkungan karena faktor iklim

Berbagai kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang memanfaatkan lahan tanpa memperhatikan fungsi kawasan, daya dukung dan daya tampung dalam DAS telah “sukses” menambah laju jumlah DAS kritis di Indonesia. Baca “Arisan bencana tahunan di Indonesia, Akankah berakhir?”

Bertambahnya jumlah DAS kritis telah terbukti secara linier dengan bertambahnya jumlah kejadian bencana hidrometeorologi. Penyerobotan kawasan hutan lindung di daerah hulu DAS menjadi kawasan pertanian intensif seperti yang terjadi di daerah hulu DAS Serayu di banjarnegara telah merubah wajah kawasan dataran tinggi Dieng menjadi tak bervegetasi, akibatnya, kejadian-kejadian bencana rajin menghampiri setiap tahunnya.

Kerusakan hutan di Indonesia dimulai sejak awal 1970-an, ketika pemerintah pada waktu itu membagi-bagi kawasan hutan produksi di Indonesia kepada para pemegang konsesi untuk dipanen kayunya. Lebih dari 600 perusahaan pemegang konsesi hutan produksi (HPH) memanen kayu-kayu di hutan alam Indonesia hingga sektor kehutanan pada waktu itu menduduki peringkat kedua penghasil devisa negara terbesar setelah minyak bumi. Akibat praktek pemanenan tanpa pemulihan hutan yang benar, maka luasan hutan yang terdegradasi semakin bertambah.

Berdasarkan data Kementrian Kehutanan, tahun 1985-1997 pengurangan luasan hutan mencapai 22,46 juta hektar, atau 1,87 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000, laju pengurangan luasan hutan bertambah hebat hingga mencapai 2,84 juta ha per tahun. Hasil analisis citra SPOT Vegetation tahun 2000-2005 menunjukkan pengurangan penutupan hutan sebesar 1,08 juta hektar per tahun.

Berbagai data dan informasi diatas telah menjadi bukti yang kuat, bahwa keberadaan hutan terutama di daerah hulu DAS memiliki korelasi yang kuat terhadap kejadian bencana hidrometeorologi. Wilayah DAS yang biasanya dibagi menjadi 3 zona (hulu, tengah dan hilir) memiliki fungsi dan karakteristik yang berbeda-beda. (Baca “Sehatkah DAS kita?“)

Banyak peran hutan dalam pengendalian daur air yang harus dapat direstorasikan kembali jika ingin dapat berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana hidrometeorologi. Dan yang terpenting, seluruh pihak harus dapat berperan dan berkontribusi dalam pemulihan lingkungan dan hutan untuk mewarisi generasi penerus lingkungan yang lebih baik.

Penulis: Hatma Suryatmojo