Tokoh yang menyebarkan agama Islam pertama kali di Cina adalah

Tokoh yang menyebarkan agama Islam pertama kali di Cina adalah
Masjid Huaisheng di Kanton, Provinsi Guang Zhou. Masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. WIKIPEDIA

Karena pandangan yang salah kaprah, di negeri ini, etnis Tionghua atau Cina sering kali dianggap biang dari banyak persoalan. Padahal, penyebaran Islam di Cina berhasil menorehkan sejarah luar biasa. Termasuk membawa syiar Islam ke Nusantara.

Secara geografis, wilayah Cina membentang dari Siberia hingga daerah yang beriklim tropis, dan dari Samudra Pasifik hingga mencapai jantung Asia Tengah. Kondisi alamnya berupa dataran tinggi di bagian barat daya, dengan rangkain Pegunungan Himalaya yang berjejer melengkung seperti busur, membentang dari Hindukush hingga kepulauan Indocina.

Padang rumput (stepa) membentang dari kawasan Siberia hingga Cina bagian utara. Daerah pantai membentang dari muara Sungai Amur, memanjang ke selatan. Daerah subur di kawasan aliran sungai-sungai besar mencakup area yang meliputi Sungai Sungari dan Lao di Manchuria, dataran rendah di Cina tengah yang luasnya mencapai 300 ribu kilometer persegi dan dialiri oleh Sungai Kuning atau Huanghe, kawasan aliran Sungai Yangzi, dataran rendah Kanton, dan daerah aliran Sungai Merah di Vietnam.

Iklim di Cina sangat bervariasi karena wilayahnya sangat luas. Daerah selatan dan timur hingga bagian utara beriklim kering karena dipengaruhi oleh angin muson. Dari utara hingga selatan, Cina memiliki perbedaan garis lintang yang besar, sehingga terjadi perbedaan temperatur udara yang sangat tajam. Di Siberia, misalnya, berembus udara dingin, sedangkan di selatan, iklimnya tropis.

Sejarah kebudayaan Cina merupakan salah satu yang tertua di dunia. Wilayah Cina telah dihuni oleh manusia purba sejak 1,7 juta tahun yang lalu. Sejak zaman Paleolitik, Homo erectus telah mendiami wilayah Cina. Homo erectus paling terkenal adalah manusia Peking, yang ditemukan tahun 1965. Peralatan batu yang ditemukan di situs Xiaochangliang telah berumur 1,36 juta tahun. Situs arkeologi Xihoudu di Provinsi Shanxi menunjukkan catatan paling awal penggunaan api oleh Homo erectus, yang berumur 1,27 juta tahun.

Peradaban Cina berawal ketika berdiri berbagai negara-kota (polis) di sepanjang Lembah Sungai Kuning pada zaman Neolitikum. Sejarah tertulis Cina dimulai dari masa Dinasti Shang (1750-1045 SM). Hal ini, antara lain, ditandai dengan ditemukannya tulisan kuno pada tempurung kura-kura yang memiliki penanggalan radio karbon hingga 1500 SM. Pada zaman Dinasti Zhou (1045-256 SM), budaya, sastra, dan filsafat Cina sudah mulai berkembang. Berkembang pula tulisan Cina modern.

Kekaisaran pertama muncul setelah Qin Shi Huang pada tahun 221 SM, berhasil menyatukan berbagai kerajaan yang timbul karena perpecahan dalam tubuh Dinasti Zhou. Sebagian besar rakyat Cina terasimilasi ke dalam populasi suku Han.

Sebelum dan setelah masuknya Islam, kekuasaan dinasti di Cina mengalami rangkaian pergantian yang panjang. Mulai dari Dinasti Xia pada 2100-1600 SM, sampai Dinasti Yuan yang didirikan oleh Kubilai Khan pada 1279-1368, setelah meruntuhkan Dinasti Jin. Dinasti mongol ini merupakan dinasti pertama yang memerintah seluruh Cina dengan ibu kota Beijing.

Selanjutnya Dinasti Ming (1368-1644) memerintah Cina setelah pendirinya, Zhu Yuanzhang dari suku Han, berhasil meruntuhkan kekuasaan Dinasti Mongol Yuan. Di masa Dinasti Ming, pembangunan Tembok Besar Cina yang monumental itu selesai dilaksanakan.

Dan dinasti terakhir di Cina adalah Dinasti Qing (1644-1911), yang berdiri setelah kekalahan Dinasti Ming. Pada masa itu, terjadi berbagai pemberontakan yang dipicu oleh kezaliman penguasa. Umat Islam mengalami intimidasi, bahkan diperangi, sehingga banyak jatuh korban dan sebagian lagi terusir dari kampung halamannya.

Seiring runtuhnya dinasti terakhir di Cina, negeri ini kemudian memasuki sistem pemerintahan modern, yang ditandai dengan berdirinya Republik Cina pada 1 Januari 1912, Dr. Sun Yat Sen diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Cina. Akibat ketidakpuasan banyak kalangan, perjalanan pemerintahan Sun Yat Sen diiringi konflik dan peperangan.

Etnografi dan Bahasa

Mayoritas penduduk negeri Cina berasal dari etnis Han. Bangsa Tionghua menyebut dirinya sebagai orang Han-han (Hanren) berdasarkan sebuah nama dinasti (Dinasti Han) yang memerintah dari tahun 206 SM hingga 221. Etnis Han kini sudah tersebar di Vietnam, Myanmar, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan lain-lain. Mereka disebut Tionghua perantauan (Huajiao, Hokkian: Hoakiauw).

Selain Han, di Cina juga terdapat banyak etnis lain, seperti etnis Zhuang (rumpun bahasa Thai) yang bertempat di daerah Yunan, Guandong; Etnis Uighur (rumpun bahasa Turki) di Xinjiang, Gansu Barat; etnis Yi (rumpun bahasa Tibeto-Burma) di Yunnan, Guizhou, Hunan; etnis Tibet atau Zang (rumpun bahasa Tibeto-Burma) di Tibet, Qinghai, Sichuan.

Ada pula etnis Miao (rumpun bahasa Miao-Yaio) di Provinsi Barat Daya dan Timur laut; etnis Manchuria (rumpun bahasa Tungus) di Mongolia, Peking, Gansu, Qinghai dan Yunnan; etnis Mongol (rumpun bahasa Mongol) di Cina Timur; etnis Buyi (rumpun bahasa Tahu); dan etnis Korea (rumpun bahasa Asia Timur Laut).

Keberadaan suku-suku non-Han terjadi bersamaan dengan perluasan budaya dan bangsa Cina, yang pada gilirannya memperkaya khazanah budaya negeri tersebut.

Masyarakat di Cina daratan menggunakan berbagai bahasa yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa rumpun. Tiap rumpun bahasa terdiri atas berbagai kelompok etnis. Pertama, rumpun bahasa Altai yang digunakan oleh kelompok Altai (Uighur, Kazakh, Uzbek, Tartar, Salar, Krigiz, dan Yugu, kelompok Mongol (Mongolia, Dachur). Kelompok Tugus (Machuria, Xibo Hezhe, Olunchun).

Kedua, rumpun bahasa Austro-Asia atau Mon-Khamer (Khmer, Cham—bahasa suku minoritas di Yunnan). Ketiga, rumpun bahasa Melayu Polinesia (Bahasa suku-suku minoritas di Taiwan).

Islam di Cina

Pada abad ke-7, yakni di masa Dinasti Tang, Islam sudah masuk ke Cina dan disambut oleh sebagian masyarakatnya. Menurut catatan Tan Ta Sen (2010), kedatangan Islam di Cina melalui jalur perdagangan dan ikatan diplomatik Cina-Arab pada masa Dinasti Tang (618-907 M) dan Dinasti Song (960-1279).

Khalifah ke-3 Sahabat Utsman bin Affan ra. pernah mengutus duta-duta Islam menghadap Kaisar Cina. Duta-duta pertama dipimpin sahabat bahkan paman dekat Nabi Muhammad saw., Sa’ad bin Abi Waqqas ra.

Tujuan utama di balik terjalinnya hubungan diplomasi kedua pemerintahan adalah untuk memperkenalkan dan mengajak kaisar Cina waktu itu, memeluk Islam. Memang pada akhirnya Kaisar tidak mau memeluk Islam, namun atas restu Kaisar, para duta diberi kelonggaran untuk menyebarkan agama Islam.

Catatan lain menyebutkan, Islam masuk ke Cina beriringan dengan gelombang hijrah Sahabat ke Habasyah (Etiopia), yang kemudian mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di Kota Axum. Setelah dari Habasyah, sejumlah sahabat yang tidak kembali ke Makkah, kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581-618).

Versi lain menyebutkan, sebenarnya Rasulullah saw. sendiri yang melepas beberapa orang sahabat untuk pergi berdakwah ke Cina. Sahabat yang diutus antara lain Sa’ad bin Abi Waqqas, Qais bin Abu Hudzafah, ‘Urwah bin Abi ‘Uttan, dan Abu Qais bin al-Harits. Peristiwa ini terjadi sebelum beliau berhijrah ke Madinah. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas mengetuai kelompok pendakwah sebanyak 15 orang.

Delegasi yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqas diterima baik oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Atas perintah Kaisar, dibangunlah sebuah masjid yang diberi nama Masjid Huaisheng atau Masjid Memorial di Kanton, Provinsi Guang Zhou. Inilah masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Pada saat itu, Kanton menjadi pusat perdagangan, sekaligus pusat penyebaran Islam.

Hubungan orang-orang Islam dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing berkuasa pada tahun 1644-1911. Tidak hanya dengan penguasa, hubungan Muslim dengan masyarakat Cina lain juga menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan keislaman.

Pada masa selanjutnya, yaitu pada abad ke-12, Islam tersiar ke Cina melalui dua jalur. Kedua jalur tersebut adalah jalur yang kemudian dikenal sebagai Jalur Sutra atau Jalur Darat, dan jalur lain yang disebut Jalur Lada atau Jalur Laut. Para pendakwah yang datang menggunakan Jalur Lada kebanyakan bermazhab Maliki. Sementara yang datang melalui Jalur Sutra bermazhab Hanafi. Kedua mazhab ini di Cina lebih berpengaruh daripada mazhab Syafi’i dan Hambali.

Kaum lelaki Muslim Cina biasanya memiliki identifikasi nama Cina-Muslim, misalnya Mo, Mai, Mu (untuk Muhammad), Ha (untuk Hasan), atau Sai (untuk Said). Hingga kini, dakwah Islam di Cina yang telah ditempuh sejak lama itu telah berhasil melahirkan lebih dari 136 juta umat Islam.

Muslim Cina pun melakukan syiar Islam di Nusantara, sebelum abad ke-13. Ketika itu, terdapat pedagang Muslim dari Cina. Seperti diketahui, sejak abad ke-7 M, sepanjang pantai barat Selat Malaka, wilayah kerajaan Sriwijaya di Sumatera, telah menjadi pasar komoditas penting dunia.

Selama hampir empat belas abad, Islam tumbuh di Tiongkok. Kaum muslim telah lama menjalin hubungan dengan masyarakat Tiongkok. Mereka merupakan golongan minoritas penting di Tiongkok. Muslim Hui merupakan golongan muslim terbesar di Tiongkok. Konsentrasi terbesar berada di Xinjiang dengan etnis Uyhgur. Populasi kecil namun signifikan berdiam di daerah Ningxia, Gansu, dan Qinghai. Berbagai sumber membuat perkiraan berbeda tentang populasi muslim. Beberapa sumber memperkirakan bahwa jumlah populasi muslim sekitar 1,5 hingga 4 % dari populasi total Tiongkok. Dari 55 etnis minoritas resmi, sepuluh etnis adalah penganut Islam Sunni. Dari abad ke-7 hingga abad ke-10, Islam berkembang secara bertahap lewat jalur sutra lautan dan jalur sutra darat. Islam berkembang melalui hubungan dagang dan diplomatik.

Kedatangan Islam

Menurut sumber tradisional dari kalangan Muslim Tiongkok, Islam pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada tahun 616-18 Masehi oleh Sahabat Nabi Muhammad Sa’ad bin Abi Waqqas. Sayid, Wahab bin Abu Kabcha, dan sahabat lain. Wahab bin Abu Kabcha barangkali putra dari Harth bin Abdul Uzza juga dikenal sebagai Abu Kabsha. Ini dicatat dalam sumber lain bahwa Abu Kabcha tiba di Kanton lewat lautan pada tahun 629 Masehi.

Pada tahun 637 Sa’ad bin Abi Waqqas bersama tiga sahabat lain yaitu Suhayla Abuarja, Uwais al Qarani, dan Hassan bin Thabit, kembali ke Tiongkok dari Arab dengan rute Chittagong-Manipur-Yunan lalu tiba di Arabai lewat lautan. Beberapa sumber menentukan tahun kedatangan Islam di Tiongkok pada tahun 650 masehi, perjalanan dan persinggahan ketiga Saad bin Abi Waqqas ketika ia diutus sebagai utusan resmi kepada Kaisar Gaozong selama pemerintahan Khalifah Usman.

Dinasti Tang

Meskipun sejarawan modern mengatakan bahwa tidak ada bukti Saad Waaqas datang ke Tiongkok, mereka percaya bahwa diplomat dan pedagang Muslim mengunjungi Dinasting Tang. Dinasti Tang yang kosmopolitan menjalin hubungan intensif dengan pedagang-pedagang Asia Barat dan Tengah yang menetap di kota-kota di Tiongkok, membantu memperkenalkan Islam. Pemukiman muslim pertama di Tiongkok terdiri dari pedagang-pedagang Arab dan Persia. Selama era Dinasti Tang dan dinasti Song, relatif makmur dan tersegregasi, komunitas saudagar Muslim tumbuh di kota-kota pelabuhan Guangzhou, Quanzhou, dan Hangzhou di pesisir tenggara Tiongkok dan juga di kota-kota pedalaman seperti Chang’an, Kaifeng, dan Yangzhou. Melalui pengamatan kritis, ada bukti bahwa Saad bin Abi Waaqas dan tiga sahabat lain melakukan dakwah dari tahun 616-618 masehi. Aktifitas ini diketahui oleh Kaisar Wu-De tahun 618 masehi. Di Guangzhou terdapat empat masjid, termasuk Masjid Huaisheng  dipercaya dibangun oleh Saad Bin Abi Waqas, Sahabat Nabi Muhammad. Kota itu juga terdapat sebuah makam dipercaya menjadi makam dari Abi Waqqas, ayah dari Sa’ad bin Abi Waqqas.

Islam dibawa ke Tiongkok pada zaman Dinasti Tang oleh pedagang Arab. Mereka mencurahkan hidupnya untuk perdagangan. Dalam gerakan politik kekaisaran penindasan Agama Budha tahun 854 masehi, dalam Dekrit Larangan Agama Budha, tidak diberikan keterangan tentang Komunitas Islam. Ini memperlihatkan bahwa perdagangan menjadi perhatian pokok pendatang Muslim. Mereka datang dan pergi ke Tiongkok lewat rute lautan dan daratan.

Dinasti Song

Pada zaman dinasti Song orang Islam memainkan peran besar dalam industri ekspor dan impor. Jawatan Umum Pengangkutan dipegang oleh pedagang muslim. Pada tahun 1070, Kaisar Song Shenzong mengundang 5300 pria Muslim dari Bukhara menetap di Tiongkok. Tujuannya, untuk menciptakan zona penyangga, buffer zone, antara Kekaisaran Tiongkok dengan Kerajaan Liao di timur laut.  Orang-orang ini menetap di ibu kota Sung di Kaifenf dan Yenching, sekarang Beijing modern. Mereka dipimpin oleh Pangeran Amir Sayyid. Nama Tiongkoknya adalah S-fei-er. Ia dipanggil Bapak dalam komunitas muslim. Sebelum kedatangannya, Islam disebut oleh orang Tiongkok Tang dan Song sebagai Dashi fa, artinya agama arab. Ia mengubahnya menjadi Huihui Jiao. Agama orang Huihui.

Puncak Gunung Lingshan ada makam, dua di antaranya makam empat sahabat Nabi. Mereka diutus oleh  Nabi Muhammad untuk meyebarkan Islam ke wilayah Barat dalam hal ini Tiongkok. Dikenal sebagai Makam Suci, makam itu dikebumikannya sahabat Sa-Ke-Zu dan Wu-Ko-Shun. Dua sahabat lainnya pergi ke Guangzhou dan Yangzhou. Imam Asim juga dieja Hashim, dikatakan sebagai salah satu penyebar Islam pertama di wilayah Tiongkok. Ia hidup sekitar tahun 1000 masehi di Hotan. Situs keramat ini meliputi  makam imam, masjid, dan beberapa bangunan.

Dinasti Yuan/Mongol

Dinasti Yuan didirikan oleh orang Mongol tahun 1271-1368. Pada era ini ada banyak orang Islam menetap di Tiongkok. Penguasa Mongol memberikan pendatang asing Muslim, Kristen, dan Yahudi dari Asia Barat status tinggi sebagai bagian dari strategi politik. Kebijakan ini memberikan kaum muslim pengaruh besar. Mongol memaksa pindah ribuan imigran muslim dari Asia Barat dan Tengah untuk membantu mereka mengatur imperium. Suku Mongol merekrut birokrat Persia, Arab, dan Uyghur Budha. Mereka dikenal sebagai orang semu. Artinya, orang yang memiliki mata berwarna-warni. Mereka bekerja sebagai petugas pajak dan keuangan. Orang Islam memimpin banyak perusahaan di Tiongkok. Sarjana-sarjana Muslim membawa pengaruh penting dalam studi penanggalan dan astronomi. Arsitek Yeheide’erding, Amir al-Din,  mempelajari arsitektur Han dan membantu merancang pembangunan ibu kota Dinasti Yuan, Dadu, dikenal juga sebagai Khanbaliq atau Khanbaligh, pendahulu dari Bejing masa kini. Istilah Hui asal usulnya dari bahasa Mandarin huihui, istilah pertama kali dipakai pada zaman Dinasti Yuan untuk mendeskripsikan penduduk Asia Tengah, Persia, dan Arab di Tiongkok. Sebaliknya, Penguasa Mongol mengirim orang Tiongkok Han dan Khitan  bekerja sebagai birokrat di Bukhara Asia Tengah daerah Muslim untuk merongrong kekuasaan penguasa lokal.

Penggolongan orang Han pada masa Dinasti Yuan mencakup orang Korea, Bohais, Jurchens, dan Khitan dan termasuk dalam statistik pernikahan antar suku antara orang Semu dan orang Han. Semu dan Han yang menikah dengan orang Mongol. Semu Haluhu menikah dengan orang Korea, Uyghur Tangwu, Mongol dan Han selama masa kekuasaan Dinasti Yuan. Orang Tibet, Qincha, Uyghur, Huihui, dan Han menikah campur dengan perempuan Korea selama masa Dinasti Yuan.

Perempuan Korea melakukan pernikahan campuran dengan laki-laki Semu India, Uyghur, dan Turki. Perkawinan campuran antara perempuan Korea dengan laki-laki Semu berlangsung meluas di Tiongkok pada zaman Dinasti Yuan.

Seorang saudagar kaya dari Kesultanan Ma’bar, Abu Ali, P’aehali, 孛哈里  atau 布哈爾, Buhaer, punya hubungan dekat dengan keluarga kerajaan Ma’bar. Karena bertikai dengan keluarga kerajaan, ia pindah ke Tiongkok Dinasti Yuan dan menerima perempuan Korea sebagai istri dan pekerjaan dari Kaisar Mongol. Perempuan itu adalah bekas istri seorang bangsawan atau sangha dan ayahnya adalah Ch’ae Ingyu selama masa pemerintahan Chungyeol Goryeo. Tercatat dalam Dongguk Tonggam, Goryeosa dan Zhong’anji dari Liu Mengyan .

Meskipun komunitas Muslim memiliki posisi kuat di kekuasaan namun, Jenghis Khan dan para penggantinya tetap melarang beberapa ajaran Islam seperti pemotongon hewan secara halal dan juga larangan lain. Orang Islam harus menyembelih domba secara rahasia. Jenghis Khan menyebut budak atau kawula pada orang Islam dan Yahudi. Ia mewajibkan mereka mengikuti budaya Mongol dalam makan ketimbang tata cara halal. Khitan atau sunat juga dilarang. Orang Yahudi juga terkena dengan hukum larangan ini dan dilarang oleh penguasa Mongol makan hidangan kosher.

Di antara semua kawula orang asing hanya orang Hui-hui yang berkata kami tidak makan makanan Mongol. Jengis Khan menjawab, berkat rahmat dari Langit kita berhasil menaklukkan kalian.

Kalian adalah kawula kami. Tapi kalian tidak makan hidangan atau minuman kami. Bagaimana ini bisa dibenarkan? Karena itu ia memaksa mereka makan. Jika kalian menyembelih domba, kalian akan dianggap melakukan kejahatan. Ia mengeluarkan hukum keras.... [pada tahun 1279/1280 di masa pemerintahan Kubilai Khan] semua orang Muslim berkata: jika orang lain menyembelih hewan, kami tidak akan memakannya. Karenanya orang miskin bersedih akan hal ini maka dari sekarang Musuluman, orang Islam Huihui dan Zhuhu (Yahudi) Hui-hui, tidak peduli siapa yang membunuh hewan akan makan dan harus berhenti menyembelih domba mereka sendiri, dan berhenti melakukan upacara khitan. 

Kalangan Muslim golongan semu melakukan pemberontakan melawan Dinasti Yuan dalam Pemberontakan Ispah. Namun pemberontakan berhasil ditumpas. Orang Islam dibantai oleh panglima Chen Youding, jenderal yang setia kepada Dinasti Yuan.

Dinasti Ming

Dalam masa Dinasti Ming, orang Islam punya pengaruh besar di lingkar kekuasaan. Enam dari panglima perang yang sangat diandalkan oleh pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, adalah orang Islam. Yang paling terkanal adalah Lan Yu. Pada tahun 1388, Lan Yu memimpin tentara kekaisaran Ming keluar dari Tembok Besar berperang melawan pasukan Mongol. Ia memenangkan peperangan. Kemenangan ini mengakhiri cita-cita Mongol menaklukkan kembali Tiongkok.

Dalam angkatan perang Kaisar Ming, Zhu, Yuanzhang, yang berperang melawan pasukan Mongol, terdapat pasukan Hui Muslim di bawah pimpinan Feng Sheng. Zhu Yuanzhang menulis surat pujian untuk pasukan Islam. Surat pujian ini dikenal sebagai  百字讃,baizizan, Sabda Seratus Kata. Surat pujian meriwayatkan bahwa Seri Paduka memberikan titah pembangunan masjid di Xijing dan Ibu kota Nanjing, di daerah selatan di Yunnan, Fujian, dan Guangdong. Seri Paduka secara pribadi menulis baizizan, sabda, memuji kebajikan Nabi Muhammad.

Selain itu, Kaisar Yongle mengangkat Cheng Ho, tokoh agung, yang dilahirkan dari kalangan muslim, memimpin tujuh ekspedisi ke Samudera Hindia dari tahun 1405 hingga 1433. Namun, dalam masa kekuasaan Dinasti Ming, peraturan baru imigrasi Tiongkok ialah melarang orang-orang dari negeri Islam masuk ke Tiongkok. Tiongkok berubah menjadi negara isolasionais/menutup diri. Komunitas Muslim di Tiongkok yang keturunan dari imigrasi awal melakukan asimilasi dengan berbicara bahasa Tiongkok dan mengadopsi nama-nama dan kebudayaan Tiongkok. Arsitektur masjid mengikuti arsitektur tradisional Tiongkok. Zaman ini kadang dipandang sebagai Zaman Keemasan Islam di Tiongkok dan juga Nanjing menjadi pusat penting kajian Islam.

Sekitar tahun 1376, seorang saudagar Tiongkok usia 30 tahun, Lin Nu pergi ke Ormuz din Persia, memeluk Islam dan menikah dengan gadis semu, 娶色目女”, dan membawanya pulang ke Quanzhou di Fujian.  

Komunitas muslim di Beijing di zaman Dinasti Ming mendapatkan kebebasaan karena tidak ada larangan bagi mereka melaksanakan praktek agama atau ada kebebasan beribadah, menjadi penduduk biasa di Beijing. Berbeda dengan kebebasan yang diberikan kepada kalangan Islam, pengikut Budha Tibet dan Katholik mendapat larangan dan sensor di Beijing.

Kebijakan Ming terhadap agama Islam adalah toleran sedangkan kebijakan rasial terhadap etnis minoritas adalah kebijakan integrasi melalui perkawinan paksa. Orang Islam dizinkan untuk menjalankan ajaran Islam namun jika mereka adalah bagian dari etnis lain maka mereka diminta oleh hukum melakukan kawin campur, maka orang Hui harus kawin dengan orang Han karena mereka berasal dari kelompok etnis berbeda. Maka, orang Han sering berpindah agama ke Islam.

Integrasi adalah mandat melalui kawin campur menurut hukum Ming, etnis minoritas harus kawin dengan orang dari etnis berbeda. Orang tiongkok pada masa Dinasti Ming juga dipaksa untuk kawin dengan orang asing seperti laki-laki Hui kawin dengan perempuan Tiongkok Han. Pernikahan antara orang Cina Han kelas atas dengan orang Hui sangat kecil karena laki-laki dari kelas atas Tiongkok Han menolak kawin dengan perempuan Muslim, dan mereka melarang anak gadis mereka kawin dengan laki-laki Muslim karena mereka tidak mau pindah agama terkait status kelas atas mereka. Hanya laki-laki Tiongkok Han dari status rendah yang mau pindah agama jika mereka akan kawin dengan perempuan Hui. Hukum Ming memberikan izin kepada laki-laki dan perempuan Tiongkok Han tidak kawin dengan orang Hui dan hanya kawin atan sesama mereka sementara laki-laki dan perempuan Hui diwajibkan menikah dengan pasangan bukan dari etnis mereka.   

Kaisar Hongwu mengeluarkan titah atau dekrit pembangunan masjid di banyak tempat di seluruh Tiongkok. Masjid Nanjing didirikan oleh Kaisar Xuande.

Suatu dekrit larangan pemotongan babi menimbulkan spekulasi bahwa Kaisar Zhengde memeluk agama Islam. Ini terkait pula perekrutan kasim-kasim Muslim yang mengurus produksi porselen  dengan inskripsi Persia dan Arab warna putih dan biru. Pada tahun 1496, kasim-kasim Muslim memberikan sumbangan uang untuk memugar Masjid Niujie. Perempuan-perempuan Asia Tengah diserahkan kepada Kaisar Zhengde oleh  pengawal muslim.  Seorang gundik Uyghur dipelihara oleh Kaisar Zhengde. Perempuan Uyghur dan Mongol sangat disenangi oleh Kaisar Zhengde. Perempuan Tatar Mongol dan Asia Tengah sering tidur bersama Zhengde.  Kaisar Zhengde menerima perempuan Semu, muslim Asia Tengah, dari pengawal Yu Yong. Salah satu gundik muslimnya bernama Ni’ergan.

Tidak diketahui dengan pasti siapa di balik dekrit larangan pemotongan babi.  Yang jelas, rumor bahwa Kaisar  memeluk Islam muncul karena Kaisar sangat senang dengan gundik asing. Gadis-gadis Muslim Asia Tengah sangat disenangi oleh Kaisar Zhengde. Ini sama seperti gadis-gadis Korea yang disenangi Kaisar Xuande.

Ketika Dinasti Qing mengalahkan Dinasti Ming, mereka yang setia kepada Dinasti Ming dipimpin oleh Milayin, Ding Guodong, dan Ma Shouying melakukan perlawanan pada tahun 1646 melawan Dinasti Qing. Perlawanan ini dikenal sebagai Pemberontakan Milayin. Tujuannya untuk memulihkan kembali kekuasaan Ming dan Pangeran Ming, Yanchang Zhu Shicuan sebagai kaisar. Orang muslim Ming ditumpas oleh pasukan Qing, 100.000 tentara termasuk Milayin dan Ding Guodong tewas terbunuh.

Di Guangzhou berdiri monumen nasional Tiga Serangkai Loyalis Muslim. Monumen ini adalah makam dari Tiga loyalis Muslim pada Dinasti Ming.  Mereka martir dalam perang mempertahankan Dinasti Qing melawan pasukan Manchu dalam perang di Guangzhou.

Dinasti Qing 

Dinasti Qing  berkuasa dari tahun 1644 hingga tahun 1911. Para penguasa Dinasti ini menghadapi pergolakan revolusi pemberontakan.  Penguasa Dinasti Qing adalah orang Manchu. Suku ini adalah suku minoritas. Pada pertengahan abad ke 17, Dinasti Qing mulai mengalahkan dan menggantikan Dinasti Ming. Namun, pada tahun 1646, di Propinsi Gansu, golongan Islam masih setia pada Dinasti Ming di bawah pimpinan Milayin dan Ding Guodong  melakukan perlawanan hebat pada pasukan Dinasti Qing. Pergolakan ini dikenal sebagai Pemberontakan Milayin. Tujuannya adalah untuk memulihkan kembali Dinasti Qing dan memulihkan kembali kedudukan Pangeran Ming, Yangchang Zhu Shichuan, sebagai kaisar. Orang Muslim yang setia pada Dinasti Ming didukung oleh Sultan Said Baba dari Hami dan putranya Pangeran Turumtay. Orang Muslim yang setia pada Ming bergabung dengan orang Tibet dan Tiongkok Han dalam revolusi. Pada tahun 1649,  setelah melalui pertempuran sengit dan perundingan, suatu perjanjian damai disepakati. Milayan dan Ding secara nominal memberikan janji setia pada Dinasti Qing. Mereka mendapat pangkat militer dalam ketenteraan Qing. Ketika loyalis Ming lainnya di Selatan Tiongkok kembali bangkit, terpaksa pasukan Qing menarik pasukan mereka dari Gansu untuk memerangi mereka. Maka, Milayan dan Ding sekali lagi angkat senjata memberontak melawan Dinasti Qing. Orang Muslim yang setia pada Dinasting Ming lalu dihancurkan oleh pasukan Qing, 100.000 pasukana, termasuk Milayin, Ding Guodong, dan Turumtay tewas dalam peperangan.

Sarjana Konfusius Hui Muslim, Ma Zhu, 1640-1710, seorang loyalis Ming di wilayah Selatan berjuang melawan Dinasti Qing. Zhu Yu’ai, Pangeran Ming, Gui, bersama pengungsi Hui Muslim mengungsi dari Huguang ke perbatan Burma di Yunnan. Sebagai tanda kesetiaan pada Dinasti Ming, mereka mengganti nama mereka menjadi nama Ming. Mereka terus melawan Dinasti Qing.

Di Guangzhou, monumen nasional dikenal sebagai Tiga Serangkai Muslim Yang Setia, adalah makam dari pendukung setia Dinasti Ming. Mereka adalah martir dalam perang melawan Dinasti Qing dalam Serangan Besar pasukan Manchu di Guangzhou. Orang Muslim yang tetap setia pada Dinasti Ming disebut jiaomen sanzhong yang artinya tiga pembela iman.

Sementara itu, di barat laut Tiongkok, pemberontakan muslim terjadi dalam pertikaian berdarah antar sesama orang muslim. Pemberontakan terjadi di Yunnan dalam lima pergolakan berdarah orang Hui. Paling besar adalah Pemberontakan Panthay dari tahun 1855 hingga 1873.  Pergolakan juga terjadi di Xinjiang, Shensi, dan Gansu dari tahun 1862 hingga 1877. Pemerintah Manchu memerintahkan hukuman mati pada semua pemberontak. Pemberontakan ini menewaskan jutaan jiwa.

Namun, banyak pula orang Muslim seperti Ma Zhan’ao, Ma Anliang, Dong Fuxiang, Ma Qianling, dan Ma Julung yang membelot ke pihak Qing. Mereka membantu panglima perang Dinasti Qing, Zuo Zongtang, memadamkan pemberontakan Muslim. Jenderal-jenderal Muslim ini pengikut tarekat Khafiya dan membantu Pemerintah Qing menumpas pemberontak Jahariyya. Jenderal Zuo memindahkan orang Han ke luar dari Hezhou dan merelokasi orang Muslim. Ini merupakan hadiah bagi orang Muslim karena membantu Dinasti Qing menumpas pemberontak muslim.

Sumber Bacaan

Dru C. Gladney, “Islam in Tiongkok: Accommodation or Separatism?”, Volume 174 June 2003, pp. 451-467

Dru C. Gladney, Muslim Tombs & Ethnic Folklore-Hui Identity, in The Journal of Asialso n Studies, California, vol.16, No.3, Aug. 1987, p. 498, p. 498 nt.8.

http://en.people.cn/data/minorities/Hui.html

Israeli, Raphael (2002), Islam in Tiongkok, United States of America: Lexington Books

Gernet, Jacques (1996), A History of Chinese Civilization, New York: Cambridge University Press

Lipman, Jonathan Newman (1997), Familiar Strangers, a history of Muslims in Northwest Tiongkok, Seattle, WA: University of Washington Press

Esposito, John L. (1999), The Oxford history of Islam, United States of America: Oxford University Press

Dillon, Michael (1999), Tiongkok's Muslim Hui Community, Curzon

Gillette, Maris Boyd (2000), Between Mecca and Beijing: modernization and consumption among urban Chinese Muslims, Stanford University Press

Uradyn Erden Bulag (2002), Dilemmas The Mongols at Tiongkok's edge: history and the politics of national unity, Rowman & Littlefield

Rubin, Barry (2000), Guide to Islamist Movements, M.E. Sharpe

(Penulis Saiful Hakam / Peneliti P2SDR Kajian China)