Tempat melakukan sa i adalah antara titik titik dan titik titik

Posted on September 10, 2014

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pelebaran wilayah sa’i, menjadi polemik di masyarakat. Tidak hanya tokoh yang memberikan komentar, termasuk para awak media yang memanfaatkan suasana untuk mendapatkan wacana kontroversial.

Sebagai muslim yang baik, tidak selayaknya kita menjadi manusia yang mudah terombang-ambing media dan komentar masyarakat. Didik diri kita menjadi muslim yang memiliki jati diri. Memandang kebenaran sebagai kebenaran, dan memandang kebatilan sebagai kebatilan.

Agar kita memiliki pegangan dalam menilai masalah kontroversial yang baru ini, berikut kami paparkan beberapa catatan sederhana yang disimpulkan dari beberapa fatwa dan keterangan para ulama.

Pertama, ulama sepakat bahwa lebar tempat sai sepanjang diameter bukit shafa dan marwah. Dr. Sa’d al-khatslan mengatakan,

لم يختلف العلماء في أن الواجب في السعي هو مابين جبلي الصفا والمروة

Ulama sepakat bahwa yang wajib ketika sai adalah wiilayah antara dua gunung shafa dan marwah. (Fawata Sa’d al-Khatslan, no. 175)

Ini berdasarkan firman Allah di surat al-Baqarah,

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa’i antara keduanya. (QS. al-Baqarah: 158)

Selama seseorang melakukan sai di wilayah antara bukit Shafa dan Marwah, maka ibadah sa’inya sah.

Kedua, tempat sai baru adalah bagian perluasan wilayah sa’i yang tepat berada di sebelah timur tempat sa’i lama. Dan keberasaan tempat sa’i yang baru, termasuk masalah yang diperselisihkan ulama kontemporer. Ada dua masalah yang menjadi titik perbedaan pendapat ulama,

  1. Apakah tempat baru ini masih masuk dalam rentang diameter shafa dan marwah, ataukah keluar dari wilayah itu?.
  2. Bolehkah melakukan sai di daerah keluar sadikit dari rentang diameter bukit shafa atau marwah.

Mengacu pada titik masalah di atas, ada tiga pendapat ulama tentang kasus perluasan tepat sa’i.

Pendapat pertama, boleh melakukan sa’i sedikit di luar rentang diameter bukit shafa dan marwah.

Pendapat kedua, sa’i hanya boleh dilakukan di rentang diameter kedua bukit shafa dan marwah, dan wilayah sa’i yang baru hasil pelebaran, masih termasuk dalam batas rentang diameter bukit shafa dan marwah.

Pendapat ketiga, sa’i hanya boleh dilakukan di rentang diameter kedua bukit shafa dan marwah, dan wilayah sa’i yang baru hasil pelebaran, TIDAK termasuk dalam batas rentang diameter bukit shafa dan marwah.

(Waqafat ma’a Maudhu’ al-Mas’a al-Jadid, Syaikh Alwi as-Saqqaf).

Ketiga, kebanyakan anggota Haiah Kibar Ulama di Saudi (Majlis Ulama Besar Saudi) berada pada kelompok ketiga, yang berpendapat bahwa wilayah sa’i baru, berada di luar rentang diameter kedua bukit itu, sehingga sa’i di tempat yang baru, tidak diperbolehkan secara syar’i. Diantaranya Syaikh Dr. Sholeh al-Fauzan, Syaikh Abdullah al-Ghadiyan, Syaikh Sholeh al-Luhaidan, Syaikh Abdurrahman al-Barrak, dan Syaikh Abdul Karim al-Khudair.

Mereka berdalil bahwa dengan catatan sejarah, bahwa lebar tempat sa’i sekitar 36 hasta, atau sekitar 20 meter. Dan itu adalah lebar tempat sa’i saat ini (tempat sa’i lama), setelah mengalami pelebaran yang dilakukan tahun 1375 H. Dan tembok yang membatasi tempat sa’i, ditetapkan berdasarkan fatwa Mufti besar kerajaan Saudi, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, setelah pembentukan panitia yang bertugas menetapkan batas tempat sa’i. Berdasarkan fatwa ini, maka pelebaran tempat sa’i telah maksimal.

Tempat melakukan sa i adalah antara titik titik dan titik titik
Perluasan Tempat Sa’i

Keempat, sebagian anggota kibar ulama, dan beberapa ulama kontemporer lainnya berpendapat bolehnya melakukan sa’i di tempat yang baru. Diantaranya Samahah Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Dr. Abdullah al-Jibrin, Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Dr. Khalid al-Muslih, Syaikh Dr. Khalid al-Musyaiqih, Syaikh Dr. Sa’d al-Khatslan, dan lembaga fatwa Dal-Ifta di Mesir.

Dalil yang mereka sampaikan, bahwa tempat ini masih termasuk dalam batas rentang diameter bukit shafa dan marwah, sebelum mengalami pemugaran di kaki bukit bagian timur. Hal ini ditetapkan berdasarkan penelitian ahli sejarah, ahli geografi, ahli geologi, serta para enjiner mengenai batas wilayah kedua bukit itu.

Juga berdasarkan persaksian sejumlah orang tua asli penduduk Mekah di depan Mahkamah, – sekitar 30 orang saksi – yang mereka menyatakan bahwa lebar wilayah sa’i mencakup tempat sa’i yang baru.

[al-Mas’a al-Jadid wa Tahmisy al-Kibar, hlm. 2]

Kelima, masalah ini adalah masalah besar. Tidak sembarang orang berhak berbicara dan memberikan komentar. Hanya ulama yang berhak untuk dikedepankan. Karena itu, tidak selayaknya masyarakat mengikuti komentar wartawan meja atau media sekuler, yang sama sekali bukan sumber ilmu.

Kajian masalah tempat sa’i yang baru adalah kajian fiqhiyah ilmiyah. Sementara situs berita, media liberal, tidak memiliki kapasitas dalam masalah ini.

Kita bisa mengambil pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya. Mereka memanfaatkan suasana untuk menyebarkan isu dan berita dusta, demi memecah belah umat dan kaum muslimin.

Keenam, masalah keberadaan tempat sa’i baru hasil perluasan termasuk masalah khilafiyah fiqhiyah (perbedaan pendapat dalam masalah fikih). Sikap yang harus kita kedepankan adalah saling toleransi dan menghormati pendapat yang lain, tanpa diiringi dengan celaan dan menjelekkan yang tidak sependapat. Terlebih dikait-kaitkan dengan nama kelompok atau komunitas tertentu.

Di beberapa situs yang kurang bertanggung jawab, memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang orang lain dan memberikan tuduhan yang buruk kepada orang lain yang tidak sependapat dengannya. Jelas ini sikap kurang dewasa dalam masalash khilafiyah.

Beberapa situs berita dan media liberal menuding ‘wahabi’ hendak menyebarkan aqidah sesat di tengah umat dengan membangun tempat sa’i yang baru. Mereka maksudkan dengan gelar wahabi adalah para ulama rabbaniyin, baik yang tinggal di Saudi maupun luar Saudi.

Anda bisa menilai, bagaimana upaya mereka memancing di air keruh. Memanfaatkan suasana perbedaan pendapat ulama, untuk menghina ulama lainnya. Ini perbedaan ranah ijtihad. Masing-masing memiliki bukti dan dalil yang mendukung pendapatnya.

Semoga Allah membimbing kita untuk selalu meniti jalan kebenaran dan keadilan.

Allahu a’lam

Sumber:

  • Dar Ifta’ Mesir: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=3022
  • Keterangan Syaikh Abdullah bin Mani’: http://majles.alukah.net/t15001/
  • Fatwa Dr. Sa’d al-Khatslan: http://www.saad-alkthlan.com/text-175
  • Keterangan Syaikh Alwi as-Saqqaf: http://www.dorar.net/art/101
  • Fatwa Dr. Khalid al-Musyaiqih: http://ar.islamway.net/fatwa/35908/ ما-حكم-السعي-في-المسعى-الجديد
  • Keterangan Dr. Ibrahim al-Fauzan: http://www.almoslim.net/node/92583

Ditulis oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Tahukah anda ada kisah menarik tentang Sejarah sa’i atau berlari kecil di antara Bukit Shafa dan Marwah yang merupakan rangkaian ibadah umroh dan haji?

Salah satu rukun dalam melaksanakan ibadah umroh dan haji adalah Sa’i. Ibadah Sa’i adalah salah satu rukun umroh dan haji yang dilakukan dengan berlari-lari kecil atau berjalan dengan bergegas di antara Bukit Shafa dan Marwah yang berjarak 405 meter sebanyak tujuh kali.

Prosesi Sa’i dilaksanakan dari bukit Shafa. Ketika berada di Shafa, jamaah hendaknya naik ke atas bukit menuju Marwah dan kemudian mengahadap ke Kabah. Ibadah Sa’i yang saat ini dilaksanakan oleh jamaah haji dan umroh memiliki sejarah dan makna tersendiri. Untuk mengetahui sejarah dan makna dari ibadah sa’i lebih jauh, berikut adalah penjelasannya.

Kisah Sejarah Sa’i : Siti Hajar, Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Ismail AS

Sejarah sa’i tidak lepas dari kisah istri Nabi Ibrahim yang juga ibu dari Nabi Ismail, yaitu Siti Hajar. Sejarah sa’i di antara Bukit Shafa dan Marwah berawal ketika Siti Hajar berusaha mencari air untuk putranya Ismail yang tengah kehausan.

Ketika itu, Nab Ibrahim diperintahkan oleh Allah SWT untuk meninggalkan istri dan juga anaknya di sebuah gurun yang sangat tandus. Siti Hajar yang merasa bingung dan sedih atas rencana kepergian suaminya pun bertanya “Hendak pergi kemanakah engkau Ibrahim?”.

Mendengar pertanyaan tersebut dari istrinya, Nabi Ibrahim tidak menjawab dan diam saja. Kemudian Siti Hajar menambahkan “Sampai hatikah engkau Ibrahim meniggalkan kami berdua di tempat sunyi dan tandus seperti ini?”.

Ibrahim masih tidak menjawab dan tidak menoleh sama sekali. Kemudian Siti Hajar berkata kembali, “Adakah ini perintah dari Allah SWT?”. Saat itu, Nabi Ibrahim menjawab, “Ya”. Mndengar jawaban tersebut, hati Siti Hajar menjadi lebih tenang. Lalu kemudian Siti Hajar kembali berkata,”Jika memang demikian, pastilah Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan nasib kita.”.

Nabi Ibrahim kemudian pergi meninggalkan Siti Hajar dan juga Ismail dengan membekali mereka makanan dan minuman. Akan tetapi bekal yang diberikan Ibrahim tersebut lama-kelamaan habis juga. Siti Hajar kemudian berusaha mencari air untuk anaknya.

Dari tempat ia berada, Siti Hajar melihat sebuah bukit, yaitu Bukit Shafa. Ia kemudian bergegas mencari air menuju puncak Bukit Shafa, akan tetapi nihil. Ia tidak menemukan apapun. Kemudian ia bergegas turun ke arah Bukit Marwah, namun nihil juga. Siti Hajar kembali lagi ke Bukit Shafa, dan kembali lagi ke Bukit Marwah. Demikian seterusnya hingga tujuh kali.

Setelah tujuh kali bergegas dari Shafa ke Marwah dan sebaliknya, dari Bukit Marwah Siti Hajar mendengar suara gemericik air. Ia kemudian menghampiri arah suara tersebut. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan pancaran air yang deras keluar dari dalam tanah di bawah telapak kaki Nabi Ismail.

Tempat melakukan sa i adalah antara titik titik dan titik titik
sumur zam zam

Kini air tersebut kemudian dinamakan dengan air zamzam. Dan hingga saat ini, air zam-zam tidak pernah surut ataupun kekeringan. Orang-orang Arab yang melintasi kawasan tersebut kemudian memutuskan untuk tinggal dan jadilah saat ini menjadi Kota Mekah yang berkembang.

Di tempat tersebut kemudian dilaksanakan badah haji dan umroh oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia. Dan peristiwa Siti Hajar tersebut kemudian dijadikan dasar ibadah sa’i yang saat ini dilakukan ketika ibadah umroh atau haji.

Makna Sa’i

Secara bahasa, Sa’i memiliki arti berjuang atau berusaha. Namun kemudian, makna sa’i dkembangkan menjadi sebuah perjuangan hidup yang dilakukan untuk pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Sa’i dimaknai sebagai perjuangan hidup yang pantang menyerah dan tidak putus asa. Bahwa hidup harus dijalani dengan penuh kesabaran, ketaqwaan, serta ketawakalan kepada Allah SWT.

Demikianlan Sejarah sa’i di antara Bukit Shafa dan Marwah yang saat ini menjadi salah satu rukun dari ibadah haji dan umroh. Untuk melihat langsung bagaimana Bukit Shafa dan Marwah serta melaksanakan ibadah Sa’i, Anda dapat menghubungi biro travel haji plus Jogja Hasuna. Pengalaman Hasuna selama 22 tahun sebagai biro umroh Jogja akan membuat perjalanan Anda menuju tanah suci menjadi lebih aman dan nyaman, karena dibimbing langsung oleh pembimbing yang berpengalaman dan bersertifikat.