Strategi dakwah sunan kalijaga yang menggunakan media wayang kulit yang dapat kita teladani

Sunan Kalijaga adalah seorang da’i yang menyebarkan agama Islam mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Pada saat proses dakwah Islamisasi, beliau menggunakan pendekatan melalui budaya. Tulisan ini mencoba membuka penggunaan budaya oleh Sunan Kalijaga untuk proses Islamisasi dengan dibagi menjadi tiga sub aktualisasi, yaitu gagasan, kegiatan, dan wujud yang berupa benda atau fisik.

Tembang Lir-Ilir

Sunan Kalijaga menggunakan tokoh pewayangan dan syair lagu Jawa sebagai media dakwah. Dalam cerita pewayangan yang berasal dari ajaran agama Hindu menceritakan kisah Ramayana dan Mahabarata. Agar dapat diterima masyarakat, beliau menggunakan cerita dan tokoh pewayangan sebagai media dakwah Islamisasi. Beliau tidak menggunakan kisah asli melainkan menggantinya dengan unsur – unsur Islami. Seni suara juga merupakan media dakwah Sunan Kalijaga, yaitu dalam bentuk macapatan. Karya Sunan Kalijaga yang terkenal seperti Dhandanggula dan lir – ilir. Lirik tembang lir – ilir sebagai berikut :


Lir – ilir, lir – ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu – lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotira
Dodotira – dodotira kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalanganeYo suarako….
Sura iyo ……

Syair lagu lir – ilir memberi rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan amal kebaikan, amal itu berguna untuk bekal di hari akhir. Kesempatan hidup di dunia itu harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan, jangan hendak membunuh nanti akan berganti dibunuh karena semua ada balasannya. (Budiono Hadi Sutrisno, 2010: 184).

Akulturasi, Mengubah Sesaji Menjadi Selametan

Bentuk kegiatan Sunan Kalijaga dalam dakwah salah satunya adalah mengganti sesaji dengan sedekah. Dahulu, sebelum Islam masuk ke Indonesia sekiar abad ke-15, masyarakat Jawa memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme, yaitu kegiatan berupa penyembahan kepada roh – roh gaib dan roh leluhur.

Baca Juga  Islam Toleran: Kisah-Kisah Toleransi di Masa-Masa Awal Islam

Kebiasaan masyarakat pada saat itu berupa pemberian sesaji seperti bunga, kopi pahit, kemenyan, buah – buahan, ayam kampung goreng, telor rebus. Kebiasaan sesaji dilakukan sebagai bentuk pemujaan dan agar dapat dekat dengan sesembahan. Biasanya sesaji ditaruh di pojokan rumah, di bawah tempat tidur, di bawah pohon besar, di perempatan jalan dekat rumah, di pinggir jembatan. Pada praktiknya, sesaji itu tidak boleh untuk dikonsumsi dan dibiarkan sampai dimakan binatang atau hingga dibiarkan sampai membusuk.

Dalam dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak langsung menghilangkan kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Beliau menyisipkan nilai – nilai Islami di dalamnya atau melalui proses dakwah Islamisasi. Istilah “sesaji” diganti menjadi “selametan”, dari asal kata Islam itu sendiri, yang  memang berarti “damai” dan “selamat sejahtera.” Niatnya diubah, dari dipersembahkan kepada roh gaib atau dewa sesembahan, menjadi sedekah berupa makanan kepada sesamanya, dalam hal ini tetangga, kerabat, fakir miskin, dan anak – anak yatim piatu. (B. Wiwoho, Islam Mencintai Nusantara Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, 2017, 227).

Mendirikan Masjid

Sunan Kalijaga berperan dalam pendirian masjid pertama di tanah Jawa, yakni Masjid Demak. Masjid ini sampai saat ini masih dikunjungi muslim dari seluruh penjuru Nusantara. Masjid yang didirikan pada tahun 1477 M ini menjadi pusat agama terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa, termasuk di daerah – daerah pedalaman. (Budiono Hadi Sutrisno, 2010: 184).

Selain itu, banyak karya – karya dan peninggaan Sunan Kalijaga, di antaranya yaitu :

  1. Sokoguru Masjid Demak yang terbuat dari tatal.
  2. Gamelan Nagawilaga.
  3. Gamelan Guntur Madu.
  4. Gamelan Nyai Sekati.
  5. Gamelan Kyai Sekati.
  6. Wayang Kulit Purwa.
  7. Baju Takwa.
  8. Tembang Dhandanggula.
  9. Kain Batik Motif Garuda.
  10.  Syair Puji – Pujian Pesantren.

Baca Juga  Jamaluddin Al-Afghani (4): Perjuangan dan Fitnah dari Istambul

Dapat diketahui bahwa dalam misinya untuk mengislamkan Nusantara Sunan Kalijaga bukan hanya berdakwah dalam bentuk gagasan dan kegiatan saja melainkan beliau membangun dan menciptakan karya dalam bentuk benda atau fisik . Hasil karya ini tak lepas dari hasil dari akulturasi budaya yang dilakukan oleh beliau. Beliau memanfaatkan budaya sebagai penghubung untuk Islamisasi.

Strategi dakwah sunan kalijaga yang menggunakan media wayang kulit yang dapat kita teladani

Strategi dakwah sunan kalijaga yang menggunakan media wayang kulit yang dapat kita teladani

Dhafi Quiz

Find Answers To Your Multiple Choice Questions (MCQ) Easily at cp.dhafi.link. with Accurate Answer. >>


Strategi dakwah sunan kalijaga yang menggunakan media wayang kulit yang dapat kita teladani

Ini adalah Daftar Pilihan Jawaban yang Tersedia :

  1. bersikap lemah lembut ke pengikut
  2. bendekatkan masyarakat ke hobi berkesenian
  3. memudahkan berkomunikasi dengan masyarakat
  4. tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam
  5. sarana dakwah agama disajikan lebih menarik
Klik Untuk Melihat Jawaban

Kuis Dhafi Merupakan situs pendidikan pembelajaran online untuk memberikan bantuan dan wawasan kepada siswa yang sedang dalam tahap pembelajaran. mereka akan dapat dengan mudah menemukan jawaban atas pertanyaan di sekolah. Kami berusaha untuk menerbitkan kuis Ensiklopedia yang bermanfaat bagi siswa. Semua fasilitas di sini 100% Gratis untuk kamu. Semoga Situs Kami Bisa Bermanfaat Bagi kamu. Terima kasih telah berkunjung.

Walisongo menerapkan strategi dakwah agar penyebaran Islam dapat berjalan lancar. Srategi dakwah yang dilakukan melalui pembagian wilayah dan pendekatan persuasif. Strategi pembagian wilayah bertujuan untuk memperhitungkan letak strategis dari suatu wilayah. Walisongo mempertimbangkan terlebih dahulu dalam menentukan daerah dakwahnya serta mempertimbangkan faktor geostrategi. Hal ini ditunjukkan dengan pemilihan daerah Jawa Tengah sebagai tempat dakwah Walisongo, seperti Demak, Kudus, dan Muria. Selanjutnya, Walisongo  menggunakan strategi pendekatan persuasif yang berorientasi pada penanaman ajaran Islam dengan menyesuaikan kondisi saat itu. Misalnya Sunan Ampel yang berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang bersedia masuk Islam berkat keramahan dan kebijaksanaan Sunan Ampel. Walisongo juga melakukan pendekatan terhadap tokoh yang memiliki pengaruh di suatu wilayah dan menghindari konflik. Walisongo menyediakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti materil dan spiritual.

Walisongo menggunakan pendekatan melalui kebudayaan dan kesenian untuk menunjang keberhasilan Islamisasi. Misalnya, Sunan Kalijaga dalam melakukan dakwah secara luwes karena masyarakat Jawa saat itu masih menganut kepercayaan lama. Sunan Kalijaga mendekatkan diri ke dalam masyarakat yang masih awam. Selain itu, Sunan Kalijaga mengenakan pakaian adat Jawa setiap hari dengan menggabungkan unsur Islam. Terdapat alasan Sunan Kalijaga menggunakan pakaian tersebut dikarena apabila mengenakan jubah dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa takut masyarakat dan merasa enggan untuk menerima kedatangannya. Salah satu hal yang dapat dikatakan unik ketika Sunan Kalijaga merebut simpati masyarakat terlebih dahulu agar mau menerima agama Islam. Selanjutnya, beliau menjelaskan kepada masyarakat mengenai agama Islam dan menasehati untuk meninggalkan adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi, kebudayaan dan kesenian yang sekiranya dapat ditanamkan unsur ajaran Islam akan dipertahankan serta digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga. Berbagai media dakwah yang digunakan, yaitu gamelan, gendhing, tembang, wayang, grebeg, suluk, tata kota, selamatan, kenduri, dan upacara tradisional. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga kerap memakai nama samaran, seperti “Ki Dalang” karena kemampuan beliau dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui pertunjukan kebudayaan dan kesenian.

Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu media dakwahnya. Beliau mengenalkan Islam melalui pertunjukan wayang yang sangat digemari masyarakat. Pada saat beliau berdakwah agama Islam sebagai dalang yang berkeliling di wilayah Pajajaran hingga Majapahit. Tidak hanya sebagai dalang wayang saja, beliau juga menjadi dalang pantun. Apabila ada masyarakat yang ingin mengadakan pertunjukan wayang, maka Sunan Kalijaga tidak memungut uang melainkan cukup membaca dua kalimat syahadat, dan menyebabkan Islam dapat berkembang dengan cepat. Di dalam pertunjukan wayang, lakon yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga tidak hanya mengangkat kisah Mahabarata dan Ramayana, terdapat pula lakon yang digemari oleh masyarakat yaitu Dewa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini menjadi bentuk pengembangan dari lakon Nawa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini mengisahkan Bima yang merupakan salah satu Pandawa saat mencari kebenaran melalui bimbingan Begawan Drona hingga Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Selain lakon Dewa Ruci, Sunan Kalijaga juga memunculkan tokoh-tokoh wayang seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang telah diselusupi ajaran-ajaran Islam. Dalam menjadi dalang, Sunan Kalijaga memaparkan ajaran tasawuf saat memainkan wayang terutama saat lakon Dewa Ruci. Hal ini menyebabkan masyarakat dari seluruh lapisan menjadi senang. Saat pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga memodifikasi bentuk wayang, sebelumnya berbentuk gambar manusia menjadi gambar dekoratif dengan bentuk tubuh yang tidak mirip dengan manusia. Penggunaan pertunjukan wayang sebagai media dakwah penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Hal tersebut menunjukkan keahlian beliau dalam memadukan unsur ajaran Islam dengan unsur budaya masyarakat Jawa. Oleh karea itu, kebudayaan dan kesenian merupakan sesuatu yang tidak dapat lepas dari masyarakat.

Selain lakon Dewa Ruci dan Punakawan, Sunan Kalijaga juga memasukan ajaran Islam pada tokoh Yudistira dan Bima. Seperti yang dikisahkan dalam lakon Yudistira mendapatkan azimat Kalimasada  karena tidak mau berperang. Azimat ini berguna untuk melindungi diri sendiri, menjauhkan musuh, dan memelihara stabilitas pemerintahan kerajaan. Azimat Kalimasada merupakan sebuah teks yang dapat bertahan lama dan merupakan kalimat syahadat. Oleh karena itu, Yudistira meninggal dalam keadaan Islam. Kalimat “Kalimasada” berasal dari kalimat Syahada yang artinya “yang bersaksi”. Dalam lakon Bima digambarkan seperti shalat. Hal ini disebabkan karena dalam cerita Hindu Bima digambarkan sebagai sosok yang kuat, sedangkan shalat merupakan tiang agama yang artinya tanpa shalat agama dari seseorang runtuh. Sementara itu, Arjuna dilambangkan sebagai puasa, Nakula, dan Sadewa dilambangkan sebagai zakat dan haji. Berdasarkan pelambangan tersebut, Sunan Kalijaga telah menggambarkan masyarakat Jawa mengenai badan manusia dengan wayang. Hal ini dapat diartikan tradisi wayang kulit yang dipertunjukkan dianggap sama seperti kehidupan. Dalam ajaran Islam Nabi Muhammad Saw mengajarkan kepada kita untuk tidak melihat seseorang dari luarnya saja.

Gamelan digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga ketika pertunjukan dan acara lainnya. Dalam pertunjukan wayang, ketukan gamelan sudah digubah Sunan Kalijaga agar iramanya sesuai dengan lakon yang akan dimainkan. Selain digunakan dalam pertunjukan wayang, gamelan digunakan untuk mengundang masyarakat agar datang ke masjid. Gamelan juga digunakan saat acara Grebeg dan Sekaten yang bertujuan untuk mengundang banyak perhatian dari masyarakat.

Selain menggunakan wayang dan gamelan, Sunan Kalijaga dalam berdakwah juga menggunakan tembang-tembang yang merupakan kebudayaan dan kesenian dari masyarakat Jawa. Tembang-tembang yang digubah oleh Sunan Kalijaga seperti tembang Rumekso Ing Wengi dan tembang Ilir-ilir. Dalam tembang Rumekso Ing Wengi ini melambangkan doa saat malam hari setelah melaksanakan shalat tahajud. Doa yang dipanjatkan bertujuan meminta agar senantiasa dihindarkan dari gangguan negatif, serta dalam gaya bahasa sesuai dengan pikiran masyarakat Jawa. Hal yang disampaikan dalam tembang Rumekso Ing Wengi dapat menusuk hati pembacanya. Tembang ini disusun Sunan Kalijaga dikarenakan masyarakat Jawa masih kesulitan dalam menghafal dan melafalkan doa berbahasa Arab. Selain tembang Rumekso Ing Wengi, terdapat juga tembang Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul yang menggambarkan keagungan ajaran Islam dan mengandung nasihat-nasihat kehidupan.

Grebeg berasal dari kata gumrebeg yang artinya “riuh” atau “rame”, jika dipahami menjadi “keramaian” dan berujung perayaan. Hal ini sering dijumpai saat acara grebeg terdapat konvoi barisan prajurit yang membawa gunungan disertai dengan iringan gamelan. Sekaten berasal dari kata sekati yang artinya “nama dua alat gamelan”. Sekaten merupakan bagian dari serangkaian acara grebeg yang merupakan gagasan Walisongo dalam menggabungkan kebudayaan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam. Hal ini dikarenakan grebeg dan sekaten merupakan kebudayaan yang sudah ada sejak kerajaan Hindu Budha.

Ide untuk menggabungkan kebudayaan grebeg dan sekaten dengan ajaran Islam muncul saat Sunan Kalijaga mencoba menarik masyarakat datang ke masjid dan bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Sunan Kalijaga memiliki inisiatif untuk menggabungkan unsur kebudayaan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Jawa. Lalu menggunakan gamelan dan tari-tarian di lingkungan kraton untuk meramaikan pelaksanaan Grebeg Maulid. Seperangkat gamelan diletakkan dihalaman masjid untuk ditabuh agar menarik perhatian masyarakat. Komplek masjid dihiasi dengan pernak-pernik menarik yang mengundang masyarakat datang ke komplek masjid Demak. Awalnya masyarakat maerasa malu untuk datang, perlahan-lahan mulai berdatangan dengan melewati gapura dan dituntun untuk mengucapkan kalimat syahadat. Selanjutnya masyarakat akan diajarkan dan dituntun cara berwudhu dengan baik. Selain Grebeg Maulid, terdapat juga Grebeg Syawal yang diselenggarakan saat hari raya Idul Fitri dan Grebeg Besar saat hari raya Idul Adha. Saat perayaan Grebeg dan Sekaten juga terdapat Gunungan. Gunungan ini dimaknai sebagai lambang kemakmuran dan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan. Gunungan ini akan dibagikan kepada masyarakat. Penggunaan Grebeg dan Sekaten sebagai media dakwah Islam ini menuai sukses besar dan masyarakat ikut menyukainya.

Penulis: Beka Rafiq Ardiansyah

Editor: Rahmat Alwi

Referensi:

Hatmansyah. 2015. Strategi dan Metode Dakwah Walisongo. Jurnal “Al-Himar”. Vol. 03, No. 05.Januari-Juni. Hlm 10-  13

Solikin, Syaiful M., dan Wakidi. Tanpa Tahun. Metode Dakwah Sunan Kalijaga Dalam Proses Islamisasi    Di Jawa.FKIP Unila. Hlm 5-6

Agus Sunyoto. 2017. Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN, Tangerang Selatan. Cetakan V, Maret. Hlm 267-268

Supriyanto. 2009. Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga. Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol. 3, No. 1. Januari-Juni. Hlm3-4

Iswara. N. Raditya. 2018. Grebeg Maulid dan Cara Syiar Islam Para Wali. 20 November. Diakses dari https://tirto.id/grebeg-maulud-dan-cara-syiar-islam-para-wali-daix pada Selasa 22 Desember 2020