Sola Gratia artinya orang dibenarkan karena

(Download Ringkasan)

Minggu lalu Pak Billy sudah mulai dengan tema “Ecclesia Reformata, Semper Reformanda Est”, dan sekarang kita mulai dengan 5 sola. Hari ini kita membahas “Sola Gratia”, selanjutnya “Sola Fide”, “Sola Scriptura”, “Solus Christus”, “Soli Deo Gloria”, lalu terakhir akan membahas tema “Tantangan Ke Depan Reformasi”.

Pertama-tama kita perlu membedakan antara sola gratia dengan sola fide, karena seringkali pengertian kita akan kedua istilah ini agak rancu. Ketika kita mempelajari statement mengenai keselamatan, dikatakan bahwa kita diselamatkan by grace alone (sola gratia), through faith alone (sola fide). Kita diselamatkan semata-mata hanya karena anugerah (sola gratia), tapi melalui semata-mata iman (sola fide); di sini kita kadang-kadang jadi bingung apakah keduanya ini satu hal yang sama atau bagaimana.

Memang kedua hal ini tentang keselamatan, tapi ada bedanya. Sola fide berbicara tentang ‘bagaimana/ melalui apa’ kita diselamatkan, dan di sini kontras/ perdebatannya adalah antara ‘iman’ versus ‘perbuatan manusia’. Sola gratia berbicara mengenai ‘dari mana’ keselamatan itu datang, dari Allah semata-mata atau juga ada pekerjaan manusia, sehingga kontras/ perdebatannya adalah mengenai ‘monergisme’ versus ‘sinergisme’, bukan mengenai iman atau perbuatan. Monergisme dari kata mono/ satu (satu sumber) yang berarti hanya oleh anugerah Allah; sedangkan sinergisme berarti ada kerja sama/ sinergi, Allah dan manusia sama-sama bekerja bagi keselamatan manusia, ada andil Allah dan ada andil manusia, tidak sepenuhnya oleh Allah saja.

Satu hal lagi tentang sola gratia dan sola fide, yaitu bahwa sola gratia inilah yang biasa disebut-sebut sebagai perbedaan antara Calvinisme dengan Armenianisme. Posisi Armenius tidak ada masalah dengan “sola fide”, mereka tidak menyangkal bahwa kita dibenarkan oleh karena iman dan bukan oleh perbuatan manusia, tapi yang membedakan Armenian dengan Calvinis adalah apakah ini dari Allah semata-mata atau melibatkan pekerjaan manusia (soal “sola gratia”). Contohnya dalam pertanyaan “apakah iman merupakan penyebab kelahiran baru atau hasil dari kelahiran baru?”. Di sini sinergisme (posisi Armenian) akan mengatakan “Iman adalah penyebab kelahiran baru”, sedangkan monergisme (posisi Calvin) akan mengatakan “Iman semata-mata hasil kelahiran baru, semuanya adalah pekerjaan dari Allah sendiri”, sehingga pernyataan doktinalnya: “Kita diselamatkan oleh anugerah semata-mata (saved by grace alone), melalui iman (through faith alone)”.

Sola Gratia terutama berbicara mengenai pekerjaan Allah sebelum keselamatan, pekerjaan Allah yang mendatangkan keselamatan, kedaulatan Allah dalam dekrit Allah menyelamatkan manusia, sehingga ujungnya mengenai doktrin pilihan dan predestinasi. Membicarakan kembali doktrin ini –yang mungkin kita sudah tahu, bahkan sudah percaya– perlu, karena kita juga bisa belajar caranya meng-komunikasikan kebenaran ini.

Yang pertama kita akan membahas “Mengapa Doktrin Predestinasi Perlu” (the necessity of predestination). Ada beberapa ayat yang bisa kita lihat dalam hal ini; Yoh 6:44 “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku”. Ini adalah kalimat Tuhan Yesus yang completely categorical, dalam arti Dia mengatakan keseluruhan/ universal, tidak ada satu orang manusia pun yang dapat datang kecuali dia ditarik. Kita bisa melihat kalimat yang sama, yang dikatakan Paulus, di Roma 3:10-11 ‘seperti ada tertulis: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah”.

Mungkin Saudara berpikir ‘masa sih tidak ada seorang pun yang mencari Allah? bukankah banyak orang yang ke kuil, klenteng, dsb., tentunya mereka mencari Allah dong’. Tapi tidak, Saudara. Perhatikan, Paulus tidak mengatakan “tidak ada seorang pun yang mencari kedamaian dari Allah”, Paulus tidak mengatakan “tidak ada seorang pun yang mencari berkat dari Allah”, dia bahkan tidak mengatakan “tidak ada seorang pun yang mencari keselamatan dari Allah”. Sudah pasti banyak manusia yang mencari berkat dari Allah, banyak manusia yang mencari kedamaian dari Allah, banyak manusia yang mencari keselamatan dari Allah, tapi tidak ada seorang pun yang mencari Allah demi Allah itu sendiri. Ini jadi satu basis awal alasannya kita memerlukan predestinasi, yaitu karena manusia tidak ada yang sanggup dan tidak ada yang mau mencari Allah.

Roma 8: 7 ‘Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya’. Melalui ayat ini Paulus mengatakan bahwa manusia perlu predestinasi karena manusia bukan cuma tidak sanggup untuk mencari Allah, tapi manusia tidak mau mencari Allah. Manusia inginnya berseteru dengan Allah. Kita bisa memakai analogi pisang goreng yang dijual tukang makanan dan “pisang goreng” yang terapung-apung di kali (kotoran); kalau Saudara diberi sejuta kesempatan memilih di antara keduanya –yang secara teoritis ‘bisa’ untuk dimakan– Saudara tidak akan mau; masalahnya bukan tidak sanggup tapi tidak mau. Sama seperti kita ada kejijikan akan “pisang goreng” tadi, hati kita juga ada perseteruan (hostile) dengan Allah, hati kita ada semacam kejijikan untuk mengakui kontrol Allah dalam hidup kita. Itu sebabnya perlu predestinasi.

Keberatan-keberatan orang dalam bagian ini misalnya orang mengatakan: “Saya tahu saya tidak sempurna dalam menaati hukum-hukum Allah, tapi tidak berarti saya jijik lho dengan hukum Allah, saya mau mengikuti hukum Allah. Misalnya perintah jangan berbohong, itu saya tahu benar, saya tidak merasa ada kejijikan pada perintah seperti itu, saya tahu berbohong ada konsekuensinya, sedangkan kejujuran menguntungkan”. Tentu saja orang bisa mengatakan demikian, tapi itu satu situasi yang kita tahu bahwa berbohong ada konsekuensi negatifnya sedangkan kalau jujur konsekuensinya positif. Sedangkan waktu situasinya jelas kita tahu kalau berbohong konsekuensinya tidak seberapa, bahkan justru positif, sebaliknya kalau jujur akan mendatangkan kerugian sangat besar, apakah di sini kita bisa secara konsisten mengatakan kita mengingini berbuat jujur? Penaklukan diri atau ketaatan yang sejati baru genuine bukan dalam situasi yang pertama tadi, melainkan justru dalam situasi yang kedua, ketika Saudara tidak setuju dengan yang harus Saudara lakukan, ketika ketaatan melakukan kebenaran justru akan menghancurkan kita. Ada beda antara agreement dengan obedience. Kalau seorang anak remaja mau pergi, lalu papanya mengatakan “Nanti kamu pulang sebelum jam 10, ya”, dan anak itu menjawab “OK, pa, saya mau taat, tapi papa jelaskan kepada saya mengapa harus pulang jam 10; kalau masuk akal bagi saya, saya akan taat”, apakah itu ketaatan? Lalu setelah papanya menjelaskan bahwa angka kriminalitas tertinggi terjadi setelah jam 10, si anak menjawab “Saya janji akan pulang sebelum jam 10”, apakah itu ketaatan? Kita tidak tahu, karena tidak teruji; yang dilakukan anak itu bisa jadi sekedar ‘persetujuan’, saya setuju juga makanya saya taat. Hanya ketika bersikap taat berarti menerima kerugian, kita baru bisa berkata bahwa kita sungguh-sungguh menaklukkan diri di hadapan Tuhan, bahwa Tuhan sungguh adalah Allah dalam hidup kita, karena pilihan kita itu tidak tergantung konsekuensi yang kita lihat melainkan tergantung yang Tuhan mau. Ketaatan sejati adalah ketika kita mengatakan “saya jelas melakukan ini untuk-Mu, Tuhan, karena sudah pasti saya tidak melakukan ini bagi diri saya sendiri”. Berapa banyak kita melakukan ini dalam hidup kita?

Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan “tidak ada yang bisa datang kepada-Ku kecuali Bapa menarik dia”; dan kita tahu Tuhan Yesus lebih mengenal kita daripada kita mengenal diri kita sendiri. Intinya, Saudara tidak bisa mendapatkan keselamatan dengan cara menginginkan keselamatan, karena tidak ada –sama sekali tidak– yang menginginkan itu. Allah harus membuka hatimu, untuk Saudara bisa menginginkannya, dan menerimanya. Satu bukti lagi dalam Kis 16: 14 ‘Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus”. Alkitab sangat jelas dalam urutannya. Kristus tidak mengatakan “kamu datang maka Bapa menarik kamu”, melainkan “Bapa menarik kamu, maka kamu datang”. Itu sebabnya predestinasi harus dan perlu. Menolak predestinasi berarti menaruh diri terlalu tinggi, meng-asumsikan bahwa diri bisa dengan sendirinya menuhankan Tuhan atas diri kita. Kenyataannya, kita tidak sanggup dan kita tidak mau. Jadi doktrin predestinasi kira-kira secara singkat mengatakan “karena kejatuhan manusia, maka diberi seribu kesempatan pun kita akan selalu memilih untuk melawan Allah dan bukan kembali kepada Allah; itu sebabnya perlu Tuhan yang memilih kita, karena kita tidak sanggup memilih Dia”.

Berikutnya kita akan membahas problem-problem (kesulitan-kesulitan) yang dipikirkan orang atas doktrin predestinasi. Waktu kita membahas problem-problem ini, yang saya ingin Saudara lihat adalah: 1) Problem-problem terhadap sola gratia atau predestinasi itu sendiri pun juga problematik. 2) Menolak predestinasi dan sola gratia, ternyata tidak berarti problem-problem ini jadi hilang. Problem yang pertama : Doktrin pilihan/ predestinasi mengatakan bahwa sebelum dunia dijadikan Allah menciptakan manusia, dan Allah tahu mereka akan jatuh, jadi Allah menetapkan sebelum dunia dijadikan –katakanlah seperempat jumlah manusia– diselamatkan; ini problematik karena membuat orang berpikir: “Koq Allah ini sadis sekali, sudah menetapkan nasib orang bakal selamat atau binasa sebelum dunia dijadikan, tidak kasih kesempatan, dsb.” Pertama-tama, Saudara coba lihat bahwa ada problem dari problem ini. Anggaplah kita mengatakan tidak ada predestinasi; sebelum dunia dijadikan Allah menciptakan manusia dan memberinya kehendak bebas terserah mau percaya atau tidak, tapi karena Dia adalah Allah, Dia tentu punya foreknowledge, Dia mahatahu, Dia tahu sampai ke belakang nanti siapa yang akan menerima dan yang tidak menerima –dan Dia juga tidak melakukan apa-apa terhadap orang-orang yang bakal tidak menerima. Di sini Saudara lihat, baik model predestinasi maupun non-predestinasi, dua-duanya sebenarnya punya problem yang sama yaitu: Allah tahu ada yang akan binasa, dan Allah berkehendak menyelamatkan semua, tapi nyatanya Dia tidak menyelamatkan semua. Kalau Saudara menolak predestinasi, tidak berarti lalu problem ini hilang, bukan? Tidak ada yang punya jawaban, ini memang misteri. Tidak ada yang punya jawaban mengapa Allah di satu sisi berkehendak menyelamatkan semua orang, tapi di sisi lain Dia tidak melakukan itu. Kita tidak tahu jawabannya; semua orang juga tidak tahu, bukan cuma orang-orang yang percaya predestinasi yang tidak tahu.

Problem yang kedua terhadap predestinasi, orang biasa mengatakan: “Saya kurang bisa terima kalau Allah menyelamatkan saya dengan melanggar kehendak bebas saya; saya diselamatkan bukan karena saya mau tapi karena Tuhan angkut saya secara paksa”. Saudara perlu melihat problem dari problem tersebut, yaitu begini: di sini taruhannya neraka atau selamat; saya sendiri  terus terang akan mengatakan “kalau saya akan masuk neraka, silakan Tuhan langgar kehendak bebas saya, saya tidak peduli, saya lebih memilih tidak masuk neraka daripada kehendak bebas saya dilanggar”. Kalau Saudara sedang hampir mau mati –taruhannya nyawa– lalu Saudara tetap mengatakan “pokoknya saya harus penya kehendak bebas, tidak peduli binasa atau tidak”, itu tidak masuk akal. Ini yang pertama, bahwa di satu sisi kita bisa mengerti kehendak bebas tidak sedemikian berbobotnya, jadi kalau Allah melanggar kehendak bebas kita harusnya tidak masalah. Tapi di sisi lain, sebenarnya juga bukan demikian yang Alkitab katakan; Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa Allah memilih kita dengan cara melanggar kehendak bebas kita –yang kita bicarakan di atas tadi hanya sekedar permainan logika supaya kita bisa menjelaskan kepada orang lain.

Kita tentu tahu bahwa kita bukan diciptakan sebagai robot. Kita juga tahu bahwa ketaatan atau cinta tidak ada artinya kalau hasil paksaan. Oleh karena itu, Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Allah memilih kita –menetapkan kita untuk selamat– berarti Allah mengangkut kita secara paksa dan melanggar kehendak bebas kita sehingga ada orang-orang yang meronta-ronta waktu dibawa masuk ke gerbang surga. Tidak demikian. Penetapan/ pemilihan bukanlah angkut paksa melainkan seperti Allah membuka mata kita sehingga kita sadar akan kebenaran. Analoginya kira-kira seperti ini: ada orang lari ke arah api yang besar dengan mata tertutup, kita melihatnya lalu berteriak, “Hai!! Itu api! Sebentar lagi lu bakal mati!”; orang tadi lalu mengatakan, “Ah, enggak, gua mau ke pantai, gua bisa merasakan makin dekat pantai karena makin lama makin panas”. Apa yang akan Saudara lakukan? Saudara tentu akan mendatanginya, membuka tutup matanya sehingga dia lihat memang ternyata api, bukan pantai. Gambaran predestinasi dalam Alkitab ada unsur seperti ini; memang tentu tidak sesederhana membuka mata saja, karena analogi yang lain menggambarkan kelahiran baru bukan cuma sekedar buka mata tapi seperti kita yang  sudah tenggelam, mati, dimakan hiu, tulang-tulang kita sudah habis, lalu Tuhan membangkitkan kita. Waktu Dia melahir-barukan kita, itu bukan cuma berarti Dia membawa kita kembali hidup, tapi Dia juga memperbaharui kehendak kita, Dia membuka mata kita sehingga kita bisa berfungsi dengan benar, bisa melihat apa yang sesungguhnya baik dan berkenan kepada Tuhan, serta tepat bagi diri kita juga. Itu sebabnya kita tidak mungkin membaptis atau sidi orang yang sebenarnya cuma dipaksa orangtua, dsb. bukan karena kehendak dirinya sendiri. Kehendak bebas sangat penting dalam teologi Reformed, karena kita percaya waktu Allah memilih kita, Dia bukan memilih dan mengangkut kita secara paksa, melainkan bahwa pemilihan-Nya itu memperbaharui kehendak kita.
Dari dua hal tadi kita bisa melihat bahwa kehendak bebas sebenarnya tidak segitu mutlaknya dalam urusan hidup mati; Saudara akan rela kehendak bebas dilanggar dalam hal keselamatan ini. Yang kedua, Alkitab bahkan tidak se-ekstrim itu; Allah bukan melanggar kehendak bebas kita, melainkan melalui predestinasi Dia memperbaharui kehendak bebas kita, transformasi. Jadi, problem yang biasa di-asosiasikan orang sebagai ‘problem predestinasi’, sebenarnya adalah problem semua orang. Waktu menolak predestinasi, itu tidak berarti orang akan lepas dari problem-problem ini; predestinasi bukan masalahnya.

Keberatan yang berikutnya, orang mengatakan: “Kalau saya percaya predestinasi, saya jadi tidak yakin akan status keselamatan saya karena itu atas dasar pilihan Tuhan, bukan karena saya. Bagaimana saya bisa tahu saya dipilih? Bagaimana saya tahu saya akan senantiasa di dalam pilihan ini?” Pertama-tama, ketika Saudara percaya predestinasi, itu justru akan menghasilkan keyakinan keselamatan yang jauh lebih kuat. Mengapa? Yoh 6:39 “Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman” (konteks bagian ini bicara tentang Yesus adalah Gembala Sejati). Semua yang telah ditarik kepada Kristus secara sungguh-sungguh, akan dijaga sehingga tidak ada yang hilang sampai pada akhirnya. Ini justru lebih meyakinkan kita akan keselamatan, karena kalau Saudara melihatnya dalam kecamata anugerah, tidak ada satu pun yang Saudara lakukan yang membuat Saudara layak di hadapan Tuhan, semuanya purely dari Tuhan. Kalau tidak ada satu hal pun yang Saudara dapat lakukan demi membuat Saudara layak, maka berarti juga tidak ada satu hal pun yang bisa Saudara lakukan yang membuat Saudara jadi tidak layak, karena itu semuanya dari Tuhan. Apakah Saudara mau mengatakan bahwa Saudara lebih kuat atau sama kuat dengan Tuhan? Tentu jelas tidak.

Jadi, waktu kita melihat doktrin predestinasi ini, itu justru membawa kepada keyakinan keselamatan yang lebih besar. Dan menolak predestinasi tidak berarti problem ini hilang; karena kalau Saudara menolak, itu berarti Saudara mengatakan bahwa ada sesuatu dalam diri yang bisa membuat Saudara layak dan Saudara akan sangat ketakutan kehilangan hal tersebut. Contohnya seorang istri bertanya kepada suaminya: “Mengapa kamu sayang sama saya?” Apa jawaban yang tepat? Kalau “karena kamu cantik”, bagaimana kalau sudah tidak cantik? Kalau “karena kamu kaya”, bagaimana kalau sudah tidak kaya? Dst. dst. Kalau jawabannya sesuatu yang ada pada kita, itu justru membuat kita sangat tidak yakin akan keselamatan kita, karena saya bisa yakin sekarang selagi saya masih ada hal ini, tapi bagaimana ke depannya nanti? Jadi jawaban yang paling tepat atas pertanyaan si istri tadi yaitu “karena saya sayang kamu”. Tidak ada yang lebih meyakinkan daripada itu; “bukan karena kamu, tapi karena saya mencintai kamu, saya tidak peduli hari ini kamu cantik lalu nanti tidak cantik, saya mencintaimu”. Itulah predestinasi, karena predestinasi mengatakan: “Sebelum dunia dijadikan, sebelum Aku meletakkan dasar bumi, Aku telah memilihmu”. Itu satu ungkapan cinta, pengikatan cinta yang paling kokoh; Saudara tidak bisa mendapatkan yang lebih kokoh daripada itu, kalau Saudara tetap tidak puas, tidak ada lagi yang lain. Kalau Saudara tetap mau pergi kepada yang lain, problem ini tidak hilang, justru lebih parah. Keselamatan itu selama-lamanya. Justru kalau kita percaya predestinasi, itu membuat kita bisa yakin keselamatan kita sampai selama-lamanya.

Saudara lalu mungkin bertanya, “Kalau keselamatan itu selama-lamanya, mengapa Alkitab penuh sekali dengan peringatan-peringatan supaya kita tidak murtad, tidak berbalik dari Tuhan, setia, bertahan sampai akhir?” Jawabannya sederhana: karena Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa kita tidak bisa murtad, Alkitab mengatakan bahwa Allahmu tidak akan membiarkan engkau murtad. Ini tentang Dia, bukan tentang kita. Jika dibiarkan sendiri, manusia pasti akan murtad, tapi Alkitab memberitahukan bahwa Allah Saudara tidak akan membiarkanmu murtad –“Aku Gembala yang sejati, yang sempurna”– Gembala yang sempurna tidak akan kehilangan domba-Nya satu pun.
Satu analogi yang paling gampang: Seorang anak perempuan umur 5 tahun pergi belanja bersama Saudara, dan Saudara katakan padanya, “Nak, itu ada pintu, dan di luarnya jalan, banyak sekali mobil lewat di jalan itu. Kamu jangan keluar ke jalan, nanti kamu mati. Tetap di sini sama mama.” Lalu Saudara melihat-lihat baju di toko itu, tapi sebagai mama yang baik, mata kiri lihat baju, mata kanan lihat anak. Si anak lalu mulai curious, dia membuka pintu dan mulai melangkah ke jalanan. Apa yang Saudara akan lakukan? Bahkan sebelum dia mendekati pintu, Saudara sudah tarik tangannya! Inilah gambaran keselamatan kita. Bukan bahwa kita tidak bisa pergi ke dalam kebinasaan setelah diselamatkan –oleh sebab itu ada banyak peringatan– tapi bahwa Allah tidak akan membiarkan kita masuk ke jalanan. Jaminannya ada pada Allah. Ini adalah satu keyakinan keselamatan yang jauh lebih meyakinkan. Kalau begitu, mengapa tetap ada peringatan soal murtad, bukankah Dia tinggal tarik kita?? Jawabannya adalah karena Dia mau kita bertumbuh. Keselamatan itu baru tahapan pertama dalam Kekristenan; keselamatan bukan tujuan akhir, ada banyak hal yang datang setelah keselamatan. Allah bukan cuma mau kita selamat, Dia mau kita bertumbuh dewasa, tahu yang baik, tahu yang benar. Itu sebabnya banyak peringatan, karena memang itulah yang Tuhan mau ajarkan kepada kita.

Keberatan berikutnya, orang mengatakan: “Doktrin predestinasi itu membuat orang tidak perlu lagi hidup kudus, tidak perlu lagi melakukan pekerjaan baik”. Bagaimana meresponi keberatan ini? Orang mengatakan, kalau kita memang bisa jatuh tapi Tuhan tidak akan membiarkan kita, jadi mengapa saya harus hidup kudus? saya tahu mama saya bakal tarik saya, jadi saya pergi ke pintu, lalu saya ditarik, nanti saya pergi ke pintu lagi, ditarik lagi, jadi ada pengalaman bersama Tuhan; Paulus ‘kan mengatakan ‘di mana ada banyak dosa, di situ kasih karunia berlimpah’, jadi kalau mau dapat kasih karunia, berbuatlah banyak dosa; apa insentifnya kalau saya hidup kudus?? Menjawab hal seperti ini sederhana; pertama, kalau Saudara bertanya seperti itu, berarti tanda tanya besar apakah Saudara orang yang sungguh-sungguh dipilih oleh Tuhan.

Contohnya, ada laki-laki yang begitu baik pada seorang wanita, melayani, dsb.; tapi kalau kelakuan ini cuma bertahan sampai momen dia mendapatkan wanita tersebut, berarti dari permulaan dia tidak pernah sungguh-sungguh mencintai wanita tadi, dan bahkan dia sedang menggunakan wanita ini untuk mengisi kebutuhan dirinya akan kuasa atas wanita. Jadi, kalau ada orang Kristen mengatakan “OK, saya mendengar tentang predestinasi, saya tahu bahwa saya tidak bisa lagi terhilang, tidak bisa lagi direnggut dari tangan Tuhan, Tuhan sudah pasti saya dapatkan, dan saya kehilangan insentif untuk hidup kudus dan menyenangkan Dia”, itu tandanya kita memang tidak pernah sungguh-sungguh mencintai Dia. Kalau Saudara mengatakan “saya tidak takut lagi penghukuman, saya sekarang bisa hidup seenak jidat saya”, berarti dari awal motif Saudara rasa takut akan hukuman; dan itu sesuatu yang sangat self-centered, tidak melakukan dosa karena takut kena batunya, lalu waktu bisa melakukan dosa tanpa kena batunya, Saudara tidak akan taat. Orang seperti ini, kita bisa menaruh tanda tanya besar akan keselamatannya. Orang yang sungguh-sungguh diselamatkan Tuhan, kehendaknya diperbaharui. Dia akan mencintai Tuhan, tetap menaati Tuhan, meskipun sudah diselamatkan.

Hal yang kedua, justru kalau Saudara tidak percaya predestinasi, Saudara tidak mungkin hidup kudus. Mengapa? Karena syarat untuk hidup kudus adalah kerendahan hati di hadapan Tuhan. Dan ini akarnya adalah predestinasi, anugerah Allah. Kita percaya predestinasi karena lebih sinkron dengan gambaran Injil dalam Alkitab. Injil adalah kita diselamatkan oleh karena anugerah, bukan karena sesuatu yang baik dalam diri kita. Kita bisa mencoba mengertinya dari dialog antara seorang yang tidak percaya predestinasi (si A) dengan orang yang percaya predestinasi (si B): A: “Saya tidak percaya predestinasi.” B: “Kamu sudah pikirkan implikasinya?” A: “Maksudnya bagaimana?” B: “Kamu punya teman baik yang bukan orang Kristen, mengapa kamu bisa selamat dan dia tidak?” A: “Karena saya menerima Tuhan Yesus, dan dia tidak.” B: “OK. Mengapa kamu menerima Tuhan Yesus dan dia tidak?” A: “Karena saya membuka hati terhadap Injil, dia tidak.” B: “Mengapa kamu membuka hati terhadap Injil dan dia tidak?” A: “Karena saya merendahkan diri di hadapan Tuhan, dia tidak.”

B: “Mengapa kamu merendahkan diri dan dia tidak?”

Dialog ini akan berlanjut terus dan ujungnya si B akan mengatakan: “Apakah kamu mau mengatakan bahwa kamu selamat karena ada sesuatu dalan dirimu, yang somehow lebih baik dibandingkan temanmu?” Kalau percakapan ini dilanjutkan nantinya akan sampai pada kesimpulan seperti itu, bahwa ‘saya lebih baik, lebih rendah hati’ atau lebih apapun dibandingkan orang lain yang tidak selamat. Itu berarti dirimu-lah sumber keselamatanmu, Allah tidak melakukan sesuatu yang lebih bagi dirimu dibandingkan bagi orang yang tidak selamat itu. Itu berarti dirimu sendirilah juruselamat atas dirimu, dan bukan Allah.

Predestinasi jelas bukan tanpa problem, tapi satu hal yang pasti bahwa problem ini tidak hilang dengan cara menolak predestinasi. Sebaliknya, justru ketika Saudara percaya predestinasi, ada satu hal yang predestinasi bisa bawakan yang tidak bisa dibawa oleh model lain. Apa? Yaitu: Saudara jadi sadar –kalau Saudara betul-betul orang Kristen– mengapa ada banyak orang yang lebih baik daripada saya, lebih bagus daripada saya, tapi malah saya yang jadi orang Kristen; mengapa ada banyak orang yang jauh lebih bersahaja, lebih bermoral, lebih melakukan perbuatan baik, lebih suka membantu orang miskin, tapi malah saya yang diselamatkan oleh Tuhan?? Kalau Saudara bertanya seperti itu, ini akan membawa kerendahan hati ke dalam hidup Saudara. Kerendahan hati yang tidak akan Saudara dapatkan kalau menolak predestinasi. Kalau Saudara menolak predestinasi, Saudara tidak mungkin rendah hati secara habis-habisan, karena Saudara tahu satu hal ‘saya diselamatkan karena saya punya sesuatu yang lebih baik’. Sebaliknya orang yang percaya predestinasi mengatakan ‘ada banyak orang yang lebih baik dari saya, mengapa saya yang diselamatkan?’

Kita sudah melihat, bahwa jalan agama sangat mudah tergelincir ke dalam superiority complex karena agama adalah kamu melakukan ini, ini, dan ini, maka kamu akan mendapatkan berkat ini, ini, dan ini. Akibatnya, kita lalu mengatakan ‘ini adalah karena saya melakukan ini, ini, dan ini’, sedangkan orang lain yang tidak mendapatkan berkat itu adalah karena dia tidak melakukan ini, ini, dan ini. Dari sini sangat mudah untuk mengatakan “saya lebih hebat, saya lebih baik, saya bisa memandang rendah orang itu”, dan dalam kasus yang ekstrim bahkan bisa mengatakan “saya adalah umat Allah, saya lebih berhak dibandingkan orang tersebut, dia bukan umat Allah, jadi saya boleh saja menyiksa bahkan membunuh dia; saya adalah alat keadilan Tuhan”, dst. Tapi Kekristenan adalah agama yang –harusnya– tidak mungkin jatuh ke dalam ekstrim sedemikian karena kita melihat Alkitab dan percaya predestinasi, ‘bukan karena saya’. Predestinasi justru menghasilkan kerendahan hati yang sejati. Dan itu berarti, tanpa percaya predestinasi, Saudara tidak akan sanggup hidup kudus. Kalau tidak percaya predestinasi, kekudusanmu mungkin hanya kekudusan lahiriah, kekudusan orang-orang Farisi yang Tuhan katakan “kamu seperti kuburan putih di luar, tapi di dalamnya tulang belulang”. Bukan hanya predestinasi tidak bertentangan dengan hidup kudus, predestinasi justru menjadi dasar dari kekudusan yang genuine, bukan kekudusan yang identik dengan sok suci.

Terakhir, mungkin problem yang paling berat dari predestinasi, yaitu pertanyaan “Apa yang terjadi pada mereka yang tidak dipilih?” 

Ada orang-orang yang percaya single predestination, yaitu predestinasi yang hanya berkenaan dengan orang yang diselamatkan; Allah tidak menetapkan orang untuk binasa, Allah hanya menetapkan orang untuk selamat. Sedangkan double predestination adalah Allah menetapkan orang yang selamat dan yang binasa. Dalam hal ini kalau mau konsisten dengan logika, saya rasa tidak bisa lari dari double predestination, karena kalaupun Allah tidak menetapkan orang untuk binasa, Allah toh tahu siapa yang akan binasa dan Allah tidak memberikan apa-apa bagi mereka yang artinya sama saja dengan membinasakan. Di negara Barat hari ini, kalau Saudara tidak menghentikan pembunuhan ketika Saudara sanggup melakukannya, maka Saudara bisa dituntut dengan tuntutan pembunuhan. Kita percaya, tidak melakukan kebenaran sudah berarti melakukan kesalahan. Jadi saya tidak melihat ada celah –setidaknya secara logika– untuk  mengatakan single predestination. Calvin sangat kuat dalam double predestination, meskipun ada tempatnya dia hanya membahas salah satu. Saudara perlu membedakan antara doktrin dan kotbah; keduanya bisa berbeda karena doktrin membicarakan gambaran besar sedangkan kotbah biasanya mengangkat satu aspek. Misalnya waktu Calvin mau menghibur orang-orang yang kehilangan saudara seiman, mungkin dia memilih untuk membicarakan aspek predestinasi yang sisi keselamatan dan menolak membicarakan aspek pembinasaan. Oleh sebab itu dalam kotbah-kotbah Calvin, Saudara menemukan seakan dia bicara single predestination, sedangkan dalam Institutio dia bicara double predestination.

Intinya, bagaimana kita melihat hal ini, yang sepertinya ini bertabrakan dengan pengajaran Kristen mengenai anugerah, kasih, dsb.? Jawabannya bukan bahwa Allah ada sisi ini dan sisi itu, melainkan menyatukan keduanya; jikalau konsep penghakiman/ neraka/ kebinasaan adalah sesuatu yang boleh tidak ada, itu justru membuat kita tidak bisa mendapatkan pengertian akan kasih dan anugerah Allah. Dua hal ini connected, saling mendukung; kalau Saudara buang yang satu, Saudara kehilangan dua-duanya. Bagaimana bisa?

Pertama-tama kita harus menyadari bahwa kasih Allah dan murka Allah itu datang dari sumber yang sama, yaitu: kebaikan-Nya (His goodness). Saudara marah kalau melihat kerusakan? Kalau tidak marah, berarti Saudara tidak peduli. Waktu saya kuliah di Melbourne, ada dosen yang mengatakan “kalau kamu tugasnya terlambat, tidak apa-apa, it’s OK, saya tidak akan marah karena saya tidak dibayar cukup banyak untuk marah”. Menarik. Marah itu artinya peduli, cinta, tapi kita tidak melihatnya begitu. Kalau anak narkoba, Saudara tentu marah; apalagi orang berdosa, tentu saja Tuhan marah. Kalau Dia tidak marah, tidak ada penghakiman, tidak ada penghukuman atas dosa, itu berarti Dia adalah Allah yang tidak peduli. Itu sebabnya Tuhan Yesus sendiri –yang kita tahu sudah pasti Dia adalah Orang yang paling mangasihi, di atas kayu salib pun Dia masih mengampuni — juga mengajarkan mengenai neraka paling banyak dibandingkan seluruh penulis lainnya dalam Alkitab digabung. Gambaran neraka yang kita hari ini belajar, neraka sebagai gehena, api yang tidak berhenti itu, neraka sebagai kegelapan yang paling gelap, hampir seluruhnya dari Tuhan Yesus, bukan dari para nabi. Kalau Saudara tidak mengerti neraka atau penghakiman, Saudara juga tidak akan mengerti kasih Kristus di atas kayu salib.
Bagaimana Saudara mengerti kasih Kristus? Bagaimana Saudara bisa percaya Tuhan Yesus mengasihi Saudara? Saudara mungkin mengatakan “Dia rela melepaskan segala sesuatu bagi saya”, itu bukti kasih Kristus. Tapi lain sekali kalau dikatakan “Dia telah melepaskan segala sesuatu bagi saya”. Itu dua kalimat yang berbeda. Kalau Saudara pacaran lalu ditanya “Apa kamu yakin dia suami yang tepat?”, lalu Saudara menjawab “saya yakin karena dia rela melepaskan segala sesuatu bagi saya”, itu akan lain sekali dibandingkan kalau dia telah melepaskan segala sesuatu bagi Saudara. Ada tindakannya. Apa tindakan Tuhan Yesus melepaskan segala sesuatu? Apa harga yang telah Dia bayar? Yaitu Dia masuk neraka, Dia turun ke dalam kerajaan maut, Dia terputus dari Allah Bapa. Penghakiman-lah yang Dia alami di atas kayu salib. Kalau kita mau mengecilkan realita neraka/ penghakiman/ kebinasaan, itu berarti juga mengecilkan realita dari kasih Kristus. Kalau Saudara mengatakan tidak ada neraka/ penghakiman/ kebinasaan atas orang-orang yang tidak menerima Dia, dari mana Saudara tahu bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihimu dan bukan omong doang?

Itulah yang Dia alami bagi engkau. Ia mengalami maut. Ia mengalami ke-terputusan dari Allah. Ia mengalami terhakimi oleh seluruh dosa manusia. Ia mengalami neraka, maka neraka itu riil. Jikalau neraka itu tidak riil, maka kasih Tuhan juga tidak riil. Pertanyaannya bukan “mengapa Allah mengizinkan ada neraka”, melainkan sesungguhnya “mengapa Allah rela menerima neraka bagi aku?”

Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)

Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading