Siapakah ahli matematika yang terkenal pada masa khalifah al mu Tashim?

Siapakah ahli matematika yang terkenal pada masa khalifah al mu Tashim?

Al-Muktashim Billah, dengan nama lengkap Abu Ishaq Muhammad bin Harun Ar-Rasyid bin Muhammad Al-Mahdi bin Abdullah Al-Manshur bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas

Ia dilahirkan di Zibatrah, sebuah daerah di Suriah (ada yang mengatakan dia lahir di Istana Khuldi, Baghdad) pada Tahun 180 H (ada yang mengatakan di Tahun bulan Sya'ban 178 H) atau bertepatan pada Bulan Oktober 796 Masehi dari rahim seorang ibu yang bernama Maridah binti Shabib, bekas budak yang berasal dari Kufah.

Ketika menginjak usia dewasa, sosok Al-Mu'tashim bernama asli Muhammad bin Harun Ar-Rasyid, dan biasanya dipanggil Abu Ishaq

Imam Thabari menggambarkan orang ini dengan ciri-ciri berkulit putih, berjanggut hitam dengan ujung rambutnya berwarna kemerahan, seakan berbentuk persegi, dan bergaris merah, sedangkan pandangan matanya yang bagus. Selain itu, dia juga punya sifat relatif santai,  baik hati, menyenangkan, dan dermawan.  

Baca Juga :

Di Tahun 186 H, ayahanda, Khalifah Harun Ar-Rasyid membagi-bagikan jatah kekuasaan kepada ketiga putra pilihannya, yaitu Muhammad Al-Amin, Abdullah Al-Ma'mun, dan Qasim Al-Muktaman. 

Sedangkan, Muhammad Abu Ishaq tidak masuk dalam perhitungannya karena dia buta huruf, tetapi takdir berkata lain. Allah Ta'ala mengaruniakan khalifah kepadanya, begitu juga anak keturunannya.  

Imam Suyuthi meriwayatkan, Al-Mu'tashim sendiri dikenal sebagai lelaki yang kuat dan pemberani, berkemauan keras, tetapi tidak berilmu (karena tidak pandai membaca). 

Dikisahkan oleh Ash-Shuli, Al-Mu'tashim belajar membaca dari seorang pelayan, sayangnya orang itu wafat. Mengetahui kematian pengajarnya itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid berkata pada anaknya :

"Kini, pelayan yang mengajarimu sudah meninggal" 

Al-Mu'tashim kecil hanya mengiyakan ucapan ayahandanya. Kemudian, ayahanda Harun Ar-Rasyid berkata lagi : 

“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak pintar baca tulis tidak akan bisa mencapai kedudukan yang akan dicapainya. Maka, biarkanlah jangan ajari dia !”

Semenjak itu, dia tidak pandai membaca. Andaikan dia bisa membaca, kemampuannya dalam membaca sangatlah lemah. 

Kehebatan Pribadi Abu Ishak Muhammad Al-Mu'tashim Billah

Adz-Dzahabi menuturkan, bahwa Al-Mu'tashim adalah sosok khalifah yang paling agung dan kharismatik. Namanya akan semakin harum, jika dia tidak bersinggungan dengan fitnah Al-Qur'an (tentang fatwa kemakhlukan) yang mengakibatkan banyak ulama yang mendapat siksaan.  

Sedangkan, Imam Suyuthi menggambarkan profil Al-Mu'tashim sebagai orang yang banyak melakukan hal-hal baik, kalimatnya begitu fasih, syair-syair yang diucapkan tidak terlalu buruk. Hanya saja, kalau dia marah, dia tidak akan peduli siapa saja yang dibunuh. 

Dia juga orang yang tahan pukul dan mempunya kekuatan fisik yang luar biasa. Konon, dia pernah memegang tangan seseorang dan mematahkannya. Diceritakan oleh Ibnu Abu Dawud, Al-Mu'tashim pernah memintanya untuk menggigit lengan Al-Mu'tashim dengan sekuat tenaga. 

Awalnya ditolak Ibnu Abu Dawud, tetapi Al-Mu'tashim mendesaknya dan menjamin gigitannya tidak akan melukai dirinya. Mendengar hal itu, dia segera coba menggigitnya dan ternyata tangannya memang tidak mempan digigit dengan gigi (saking keras ototnya).   

Sebagaimana yang pernah diceritakan sebelumnya (Baca Juga : Khalifah Abdullah Al-Ma'mun), karir Al-Mu'tashim melonjak tajam di Masa Pemerintahan Al-Makmun. Walaupun dia tidak bisa baca dan tulis, tetapi kemampuan militernya sangat diandalkan. 

Di tengah huru-hara politik yang mengguncang singgasana Khalifah Al-Makmun, dia berhasil memadamkan berbagai pemberontakan dan memukul mundur serangan pasukan Romawi. Dikutip dari ucapan Nafthawaih dan Ash-Shuli, Imam As-Suyuthi pernah meriwayatkan yang berbunyi,

 “Al-Muktasim memiliki kisah hidup yang panjang. Dia disebut Si Serba Delapan, karena dia adalah khalifah Bani Abbas yang ke-8, keturunan Abbas yang ke-8, putra Harun Al-Rasyid yang ke-8, naik tahta pada Tahun 218 H, berkuasa selama 8 tahun 8 bulan dan 8 hari. Dia lahir pada Tahun 178 H, dan wafat pada usia 48 tahun. 
Dia disengat Kala saat berada di benteng ke-8. Dia menaklukkan 8 wilayah, membunuh 8 musuh, meninggalkan 8 anak laki-laki dan 8 anak perempuan, dan meninggal pada 8 hari terakhir bulan Rabiul Awwal."

Perjalanan Karir Politik

Di Tahun 819 Masehi, Abu Ishaq Muhammad memimpin pasukan Abbasiyah menggunakan jasa budak-budak Turki yang terlatih, untuk menekan pemberontakan Kaum Khawarij yang dipimpin oleh Mahdi bin Alwan Al-Haruri. 

Pemberontakan ini meletus di daerah Buzurj Sabur, yang terletak di utara jauh Baghdad. Sejak saat itulah, kekaguman Al-Muktashim pertama kali muncul pada kehebatan dan kesetiaan mereka. Ini sebabnya, dia terus menggunakan jasa budak-budak Turki untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya sampai diangkat sebagai Khalifah. 

Di Tahun 828 Masehi, Abu Ishaq Muhammad ditunjuk oleh Khalifah Al-Makmun sebagai Gubernur Suriah dan Mesir untuk menggantikan posisi Abdullah bin Thahir, yang sudah beralih ke jabatan Gubernur Otonomi Khurasan (Dinasti Thahiriyah). Sedangkan, Abbas bin Al-Makmun ditugaskan sebagai Gubernur Al-Jazirah dan Mosul. 

Di Tahun 830 Masehi, meletusnya pemberontakan di Mesir yang diprakarsai oleh Abdul Fihri, karena diakibatkan tingginya beban pajak yang ditetapkan. Dibantu oleh para tentara Khalifah Al-Makmun, Abu Ishaq Muhammad beserta 4.000 budak Turki lainnya berhasil menghentikan mereka dan para pemimpin pemberontak dieksekusi mati.  

Di Tahun 831 Masehi, Gubernur Abu Ishak Muhammad turut bergabung dan membantu aliansi pasukan Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Al-Makmun sendiri untuk menghadapi penyerangan Byzantium Romawi, yang diisukan beraliansi dengan Kelompok Pemberontak Babak Khurmi (Khurmiyyah). 

Pada akhirnya, peperangan ini dimenangkan oleh Daulah Abbasiyah dan diselesaikan melalui kesepakatan damai. 

Naik Tahta Sebagai Khalifah

Menjelang akhir hayatnya, Khalifah Al-Makmun awalnya berkeinginan agar putranya sendiri, Abbas. Oleh karena itu, dia memerintahkan anak buahnya untuk memanggilnya. Ketika ajalnya semakin mendekat (sekarat), Khalifah mengira dirinya tidak akan bertemu lagi dengan putranya. 

Melihat Al-Mu'tashim satu-satunya kerabat keluarga yang dekat dengannya dan paling diandalkan, tidak ada pilihan lain untuk Khalifah Al-Makmun selain memilih dia sebagai khalifah penerusnya. Akhirnya, dia menulis surat wasiat yang bertuliskan,  

“Dari Abdullah Al-Makmun dan saudaranya, Abu Ishaq, khalifah yang akan menggantikannya sepeninggalnya.”

Surat ini kemudian disebarkan ke segala penjuru negeri untuk mengumumkan pewaris tahta selanjutnya adalah Abu Ishak Muhammad. Sayangnya di hari yang sama, Abbas bin Al-Makmun berhasil tiba dan sempat bertemu ayahnya meski kondisi tubuhnya lelah sekali. Hanya saja, surat keputusannya sudah terlanjur disebar dan diketahui oleh khalayak publik.

Sudah tidak ada waktu lagi untuk mengubahnya. Sepeninggal Al-Makmun wafat, demikianlah Abu Ishaq Muhammad bin Harun Ar-Rasyid naik tahta sebagai khalifah ke-8 Bani Abbasiyah secara sah. Dia resmi dilantik di Tarsus (daerah di Turki, bekas teritorial Byzantium Romawi) pada tanggal 8 Rajab 218 H atau bertepatan pada tanggal 8 Agustus 833 Masehi. 

Ia juga mendapat gelar untuk dirinya dengan julukan Al-Mu'tashim Billah, yang artinya "Dia yang mencari perlindungan kepada Allah." Setelah dilantik, hal pertama yang harus dilakukan adalah menguatkan legitimasi kekuasaannya, dengan cara mengambil bai'at dari keponakannya, Abbas bin Al-Makmun yang masih kecewa atas keputusan ayahnya. 

Pada awalnya, sebagian besar pasukan Abbasiyah enggan untuk membai'atnya. Kebanyakan di antara mereka lebih memihak Abbas bin Al-Makmun dibandingkan Khalifah Al-Mu'tashim sendiri. Melihat situasi ini, Khalifah Al-Mu'tashim memerintahkan Abbas untuk menenangkan para pendukungnya.

Setelah Abbas berhasil menyerahkan bai'atnya dan meyakinkan para pendukungnya, satu persatu prajurit Abbasiyah menyatakan bai'atnya kepada Khalifah Al-Mu'tashim. Sikap Abbas ini menunjukkan bahwa ia menyadari kelemahan atas dirinya, atau bisa jadi karena hanya ingin menghindari perang saudara yang akan membuat situasi politik semakin kacau.  

Jasa dan Kebijakan di Masa Pemerintahan Khalifah Al-Muktashim

Kurang dari sepuluh tahun, masa pemerintahan Khalifah Al-Mu'tashim cenderung bergaya militeristik. Di tengah semaraknya gairah intelektual, Khalifah Al-Mu'tashim Billah justru menjadi khalifah pertama Abbasiyah yang tidak bisa membaca.

Meskipun buta huruf, Khalifah Al-Mu'tashim memiliki jiwa keprajuritan yang sangat melekat di dalam dirinya, sehingga dapat mengangkat marwah Daulah Islam dengan gaya kepemimpinan berjiwa militer, berdisiplin tinggi, dan ahli strategi perang. 

Selain itu, beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Khalifah Al-Mu'tashim disebutkan akan mengubah dan berpengaruh besar terhadap sejarah perjalanan Politik Islam Dinasti Abbasiyah, di antara lain ialah. 

Menurut sejarawan barat, Bosworth dapat menyimpulkan Khalifah Al-Mu'tashim tidaklah lebih baik atau canggih (di bidang intelektual dan pembangunan) dibandingkan dengan saudara tirinya, Al-Makmun. Namun, dia berhasil menjadi seorang komandan militer cakap yang mampu mempertahankan Daulah Islam, secara politik maupun militer. 

1. Kebijakan-Kebijakan Politik dan Pemerintahan

 Di Masa Pemerintahan Khalifah Al-Mu'tashim, terdapat kebijakan-kebijakan penting untuk menguatkan legitimasi kekuasaan. Mengingat posisi Al-Mu'tashim sangatlah berbeda dengan saudara dan ayahnya, Al-Makmun dan Ar-Rasyid yang mendapat dukungan penuh dari kalangan orang Arab-Persia. 

Oleh karena itu, Khalifah lebih memilih condong mengutamakan budak-budak Turki dibandingkan dengan orang-orang Arab-Persia demi menjaga legitimasi posisinya, di antara lain kebijakan-kebijakan itu ialah.

  • Mengisi pos-pos ketentaraan dari orang-orang Mamluk (para budak), terutama dari Turki. 
  • Meneruskan Persidangan Inkuisisi Islam (yang dicetuskan oleh penganut aliran Mu'tazilah) untuk menguji para ulama soal pendapat kemakhlukan Al-Qur'an (Al-Mihna).
  • Mencanangkan Proyek Pembangunan Kota Samarra Berskala Besar
  • Memindahkan Ibukota dari Baghdad ke Samarra, sekaligus sebagai Markas Besar Pelatihan Militer.
  • Pasukan inti Abbasiyah didominasi oleh budak-budak Turki, sedangkan orang Arab-Persia perlahan-lahan disingkirkan demi legitimasi kekuasaannya. 

Di awal masa pemerintahannya, sebagian besar kebijakan-kebijakan di luar kepentingan politiknya meneruskan warisan kebijakan Al-Makmun. Salah satunya tentang fatwa kemakhlukan Al-Qur'an yang dianut oleh aliran Mu'tazilah (Al-Mihna)

Semua orang dipaksa untuk mempercayai pemahaman ini, barang siapa yang menolak atau tidak sepaham denganya, maka akan dijatuhi hukuman berat. Salah satu Pujangga Ulama Fiqh Termasyhur, Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali) juga turut menentang fatwa ini, dan akhirnya dia dijatuhi hukuman cambuk sampai pingsan pada Tahun 220 H. 

Di sisi lain, saking besarnya kepercayaan Al-Mu'tashim kepada budak-budak Turki, hampir sebagian besar di antara mereka dimasukkan ke dalam jabatan-jabatan penting dan strategis, baik di tubuh pemerintahan maupun militer, di antara lain ialah.

  • Mengangkat Fadhl bin Marwan (orang Nasrani alias beragama Non-Muslim pertama kali yang menjabat posisi paling tinggi di tubuh pemerintahan Islam) sebagai Wazir Khalifah, lalu dipecat atas tuduhan korupsi pada Tahun 220 H, dan digantikan oleh Muhammad bin Abdul Malik Az-Zayyat
  • Mengangkat Ashinas sebagai Gubernur Mesir di Tahun 220 H, kemudian diperluas wilayah kekuasaannya mencakup wilayah Al-Jazirah (Suriah dan Irak Utara). 
  • Menunjuk Al-Afshin sebagai Jenderal Perang Abbasiyah di Tahun 220 H, kemudian divonis penjara sampai meninggal dunia atas tuduhan pengkhianatan dan upaya kudeta.
  • Menunjuk Ja'far bin Dinar sebagai Gubernur Yaman, kemudian digantikan oleh Aytakh.

Semenjak itu, hampir semua pos-pos ketentaraan dikuasai penuh oleh orang-orang Turki. Kedudukan mereka memang tidak mengancam kekuasaan Dinasti Abbasiyah. 

Akan tetapi, pelan-pelan mulai berubah menjadi masalah serius di kemudian hari, sebab tidak ada khalifah yang mampu menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang setara dengan Al-Muktashim. 

Sampai akhirnya, para khalifah Abbasiyah keturunan Al-Muktashim menjadi bahan bulan-bulanan oleh para komando militer Turki, sehingga bisa mengendalikan situasi politik sesuka hati mereka. 

2. Kemajuan di Bidang Intelektual dan Kebudayaan   

Walaupun berjiwa militer, Khalifah Al-Mu'tashim punya pandangan utilitarian dalam mengambil kebijakan. Kekuatan intelektualnya memang tidak dapat dibandingkan dengan saudara dan ayahnya, namun dia masih tetap menitikberatkan betapa pentingnya kemajuan ilmu pengetahuan dalam bernegara. 

Ia hanya meneruskan kebijakan-kebijakan Al-Makmun sebagaimana sebelumnya, contohnya menggaet banyak penulis dan cendekiawan untuk melakukan penerjemahan dan penelitian, lalu karya-karyanya disebarluaskan ke segala penjuru negeri Abbasiyah. Kota Baghdad tetap menduduki sebagai pusat pembelajaran paling utama sepanjang masa pemerintahannya.

Ada beberapa cendekiawan dan ilmuwan yang muncul dan terkenal di Masa Pemerintahan Khalifah Al-Mu'tashim, di antaranya adalah.

  • Ahmad bin Abdullah Habasy Al-Hasib Marwazi, seorang astronom, geografer, sekaligus matematikawan asal Khurasan.
  • Al-Jahiz, seorang cendekiawan terkemuka asal Afrika Timur yang menghasilkan karya-karya literatur di bidang Arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, dan teologi keagamaan. 
  • Al-Kindi, ilmuwan filsuf dan matematikawan asal Arab yang melahirkan karya-karya literatur tentang metafisika, etika, logika dan psikologi, hingga ilmu pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi dan optik, juga meliputi topik praktis seperti parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan gempa bumi.
  • Ahmad Al-Farghani, sosok ilmuwan astronom modern asli Arab.
  • Salmawaih bin Bunan, dokter pribadi Khalifah Al-Mu'tashim yang beragama nasrani, sekaligus penerjemah beberapa karya literatur tentang kesehatan. 
  • Ibnu Masawayh, dokter istana yang beragama Nasrani sekaligus penerjemah karya-karya literatur Yunani, teutama tentang bidang medis. 

3. Memadamkan Pemberontakan

Terdapat kurang lebih delapan pemberontakan besar yang terjadi di Masa Pemerintahan Khalifah Al-Mu'tashim. Beberapa pelaku di antaranya adalah buronan kelas kakap dan orang-orang terdekat kepercayaannya yang telah berkhianat, di antara lain ialah. 

# Pemberontakan Para Pengikut Sekte Babak Khurmi di Khurasan (Al-Khurramiyyah)

Gerakan Khurramiyyah yang dibawa oleh Babak Khurmi, dianggap sebagai aliran sesat atau ajaran menyimpang kala itu. Anehnya, antusias masyarakat Azerbaijan begitu luar biasa. Lebih mengejutkan lagi, orang-orang yang berasal dari kota-kota Iran saat ini juga ikut memeluk ajaran Babak Khurmi itu. 

Seperti diceritakan sebelumnya, aliran sesat Babak Khurmi ini pertama kali muncul pada Tahun 211 H. Ajaran menyimpang ini dikenal tidak pernah intoleran kepada agama-agama lain. Mereka tidak pandang bulu untuk melakukan pembunuhan berantai pada kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi di wilayah sekitarnya (Azerbaijan). 

Ketika itu, Abu Ishaq bin Ibrahim yang ditunjuk sebagai Gubernur Al-Jibal, sekaligus orang kepercayaan Al-Makmun yang pernah memimpin persidangan inkuisisi Al-Mihna. Dia diperintah untuk mengeksekusi para pengikutnya. 

Menurut Imam Thabari, kurang lebih 60 ribu sampai 100 ribu orang yang terbunuh tanpa ampun dari pengikut Babak Khurmi. Sisanya, ada yang melarikan diri ke wilayah Byzantium.   

Di Masa Pemerintahan Khalifah Al-Makmun, beberapa kali pertempuran untuk menghancurkan gerakan menyimpang ini nyaris semua gagal. Sampai akhirnya, Panglima Muhammad bin Humaid At-Tusi berhasil memukul mundur para pengikut Babak Khurmi dan mengambil alih pemerintahan Azerbaijan. 

Setelah itu, Panglima Muhammad berfokus untuk menghabisi kekuatan Babak Khurmi. Sedangkan, dia beserta para pengikutnya berlindung di sebuah gunung, sekaligus dijadikan benteng pertahanan. Benteng itu dinamakan Al-Badh, yag berlokasi di wilayah Qaraja Dagh (Arasbaran) di Iran. 

Di benteng itu, Babak Khurmi berhasil menghimpun kekuatan pasukan yang sangat tanggung, sampai-sampai Panglima Muhammad terbunuh ketika akan menyerang benteng tersebut. 

Di sisi lain, Babak Khurmi juga berhasil mengadakan kerja-sama (aliansi) dengan Kekaisaran Byzantium Romawi untuk sama-sama menggempur kekuatan Daulah Abbasiyah. Ketika Al-Mu'tashim naik tahta, dia berhasil mengembangkan kekuatan intelijen (mata-mata) untuk membangun mekanisme penjagaan berlapis. 

Di awal masa pemerintahannya, Khalifah Al-Mu'tashim mengutus pasukan Abbasiyah yang dipimpin oleh Panglima Abu Sa'id Muhammad bin Yusuf untuk menghancurkan basis kekuatan Babak Khurmi di Kota Ardabil. Peperangan ini pun akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbasiyah. 

Singkat cerita, Khalifah Mu'tashim mencoba menggunakan strategi yang berbeda. Kali ini, dia berusaha merangkul keluarga Muhammad bin Al-Baith, keluarga paling berpengaruh di Azerbaijan dan sangat akrab dengan gerombolan Khurramiyyah. 

Tidak ayal, Babak Khurmi mulai mempercayai keluarga ini karena kerap kali memperlakukan baik kepada rombongannya setiap melewati pemukiman keluarga Muhammad. 

Suatu ketika, utusan Babak yang bernama Ismah menghampiri ke rumah Muhammad. Tanpa disadari, dia ternyata dijebak oleh keluarga Muhammad yang sudah bersekongkol dengan pasukan Abbasiyah. Mereka menjadikan anak buah Babak Khurmi mabuk seketika dan diikat sampai mereka siuman.

Setelah sadar, mereka diintegorasi tentang keberadaan Babak Khurmi dan strategi pertahanan benteng Al-Badh. Yang tidak menjawab pertanyaannya, satu persatu di antara mereka dipenggal kepalanya. Akhirnya, orang-orang yang bersedia membocorkannya dibawa ke Samarra untuk dipertemukan kepada Khalifah. 

Lalu, beberapa anak buah Babak yang tersisa masih hidup termasuk Ismah membocorkan perihal Babak Khurmi dan strategi pertahanan bentengnya kepada Khalifah. 

Dirasa informasi yang didapatkan sudah cukup, Khalifah Al-Mu'tashim memerintahkan Ismah dan sisa anak buahnya yang masih hidup dijebloskan ke penjara sampai masa Al-Watsiq diangkat sebagai khalifah. 

Selanjutnya, Khalifah Al-Mu'tashim memerintahkan kepada Al-Afshin, jenderal besar Abbasiyah dari kalangan Turki untuk membasmi kekuatan Babak sampai tuntas. Sesampainya di Kota Ardabil, Panglima Afshin dengan cerdiknya mengeluarkan 4 strategi perang, yaitu :

  1. Memblokade jalur supply barang dan makanan menuju Benteng Al-Badh. 
  2. Memecah sistem komunikasi intelijen Babak Khurmi, dan membujuk rayu mereka dengan pujian tinggi dan hadiah yang sangat banyak.
  3. Mengiming-imingi para intel dan orang-orang yang setia dengan Babak Khurmi dengan tawaran bayaran dua kali lipat dibandingkan yang didapat dari Babak Khurmi supaya mau membelot dari Babak Khurmi.
  4. Menggunakan strategi bahasa isyarat (seperti bendera dan kode mata-mata lainnya) dan telik sandi. 

Dengan sabar dan hati-hati, dia menggembosi pasukan Babak Khurmi tanpa mereka sadari. Pada akhirnya di Tahun 222 H, Panglima Afshin melakukan serangan umum, dan akhirnya pasukan Abbasiyah berhasil menaklukan Benteng Al-Badhdh. Benteng dan bangunan sekitarnya kemudian dihancurkan, diratakan, dan dibakar sampai tidak berbekas sedikitpun. 

Sedangkan, Babak Khurmi dan keluarganya berhasil melarikan diri dari kejaran pasukan Abbasiyah, dan berusaha menembus ke wilayah Byzantium. Ketika keluarga Babak dilanda kehausan dan kelaparan, ada seorang petani yang menolongnya.

Namun, ada seorang teman atau tetangganya yang mengetahui bahwa orang yang ditolongnya adalah buronan nomor wahid Abbasiyah, segera melaporkan ke aparat kepolisian setempat. Singkat cerita, keluarga Babak Khurmi dengan siasat halus berhasil diringkus oleh Panglima Ibnu Sunbat. Lalu, diserahkan kepada Panglima Afshin untuk digelandang menuju ke Samarra.    

Di Tahun 223 H, rombongan Al-Afshin beserta buronan nomor wahid, Babak Khurmi tiba di Kota Samarra. Babak Khurmi segera dimasukkan ke penjara dengan sistem penjagaan maximum security, sedangkan Khalifah Al-Mu'tashim saking penasarannya sempat menyamar untuk menyaksikan sendiri sosok Babak Khurmi secara langsung. 

Keesokan paginya, Babak Khurmi diarak menggunakan kendaraan Gajah supaya seluruh masyarakat bisa melihat jelas wajahnya. Setelah itu, dia dieksekusi mati dengan cara potong tangan-kaki sebelum dipenggal kepalanya. 

Ada sebuah legenda mengisahkan, ketika darah mengucur deras, Babak segera membasuh wajahnya dengan darah yang mengalir dari anggota tubuh yang terputus. Perbuatan ini menandakan sikap pembangkangan sampai akhir (tiada henti) kepada penguasa Abbasiyah. 

Khalifah Al-Muktashim memerintahkan untuk memenggal kepalanya, kemudian dipamerkan ke para pengikut di Khurasan. Sedangkan, tubuhnya disemayamkan di Samarra. Semenjak inilah, perlawanan orang-orang Persia untuk mengobarkan ajaran Zoroaster menurun drastis dan perlahan-lahan menghilang. 

Sedangkan, masyarakat Azerbaijan (bekas pecahan negara Uni Soviet) mempercayai Babak Khurmi sebagai simbol perlawanan dan kemerdekaan terhadap ketidakadilan. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Babak Khorramdin. 

# Pemberontakan Kaum Alawiyyin 

Di Tahun 219 H, meletuslah pemberontakan di Khurasan, yang dipimpin oleh salah satu Tokoh Alawiyyin, yang bernama Muhammad bin Al-Qasim bin Umar bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jargon klasik yang biasanya digaungkan sama seperti sebelumnya, yaitu "atas nama hak keluarga Muhammad."

Pada awalnya, dia tinggal di Madinah. Sepeninggal Al-Makmun, beberapa orang Khurasan mendatangi rumahnya pada musim haji dan memberikan bai'at kepada Muhammad. Ternyata, pembai'atan ini terus berlanjut dan jumlah pendukungnya kian lama semakin bertambah. Sehingga, sebagian besar dari mereka mendesak Muhammad bin Qasim untuk memimpin sebuah gerakan revolusi. 

Ketika itu, Abdullah bin Thahir yang menjabat sebagai Gubernur Otonom Khurasan, mencium gelagat ini. Dalam waktu singkat, pasukan Muhammad bin Qasim berhasil dipatahkan oleh pasukan Abdullah bin Thahir. Kemudian, Muhammad bin Qasim dijebloskan di penjara Baghdad pada Tahun 219 H, dan dia berhasil melarikan diri pada akhir Bulan Ramadhan (Perayaan Idul Fitri). 

# Pemberontakan Kaum Zutt di Bashrah

Di Tahun yang sama (219 H), gangguan keamanan terjadi di Kota Basrah yang didalangi oleh komplotan orang-orang Zutt. Orang-orang ini berasal dari etnis India yang dibawa oleh Kaisar Sasania ketika masih berkuasa di Persia sebelum penaklukan Islam. 

Di Era Kekuasaan Dinasti Umayyah, Gubernur Hajjaj bin Yusuf berkontribusi meningkatkan populasi orang-orang Zutt dan menempatkan mereka di dataran rendah Basrah yang dipenuhi rawa-rawa. Sedangkan di Masa Khalifah Al-Mu'tashim, orang-orang Zutt mulai berbuat ulah dan melakukan gangguan di Basrah, yang di saat itu telah menjadi kota pelabuhan tersibuk dan paling ramai di dunia. 

Kala itu, Imperium Abbasiyah telah menjadi sebuah negara terbesar dan terkuat di dunia akibat keberhasilan Khalifah Al-Makmun, dan menjadikan Kota Basrah berkembang pesat menjadi pasar global raksasa.  

Seiring tingginya tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh orang-orang Zutt, para pejabat Abbasiyah mulai gusar terhadap ulah mereka. Untuk menyelesaikan masalah ini, Khalifah memerintahkan untuk membuah sebuah operasi khusus yang dipimpin oleh Panglima Ujayf bin Anbasah, yang memiliki kemampuan intelijen, petarung, dan berperang dengan baik. 

Setelah operasi khusus ini berjalan selama 9 bulan, akhirnya pemimpin komplotan orang Zutt yang bernama Muhammad bin Utsman berhasil ditangkap pada akhir tahun 219 H, kemudian digelandang ke  Baghdad. 

Sama halnya dengan para pengikut Zutt, mereka juga digelandang ke Baghdad bertepatan pada Hari Asyura (tanggal 10 Muharram 220 H) sebanyak 27.000 orang yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak. 

Akhirnya, Khalifah Al-Mu'tashim memutuskan agar mereka semua dipersenjatai dan dikirimkan ke daerah pertempuran Byzantium Romawi. Sesampainya di sana, mereka dihadang oleh pasukan Romawi dan dibabat habis tanpa tersisa sedikitpun. Tidak ada satupun yang berhasil menyelamatkan diri dari serangan itu. 

# Peperangan Melawan Byzantium Romawi (Penaklukan Ammuriyah)

Di penghujung Tahun 222 H (873 Masehi), Kaisar Theophilus melakukan serangan brutal ke daerah Zibatrah dan Malafyah (kini di Suriah). Imam Thabari menyebutkan, total pasukan Romawi yang dibawa oleh Kaisar waktu itu sekitar 100.000 orang, sedangkan 70.000 di antaranya berasal dari personel pasukan asing (tentara non-Romawi). 

Di kedua wilayah itu, mereka melakukan pembakaran, pembunuhan, dan penyiksaan besar-besar terhadap penduduk setempat. Dikisahkan oleh Imam Thabari, sebagian besar laki-laki yang ditangkap akan ditetesi kedua bola matanya dengan cairan besi panas, sedangkan wanita dan anak-anak, mereka diperbudak, bahkan ada sebagian yang dibakar.

Namun, sebagian dari masyarakat Zibatrah ada yang berhasil meloloskan diri dari kekejaman pasukan Romawi dan berlari menuju ke Samarra. Dia melaporkan langsung tentang apa yang terjadi di kedua wilayah tersebut. Khalifah seketika itu murka, dan segera memerintahkan untuk bersiap-siap menyerang balik pasukan Romawi itu. 

Ketika peralatan perang sudah disiapkan, ada salah satu petinggi Abbasiyah yang berusaha menenangkan Khalifah Al-Mu'tashim terlebih dahulu supaya tidak terburu-buru dan gegabah menghadapi serangan pasukan Romawi, sebab kekuatan kali ini sangatlah besar dibandingkan sebelumnya. 

Sementara, Khalifah dapat meredakan amarahnya. Dia segera berunding dengan seluruh tokoh Abbasiyah di Baghdad dan Samarra untuk membahas penyerangan ke Byzantium Romawi. Sampai akhirnya, rencana itupun matang. 

Kali ini, mereka bersepakat untuk menaklukkan wilayah Ammuriyah (Amorion). Disebutkan, bahwa tempat itulah jantung dan pusat dunia Kristen. Bahkan, ada yang mengatakan tempat itu jauh lebih berharga dibandingkan dari Konstantinopel (kini Istanbul di Turki).

Sebagaimana harus diketahui, daerah Zibatrah merupakan tanah kelahiran Abu Ishak Al-Mu'tashim. Tidak heran, dia marah besar ketika mendengar pembantaian berdarah di tanah kelahirannya oleh pasukan Romawi tersebut. Sedangkan secara kebetulan, daerah Ammuriyah yang akan ditarget sasaran pasukan Abbasiyah merupakan tanah kelahiran Kaisar Theophilus. 

Khalifah segera menyiapkan keperluan dan persenjataan angkatan perangnya secara lengkap dan matang. Singkat cerita, Khalifah Al-Mu'tashim menggandeng komandan pasukan asal Turki terbaiknya, di antaranya Ashinas, Al-Afshin, dan Aytakh untuk bersama-sama menaklukkan Kota Ammuriyah dan sekitarnya. 

Akhirnya, pasukan Abbasiyah berhasil menguasai Kota Damizon, Capadocia, Ancyra yang merupakan pusat perdagangan dan urat nadi kekuatan Byzantium Romawi. Sepertinya, pintu menuju penaklukan Amuriyyah mulai terbuka dengan lebar. 

Strategi Pengepungan Kota Ammuriyah berhasil dikunci. Pada tanggal 6 Ramadhan Tahun 223 H, penyerangan laskar Abbasiyah ke Ammuriyah pun dimulai. Sayangnya, upaya itu tidak membuahkan hasil. Benteng yang satu ini memang paling kuat dan cukup sulit ditembus. 

Imam Thabari menceritakan, ada salah seorang muslim Romawi yang menyembunyikan keimanannya datang menyelinap dan menghampiri pasukan Abbasiyah. Dia membocorkan ada kerusakan atau keretakan lubang pada bagian benteng yang disebabkan oleh bencana alam, sekaligus memberitahu letaknya di bagian mana lobang tersebut. 

Setelah mengetahui letak cacat benteng tersebut, pasukan Abbasiyah secara agresif menyerang bagian benteng tersebut. Mirisnya di saat bersamaan, muncullah sebuah rumor kudeta yang dicanangkan Abbas bin Al-Makmun bersama para komandan pasukan yang mendukungnya. Sedangkan, Khalifah Al-Mu'tashim tengah sibuk menaklukkan benteng Ammuriyah tersebut.  

Demikianlah, setelah 55 hari dikepung, akhirnya Benteng Ammuriyah ini jatuh ke tangan Abbasiyah dan komandan pasukan Romawi yang berjaga di bagian benteng yang rusak itu menyatakan menyerah dan meminta untuk menjamin keselamatan dirinya, keluarga, dan anak buahnya. Peristiwa ini terjadi di akhir Bulan Syawal Tahun 223 H. 

Imam Suyuthi meriwayatkan, Benteng Ammuriyah ini dibumihanguskan tanpa tersisa sedikit pun atas perintah Khalifah. Ada sekitar 3.000 personel pasukan Romawi yang telah tewas dalam pertempuran, sedangkan sekitar 30.000 orang lainnya ditahan sebagai tawanan. 

Disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam Kitab Tarikh Khulafa', penyerangan pasukan Abbasiyah terhadap Kekaisaran Byzantium Romawi menimbulkan kerugian yang amat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan belum pernah dilakukan oleh para khalifah manapun.  

Kemenangan pertempuran ini tergolong cukup fenomenal. Menurut Imam Suyuthi, para peramal mengatakan bahwa pasukan Abbasiyah akan kalah, karena waktu itu adalah tahun perunggu. Justru, kenyataannya ialah sebaliknya. Kekuatan Al-Mu'tashim menunjukkan bahwa dia benar-benar piawai dan ahli dalam berperang. 

Sedangkan, kudeta yang sudah disiapkan Abbas bin Al-Makmun beserta para komandan setianya seketika kehilangan pamor. Para prajurit dan masyarakat Abbasiyah beralih lebih memihak pada Al-Mu'tashim dibandingkan Abbas. 

# Kudeta dan Pengkhianatan Abbas bin Al-Ma'mun

Setelah penaklukan Ammuriyah, Khalifah Al-Mu'tashim tidak mengetahui kalau dia akan menghadapi setumpuk permasalahan politik yang harus dituntaskan. Salah satunya adalah upaya kudeta dan pengkhianatan yang didalangi oleh keponakannya sendiri, Abbas bin Al-Makmun. 

Pada awalnya, sejumlah komandan pasukan Abbasiyah dari golongan Arab-Persia sudah menyatakan setia pada Abbas bin Al-Ma'mun. Di saat Abbas mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah, sayangnya kudeta ini pun tidak kunjung dilakukan diakibatkan keraguan Abbas sendiri padahal rencana ini sudah matang. 

Rencana pengkhianatan ini mulai tercium oleh Khalifah Al-Mu'tashim, setibanya di Samarra. Beberapa orang yang dianggap pendukung Abbas bin Al-Makmun pun segera ditangkap dan diinterogasi habis-habisan oleh Al-Mu'tashim sendiri, dan akhirnya terkumpullah berbagai informasi yang didapat mengenai rencana kudeta yang disusun oleh Abbas. 

Permasalahannya, anak buah Abbas kebanyakan tidak mengetahui secara pasti siapa saja komandan pasukan yang terlibat dengan upaya kudeta ini. Hanya Abbas, satu-satunya orang yang paling mengetahui secara detail tentang siapa saja yang terlibat.

Tidak kehabisan akal, Khalifah Al-Mu'tashim segera merencanakan siasat licik. Di suatu malam, Abbas diundang olehnya untuk menghadiri sebuah perjamuan secara empat mata. Dia disuguhi oleh arak kurma (nabidh'), dan pelan-pelan dipaksa untuk meneguk minuman keras sampai akhirnya dia mabuk. 

Di saat kondisi itulah, Khalifah menanyakan kepada Abbas tentang seluruh rencana kudeta dan orang-orang yang terlibat dengannya. Dengan polos, dia membeberkan semua rahasia rencananya kepada Khalifah Al-Mu'tashim, sedangkan nama-nama itu dicatat olehnya. 

Beberapa saat kemudian,  setelah informasi yang diperlukan sudah cukup, Khalifah memerintahkan untuk menangkap Abbas bin Al-Makmun dan dijebloskan ke penjara. Sama halnya dengan apa yang dialami oleh para komandan pasukan yang terlibat dengannya. 

Selama menjadi tahanan, dia merasa tersiksa sekali. Pada awalnya, dia meminta makanan karena saking kelaparannya dan permintaan itu ditolak. Ia tidak diberi makan sama sekali sampai akhirnya dia meronta-ronta kelaparan, makanan pun diberikan dalam jumlah yang banyak sekali. 

Setelah itu, dia meminta air untuk melegakan kerongkongannya, namun permintaan kali ini ditolak juga mentah-mentah. Tidak tahan mendengar suara Abbas yang meronta-ronta, para prajurit membekapnya dengan selimut sampai dia meninggal dunia. 

Adapun untuk para komandan pasukan, ternyata kebanyakan berasal dari golongan pasukan Abna (Baghdad), yang dulunya merupakan pasukan inti Abbasiyah dan paling dipercaya oleh Khalifah Al-Ma'mun berada di bawah kendali Abbas. 

Namun dikarenakan posisinya digeser dan digantikan oleh jasa budak tentara Turki. Hal inilah yang menyebabkan kecemburuan akibat keputusan Khalifah Al-Mu'tashim, sehingga mereka berusaha mendorong Abbas untuk melakukan pembelotan dan kudeta kepada Khalifah. 

Akhirnya, nasib para komandan pasukan Abna' itu dihabisi di tangan Khalifah. Sehingga tidak tersisa lagi pasukan Abbasiyah selain diiisi oleh orang-orang Turki. Tidak cukup membunuh Abbas bin Al-Makmun dan para komadan yang mendukungnya, Khalifah juga memerintahkan untuk menghabisi juga seluruh saudara laki-laki Abbas supaya tidak ada upaya balas dendam di kemudian hari.

Semenjak itulah, pasukan inti Abbasiyah yang dibangun oleh para khalifah terdahulu tamat seketika, bersamaan juga dengan kekuatan keluarga Bani Abbas mengisi tampuk pemerintahan semakin luntur. Yang ada hanya tersisa Khalifah Al-Mu'tashim yang tidak pandai membaca, sedangkan pasukan budak Turki kesayangannya yang kian perkasa. 

# Pemberontakan Mazyar bin Qarin

Pemberontakan ini berawal dari kisah permusuhan Mazyar bin Qarin, penguasa Tabaristan dengan Abdullah bin Thahir (Gubernur Khurasan). Imam Thabari menceritakan, Mazyar bin Qarin tengah menyetor pajak kepada Khalifah Al-Mu'tashim di Istana Samarra.

Sayangnya, pajaknya itu justru diserahkan kembali kepada Abdullah bin Thahir sebagai bentuk kas daerah untuk mengelola keperluan pemerintahan seluruh Khurasan. Alhasil, Mazyar merasa kecewa atas sikap khalifah ini.  

Di sisi lain, Panglima Al-Afshin mendengar isu Khalifah ingin mencopot kedudukan Abdullah bin Thahir dari Gubernur Khurasan tetapi karena sesuatu yang lain, rencana itu tidak pernah dituntaskan. Afshin yang merasa dirinya punya prestasi tinggi atas keberhasilan memadamkan pemberontakan Babak Khurmi, mulai memberanikan diri untuk mengajukan pada Khalifah untuk menduduki posisi strategis tersebut.   

Tidak disangka, permintaannya pun ditolak mentah-mentah dan malah ditugaskan sebagai Gubernur Azerbaijan dan Armenia, notabenenya jauh dari tanah kelahirannya, Turkistan atau Transoxiana. Panglima Afshin pun kecewa pada keputusan Khalifah tersebut. 

Mengetahui ketegangan pihak Mazyar bin Qarin dengan Abdullah bin Thahir semakin runcing, kesempatan itu diambil oleh Panglima Afshin. Akhirnya, dia menyurati kepada Mazyar yang berisi :

“(Sekarang) tidak ada lagi tokoh yang masih berkomitmen menyebarkan agama Zoroaster selain kau dan aku. Babak (Khurmi) sempat mencoba melakukannya, tapi dia gagal karena kebodohannya sendiri. Dia tidak mau bertindak sebagaimana arahan ku. Kini ada kesempatan emas untuk menunjukkannya kembali. Yang kau perlu lakukan hanya bangkit melakukan revolusi. Mereka tidak punya pilihan lain, selain mengirim ku untuk menghadapi mu. Aku akan berkonspirasi dengan mu, dan segera menggabungkan kekuatan kita. Sehingga yang tersisa (dari kekuatan Abbasiyah) kini tinggalah pasukan dari Maghribah (orang-orang barat), Arab dan Khurasan yang akan menghadapi kita. Maghribah jumlahnya sangat sedikit. Kekuatan mereka cukup ditangani oleh divisi menengah saja dari pasukan kita. Adapun pasukan Arab, cukup pancing mereka, lalu jatuhi kepala mereka dengan batu. Sedangkan pasukan Khurasan, antusiasme mereka tak ubahnya seperti susu yang mendidih, sebentar naik, tapi tak lama kemudian langsung surut kembali.

Dengan sedikit upaya saja, mereka semua bisa cepat kita atasi. Jika sekarang kau bersiap, maka agama (Zoroaster) yang pernah berkibar selama era raja-raja non-Arab, akan melihat kebangkitannya kembali.”

Mendapati surat tersebut, semangat Mazyar bin Qarin semakin berkobar-kobar. Dia pun berencana untuk menggulingkan kekuasaan Abdullah bin Thahir dari kursi Gubernur Khurasan. Akhirnya, dia mematok pajak yang tinggi untuk rakyat Tabaristan dan kota-kota sekitarnya yang ada di Khurasan, guna mempersiapkan keperluan untuk melancarkan pemberontakan nanti.

Hal itu tentu menuai protes besar-besaran dari masyarakat setempat, sehingga menimbulkan kerusuhan di mana-mana. Kedok runtutan kerusuhan ini mulai dicium oleh Abdullah bin Thahir, kemudian dia memerintahkan pamannya, Hasan bin Husein (adik Thahir bin Husein) untuk memadamkan gerakan pemberontakan Mazyar. 

Sayangnya, kekuatan kedua belah pihak tidak bisa mumpuni menghadapi kerusuhan ini akibat isu kenaikan pajak berasal dari kebijakan Khalifah dan Abdullah bin Thahir. Pada awalnya, Afshin mengira bahwa dia-lah yang akan diperintah menyelesaikan pemberontakan ini.

Tetapi, Khalifah ternyata mengirimkan pasukan Samarra untuk membantu pasukan Husein bin Hasan, sedangkan Al-Afshin dilarang ikut bertempur. Singkat cerita, pemberontakan berhasil dihentikan dan situasi daerah sekitar kembali pulih. Bersamaan pula, konflik keluarga Mazyar bin Qarin dengan keluarga Abdullah bin Thahir selama bertahun-tahun dinyatakan berakhir.  

Tidak butuh waktu lama, Mazyar bin Qarin berhasil diringkus dan dijebloskan ke penjara Samarra. Di sisi lain, Panglima Hasan bin Husein merasa terkejut atas temuan surat Afshin dengan Mazyar yang berisi persekongkolan busuk mereka. 

Surat ini segera dilaporkan ke Gubernur Abdullah bin Thahir, kemudian dia memerintahkan untuk menyerahkan urusan ini sepenuhnya kepada Khalifah. Dengan hati-hati dan rahasia, surat ini berhasil disampaikan langsung kepada Khalifah. Berawal dari inilah, detik-detik kejatuhan Al-Afshin mulai terjadi atas persekongkolan busuknya berupaya meruntuhkan Dinasti Abbasiyah.

# Kudeta dan Pengkhianatan Al-Afshin

Setelah pengkhianatan Abbas bin Al-Makmun, selanjutnya Khalifah Al-Makmun harus menerima kenyataan pahit atas pengkhianatan jenderal kepercayaannya, Al-Afshin yang sering dibangga-banggakan. Isu pengkhianatan ini mulai tercium pada Tahun 224 H. 

Diceritakan, Al-Afshin sebenarnya adalah seorang pangeran dari Kerajaan Ashrosna. Wilayah kerajaannya dulunya berada di daerah Turkistan atau Transoxiana dan sekitarnya (mencakup  Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, dan Kyrgistan). 

Di balik kisahnya, Al-Afshin telah berhasil meraup kekayaan, popularitas, dan kepercayaan besar dari Khalifah Al-Mu'tashim. Dengan kesempatan ini, dia berusaha mencari cara untuk mendirikan kembali Kerajaan Ashrosna untuk menaikkan derajat keluarganya kembali.  

Di Masa Pertempuran melawan Babak Khurmi, Khalifah kerap kali memberikan dana, logistik, dan persenjataan yang banyak dengan harapan mereka berhasil menaklukkan buronan Abbasiyah nomor wahid itu. Ternyata, Afshin sempat menyisihkan sebagian pemberian khalifah untuk terus diberikan kepada rakyat Ashrosna.

Penyelundupan barang-barang ini sudah dilakukan berkali-kali, sampai ketahuan oleh anak buah Gubernur Abdullah bin Thahir (Khurasan). Tindakan ini segera dilaporkan ke Gubernur Khurasan, sejak itulah dia mulai curiga terhadap gerak-gerik Al-Afshin. 

Berlanjut lagi, dia berusaha membujuk Khalifah dan mengingatkan kembali akan posisi Gubernur Khurasan agar Abdullah bin Thahir secepatnya dicopot dan diserahkan kepadanya. Alhasil, permintaannya ditolak mentah-mentah dan diperintah untuk menjabat Gubernur Azerbaijan dan Armenia yang letaknya jauh sekali dari kampung halamannya, Ashrosna. 

Afshin merasa sakit hati atas penolakan tersebut, tetapi perasaan itu berusaha diredam demi menjaga kepercayaan Khalifah. Di awal Tahun 224 H, Al-Afshin sudah melihat momentum para komandan pasukan dari Arab sudah kehilangan posisinya akibat rencana kudeta Abbas bin Al-Makmun. 

Bersamaan pula, ketegangan yang terjadi di antara keluarga besar Mazyar dengan Abdullah bin Thahir berusaha diperalat oleh Al-Afshin untuk menyingkirkan musuh potensialnya, Abdullah bin Thahir demi bisa merebut jabatan Gubernur Khurasan jatuh ke tangannya. 

Sebagaimana diceritakan sebelumnya, pemberontakan yang dilancarkan Mazyar bin Qarin gagal total dan surat persekongkolan mereka berdua (Mazyar dan Afshin) pun akhirnya mulai terkuak. Khalifah Al-Mu'tashim yang sudah membaca isi surat tersebut mendadak dicekam kebingungan. Ia hampir tidak percaya orang kepercayaannya telah mengkhianatinya. 

Ia juga mengetahui Al-Afshin bukanlah orang sembarangan, dia seorang ksatria paling hebat dan terkenal seantero Daulah Abbasiyah. Dia juga ahli dalam bertempur, cakap dalam mengatur pasukan, dan menyusun strategi perang, terutama taktik telik sandi dan gerilya yang pernah dilakukan. 

Surat itupun akhirnya disimpan sendiri oleh Khalifah di penghujung akhir Tahun 224 H. Kegagalan Mazyar bin Qarin dalam melancarkan pemberontakan menjadi lonceng awal kematian bagi diri Al-Afshin. Sedangkan, Khalifah Al-Mu'tashim menyadari bahwa tidak mudah menyeret Al-Afshin ke meja pengadilan. 

Di awal Tahun 225 H, Khalifah mengatur siasat untuk menjebak Al-Afshin, dengan menggantikan orang-orang sekitar Al-Afshin dengan orang-orang kepercayaan Khalifah. Sehingga, semakin kecil kemungkinan bagi Al-Afshin untuk melarikan diri. 

Di sisi lain, Al-Afshin untuk meraup simpati kembali dari Sang Khalifah, dia telah menikahkan Hasan bin Afshin dengan Utrujah binti Ashinas, putri jenderal Turki kepercayaan Khalifah. Menurut Imam Thabari, pesta pernikahaan diselenggarakan besar-besaran dan dihadiri oleh kelompok-kelompok elite Abbasiyah di Samarra. 

Setelah itu, Al-Afshin bermukim di istana Samarra. Sepertinya, niat untuk meraih simpati Khalifah gagal kembali karena sikap Al-Mu'tashim sudah banyak berubah. Sejak itulah, Al-Afshin tidak ada pilihan lain untuk membunuh Khalifah Al-Muktashim dan para komandan Turki kepercayaannya itu. 

Singkat cerita, rencana pembunuhan Al-Afshin terhadap khalifah dan para komandan Turki ketahuan oleh salah satu penjaga yang masih setia pada Al-Mu'tashim, yang bernama Wijan. 

Dia cepat-cepat segera melaporkan kabar tersebut pada Khalifah, dia juga menceritakan bahwa dia akan meracuni semua makanan perjamuan itu dan akan melarikan diri menuju kampung halamannya, Ashrosna. Setelah itu, dia berencana menggalang kekuatan rakyat Asia Tengah, lalu menggempur habis-habisan Dinasti Abbasiyah. 

Mendengar laporan itu, Khalifah Al-Mu'tashim merasa sudah saatnya untuk menjebloskan Al-Afshin ke penjara dan dijatuhi hukuman berat. Kesaksian ini akan meyakinkan para komandan Turki dan anak buahnya untuk tidak sudi bersedia membelanya atas dalih apapun.  

Di pagi harinya, Khalifah segera memanggil Al-Afshin untuk datang menghadapnya. Al-Afshin segera memenuhi panggilan tersebut dengan memakai pakaian serba hitam, simbolik khas Abbasiyah. Seketika itu juga, dia langsung diseret dan dijebloskan ke penjara. 

Di hari yang sama, Khalifah memerintahkan Gubernur Abdullah bin Thahir untuk menangkap putra pengkhianat, Hasan bin Al-Afshin untuk datang ke Samarra. Di saat itu, dia memegang jabatan Gubernur Mawaraunnahr (Transoxiana/Asia Tengah) dan sedang berseteru dengan Penguasa Bukhara, yang bernama Nuh bin Asad. 

Singkat cerita, Hasan dapat diringkus setelah diimingi-imingi tawaran akan diserahkan wilayah Bukhara ke dalam kekuasaannya. Akhirnya, dia digelandang ke Samarra dan persidangan Al-Afshin pun dapat digelar. 

Di pertengahan Tahun 225 H, persidangan Al-Afshin segera dimulai. Hakim pada waktu itu bernama Ahmad bin Abi Duwad, sedangkan Penuntut Umum diwakili oleh Perdana Menteri Khalifah waktu itu, Muhammad bin Abdul Malik Az-Zayyat. 

Di persidangan itu, dihadiri pula oleh Ishaq bin Ibrahim bin Mus'ab yang bertugas sebagai hakim pengadilan inkuisisi para ulama tentang fatwa kemakhlukan Al-Qur'an (Al-Mihnah). Sisanya disaksikan oleh keluarga Bani Abbas, yang dominasi di antara mereka adalah keturunan Abu Ja'far Al-Manshur. 

Mereka tiada henti-hentinya menghujat dan memprovokasi Khalifah untuk menghukumi Al-Afshin dengan hukuman berat. Meskipun begitu, Khalifah berusaha tetap menjaga alur prosesi persidangan berlangsung dengan adil dan mulus. 

Satu persatu bukti diajukan, para saksi juga memberikan kesaksian. Hebatnya, Al-Afshin berhasil berkelit argumen dengan berbagai alasan. Para penuntut pun juga berusaha keras membeberkan banyak fakta yang mengungkapkan siapa diri Al-Afshin sebenarnya dengan segala niat busuknya. 

Persidangan itu terus berlanjut dalam waktu yang cukup lama, sampai akhirnya Khalifah mendatangkan Mazyar bin Qarin sebagai saksi kuncinya. 

Sejak itulah, kesaksian Mazyar bin Qarin dan bukti surat persekongkolan mereka berdua memojokkan posisi Al-Afshin. Akhirnya, dia mengakui kesalahannya yang dia perbuat pada Khalifah dan selayaknya dijatuhi hukuman. 

Setelah itu, Hakim Ahmad bin Abi Duwad kemudian memutuskan untuk menjebloskan Al-Afshin ke penjara. Dia divonis dengan hukuman cambuk sebanyak 400 kali di hadapan publik pada Tahun 226 H. Hukuman itu berlaku juga bagi Mazyar bin Qarin. 

Ketika dijatuhi hukuman, Mazyar saking tidak kuat menahan pedih dan sakit cambukan tersebut, akhirnya meninggal dunia di tempat, sedangkan Al-Afshin mampu menahan sakitnya cambukan sampai lebih 400 kali. Setelah itu, dia dijebloskan ke penjara khusus kelas kakap yang bernama Al-Jawsaq. 

Ruangan penjara yang dimasuki Al-Afshin bernama Al-Luklukah (mutiara), dan hanya didiami oleh dia sendiri tanpa seorang tahanan lain pun, kecuali para penjaga yang memantau ketat di bawah kaki menara. Selama dirinya di penjara, Afshin sempat menyurati Khalifah melalui utusan yang bernama Hamdun bin Ismail, yang sebagian pesannya berisi :

“Bahwa, orang-orang (keluarga Abbas) menganggap bahwa Al-Muktasim sedang memelihara anak singa ketika dia memungutku. Tapi kukatakan, bahwa Al-Muktasim sedang memelihara seekor lembu yang baik dan berguna.”

“…, Aku mengadukan pada Tuhan tentang nasib buruk yang menimpaku. Engkau (Al-Muktasim), telah memilihku dan mengangkat derajatku ke tingkat yang mulia. Kau adalah tuan dan junjunganku. Aku selalu memohon pada Tuhan agar Dia (melunakkan hatimu) dan membuatnya condong kepadaku.”

Selepas surat itu disampaikan, Hamdun menyatakan undur diri, dan beberapa waktu kemudian, Al-Afshin meninggal di penjara. Khalifah memerintahkan untuk mayatnya ditunjukkan ke anaknya, Hasan bin Al-Afshin, setelah itu mayatnya dibuang dari atas menara hingga ke bawah. 

Kemudian, para prajurit Abbasiyah diperintahnya untuk mencabuti jenggot dan rambutnya dengan kejam. Lalu, Khalifah meminta untuk diantarkan jenazah tersebut ke rumah Aytakh untuk disemayamkan (ada yang mengatakan mayatnya dikremasi dan dibuang ke Sungai Tigris). 

Setelah kematian Al-Afshin, kampung halamannya, Ashrosna diislamkan semua penduduknya sedangkan sisa-sisa peninggalan kuil dan berhala ajaran Pagan dilestarikan supaya menjadi saksi sejarah di masa depan. 

Anehnya, para komandan Turki lainnya justru mendapat kesempatan leluasa untuk menduduki banyak jabatan yang strategis di roda pemerintahan Abbasiyah. Posisi tertinggi selanjutnya yang dipegang oleh Ashinas, yang menjabat sebagai Gubernur Jazirah Arab, Suriah, dan Mesir namun tetap berkantor di Samarra.  

Diceritakan, Ashinas pernah melakukan perjalanan haji, ternyata banyak sekali wali negeri dan masyarakat mulai dari Samarra hingga penghujung Mekkah-Madinah, yang memberikan penghormatan tinggi kepadanya. Namanya kerap disebut-sebut dalam khutbah Jum'at, dan mereka biasa memanggilnya dengan sebutan "Amir" yang artinya setingkat penguasa/pemimpin dalam lingkup wilayah kecil. 

# Rencana Ekspedisi ke Andalusia

Dirasa ancaman bagi kekuasaannya telah berakhir, Khalifah Al-Mu'tashim berniat untuk melakukan ekspansi ke sejumlah wilayah perbatasan Abbasiyah. Menyaksikan negaranya dalam keadaan aman dan damai, dia merasa cukup puas. Diriwayatkan oleh Imam Suyuthi, Khalifah Abu Ishak Al-Muktashim berkata :

“Dulu, ketika Bani Umayyah berkuasa dan memegang tampuk kekhalifahan, kita tidak mendapat sedikitpun jatah kue kekuasaan. Lalu ketika kita sekarang berkuasa, Bani Umayyah mendapat keleluasaan membangun kekuasaannya di wilayah Andalusia. Karena itu, kita akan ke barat, dan merebut Andalusia dari kekuasaan Bani Umayyah.”

Di awal Tahun 227 H, Khalifah Al-Mu'tashim Billah tengah bersiap segala keperluan yang dibutuhkan bagi angkatan perangnya untuk menaklukkan Andalusia (Spanyol). Sayangnya, dia tiba-tiba mendengar kabar meletusnya pemberontakan di Suriah yang didalangi oleh Abu Harb As-Sufyani (tokoh Bani Umayyah) bersama 100.000 orang para pengikutnya. 

 # Pemberontakan Abu Harb As-Sufyani (Bani Umayyah)

Di awal tahun 227 H, Abu Harb As-Sufyani bersama 100.000 para pengikutnya melakukan pemberontakan di Suriah. Berbeda dengan yang lainnya, pemberontakan ini cenderung lebih bersifat reaksioner dan sporadis, ditambah lagi dengan motif politik masa lalu yang berkaitan dengan keluarga Bani Umayyah. 

Imam Thabari menceritakan, kisah awal pemberontakan ini berawal dari kebencian Abu Harb kepada salah satu prajurit Abbasiyah yang melakukan kekerasan terhadap istri dan saudarinya. Singkat cerita, dia berhasil membunuh tentara tersebut dan melarikan diri dari Palestina, kemudian menuju pegunungan tinggi di Yordania. 

Di tempat itulah, dia mulai berbaur dengan orang-orang di sana. Dia menjadi dikenal sebagai orang penuh santun dan berwibawa, sering menasehati tentang banyak hal, terutama soal masalah politik. Tanpa disangka-sangka, omongannya itu disambut antusias oleh masyarakat sekitar dan menjulukinya dengan sebutan "As-Sufyani" sebab dia mengakui dirinya berasal dari keturunan Abu Sufyan bin Harb. 

Semakin besar pengaruhnya, muncullah sebuah mitos di tengah-tengah masyarakat bahwa akan ada sosok juru selamat yang akan mengembalikan kejayaan Bani Umayyah, dan dia adalah keturunan dari Abu Sufyan bin Harb yang bergelar As-Sufyani. 

Lambat-laun, orang-orang dan tokoh masyarakat dari Damaskus sampai Yaman berdatangan ke tempatnya untuk memberikan bai'atnya sebagai khalifah (pemimpin). Jumlah pengikutnya mencapai 100.000 orang yang kebanyakan berasal dari kalangan rakyat jelata dan petani. 

Ketika itu, Khalifah Al-Mu'tashim tengah jatuh sakit keras tetapi dia tidak ingin membiarkan revolusi Bani Umayyah bangkit kembali. Akhirnya, Panglima Raja bin Ayyub Al-Hiedari diperintah untuk menangani soal pemberontakan ini.

Singkat cerita, basis kekuatan 100.000 para pengikut Abu Harb menyusut pesat karena musim tanam akan tiba. Hal itu dikarenakan mayoritas di antara mereka adalah petani. Sampai menyisakan beberapa ribu orang pengikut saja, hal itu dilirik sebagai kesempatan oleh Panglima Raja. 

Dia memerintahkan anak buahnya untuk menyerang mereka di waktu yang tepat. Kala itu, jumlah tentara Abbasiyah yang dibawa sekitar 1.000 personel. Pada awalnya, mereka ragu karena jumlah mereka berbanding jauh dengan para pengikut As-Sufyani yang berkali-kali lipat.

Panglima Raja meyakinkan anak buahnya, bahwa musuh yang mereka hadapi hanyalah rakyat jelata saja dan tidak mempunyai skill ketentaraan. Benar saja, Kota Damaskus dan Ramallah dalam waktu singkat berhasil ditaklukkan oleh pasukan Abbasiyah dengan mudah, sedangkan Abu Harb diringkus ke Samarra, dan dijebloskan ke penjara yang bernama Matbaq. 

Akbar Shah Najeebabadi menceritakan, ketika Panglima Raja melakukan penyerangan ke Damaskus, tiba-tiba datanglah berita duka tentang Khalifah Al-Mu'tashim telah wafat. Tidak lama setelah penangkapan Abu Harb, Khalifah sudah wafat akibat penyakit yang dideritanya. 

Baca Juga :

Penyebab Kematian Khalifah Al-Muktashim 

Imam Thabari meriwayatkan, Khalifah Al-Mu'tashim mulai jatuh sakit pada tanggal 21 Oktober 841 Masehi. Sebelumnya, dia mempunyai dokter pribadi yang bernama Salmawayh bin Bunan, yang paling dipercayai dalam menangani penyakitnya. Sayangnya, dia meninggal terlebih dahulu setahun sebelumnya (di Tahun 840 Masehi). 

Sedangkan, dokter barunya yang bernama Yahya bin Masawayh belum menguasai pengobatan bekam dan purging. Hunain bin Ishaq berpendapat, penyebab inilah yang membuat penyakit Khalifah semakin parah sampai dia menemui ajalnya. 

Ali bin Al-Jad menceritakan, tatkala tanda-tanda ajalnya sudah tiba. Khalifah Al-Muktashim bergumam dengan berkata, 

“Semua kemungkinan strategi sudah berakhir; tak ada jalan keluar lagi yang tersisa.” Versi lain menyebutkan, Al-Muktasim berkata, “Seandainya aku tahu bahwa masa hidupku akan begitu pendek, aku tak akan melakukan apa yang sudah kulakukan.”

Kewafatan Khalifah Al-Muktashim  Billah

Setelah memerintah hampir 8 tahun 8 bulan 8 hari (kalender Hijriyah), Khalifah Abu Ishaq Muhammad Al-Muktashim Billah meninggal dunia pada Hari Kamis, 19 Rabi'ul Awwal Tahun 227 H atau bertepatan pada tanggal 6 Januari 842 Masehi, ketika berusia 48 tahun. 

Dia dimakamkan di Istana Jawsaq Al-Khaqani di Kota Samarra. Sepeninggalnya, pengangkatan putranya, Harun Al-Watsiq Billah sebagai khalifah penerusnya tidak mendapat pertentangan dari pihak istana dan keluarga Bani Abbas.  

Agenda Pelantikan diadakan biasa-biasa saja, sedangkan orang-orang penting yang pernah diangkat oleh Al-Mu'tashim, seperti Aytakh, Wasif, Ashinas (dari orang Turki), Wazir Ibnu Zayyat, dan Hakim Ahmad bin Abu Dawud tetap melanjutkan masa jabatannya.