Siapa yang mengurusi tentang ekologi karst

73

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

PermasalaHan Hukum dalam Perlindungan ekosistem kars t

di indonesia (studi kasus : ekos istem karst sangkulirang

mangkaliHat, Provinsi kalimantan timu r)

Grita Anindarini Widyaningsih1

Abstraksi

Ekosistem Karst merupakan sebuah bentang alam dengan keunikan tersendiri

dan memiliki sifat yang sangat rapuh atau irreversible. Ekosistem ini memiliki fungsi

yang sangat penting baik dalam kaitannya dengan lingkungan hidup maupun

nilai sosial, budaya dan ekonominya. Melihat keunikan dan fungsi strategisnya

tersebut, maka tidak salah apabila ekosistem ini dikategorikan sebagai kawasan

lindung dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun sayangnya,

hingga saat ini operasionalisasi status “kawasan lindung” tersebut belum jelas,

sehingga berakibat sebagian besar ekosistem karst di Indonesia berpotensi untuk

dieksploitasi. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji apakah peraturan perundang-

undangan maupun kebijakan yang ditetapkan maupun dilakukan oleh Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah telah didesain untuk memberikan perlindungan

terhadap Ekosistem Karst di Indonesia dari ancaman kerusakan lingkungan.

Adapun untuk mempersempit ruang pembahasan, tulisan ini mengambil studi

kasus pada Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat, Provinsi Kalimantan

Timur, yang saat ini tengah mengalami ancaman kerusakan.

Kata kunci : Karst, Kerusakan Lingkungan, Perlindungan Lingkungan Hidup,

Sangkulirang-Mangkalihat

1 Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan saat ini bekerja sebagai

Asisten Peneliti di Indonesian Center For Environmental Law.

74

Abstract

Karst Ecosystem is a landscape with unique characteristics and is very fragile or

irreversible. This ecosystem has a very important function, in relation to environmental

and social values, culture values, as well as its economic values. This uniqueness and

strategic function of karst ecosystem, has made Indonesian law to classify this ecosystem as

a protected area. Unfortunately, until now the operationalization of the “protected areas”

status is not clear, and resulting in most of the karst ecosystem in Indonesia is potentially

to be exploited. This paper aims to examine whether legislation or policies established

and conducted by the Central Government and Local Government has been designed to

provide protection against Karst Ecosystem in Indonesia from the environmental damage.

This paper has particular focus on Karst Ecosystem Sangkulirang-Mangkalihat, in East

Kalimantan province, which is currently experiencing the threat of damage.

Key words : Karst, environmental damage, environmental protection, Sangkulirang-

Mangkalihat

I. Pendahuluan

Pencemaran dan kerusakan lingkungan merupakan masalah serius yang sudah

lama dihadapi Indonesia. Deforestasi, degradasi lahan akibat alih fungsi lahan

untuk kegiatan pembangunan, pencemaran air, udara, hingga tanah, kian lazim

terjadi. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kualitas hidup manusia dan makhluk

hidup lainnya sehingga semakin menurun. Menghadapi hal tersebut, Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2009) telah mengamanatkan

adanya upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-

sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan2. Salah satu tujuan

dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ini adalah untuk menjamin

kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem,3termasuk di

dalamnya ekosistem karst4.

2 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU

No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, bagian menimbang.

3 Ibid., ps. 3.

4 Ibid., ps. 21. Bahwa dalam pasal ini dijelaskan diperlukannya kriteria baku kerusakan eko-

sistem. Terdapat delapan ekosistem yang ditetapkan dalam pasal ini, salah satunya adalah

ekosistem karst.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

75

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

Karst adalah daerah yang memiliki bentang alam dan pola hidrologi khusus

yang terbentuk dari kombinasi sifat batuan yang memiliki tingkat kelarutan

tinggi dan porositas sekunder yang berkembang dengan baik5. Di Indonesia

sendiri, kawasan karst tersebar di berbagai daerah, mulai dari Gunung Kidul di

Pulau Jawa, Pulau Madura, Pulau Bali, Maros di Pulau Sulawesi, Pulau Papua,

serta pulau-pulau lainnya di perairan Indonesia Bagian Timur6. Ekosistem Karst

terdiri dari bagian-bagian yang unik dan sensitif terhadap kerusakan lingkungan,

berupa sungai bawah tanah, gua-gua, serta bagian epikarst.7 Bagian-bagian unik

dan rentan inilah yang membuat Ekosistem Karst perlu dilindungi, disamping

fungsi-fungsi lainnya bagi lingkungan hidup. Sayangnya, luasan karst yang ada di

Indonesia hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Hal ini dikarenakan

belum seluruh kawasan Karst di Indonesia telah diselidiki dan diinventarisir.

Keberadaan ekosistem karst telah diakui sebagai kawasan yang perlu untuk

diperhatikan perlindungannya di berbagai negara. Pada umumnya regulasi

ekosistem karst di berbagai negara tersebut didesain untuk mencapai tujuan

sebagai berikut 8: 1) Memelihara kemampuan lanskap karst yang berupa hutan

untuk tetap dapat beregenerasi secara sehat dan produktif setelah panen; 2)

Mempertahankan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi terkait dengan

ekosistem karst, termasuk yang memiliki habitat di atas dan dibawah permukaan

karst; 3) Menjaga arus alam dan kualitas air dari sistem hidrologi karst; 4) Menjaga

tingkat kealamian pertukaran air di permukaan maupun bawah permukaan; 5)

Mengelola dan melindungi bentuk morfologi karst baik yang ada di permukaan

maupun di bawah permukaan; serta 6) Menyediakan kawasan karst sebagai

tempat rekreasi di tempat yang tepat. Dari tujuan tersebut sebenarnya dapat

5 Eko Teguh Paripurno, Kita, Ekosistem Karst, Industri Ekstraktif dan Manajemen Risiko Bencana,

disampaikan dalam pemaparannya pada Diskusi terkait Perlindungan Ekosistem Karst di

Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 29 Januari 2017.

6 Deny Juanda Puradimaja, “Hidrogeologi Kawasan Gunungapi dan Karst di Indonesia” disam-

paikan dalam Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Bandung, 22 Desember

2006.

7 Derek Ford and Paul Williams, Karst Hydrogeology and Geomorphology, (John Wiley and Sons

Ltd, England: 2007), hal. 464 dan 500. Lebih lanjut, menurut Klimchouk (1997) dijelaskan

bahwa epikarstic zone adalah zona teratas yang tersingkap dari batuan karst yang memiliki

permeabilitas dan porositas karena proses lapirsan-laposan yang lain, sehingga berperan

sebagai media penyimpan air yang baik.

8 Ibid., hlm. 499.

76

terlihat bahwa ekosistem karst memiliki peran penting tidak hanya terhadap

keberlangsungan hidup manusia, namun juga keanekaragaman hayati lainnya.

Untuk itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis dalam memberikan

perlindungan terhadap keberlanjutan ekosistem karst agar tidak rusak dan tetap

dapat berfungsi sebagaimana dengan mestinya. Pertanyaannya, apakah regulasi

maupun kebijakan Pemerintah Indonesia telah dirancang untuk memberikan

perlindungan terhadap ekosistem karst dari ancaman kerusakan lingkungan?.

Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dua hal:

Pertama, apakah konstruksi peraturan perundang-undangan Indonesia di tingkat

pusat telah mengakomodir perlindungan ekosistem karst secara keseluruhan.

Kedua, apakah Pemerintah Daerah sudah mengambil kebijakan yang berpihak

terhadap perlindungan ekosistem karst dari ancaman kerusakan lingkungan.

Untuk membahas poin kedua, tulisan ini akan menggunakan studi kasus Ekosistem

Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang membentang di Kabupaten Kutai Timur

dan Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur.

II. Perlindungan Hukum Terhadap Ekosistem Karst di Indonesia

2.1. Pengertian dan Fungsi Strategis Ekosistem Karst

Istilah Karst berasal dari bahasa Slovenia yaitu Kras, yang merupakan

suatu daerah di timur laut kota Trieste, Slovenia. Istilah tersebut diberikan oleh

seorang geologiawan abad ke-19 yang pada saat itu meneliti daerah tersebut dan

melihat adanya kekhasan dalam bentang alam di kawasan Kras dan akhirnya

mengabadikan kekhasan bentang alam tersebut dengan istilah “Karst”9. Menurut

Ford & William (2007), karst adalah daerah yang memiliki bentang alam dan pola

hidrologi khusus yang terbentuk dari kombinasi sifat batuan yang memiliki tingkat

kelarutan tinggi dan porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Secara

umum, kawasan karst terdiri dari bagian eksokarst (bagian atas permukaan karst)

dan endokarst (bagian bawah permukaan karst). Penjelasan terkait dengan bagian-

bagian dalam karst ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam

9 Eko Teguh Paripurno, et.al., Pengelolaan Kawasan Kars Dalam Perspektif Penanggulangan Ben-

cana, tulisan ilmah yang disampaikan dalam pemaparannya pada Diskusi terkait Perlindun-

gan Ekosistem Karst di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 26 Februari 2017, hal. 1.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

77

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

Karst (selanjutnya disebut “Permen ESDM No 17 Tahun 2012”). Berikut adalah

penjelasan lebih lanjut terkait dengan bagian-bagian dalam Ekosistem Karst:

Letak Bagian Pengertian

Eksokarst

Mata air

permanen

Mata air yang selalu mengalir sepanjang tahun

Bukit karst Bukit dengan bentuk kerucut, membulat, menara,

meja, dan/atau bentukan lainnya

Dolina Lekukan tertutup di permukaan akibat proses

pelarutan dan peruntuhan yang memiliki ukuran

bervariasi dengan kedalaman antara dua sampai

dengan seratusmeter dan diameter antara sepuluh

sampai dengan seribu meter

Uvala Gabungan dari dua atau lebih Dolina

Polje Gabungan dari dua atau lebih Uvala

Telaga Uvala atau Polje yang tergenang air

Endokarst

Sungai Bawah

Tanah

Sungai yang mengalir di permukaan bawah tanah

Speleotem Bentukan hasil proses pelarutan kalsium karbonat

yang menghiasi bagian dalam gua seperti

stalaktit, stalakmit, pilar, dan owstone

Tabel 1 : Diringkas oleh Penulis berdasarkan Permen ESDM No. 17 Tahun 2012

Ekosistem karst memiliki fungsi yang sangat penting bagi lingkungan hidup,

antara lain sebagai tempat penyimpanan air, termasuk pemasok kesediaan air

yang penting bagi kehidupan manusia. Bagian atas kawasan karst memungkinkan

adanya waktu tunda yang panjang untuk mengalirkan air hujan ke sungai bawah

tanah. Adanya waktu tunda ini menjadikan ekosistem karst mampu menyimpan

dan mengalirkan air sampai pada mata air dan sungai bawah tanah hingga pada

musim kemarau10. Selain itu, ekosistem karst juga berpengaruh sebagai kawasan

tangkapan karbon yang mampu menagkap karbon dua kali lipat dari hutan11.

10 Sudarmadji, Eko Haryono, Tjahyo Nugroho Adji dkk. Ekologi Lingkungan Kawasan Karst In-

donesia: Menjaga Asa Kelestarian Kawasan Karst Indonesia, (Deepublish, Yogyakarta : 2012),

hlm. iii.

11 “Karst Kaltim Terancam Pembangunan Pabrik Semen”, http://www.mongabay.

co.id/2013/04/26/karst-kaltim-terancam-pembangunan-pabrik-semen/, diunduh pada 16

Februari 2017.

78

Fungsi ini menjadikan ekosistem karst sebagai salah satu alat untuk mencegah

perubahan iklim. Dalam kaitannya dengan kehidupan ora, ekosistem karst

juga mempunyai peran penting dalam membantu pertumbuhan pohon maupun

tanaman disekitarnya12. Di sisi lain, dalam kaitannya dengan kehidupan fauna,

kawasan karst juga berfungsi sebagai habitat bagi satwa langka dan endemik,

terutama di bagian gua13.

2.2. Rezim Peraturan Terkait Perlindungan Ekosistem Karst di Indonesia

Perlindungan terhadap ekosistem karst telah diamanatkan dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dapat tercermin dalam UU No. 32

Tahun 2009 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (selanjutnya disebut “PP No. 26 Tahun

2008”). Dalam UU No. 32 Tahun 2009, perlindungan kawasan karst sebagai sebuah

ekosistem sudah menjadi fokus pembahasan. Regulasi ini mengamanatkan adanya

kriteria baku kerusakan lingkungan hidup khusus untuk ekosistem karst untuk

diatur dalam Peraturan Pemerintah14. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

ini sendiri merupakan sebuah ukuran batas perubahan sifat sik, kimia, dan/atau

hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk

dapat tetap melestarikan fungsinya15. Dalam kaitannya dengan perlindungan

sebuah ekosistem, khususnya ekosistem karst, tentu adanya kriteria baku kerusakan

lingkungan ini sangat diperlukan. Hal ini mengingat kriteria baku kerusakan

lingkungan merupakan salah satu instrumen pencegahan kerusakan lingkungan16

yang dapat memberikan batasan-batasan sejauh apa pelaku usaha dapat melakukan

kegiatan usahanya agar tidak merusak lingkungan. Namun sayangnya, hingga saat

ini peraturan pemerintah yang diamanatkan tersebut belum juga diundangkan.

Lain halnya dengan UU No. 32 Tahun 2009, Dalam PP No. 26 Tahun 2008,

bentang alam karst telah secara tegas termasuk dalam kawasan lindung

nasional karena dianggap sebagai kawasan yang memiliki keunikan bentang

12 Ministry of Forests British Columbia, Karst Management Handbook for British Columbia, (Na-

tional Library of Canada, Canada : 2003), hlm. 6-10.

13 Ibid.

14 Indonesia (a), ps. 21 ayat (3).

15 Ibid., ps. 1 angka 15.

16 Ibid., bagian penjelasan.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

79

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

alam17. Sayangnya dalam peraturan ini, operasionalisasi terhadap perlindungan

kawasan karst bukan dilakukan dalam kaitannya kawasan karst sebagai kawasan

yang memiliki peranan penting dalam lingkungan hidup, melainkan lebih

dititikberatkan pada perlindungannya untuk pengembangan ilmu pengetahuan,

budaya dan/atau pariwisata18.

Dari sisi sektoral, pengelolaan dan perlindungan ekosistem karst berada di

bawah kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pengaturan

lebih rinci terkait ekosistem karst saat ini telah diatur dalam Permen ESDM No.

17 Tahun 2012 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst. Sebelumnya,

pengaturan terkait dengan pengelolaan kawasan karst telah ada dari tahun 1999

dan diperbaharui tiga kali sampai akhirnya kedua peraturan tersebut telah dicabut

dan diganti dengan Permen ESDM No. 17 Tahun 2012 tersebut. Setidaknya terdapat

empat hal penting yang diatur dalam Permen ESDM No. 17 Tahun 2012, yakni:

1. Kawasan bentang alam karst adalah kawasan lindung geologi yang merupakan

bagian dari kawasan lindung nasional. Adapun kawasan bentang alam karst

adalah kawasan yang menunjukkan bentuk eksokarst dan endokarst tertentu19

(Pasal 3 jo. Pasal 4 ayat (1));

2. Penentuan kawasan bentang alam karst dilakukan berdasarkan kegiatan

penyelidikan dan penetapan (Pasal 5);

17 Indonesia (b), Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, PP No.

26 Tahun 2008, LN No. 48 Tahun 2008, TLN No. 4833, ps. 60. Secara lebih rinci dijelaskan

bahwa karst merupakan bagian dari kawasan yang memiliki keunikan bentang alam. Ber-

dasarkan pasal 52 jo. Pasal 53 ayat (1) dijelaskan bahwa kawasan dengan keunikan bentang

alam termasuk dalam kawasan cagar alam geologi. Adapun kawasan cagar alam geologi

ini termasuk dalam kawasan lindung geologi. Sedangkan, berdasarkan pasal 51, kawasan

lindung gologi termasuk dalam kawasan lindung nasional. Oleh karena itu, dapat diam-

bil kesimpulan bahwa berdasarkan peraturan ini, bentang alam karst termasuk dalam ka-

wasan lindung nasional.

18 Ibid., ps. 104 ayat (2)

19 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (a), Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst, Permen ESDM No. 17 Tahun 2012,

ps. 4 ayat (4). Dalam pasal tersebut dijelaska bahwa yang dimaksud dengan bentuk ekso-

karst dan endokarst tertentu adalah : a) Memiliki fungsi ilmiah sebagai penelitian dan peny-

elidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan ; b) Memiliki fungsi sebagai daerah imbu-

han air tanah yang mampu menjadi media meresapkan air permukaan ke dalam tanah ; c)

Memiliki fungsi sebagai media penyimpan air tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk

Akuifer yang keberadaannya mencukupi fungsi hidrologi ; d) Memiliki mata air permanen

; e) Memiliki gua yang membentuk sungai atau jaringan sungai bawah tanah.

80

3. Penyelidikan dapat dilakukan oleh Kepala Badan Geologi, Gubernur, atau

Bupati/Walikota dan dapat bekerja sama dengan lembaga penelitian Pemerintah

atau pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan badan usaha (Pasal 6);

4. Penetapan dilakukan oleh Menteri sesuai dengan usulan Kepala Badan

Geologi. Sementara itu usulan yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/

Walikota akan dievaluasi oleh Kepala Badan Geologi yang selanjutnya akan

ditetapkan oleh Menteri (Pasal 11).

Lebih jauh, terdapat beberapa hal yang menjadi perbedaan mencolok antara

Permen ESDM No. 17 Tahun 2012 ini dengan dua regulasi tentang pengelolaan

kawasan karst sebelumnya (Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999 Tentang

Pengelolaan Kawasan Kars dan Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MBM/2000 Tentang

Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars) dan justru mengendurkan usaha dalam

memberikan perlindungan terhadap kawasan karst, yakni:

1. Ruang lingkup pengaturan terkait pengelolaan kawasan karst yang diatur

dalam Permen ESDM No. 17 Tahun 2012 hanya mengatur penetapan kawasan

karst yang diperuntukan sebagai kawasan lindung. Hal ini berbeda dengan

kedua peraturan sebelumnya yang fokus terhadap pengelolaan karst secara

keseluruhan20. Lebih jauh, hal ini membawa implikasi tidak adanya pengaturan

yang dapat dijadikan acuan terkait operasionalisasi kawasan karst yang tidak

ditetapkan sebagai kawasan lindung;

2. Tidak tegasnya ketentuan mengenai batasan-batasan dalam melakukan

kegiatan di atas kawasan karst. Apabila dibandingkan dengan kedua regulasi

sebelumnya, dalam regulasi tersebut kawasan karst diklasikasikan menjadi

tiga kelas (Karst kelas I, Karst kelas II, dan Karst kelas III). Adanya klasikasi

karst ini berpengaruh terhadap arahan operasionalisasi kawasan karst, yakni:

a. Dalam kawasan Karst kelas I, tidak boleh ada kegiatan pertambangan.

Dapat dilakukan kegiatan lain asal tidak berpotensi mengganggu morfologi

eksokarst dan endokarst, mengganggu karstikasi, serta mengganggu

20 Bahwa baik dalam Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999 maupun Kepmen ESDM

no. 1456 K/20/MBM/2000, keduanya memiliki tujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan

kawasan karst yang berwawasan lingkungan dengan sasaran peningkatan upaya perlind-

ungan terhadap seluruh kawasan karst dalam pelestarian fungsi hidrogeologi, geologi, ora

dan fauna serta nilai sejarah dan budaya.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

81

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

fungsi karst. Bahkan Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999

mengarahkan kawasan Karst kelas I sebagai kawasan konservasi yang

hanya memperbolehkan kegiatan penelitian di kawasan tersebut21.

b. Dalam kawasan Karst kelas II, dapat dilakukan kegiatan pertambangan

dan kegiatan lain setelah dilengkapi studi lingkungan (AMDAL, UKL dan

UPL)22.

c. Dalam kawasan Karst kelas III, dapat dilakukan kegiatan pertambangan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan23.

Secara garis besar, kawasan Karst kelas I kedudukannya dapat dipersamakan

dengan Kawasan Bentang Alam Karst seperti yang diatur dalam Permen

ESDM No. 17 Tahun 201224. Namun sayangnya dalam Permen ESDM No. 17

Tahun 2012 tidak secara eksplisit ditegaskan batasan-batasan kegiatan apa saja

yang boleh dilakukan di kawasan bentang alam karst. Secara implisit, dalam

peraturan ini hanya mengamanatkan bahwa kawasan bentang alam karst

perlu untuk dilindungi, dilestarikan, dan dikendalikan pemanfaatannya.

3. Permen ESDM No. 17 Tahun 2012 hanya fokus memberikan perlindungan

terhadap fungsi ekosistem karst sebagai daerah imbuhan air tanah, sumber

mata air, maupun media penyimpanan air tanah. Peraturan ini luput untuk

mengatur perlindungan terhadap ekosistem karst yang berfungsi sebagai

habitat ora dan fauna yang khas dan endemik. Adapun dalam peraturan

sebelumnya, khususnya dalam Kepmen ESDM No. 1456/ K/20/MBM/2000,

kawasan karst yang mempunyai kandungan ora dan fauna khas termasuk

dalam kawasan karst kelas I dan wajib untuk dilindungi25.

21 Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999 dan Pasal

14 ayat (1) dan (2) Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MBM/2000.

22 Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999 dan Pasal

14 ayat (3) Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MBM/2000.

23 Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (3) Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999 dan Pasal

14 ayat (4) Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MBM/2000.

24 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (b), Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Min-

eral Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars, Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MBM/2000,

ps. 13. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Kawasan Karst kelas I merupakan kawasan

lindung sumber daya alam. Hal ini dapat dipersamakan dengan kawasan bentang alam

karst sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No. 17 Tahun 2012.

25 Ibid., ps. 12 ayat (1).

82

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa masih terdapat kelemahan

dalam regulasi-regulasi di tingkat pusat dalam usahanya untuk melindungi fungsi

ekosistem karst secara keseluruhan. Regulasi yang ada saat ini baru sampai

pada tingkat penetapan kawasan karst itu sendiri dan belum sampai pada tahap

operasionalisasi perlindungan kawasan karst. Hal ini berpotensi menimbulkan

pengeksploitasian kawasan karst secara tidak bijak dan lebih jauh dapat berujung

pada ancaman kerusakan ekosistem karst.

III. Permasalahan Perlindungan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat

Provinsi Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang

memiliki kawasan karst yang sangat luas, yang tersebar di seluruh Provinsi

Kalimantan Timur. Berdasarkan penelitian yang dirilis oleh Pusat Pengendalian

Pembangunan Ekoregion Kalimantan (P3EK) Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan (KLHK)26 pada tahun 2015, setidaknya terdapat 3.569.250 Ha

Ekosistem Karst di Provinsi Kalimantan Timur27. Apabila mengacu dari ketentuan

dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2016

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2016-

2036 (selanjutnya disebut Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016) yang menyatakan

bahwa luas daratan di Provinsi Kalimantan Timur adalah 12.734.691,75 ha28, dapat

diambil kesimpulan bahwa sekitar 28% dari luas daratan di Provinsi Kalimantan

Timur adalah kawasan karst. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh

P3EK KLHK, diperoleh bahwa sebagian kawasan karst dan batu gamping yang

ada di Kalimantan Timur berada diatas kawasan hutan. Untuk itu, penting untuk

dilakukan inventarisasi lebih lanjut untuk mengkaji bagaimana peruntukan

kawasan karst yang ada di atas kawasan hutan tersebut. Berikut adalah tabel

26 P3EK KLHK adalah instansi pusat yang merupakan perpanjangan tangan dari Kementerian

Lingkungan Hidup yang secara spesik menangani permasalahan-permasalahan lingkun-

gan di Kalimantan, yang diharapkan dapat membantu menekan laju kerusakan dan pence-

maran lingkungan. P3EK KLHK pada awalnya didirikan berdasarkan Peraturan Menteri

Negara Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2005 yang kemudian berganti menjadi Per-

aturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2010.

27 P3EK KLHK, Potret dan Rencana Pengelolaan Ekosistem Karst Kalimantan, http://kalimantan.

menlhk.go.id, hlm. 19, diunduh pada 15 Februari 2017.

28 Gubernur dan DPRD Kalimantan Timur (a), Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Ten-

tang Rencana Tata Ruang Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016-2036, Perda Kaltim No. 1 Ta-

hun 2016, Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016 Nomor 1, ps. 2 ayat (1).

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

83

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

luasan kawasan karst dan batu gamping Provinsi Kalimantan Timur yang ada di

atas kawasan hutan29:

Tabel II : Luas kawasan karst dan batu gamping di Provinsi Kalimantan Timur yang

berada di atas kawasan hutan

Dari luasan ekosistem karst yang dilansir oleh P3EK KLHK tersebut, hingga

saat ini baru Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang secara resmi

ditetapkan. Penetapan tersebut dilakukan melalui Peraturan Gubernur Provinsi

Kalimantan Timur Nomor 67 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Ekosistem Karst Sangkulirang – Mangkalihat di Kabupaten Berau dan Kutai

Timur (selanjutnya disebut “Pergub Kaltim No. 67 Tahun 2012”). Dalam peraturan

tersebut, ditetapkan bahwa luasan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat

adalah sebesar 1.867.676 ha dan tersebar di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten

Berau30. Berdasarkan jumlah ini, berarti baru sekitar 52% dari keseluruhan

Ekosistem Karst di Provinsi Kalimantan Timur yang telah ditetapkan.

29 P3EK KLHK, op.cit., hlm. 40.

30 Gubernur Kalimantan Timur (a), Peraturan Gubernur Kalimantan Timur tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Ekosistem Karst Sangkulirang – Mangkalihat di Kabupaten Berau dan Kutai Timur,

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 67 Tahun 2012, Berita Daerah Provinsi Kali-

mantan Timur Tahun 2012 Nomor 63, ps. 1 angka 12.

Provinsi Landuse Luas (Ha) Total

Gamping Karst

Kalimantan

Timur

Hutan Lahan

Kering Primer

13.721,12 254.233,72 267.944,84

Hutan Lahan

Sekunder

381.561, 75 1.497.328,51 1.878.890,26

Hutan

Mangrove

Primer

73,95 2.502 2.575,95

Hutan

Mangrove

Sekunder

6.842,21 11.271,68 18.113,89

Hutan Rawa

Sekunder

995,04 27.095 28.090,04

Hutan

Tanaman

Industri

30.992,87 116.241,42 147.234,29

84

Permasalahan yang krusial dalam pengelolaan ekosistem karst Sangkulirang-

Mangkalihat adalah adanya pengelolaan ekosistem yang bersifat ekstraktif serta

tindakan mengkonversi ekosistem karst untuk kegiatan usaha. Setidaknya saat

ini, Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat mengalami ancaman degradasi

lahan dan hutan, risiko kekurangan air, hingga kehilangan nilai sosial, budaya,

ekonomi, dan ekologi.31 Adanya ancaman kerusakan ini tidak terlepas dari

regulasi yang ditetapkan di tingkat pusat yang tidak mengakomodir perlindugan

maupun arahan operasionalisasi Ekosistem Karst secara keseluruhan sebagaimana

dijelaskan pada bagian sebelumnya. Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang juga tidak

berpihak kepada perlindungan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat.

Kebijakan tersebut meliputi:

3.1. Pemberian Izin Usaha Secara Masif di atas Ekosistem Karst Sangkulirang -

Mangkalihat

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa regulasi terkait karst saat ini tidak ada yang

secara tegas melarang adanya kegiatan usaha di Ekosistem Karst – bahkan di atas

kawasan bentang alam karst sekalipun. Namun, setidaknya untuk Ekosistem Karst

yang ada di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau (atau yang lebih dikenal

dengan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat) operasionalisasinya telah

diarahkan untuk dapat dipertahankan fungsinya. Hal ini secara tegas dinyatakan

dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang

Pulau Kalimantan (selanjutnya disebut “Perpres No. 3 Tahun 2012”)32. Namun

sayangnya, amanat untuk mempertahankan fungsi ekosistem karst Sangkulirang-

Mangkalihat tidak tercermin dalam tindakan pengeluaran izin usaha secara masif

yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Berikut adalah data

izin usaha yang ada di Ekosistem Karst Sangkulirang – Mangkalihat yang masih

berlaku hingga saat ini :

31 “Karst Sangkulirang – Mangkalihat, Urat Nadi Kehidupan Berau dan Kutai Timur”, http://

www.nature.or.id/blog/karst-sangkulirang-mangkalihat-urat-nadi-kehidupan-berau-dan-

kutai-timur.xml, diunduh pada 16 Februari 2017.

32 Presiden RI (a), Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan, Perpres No.

67 Tahun 2012, LN Nomor 10 Tahun 2012, ps. 45 ayat (9).

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

85

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

Tabel 2 : Izin usaha yang telah dikeluarkan di atas Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat

Dari data tersebut, dapat terlihat bahwa lebih dari 60% Ekosistem Karst

Sangkulirang-Mangkalihat nyatanya telah dikonversikan dan dibebani oleh izin

usaha. Dari angka tersebut, sekitar 50% dari kawasan karst tersebut dieksploitasi

untuk pertambangan, baik pertambangan batubara maupun pertambangan semen.

Terlebih, berdasarkan temuan lebih lanjut, izin tersebut tidak hanya diberikan di

atas kawasan karst yang merupakan kawasan budidaya, namun juga kawasan

yang jelas-jelas telah ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Kegiatan pertambangan inilah yang dapat menghilangkan fungsi kawasan karst

secara cepat, khususnya fungsinya sebagai kawasan resapan air. Hal ini dinyatakan

secara tegas oleh Dr. Ir. Budi Brahmantyo, M.Sc. dalam keterangan ahlinya di

perkara PTUN No. 99/PK/TUN/2016, apabila kawasan karst ditambang maka air

yang ada di bawah kawasan karst yang sudah terkumpul selama ribuan tahun akan

Jenis Izin Usaha Luas Jumlah izin / Perusahaan

Pemegang Izin

Izin Usaha Pertambangan

(Batubara)1

905.732 Ha 217 Izin Usaha

Pertambangan

Izin Pertambangan Bahan

Semen dan Pabrik Semen2

125.993 Ha 14 Perusahaan

IUPHHKHT3411.714 Ha 41 Perusahaan

IUPHHKHA4721.075 Ha 92 Perusahaan

Perkebunan5301.161 Ha 370 Perusahaan

(Footnotes)

1 Sumber data adalah : 1) Peta Delineasi Kawasan Karst Kalimantan Timur dari P3EK KLHK

; 2) Lampiran X Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016 Tentang Kawasan Lindung Karst, dan ; 3)

Lampiran XI Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016 Tentang Kawasan Budidaya.

2 Sumber data adalah : 1) Peta Delineasi Kawasan Karst Kalimantan Timur dari P3EK KLHK

; 2) Lampiran X Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016 Tentang Kawasan Lindung Karst, dan ; 3)

Badan Perizinan dan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Timur 2015

3 Sumber data adalah : 1) Peta Delineasi Kawasan Karst Kalimantan Timur dari P3EK KLHK

; 2) Lampiran X Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016 Tentang Kawasan Lindung Karst dan ; 3)

Bappeda Provinsi Kalimantan Timur

4 Sumber data adalah : 1) Peta Delineasi Kawasan Karst Kalimantan Timur dari P3EK KLHK

; 2) Lampiran X Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016 Tentang Kawasan Lindung Karst dan ; 3)

Bappeda Provinsi Kalimantan Timur

5 Sumber data adalah : 1) Peta Delineasi Kawasan Karst Kalimantan Timur dari P3EK KLHK

; 2) Lampiran X Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016 Tentang Kawasan Lindung Karst dan ; 3)

Bappeda Provinsi Kalimantan Timur

86

hilang dengan sekejap.33 Lebih jauh, Eko Teguh Paripurno juga mengatakan bahwa

kerusakan yang ada dalam kawasan karst akibat pertambangan ini akan sulit,

bahkan tidak mungkin untuk dipulihkan kembali. Kalaupun pemulihan fungsi

sebagai peresapan air tersebut dilakukan, kemampuannya dalam meresapkan air

akan turun drastis menjadi 14 mm/jam dari kemampuan alamiahnya sebesar 54

mm/jam.34

Sekalipun baku mutu kerusakan lingkungan untuk ekosistem karst hingga

saat ini belum ditetapkan, namun berdasarkan fakta-fakta di atas kita dapat

melihat dengan jelas bahwa Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat sedang

mengalami ancaman kerusakan lingkungan. Hal ini khususnya disebabkan karena

kegiatan pertambangan yang jelas-jelas akan merubah sifat sik ekosistem karst

dan dapat berdampak buruk pada fungsinya.

3.2. Perbedaan Penetapan Luasan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat

Salah satu permasalahan yang juga berpengaruh terhadap perlindungan

Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat adalah adanya perbedaan penetapan

luasan Ekosistem Karst tersebut di beberapa penelitian maupun regulasi. Perbedaan

ini tentu menimbulkan ketidakpastian terhadap status beberapa wilayah di

Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau, apakah termasuk ekosistem

karst atau tidak. Lebih jauh, ketidakpastian ini berpotensi menimbulkan adanya

eksploitasi di kawasan karst yang seharusnya dilindungi. Sebagai contoh, karena

adanya perbedaan penetapan luasan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat,

hal ini berdampak pada adanya kawasan yang masih “abu-abu” apakah termasuk

dalam kawasan lindung atau kawasan budidaya. Hal ini menjadi parah apabila

kawasan yang seharusnya dilindungi namun dieksploitasi karena penanggung

jawab usaha dan/atau kegiatan berpedoman ke penetapan luasan yang lain, yang

mengatakan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan budidaya. Setidaknya,

terdapat tiga penetapan berbeda terkait luasan Ekosistem Karst Sangkulirang-

Mangkalihat yang dijadikan referensi, yakni :

33 Disampaikan oleh Dr. Ir. Budi Brahmantyo, M.Sc., dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli

dalam Perkara PTUN No. 99/PK/TUN/2016.

34 Keterangan ini diperoleh oleh Penulis berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Penulis

kepada Eko Teguh Paripurno, pada 28 Januari 2017, di Balikpapan, Kalimantan Timur.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

87

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

a. Penetapan Luasan Ekosistem Karst Sangkulirang–Mangkalihat Melalui

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 67 Tahun 2012

Secara resmi, luasan Ekosistem Karst Sangkulirang–Mangkalihat telah

ditetapkan dalam Pergub Kaltim No. 67 Tahun 2012. Di dalam peraturan ini,

ditetapkan bahwa Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat memiliki luasan

sebesar 1.867.676 Ha35 termasuk didalamnya adalah luasan batu gamping

sebesar 355.481,42 Ha.36 Adapun dalam Lampiran I peraturan ini ditetapkan

bahwa dari 1.867.676 Ha Ekosistem Karst Sangkulirang – Mangkalihat, sebesar

362.706,11 Ha merupakan kawasan bentang alam karst yang merupakan

bagian dari kawasan lindung geologi.

b. Kajian yang dirilis oleh Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion

Kalimantan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Secara umum, pada tahun 2015 P3EK KLHK telah melakukan penyelidikan

terhadap luasan ekosistem karst di Provinsi Kalimantan Timur. Lebih jauh,

apabila dilakukan delineasi terhadap peta tersebut, maka dapat dilihat bahwa

sebenarnya luasan kawasan Karst Sangkulirang – Mangkalihat yang berada

pada Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur sebesar 2.107.952 Ha

dan batu gamping sebesar 530.127 Ha37. Berdasarkan data ini, maka terdapat

595.757,42 Ha kawasan Karst dan 174.645,58 Ha kawasan batu gamping di

Kutai Timur dan Kabupaten Berau yang belum ditetapkan sebagai Ekosistem

Karst Sangkulirang – Mangkalihat. Sekalipun penelitian ini belum ditetapkan

dalam sebuah regulasi tersendiri, namun penelitian ini merupakan penelitian

resmi yang dilakukan oleh Badan Penelitian Pemerintah Pusat dan dapat

dipertanggungjawabkan.

c. Penetapan Luasan Kawasan Lindung Geologi Provinsi Kalimantan Timur

Melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2016

Selain Pergub Kaltim No. 67 Tahun 2012 dan P3EK KLHK, Pemerintah Provinsi

Kalimantan Timur juga menetapkan luasan Karst Sangkulirang – Mangkalihat

35 Gubernur Kalimantan Timur (a), ps. 1 angka 12.

36 Ibid., lampiran I.

37 Data delineasi peta kawasan karst Kalimantan Timur yang dirilis oleh P3EK KLHK di-

lakukan oleh Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur dengan mengolah peta dasar

menggunakan aplikasi pemetaan. Adapun Penulis dalam hal ini meringkas dari data yang

dimiliki oleh Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur tersebut.

88

melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2016

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016 –

2036 (Selanjutnya disebut “Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016”). Dalam Peraturan

ini, ditetapkan bahwa sebesar 307.337 Ha bentang alam karst di Kabupaten

Kutai Timur dan Kabupaten Berau merupakan bagian dari kawasan lindung

geologi.38 Adapun penetapan tata batas luasan kawasan bentang alam karst

yang ada dalam peraturan ini didasarkan pada Pergub Kaltim No. 67 Tahun

2012.39

Lebih jauh, terdapat dua kelemahan pengaturan yang ada di dalam Perda

Kaltim No. 1 Tahun 2016 ini. Pertama, sekalipun telah dinyatakan secara jelas

bahwa angka bentang alam karst yang ditetapkan dalam Perda Kaltim No. 1 Tahun

2016 dideliniasi berdasarkan Pergub Kaltim No. 67 Tahun 2012, namun terdapat

inkonsistensi terhadap jumlah luasan kawasan bentang alam karst tersebut.

Jika dibandingkan dengan luasan kawasan bentang alam karst Sangkulirang-

Mangkalihat yang dilindungi dalam Pergub Kaltim No. 67 Tahun 2012, terdapat

selisih luasan sebesar 55.369,11 Ha kawasan bentang alam karst Sangkulirang-

Mangkalihat yang tidak dilindungi oleh Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016. Kedua,

Perda ini tidak menetapkan luasan ekosistem karst di Kalimantan Timur yang

merupakan kawasan budidaya.40 Hal ini menjadi fatal karena dapat menimbulkan

interpretasi bahwa sebesar 1.800.615 Ha kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat

(berdasarkan data P3EK KLHK) atau 1.560.339 Ha kawasan Karst Sangkulirang-

Mangkalihat (berdasarkan data Pergub Kaltim No. 67 Tahun 2012) merupakan

kawasan budidaya yang dapat dibebankan izin usaha di atasnya. Hal ini tentu

berpotensi mengancam Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat karena

potensi pemberian izin usaha di atas kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat

akan semakin meluas.

IV. Penerapan Asas Kehati-hatian Dalam Perlindungan Ekosistem

Karst Sangkulirang-Mangkalihat

38 Gubernur dan DPRD Kalimantan Timur (a), loc.cit., ps. 28.

39 Ibid., penjelasan pasal 28.

40 Ibid., ps. 37. Bahwa berdasarkan pasal ini dijelaskan bahwa ekosistem karst yang dapat di-

manfaatkan termasuk dalam kawasan peruntukan lainnya yang merupakan bagian dari ka-

wasan budidaya. Namun, tidak diberikan penjelasan lebih lanjut berapa luasan ekosistem

karst yang dapat dimanfaatkan tersebut.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

89

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

Berdasarkan pembahasan di atas, setidaknya ada dua permasalahan utama

yang mengancam perlindungan Ekosistem Karst di Indonesia, yaitu: belum adanya

regulasi yang memberikan arahan yang jelas terkait operasionalisasi ekosistem

karst serta minimnya inventarisasi dan penelitian terhadap Ekosistem Karst.

Namun, ketiadaan aturan maupun penelitian yang komprehensif ini seharusnya

tidak dapat dijadikan alasan oleh Pemerintah untuk tidak mengambil langkah-

langkah strategis dalam menyusun kebijakan yang berpihak kepada perlindungan

Ekosistem Karst secara maksimal. Seharusnya, Pemerintah dapat menerapkan asas

kehati-hatian (precautionary principle) sesuai amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009

dalam menghadapi minimnya regulasi maupun penelitian terkait Ekosistem Karst

ini. Asas kehati-hatian menghendaki apabila ada ketidakpastian mengenai dampak

suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan

dan teknologi, maka Pemerintah tidak dapat menggunakannya sebagai alasan

untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman

terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.41

Lebih jauh berbicara tentang asas kehati-hatian, pada dasarnya asas ini

berkaitan erat dengan prinsip pencegahan. Bahwa memang langkah-langkah

antisipasi perlu diambil untuk mencegah adanya pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan sebelum hal itu terjadi. Namun, yang membedakan antara

kedua asas ini adalah bahwa asas kehati-hatian bukanlah asas yang menyediakan

arahan tentang tindakan apa yang dilakukan melainkan kapan tindakan tersebut

dilakukan dan bukti ilmiah apa saja yang harus dipertimbangkan.42 Selain itu, hal

yang juga membedakan adalah penekanan terhadap faktor “ketidakpastian”43

41 Indonesia (a), ps. 2 huruf f. Lebih jauh, asas ini merupakan pengejawantahan dari Deklarasi

Rio (Declaration on Environment and Development), yang pada prinsip 15 deklarasi terse-

but menjelaskan secara tegas penerapan prinsip ini. Adapun prinsip tersebut berbunyi seb-

agai berikut :

“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by

states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage,

lack of full scientic certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective mea-

sures to prevent environmental degradation”

42 Indonesian Center for Environmental Law, Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta : ICEL, 2014), hlm. 48.

43 Andri G. Wibisana, “Three Principles of Environmental Law: The Polluter-Pays Principle,

The Principle of Prevention, and The Precautionary Principle” dalam Michael Faure dan

Nicolle Niessen (ed), Environmental Law in Development : Lessons for Indonesia Experi-

ence, (Cheltenham, UK : 2006), hlm. 58. Lebih jauh, terminologi “Ketidakpastian” ini juga

diartikan berbeda-beda dalam berbagai konvensi ataupun deklarasi, seperti : a) The 1982

World Charter of Nature mendenisikannya sebagai potensi kerugian yang tidak sepenuh-

90

dalam penerapan asas kehati-hatian. Dalam asas pencegahan, langkah-langkah

antisipasi tersebut diambil untuk menghadapi ancaman yang sifatnya sudah pasti,

sementara itu, untuk asas kehati-hatian langkah-langkah tersebut diambil bahkan

ketika akibat dari suatu kegiatan belum dapat diprediksi secara pasti.44 Asas kehati-

hatian ini perlu diimplementasikan karena beberapa ancaman pencemaran dan/

atau kerusakan lingkungan hidup yang dianggap serius atau bahkan tidak dapat

dipulihkan secara ilmiah masih belum dapat dibuktikan, namun perlu dicegah

agar tidak menimbulkan bahaya bagi lingkungan hidup.45

Asas kehati-hatian ini seharusnya dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi

Kalimantan Timur untuk mengambil keputusan dalam perlindungan Ekosistem

Karst Sangkulirang-Mangkalihat. Namun sayangnya, asas ini seperti tidak

diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam memberikan

perlindungan terhadap Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat secara

maksimal, terlihat dari beberapa tindakan berikut:

Pertama, adanya perbedaan luasan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat,

sebenarnya termasuk dalam unsur ketidakpastian dalam penerapan asas kehati-

hatian. Menghadapi ketidakpastian luasan tersebut, seharusnya Pemerintah

Provinsi Kalimantan Timur dapat menjadikan kajian P3EK KLHK sebagai acuan

dalam penetapan luasan Ekosistem Karst maupun luasan bentang alam karst pada

Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016. Hal ini dikarenakan kajian yang dilakukan oleh

P3EK KLHK menunjukan luasan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang

nya dipahami ; b) The 1990 Hague Declaration (adopted at the Third International Con-

ference on the Protection of the North Sea) menjelaskannya sebagai tidak adanya bukti

ilmiah yang menjelaskan hubungan antara emisi dan dampaknya ; c) The 1992 Helinski

Convention on the Protection and Use of Transboundary Watercourses and International

Lakes mendenisikannya sebagai penelitian ilmiah yang ada tidak sepenuhnya membukti-

kan keterkaitan antara zat berbahaya, di satu sisi, dengan potensi dampaknya secara lintas

batas, di sisi yang lainnya ; serta d) The 1992 Rio Declaration mendenisikannya sebagai

kurangnya bukti ilmiah secara lengkap atau penuh.

44 Ibid., hlm. 46.

45 Ibid., hlm. 45. Terkait dengan ancaman dari satu kegiatan dijelaskan lebih lanjut bahwa se-

belum dilakukan tindakan pencegahan, asas kehati-hatian memerlukan penetapan threshold

atau ambang batas yang berkaitan dengan potensi ancaman dari satu kegiatan tersebut.

Ketika ambang batas tersebut telah dilewati, tindakan pencegahan perlu dilakukan. Dalam

praktiknya, berbagai terminologi digunakan untuk mengekspresikan level ambang batas

ini. Diantaranya “ancaman yang serius atau tidak dapat dipulihkan kembali”, “Kemungki-

nan atau berpotensial menimbulkan efek yang membahayakan”, ataupun “berbahaya bagi

manusia ataupun lingkungan”.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

91

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

lebih luas dibandingkan Pergub No. 67 Tahun 2012 – yang notabene dijadikan

acuan Perda Kaltim No. 1 Tahun 2016 dalam menetapkan luasan kawasan bentang

alam karst – sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap Ekosistem Karst

secara lebih luas. Menurut hemat Penulis, dengan mengambil kajian tentang

luasan Ekosistem Karst terbesar untuk dijadikan acuan, hal ini mencerminkan

upaya untuk mengambil kebijakan yang lebih menguntungkan bagi perlindungan

lingkungan hidup ditengah adanya ketidakpastian tersebut. Namun sayangnya,

langkah-langkah tersebut tidak dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan

Timur.

Kedua, ketiadaan regulasi yang mengatur terkait batasan melakukan

kegiatan usaha di atas kawasan karst, termasuk penetapan baku mutu kerusakan

karst sebagai salah satu instrumen pencegahan kerusakan lingkungan, dapat

digolongkan sebagai unsur ketidakpastian untuk mendorong penerapan asas

kehati-hatian. Menurut hemat Penulis, asas kehati-hatian seharusnya dapat

diterapkan dengan membatasi ataupun mengendalikan jumlah izin usaha yang

dikeluarkan di atas kawasan karst secara ketat. Namun sayangnya, hal ini tidak

tercermin dalam tindakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan

data yang dihimpun, telah terlihat bahwa lebih dari 60% luasan Ekosistem Karst

Sangkulirang-Mangkalihat telah dibebani dengan izin usaha, dimana sebagian

besar dari izin usaha tersebut adalah izin usaha pertambangan (Lihat tabel 2).

Bahkan izin usaha tersebut tidak hanya ada di kawasan budidaya, namun juga

kawasan yang jelas-jelas merupakan kawasan lindung. Hal ini menunjukkan bahwa

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur tidak berupaya untuk mengendalikan

jumlah izin usaha diatas kawasan karst ditengah ketidakpastian terkait batasan

kerusakan Ekosistem Karst. Lebih jauh, hal ini juga mencerminkan bahwa asas

kehati-hatian tersebut tidak diindahkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan

Timur.

Penerapan asas kehati-hatian menghadapi ketiadaan kriteria baku kerusakan

Ekosistem Karst, khususnya terkait adanya kegiatan pertambangan di atas

Ekosistem Karst, juga menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara tata

usaha Negara No. 99/PK/TUN/2016.46 Dalam bagian pertimbangan, Majelis

Hakim berpendapat bahwa kegiatan penambangan dan pengeboran di atas

46 Joko Prianto, WALHI, dkk vs. Gubernur Jawa Tengah dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk,

dalam Putusan No. 99 PK/TUN/2016.

92

Cekungan Air Tanah (atau yang dalam perkara tersebut dipersamakan dengan

kawasan karst) pada prinsipnya tidak dibenarkan. Namun, untuk kepentingan

bangsa dan negara yang sangat strategis dapat dikecualikan dengan pembatasan

yang sangat ketat dan cara-cara tertentu. Lebih lanjut, Majelis Hakim menyatakan

bahwa kegiatan penambangan di kawasan karst tidak dapat dilakukan dengan

cara yang sama dengan penambangan pada kawasan lain yang bukan karst.

Untuk itu, dalam dokumen AMDAL perlu untuk dijelaskan batasan-batasan yang

perlu dilakukan serta bagaimana tata cara penambangan di atas kawasan karst.

Hal ini seharusnya juga dapat diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan

Timur dalam menerapkan asas kehati-hatian untuk perlindungan Ekosistem Karst

Sangkulirang-Mangkalihat.

V. Simpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, maka terdapat dua simpulan untuk menjawab

pokok permasalahan. Pertama, baik UU No. 32 Tahun 2009, PP No. 26 Tahun 2008,

maupun Permen ESDM No. 17 Tahun 2012 yang selama ini dianggap sebagai dasar

hukum perlindungan Ekosistem Karst ternyata masih memiliki banyak kelemahan

dalam melindungi ekosistem karst dari ancaman kerusakan lingkungan. Hingga

saat ini belum adanya pengaturan terkait kriteria baku mutu kerusakan. Lebih

buruk lagi, batasan kegiatan usaha yang boleh dilakukan di atas ekosistem

karst juga tidak jelas. Untuk itu, Pemerintah perlu segera merumuskan dan

menetapkan aturan terkait dua hal tersebut. Kedua, di tingkat daerah, menghadapi

minimnya regulasi maupun penelitian terkait kawasan karst, Pemerintah

Daerah belum maksimal dalam mengupayakan perlindungan kawasan karst

secara keseluruhan. Untuk menghadapi ketidakpastian yang ada, seharusnya

asas kehati-hatian (precautionary principle) dapat diterapkan dengan cara sangat

membatasi pemberian izin usaha di atas ekosistem karst sampai adanya kriteria

baku kerusakan lingkungan hidup tersebut. Namun, untuk kepentingan negara

yang sangat strategis, dapat dilakukan pengecualian dengan pembatasan kegiatan

usaha yang sangat ketat dan cara-cara tertentu untuk menjalankan usahanya.

Khusus untuk pengelolaan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat, Penulis

beranggapan selama Pemerintah Daerah hanya mengandalkan regulasi yang

ada untuk menjalankan pengelolaan Ekosistem Karst ini, ancaman kerusakan

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

93

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat akan semakin meluas. Untuk itu,

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur diharapkan agar tidak hanya berpedoman

terhadap regulasi yang ada namun juga memperhatikan asas-asas perlindungan

lingkungan hidup, agar setiap kebijakan lebih berpihak terhadap perlindungan

Ekosistem Karst secara keseluruhan.

94

DAFTAR PUSTAKA

Gubernur Kalimantan Timur. Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 67 Tahun

2012 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Sangkulirang-

Mangkalihat.

Gunernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur.

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2016 Tentang

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016-2036.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional.

Indonesian Center for Environmental Law. 2014. Anotasi Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. ICEL :

Jakarta.

Mahkamah Agung. Walhi, dkk vs. Gubernur Jawa Tengah dan PT. Semen Gresik

(Persero), Tbk. Putusan Hak Uji Materiil No. 99/PK/TUN/2016.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral Nomor 1456/K/20/MBM/2000 Tentang Pedoman Pengelolaan

Kawasan Kars.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam

Karst.

Menteri Pertambangan dan Energi. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi

Nomor 1518 K/20/MPE/1999 Tentang Pengelolaan Kawasan Kars.

Ministry of Forests British Columbia. 2003. Karst Management Handbook for British

Columbia. National Library of Canada: Canada.

P3EK KLHK, Potret dan Rencana Pengelolaan Ekosistem Karst Kalimantan, http://

kalimantan.menlhk.go.id. Diunduh pada 15 Februari 2017.

Paripurno, Eko Teguh. 2017. Kita, Ekosistem Karst, Industri Ekstraktif dan Manajemen

Risiko Bencana. Balikpapan, 28 Februari 2017.

GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

95

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017

Paripurno, Eko Teguh, et. al. 2017. Pengelolaan Kawasan Kars Dalam Perspektif

Penanggulangan Bencana. Balikpapan, 28 Februari 2017.

Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang

Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan.

Puradimaja, Deny Juanda. 2016. Pidato Ilmiah “Hidreologi Kawasan Gunungapi dan

Karst di Indonesia”. Bandung, 22 Desember 2016.

Sudarmadji, Eko Haryono, Thajo Nugroho, dkk. Ekologi Ligkungan Kawasan Karst

Indonesia: Menjaga Asa Kelestarian Kawasan Karst Indonesia. Deepublish:

Yogyakarta.

Wibisana, Andri Gunawan. 2006. “Three Principles of Environmental Law: The

Polluter-Pays Principle, The Principle of Prevention, and The Precautionary

Principle” dalam Environmental Law in Development : Lessons for Indonesia

Experience. Cheltenham : United Kingdom.

Williams, Paul dan Derek Ford. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology.

England : John Wiley and Sons Ltd.

“Karst Kaltim Terancam Pembangunan Pabrik Semen”, http://www.mongabay.

co.id/2013/04/26/karst-kaltim-terancam-pembangunan-pabrik-semen/.

Diakses pada 16 Februari 2017.

“Karst Sangkulirang – Mangkalihat, Urat Nadi Kehidupan Berau dan Kutai Timur”,

http://www.nature.or.id/blog/karst-sangkulirang-mangkalihat-urat-nadi-

kehidupan-berau-dan-kutai-timur.xml. Diakses pada 16 Februari 2017.