Siapa yang dapat mengusulkan pembentukan pengadilan ham ad hoc

Menimbang

:

a.

bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

tirto.id - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan penyelesaian 9 dari 13 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia sebelum keberadaan Undang-Undang tentang Peradilan HAM, butuh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurutnya bukan presiden yang dapat menindaklanjuti perkara.

UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur mengenai pengadilan HAM Ad Hoc. Pelanggaran HAM berat sebelum UU tersebut, diperiksa dan diputus pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari merespons pernyataan Mahfud. “Tindak lanjut hasil penyelidikan Komnas HAM atas pelanggaran HAM berat masa lalu tidak perlu menunggu keputusan DPR. Kejaksaan Agung dapat menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut sesuai dengan ketentuan UU Pengadilan HAM dan hukum acara yang berlaku," kata Taufik, Senin (29/11/2021).

Keputusan DPR untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc diterapkan setelah penyidikan oleh Kejaksaan Agung dilakukan. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 43 UU Pengadilan HAM yang menyebutkan: (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang- undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

Kemudian, lanjut Taufik, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2007, kata “dugaan" dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan dinyatakan batal serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lantaran menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Namun, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk hal tersebut.

Maka DPR tidak akan menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Pengadilan HAM. Kata “dugaan" dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena penafsiran kata “dugaan" berbeda dengan mekanisme.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007, dalam hal DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu.

“Sebelum DPR mengusulkan pembentukan pengadilan, terlebih dahulu harus ada dasar penyidikan yang dilakukan. Bukan DPR yang menduga sendiri terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat, melainkan proses pro justitia yang mendasari keputusannya," terang Taufik.

Kewenangan DPR perihal mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, bukan menentukan hasil penyelidikan Komnas HAM dapat ditingkatkan menjadi penyidikan atau tidak. “Menindaklanjuti hasil penyidikan Komnas HAM menjadi penyidikan adalah kewenangan Jaksa Agung," kata dia.

Taufik mendukung Jaksa Agung Muda Pidana Khusus menyusun upaya strategis dan membuat terobosan progresif guna perampungan pelanggaran HAM masa lalu dan mengingatkan presiden agar komitmen penuntasan perkara HAM masa lalu terus dilanjutkan.

Baca juga:

  • Memaknai Ulang Relasi Manusia & Alam di Pesantren Ath Thaariq Garut
  • Untung Rugi Kebijakan Larangan Penjualan Minyak Goreng Curah
  • Jaksa Agung Klaim Mulai Penyidikan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Baca juga artikel terkait KASUS HAM MASA LALU atau tulisan menarik lainnya Adi Briantika
(tirto.id - adb/abd)

Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

  • Home
  • Nasional
  • TEMPO Interaktif, Jakarta:Dewan Perwakilan Rakyat membuat rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk pengadilan hak asasi manusia Ad Hoc. Pengadilan ini nantinya akan mengusut dugaan adanyan pelanggaran HAM berat atas peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, dan Kerusuhan Mei 1998. Ketua Komisi Hukum DPR Trimedya Panjaitan menyampaikan rekomendasi ini melalui Ketua DPR Agung Laksono pada Kamis (15/2). Menurut dia, langkah ini mengacu kepada surat Komisi Nasional HAM tanggal 13 Maret 2006 tentang perlunya membentuk pengadilan Ad Hoc. Komnas HAM dalam suratnya menyebut telah melakukan penyelidikan terhadap peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, serta Kerusuhan Mei 1998. Kesimpulannya telah terjadi pelanggaran ham berat dalam peristiwa tersebut. Trimedya menjelaskan rekomendasi ini diambil setelah melihat sikap Jaksa Agung yang tidak juga merespon hasil penyelidikan Komnas Ham dan tetap bersikukuh dengan aturan yang ada. Jaksa agung berpendapat bahwa hasil penyelidikan komnas ham tentang tempus dan locus delicti bukan wilayah kerja kewenangan komnas ham.Menyikapi hal ini, komisi hukum, kataTrimedya, menggelar rapat internal pada 13 Februari 2007. Rapat kemudian menyetujui untuk segera menyampaikan surat kepada pimpinan DPR guna mengusulkan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Ketua DPR Agung Laksono mengatakan akan membahas surat rekomendasi komisi III ini pada rapat pimpinan Selasa 20 Februari. Setelah itu surat untuk presiden segera dibuat. "Dengan rekomendasi ini, kami harap ada kemajuan atas pengusutan kasus Trisakti, Semanggi I dan II dan Kerusuhan 1998." ujarnya. Erwin Dariyanto

    Lihat Juga


           Menurut Satjipto Raharjo, politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan hukum dalam masyarakat. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika masyarakat karena politik hukum diarahkan kepada ius constituendum, hukum yang seharusnya berlaku. Dalam konsep demokrasi, dengan memperhatikan dinamika masyarakat yang berkembang sejauh ini, beberapa hal mengharuskan penegakan HAM sebagai akibat dari perkembangan politik hukum yang terjadi, karena disanalah menjadi nilai penting sebagai salah satu penghargaan atas entitas manusia secara individual. HAM menjadi masalah yang cukup krusial dengan mempertimbangkan kecenderungan ancaman konflik dan kekerasan, yang didalam demokrasi selalu mengedepankan aspek itu. Namun, masalah HAM barangkali, kendatipun ada elemen muncul dari nilai yang diyakini sejauh ini relatif beririsan. Bisa seiring, tapi bisa pula bertubrukan. Permasalahan HAM ini menjadi permasalahan penting dalam politik hukum suatu negara.

           Sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskan (written law), maka penafsiran terhadap teks hukum tidak dapat dihindarkan. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa ruang bagi penafsiran. Teks-teks itu ditafsirkan oleh karena ia merupakan “a finitive-closed scheme of permessible justification”, sedang alam dan kehidupan sosial itu bukan suatu “scheme” yang “finite closed”, melainkan terus berubah, bergerak secara dinamis. Saat ini tengah berkembang bahwa hukum harus dilihat sebagai bangunan rasional, yang memiliki metode rasional pula bagi upaya untuk mengembangkannya. Beberapa tokoh positivisme hukum seperti Hans Kelsen, John Austin, Lon Fuller, Hart, Ronald Dworkin dan banyak lagi lainnya, mencoba membuat kerangka bangunan hukum yang serba tertib, teratur dan formal, dan struktur ilmu pun menjadi kaku dan bersifat positif-legalistik. Pandangan ini telah berkembang luar biasa masif, menghegemoni banyak pemikir hukum dan berakhir pada klaim absoluditas penjelasan yang dapat diterima. Realitas hukum termarjinalisasi dan pencarian kebenaran alternatif menjadi terhambat.

           Fenomena tersebut diatas ternyata juga terjadi di Indonesia, salah satunya adalah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999. Kasus Timor Timur bermula ketika Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Pada tanggal 5 Mei 1999 Pemerintah RI melakukan perjanjian dengan Portugal di New York di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur termasuk pengaturan pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur. Dalam Pasal 3 Perjanjian New York dinyatakan bahwa: “Pemerintah Indonesia akan bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timor Timur agar penentuan pendapat dapat dilaksanakan secara adil dan damai dalam suasana yang bebas dari intimidasi, kekerasan dan campur tangan dari pihak manapun”.

           Hasil jajak pendapat menunjukkan sebagian besar rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia. Setelah pengumuman hasil jajak pendapat, terjadi sejumlah tindak kekerasan yang menimbulkan korban jiwa maupun terjadinya kerusakan dalam skala besar terhadap rumah-rumah penduduk serta harta benda lainnya, bahkan terjadi pemindahan penduduk secara meluas. Berdasarkan hal-hal tersebut diduga telah terjadi pelanggaran berat HAM dan pelanggaran hukum humaniter. Menyikapi kekerasan yang terjadi di Timor Timur, pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 yang mengutuk tindak kekerasan yang terjadi di Timor Timur dan mendesak Pemerintah Indonesia mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. Tak hanya itu, Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada tanggal 23-27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timor Timur. Special session tersebut menghasilkan Resolusi Nomor 1999/S-4/1 yang menuntut kepada pemerintah Indonesia, antara lain dalam kerja sama dengan Komnas HAM menjamin orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap HAM akan diadili. Kemudian Pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP-HAM) pada tanggal 22 September 1999 dengan masa kerja terhitung sejak 23 September 1999 hingga akhir Desember 1999, yang kemudian diperpanjang hingga 31 Januari 2000.

           Dalam laporan yang disusun di Jakarta pada tanggal 31 Januari 2000, KPP-HAM menyatakan telah menemukan adanya pelanggaran berat HAM, yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup, hak atas integritas fisik, hak atas kebebasan, hak akan kebebasan bergerak dan bermukim serta hak milik. Pada bagian kesimpulan, KPP-HAM menyatakan telah berhasil mengumpulkan fakta dan bukti yang menunjukkan indikasi kuat telah terjadi pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara terencana, sistematis, serta dalam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan harta benda yang kesemuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah Indonesia pun diminta untuk membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili perkara-perkara pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengacu pada hukum nasional dan internasional, padahal pada saat itu Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak asasi manusia maupun pengadilan hak asasi manusia. Bahwa kemudian Pemerintah Indonesia menyusun dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 23 September 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 23 November 2000.

           Menurut Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, yang berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM dan berada di lingkungan Peradilan Umum. Pembentukan Pengadilan HAM tersebut pada awalnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pengadilan HAM, namun Perpu tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang pengadilan HAM mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham ad hoc, dengan kata lain baik Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diberlakukan secara ex post facto.  Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia merupakan suatu proses politik hukum dalam pendiriannya. Adanya kemauan pemerintah bersama warga negaranya untuk mengadopsi nilai-nilai yang menjunjung tinggi HAM dalam setiap produk hukum yang dibuatnya. Oleh karena itu hukum sebagai produk politik, dalam arti politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan..

           Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat peraturan perundang-undangan di bidang HAM tersebut (law making policy) maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan mengenai HAM, salah satunya adalah Peradilan HAM., dalam kerangka membangun hukum Indonesia yang progresif dari rule of law menuju rule of social justice. Lalu bagaimanakah pembentukan pengadilan HAM di Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu proses politik hukum?

    MEKANISME PROSES PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM DI INDONESIA TERKAIT KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI TIMOR TIMUR

    Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM.

           Orde Baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku Negara dan aparatnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) dalam laporan tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia sebagai akibat dari struktur kekuasaan yang otoriter.

           Selanjutnya, pasca Orde Baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor Timur pasca jajak pendapat menambah panjang sejarah pelanggaran HAM. Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala pelanggaran kian bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus Pelanggaran HAM berat di Timor Timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menguat.

           Berdasarkan laporan hasil penyelidikan oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM), telah ditemukan fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian dari berbagai pihak yang mengarah pada tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM yang menjadi tanggung jawab negara (state responsibilities). Pelanggaran tersebut mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, pemindahan paksa dan lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil. Berikut adalah fakta pelanggaran yang diperoleh KPP-HAM:

    Tabel 1: Pelanggaran yang ditemukan oleh KPP-HAM

    Pelanggaran Keterangan
    Pembunuhan massal dan sistematis Terdapat cukup banyak keterangan dan bukti-bukti, telah terjadi berbagai tindak kekerasan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah orang atas dasar alasan-alasan politik maupun bentuk diskriminasi lainnya, berlangsung kejam dan brutal serta extra judicial. Kasus pembunuhan terjadi di pemukiman penduduk sipil, di gereja, termasuk di penampungan pengungsi di markas militer dan polisi.
    Penyiksaan dan penganiayan Hampir dalam setiap kasus tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI, Polri dan milisi terdapat bukti tentang penyiksaan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil yang memiliki keyakinan politik berbeda. sebelum jajak pendapat, penganiayaan dilakukanoleh milisi tehadap warga sipil yang menolak untuk bergabung atau menjadi anggota milisi. Sesudah pengumuman jajak pendapat, penganiayaan merupakan bagian dari tindakan teror dan ancaman pembunuhan yang terjadi dalam setiap penyerangan, penyerbuan dan pemusnahan prasarana fisik termasuk berbagai kasus penyergapan terhadap iring-iringan pengungsi.
    Penghilangan Paksa Penghilangan paksa terjadi sejak diumumkannya dua opsi. Warga penduduk sipil yang berseberangan keyakinan politiknya telah diintimidasi, diancam dan dihilangkan. Penghilangan paksa ini dilakukan oleh kelompok-kelompok milisi yang diduga memperoleh bantuan dari aparat keamanan dengan cara menculik atau menangkap untuk kemudian beberapa diantaranya dieksekusi seketika.
    Kekerasasn Berbasis Gender Kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun KPP-HAM menyangkut penyiksaan, pemaksaan perempuan dibawah umur melayani kebutuhan seks para milisi, perbudakan seks dan perkosaan. Perkosaan tersebut memiliki bentuk:(a) seorang pelaku terhadap satu perempuan, (b) lebih dari satu pelaku terhadap satu perempuan, (c) lebih dari satu pelaku terhadap sejumlah perempuan secara bersamaan di satu lokasi, dan (d) penggunaan satu lokasi tertentu dimana tindak perkosaan dilakukan secara berulang kali.
    Pembumihangusan KPP-HAM di Timor Timur telah menemukan bukti bahwa telah terjadi suatu pengrusakan, penghancuran dan pembakaran secara massal, terencana dan sistematis di berbagai kota seperti Dili, Suai, Liquisa dan lainnya. Pembumihangusan ini dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk, kebun dan ternak, toko, warung, penginapan, dan gedung-gedung perkantoran, rumah ibadah, sarana pendidikan, rumah sakit dan prasarana umum lainnya serta instalasi militer maupun polisi. Diperkirakan tingkat kehancuran mencapai 70-80%.

                  Sumber: Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X tahun 2005 tentang KOMNAS HAM yang diterbitkan oleh ELSAM

           Kasus pembumihangusan di Timor Timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (international tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk adanya peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur semakin menguat bahkan Komisi Tinggi HAM untuk hak-hak asasi manusia telah mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Atas resolusi  tersebut Indonesia secara tegas menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia.

           Mekanisme penyelesaian secara hukum atas pelanggaran berat HAM pada dasarnya mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies yang mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum pengadilan nasional. Namun, fakor-faktor ketidakmauan dan ketidakmampuan dari Negara pelaku pelanggaran HAM berat dapat menyebabkan mekanisme internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Akan tetapi, faktor inability pada kenyataannya tidak secara otomatis menyebabkan penyelesaian dilakukan melalui mekanisme internasional, tetapi melalui hybrid tribunal yang merupakan internasionalisasi pengadilan nasional. Dengan demikian sistem hukum nasional tetap merupakan pilihan utama (primary fora) untuk menegakkan pertanggungjawaban tersebut. Hal ini sesuai dengan kewajiban negara untuk menegakkan prinsip supremasi hukum. Pertimbangan lain adalah kedekatannya dengan tempat, suasana dan iklim pada saat kejahatan terjadi, dan kedekatannya dengan pelaku serta korban. Tribunal ad hoc internasional sekalipun menggunakan istilah ‘primacy’ terhadap pengadilan nasional, pada dasarnya tetap memberikan kesempatan mengadili terlebih dahulu kepada sistem pengadilan nasional. Istilah yang digunakan dalam Preamble ICC lebih jelas yakni ‘complementary’.

           Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pengadilan nasional tidak mungkin dapat menerapkan jurisdiksi atas semua kejahatan tanpa mempedulikan di mana kejahatan tersebut terjadi. Jurisdiksi nasional tersebut harus mentaati ketentuan-ketentuan baik yang diatur oleh hukum nasional maupun asas-asas hukum internasional.

    Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-Undang Pengadilan HAM

           Berdasarkan kondisi tentang perlunya instrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur oleh Komnas HAM. Karena berbagai alasan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Secara konstitusional pembentukan Perpu tentang Pengadilan HAM dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
    2. Substansi yang diatur dalam Perpu tersebut masih terdapat kekurangan atau kelemahan.

           Setelah adanya penolakan Perpu tersebut oleh DPR maka pemerintah kemudian mengajukan rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM. Dalam Penjelasan pengajuan RUU tentang pengadilan HAM tersebut disebutkan sebagai berikut:

    a. Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah ada atau diterima oleh Negara Indonesia.

    b. Dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.

    c. Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.

           Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang kedua dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum, ayat (2) menyatakan “pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun”. Tidak sampai empat tahun, Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

    Legitimasi Berdirinya Pengadilan HAM Ad Hoc

           Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya Undang-Undang No. 26 tahun 2000.       Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada Pasal 43 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 43

    (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum   diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

    (2)  Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

    (3)  Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di lingkunganPeradilan Umum.

           Dalam penjelasannya, DPR yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini.

           Pertimbangan hukum pembentukan pengadilan HAM yang tertuang dalam Undang-Undang Pengadilan HAM oleh Mahkamah konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004 Tentang Penerapan Asas Berlaku Surut Dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat yang dimohonkan oleh Abilio Jose Osorio Soares, didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:

    Pertama, untuk menjawab sejumlah persoalan HAM yang selalu berulang (recurrent) yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu yang relatif lama sehingga pengadilan HAM ini diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah persoalan HAM masa lalu agar tidak selalu menjadi ganjalan yang tidak terselesaikan;

    Kedua, untuk menjawab sejumlah persoalan yang bersifat kontemporer atau muncul sebagai ”burning issues” yang berdimensi luas mengingat Indonesia tidak dapat mengisolasi dirinya dari sejumlah persoalan hak asasi manusia yang dihadapi oleh bangsa-bangsa didunia sebagai persoalan kolektif hak asasi manusia kontemporer;

    Ketiga, untuk memberdayakan institusi-institusi hak asasi manusia dalam menjawab sejumlah persoalan HAM di masa kini dan masa mendatang.

           Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang pengadilan  HAM tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM berat. Dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur pengadiln HAM ad hoc yang terbentuk melalui mekanisme sebagai berikut:

    a. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1), Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.

                 Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM juga sesuai dengan Perpu No. 1 Tahun 1999, dalam Perpu tersebut dinyatakan pihak yang berwenang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM. Komnas HAM lalu membentuk KPP-HAM yang memiliki ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data, informasi tentang pelanggaran HAM di Timor Timur. Dengan memberikan perhatian khusus pada pelanggaran berat HAM antara lain genocide, massacre, torture, enforced displacement, crime against woman and children. Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur Negara dan atau badan nasional dan internasional lain dalam pelanggaran HAM di Timor Timur.

    1. Hasil penyelidikan tersebut diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan jika sudah lengkap, maka atas dasar ketentuan Pasal 21 ayat (1), Jaksa Agung selaku penyidik menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan melakukan penyidikan.
    2. Hasil penyidikan menunjukkan adanya cukup alat bukti bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, maka diserahkan kepada Presiden.
    3. Presiden mengirimkan surat kepada DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah membentuk pengadilan ham ad hoc.
    4. DPR sependapat dengan Jaksa Agung, maka DPR mengajukan usul kepada presiden untuk dikeluarkan Keputusan Presiden tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

                 Setelah melalui proses persetujuan DPR dari hasil usulan sidang Pleno DPR melalui Keputusan DPR-RI No. 44/DPR-RI/III/2001 tanggal 21 Maret 2001.

    b. Presiden mengeluarkan Keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc.

                 Presiden mengeluarkan dua buah Keppres yaitu Keppres No. 53 Tahun 2001 dan Keppres No.96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah Keppres ini karena Keppres No. 53 Tahun 2001 oleh Pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan Keppres No.96 Tahun 2001 dan yurisdiksi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April sampai dengan September 1999 (penyempitan yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi yaitu kasus pelanggaran HAM dalam rentang pasca jajak pendapat tidak semuanya dapat diungkap, termasuk para pelakunya sehingga kesempatan untuk membuktikan adanya unsur sistematik dan meluas sedikit banyak terhalang).

                                                                                          Surat ke DPR

                                          1                                    2                             3

                              Penuntutan                                                                4

                                             6                              5          Rekomendasi

                                                                                    Keppres Pengadilan HAM

                                                                                    ad hoc

    Gambar.2

    Skema alur pengadilan HAM ad Hoc

           Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat di masa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik. Adanya ketentuan ini dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc, dimana pengadilan ini tidak dapat terbentuk bila tanpa adanya rekomendasi atau usulan dari DPR secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat dalam konteks politik.

    Tinjauan Yuridis Pembentukan Pengadilan HAM sebagai Suatu Proses Politik Hukum.

            HAM yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yamng Maha Esa dan merupakan anugeah-Nya yang wajib dihormati, dijujung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang. Hak-hak ini tidak dapat diingkari oleh siapapun juga. Pengingkaran terhadap hak prinsipil tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itulah baik negara, pemerintah maupun organisasi apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada tiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini mengandung maksud bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara.

            Di Indonesia pembahasan mengenai HAM terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28 A – 28 J (Bab X A), Ketetapan MPR RI Nomor.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi manusia dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang kemudian diikuti oleh asas-asas hukum internasional seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi-konvensi Internasional  yang telah diratifikasi dalam bentuk UU seperti UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, sebagai salah satu contohnya.

           Penegasan mengenai HAM dalam setiap bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia seperti disebut di atas, merupakan terdapatnya politik hukum pemerintah dalam melaksanakan nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam HAM. Pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang otoriter kepada sistem pemerintahan yang cenderung demokratis saat ini dapat telihat dengan jelas dari karakteristik produk hukum yang dihasilkannya. Hal ini dapat dijelaskan dalam konfigurasi politik dan produk hukum bahwa dalam sistem yang demokratis maka menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsif[1]. Produk hukum yang responsif ialah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat[2].

           Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada Das Sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang.  Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah  bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Dalam konsep dan konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa ”hukum merupakan produk politik”[3]

            Roscoe Pound dan Von Savigny masing-masing mengatakan bahwa “law is a tool of  social engineering” (hukum determinan atas masyarakat) dan “society changes,so does law as well”  (masyarakat determinana atas hukum).  Hal tersebut menegaskan bahwa hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan apa yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.  Demikian pula halnya yang terjadi pada salah satu bidang peegakan hukum, dimana adanya keinginan masyarakat baik nasional atau internasional untuk segera memiliki atau membentuk institusi peradilan yang khusus mengenai masalah HAM di wilayah Indonesia.

           Politik hukum HAM merupakan kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM yang mencakup kebijakan Negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan abagiamana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh penguasa[4]. Dengan demikian, UU Nomor 26 Tahun 2000 merupakan pengganti dari Perpu  Nomor 1 Tahun 1999 tentang hal yang sama, maka ada beberapa hal pertimbangan Pemerintah dalam penyusunan tentang RUU Pengadilan HAM, antara lain adalah sebagai berikut :

    Pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian  merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjujung tinggi dan melaksanakan Delarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB., serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur mengenai HAMyang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.

    Kedua, dalam rangka melaksanakan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.  Hal ini mengingat kebutuhan yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan Internasional, maka segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai Pengadilan khusus untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat.

    Ketiga untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban, termasuk perkonomian nasional. Keberadaan Pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepecayaaan masyarakat dan duinia Internasional terhadap penegakana hukum dan jaminana kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia[5].

           Bila diamati lebih lanjut maka berdasarkan segala pertimbangan tersebut, pada prinsipnya dapat disimpulkan perlu membentuk suatu pertauran perundang-undangan yang mengakomodir mengenai institusi peradilan khusus yang bersifat permanen  dalam mengangani masalah pelanggaran HAM (Pengadilan HAM). Ha ini sangat penting untuk menjaga reformasi dalam langkah demokrasi politik  ke depan yang dapat diwujudkan dari politik hukum pemerintah, dimana salah satunya merevisi perundnag-undnagan di bidang kehakiman dan pemberlakuan UU HAM dan Pengadilan HAM[6]. Oleh sebab itu jika dikaitkan dengan politik hukum, maka dalam sistem yang demokratis akan menghasilkan produk yang responsif, hal ini dikarenakan politik hukum lahir dari suatu tatanan Negara yang ingin lebih demokratis maka menghasilkan produk hukum yang lebih responsive salah satunya dibentuk UU mengenai HAM, Pengadilan HAM dan KKR.

    SARAN PENULIS

    Saran yang dapat penulis berikan terkait dengan permasalahan di atas ialah:

    1. Penerapan prinsip tanggung jawab Negara atas pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam hukum internasional, pelaksanaannya sangat bergantung dari kemauan Negara yang menjadi pelanggarnya. Oleh karena itu, agar penerapan prinsip tanggung jawab Negara dapat mengikat secara hukum diperlukan instrument hukum yang lebih mengikat dalam bentuk perjanjian internasional atau treaty.
    2. Pemerintah segera menyidangkan perkara-perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, melakukan rekonsiliasi nasional mengenai pemberian pengampunan  atas segala pelanggaran yang terjadi di masa lalu serta menghindari terulangnya/terjadinya pelanggaran HAM berat. Apabila terjadi kembali, ancaman hukuman seberat-beratnya dapat diberikan tanpa pandang bulu (equality before the law).

    Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD Angkatan 2010.

    [1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta : LP3ES Inonesia, 2001) hal 15

    [3] Dikemukakan oleh Prof.  Koesnoe dalam ceramah Ilmiah di Fakultas Hukum UII, Yigyakarta. 5 Juni 1981 (tanpa menyebut sumber)

    [4] Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Politik Hukum  yang disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia (UII) (Yogyakarta 23 Sepember 2000), hal. 4

    [5] Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Catatan dan Gagasan :Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, (Tim Pakar Hukum  Departeman Kehakiman dan HAM, 2002) Hal. 75-77