Seorang anshor yang dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf oleh Nabi Muhammad SAW adalah

BincangSyariah.Com – Pada tulisan sebelumnya mengenai Abu Ubaidah Ibnu al-Jarrah, [Baca: Abu Ubaidah; Sahabat Nabi Kepercayaan Umat] disebutkan bahwa ia adalah satu di antara orang-orang pertama yang menerima panggilan Islam. Selain Abu Ubaidah, ada juga orang bernama Abdu Amr bin Auf bin Abdu Auf bin al-Harits bin Zuhroh bin Kilab bin Murrah. Setelah bertemu dengan Rasulullah saw dan menyatakan keislamannya, Abdu ‘Amr berganti nama menjadi Abdurrahman. Jadilah ia dikenal dengan nama Abdurrahman bin Auf, pebisnis ulung yang telah membelanjakan hartanya demi agama Islam.

Dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra karya Abu Abdillah al-Baghdadi atas dasar riwyat dari Ya’qub bin ‘Utbah dijelaskan bahwa Abdurrahman bin Auf lahir sepuluh tahun setelah tahun gajah. Artinya usia Abdurrahman bin Auf terpaut sepuluh tahun lebih muda dari Nabi Muhammad saw. Dalam hitungan Ahmad Rofi’ Usmani, Abdurrahman bin Auf lahir pada tahun 581 M.

Tumbuh dari keluarga bangsawan Quraisy, Abdurrahman bin Auf menjadi sahabat sekaligus kolega dagang Nabi Muhammad, Abu Bakar al-Shiddiq, Usman bin Affan dan lain lain. Kedekatannya dengan figur Muhammad al-Amin [sebelum diangkat sebagai Rasul] telah meyakinkan dirinya untuk tidak ragu sedikitpun memeluk Islam.

Salah satu ekspresi kekaguman Abdurrahman bin Auf terhadap sosok Nabi Muhammad saw ditunjukkan dengan memberikan nama Muhammad kepada salah satu anaknya. Sehingga di masa Islam, nama kunyah [panggilan berdasarkan hubungan darah] Abdurrahman bin Auf adalah Abu Muhammad, merujuk pada nama anaknya yang bernama Muhammad.

Sosok Abdurrahman bin Auf dikenal sebagai orang yang handal dalam berdiplomasi. Tak heran jika Abdurrahman bin Auf dipercaya untuk ikut dalam rombongan ke berbagai tempat untuk berhijrah ketika pada masa awal Islam. Dalam catatan Muhammad bin Ishaq, Abdurrahman bin Auf ikut dalam rombongan hijah ke Habasyah, baik hijrah yang pertama maupun rombongan hijrah yang kedua.

Ketika para sahabat mulai berhijrah ke Madinah dan Rasulullah mengikatkan persaudaraan antara kelompok anshor dan muhajirin, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin al-Rabi’ [Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Ar-Rabi’: Sahabat sampai akhirat]. Meskipun Sa’ad menawarkan agar sebagian hartanya dimiliki oleh Abdurrahman sebagai kerelaan hatinya sebagai saudara, namun Abdurrahman bin Auf menolaknya dengan halus. Alih-alih menikmati harta pemberian orang, Abdurrahman meminta kepada Sa’ad untuk ditunjukkan jalan menuju pasar. Karena pengalaman dan keahliannya dalam berbisnis, tidak begitu lama Abdurrahman bin Auf menjadi enterpreneur sukses di Madinah meskipun berjuang kembali dari nol.

Kekayaan yang dimiliki Abdurrahman bin Auf tidak membuatkan pelit dan bangga diri. Ia tidak segan untuk mengeluarkan hartanya untuk digunakan dalam perjuangan dakwah Islam. Dikisahkan bahwa pada masa perang Tabuk, Abdurrahman menjamin logistik pasukan dengan mengeluarkan harta sebanyak 200 uqiah emas atau setara dengan 6.200 gr emas yang jika dirupiahkan sekarang kurang lebih jumlahnya sekitar 4,34 miliar rupiah. Harta kekayaannya cukup fantastis. Untuk ukuran saat ini pun, agak sulit mendapatkan konglomerat yang berani mengeluarkan kocek pribadi sebanyak Abdurrahman bin Auf.

Selain sebagai sosok kaya raya, Abdurrahman bin Auf juga seorang prajurit yang tangguh di medan perang. Ia ikut dalam setiap peperangan yang dikawal oleh Nabi Muhammad termasuk di antaranya pada perang Badar, perang Uhud, perang Tabuk, dan peperangan lain.

Tidak hanya itu, Abdurrahman bin Auf juga merupakan seorang perawi hadis yang banyak dirujuk para sahabat lain. Dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala disebutkan beberapa orang yang berguru kepada Abdurrahman bin Auf di antaranya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik. Bahkan dalam kitab al-Tarikh wa Asma’ al-Muhadditsin karya Muhammad al-Maqdami, Abdurrahman bin Auf mewariskan pengetahuannya tentang Nabi kepada anak cucunya. Nama-nama anak keturunan Abdurrahman bin Auf tercatat antara lain Abu Ishaq Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, Humaid bin Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Ibrahim, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman, dan seterusnya.

Dalam catatan al-Thabaqat al-Kubra disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf wafat di Madinah pada tahun 31 H dalam usia 75 tahun. Pada saat meninggal, Abdurrahman meninggalkan harta warisan sebanyak 1500 dinar emas, 1000 ekor unta, 300.000 ekor domba, dan 100 ekor kuda. Fakta ini membuktikan bahwa kedermawanan Abdurrahman bin Auf tidak sedikitpun mengurangi harta bendanya, bahkan kekayaannya terus bertambah untuk diwariskan kepada anak-cucunya. Wallahu A’lam.

IBNU Ishaq menuturkan: Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam mempersatukan sahabat Muhajirin dengan sahabat Anshar dalam ikatan persaudaraan. Beliau bersabda, “Bersaudaralah kalian karena Allah; dua bersaudara, dua bersaudara.” Beliau mengangkat tangan Ali bin Abu Thalib, kemudian bersabda, “Ini saudaraku.”

Hamzah bin Abdul Muthalib singa Allah, singa Rasul-Nya dan paman beliau. Ia dipersaudarakan dengan Zaid bin Haritsah mantan budak beliau. Hamzah bin Abdul Muthalib berwasiat sesuatu hal kepada Zaid bin Haritsah pada Perang Uhud apabila terjadi sesuatu pada dirinya [yakni meninggal dunia]. Ja’far bin Abu Thalib [pemilik dua sayap dan menjadi burung di surga] dipersaudarakan dengan Muadz bin Jabal, saudara Bani Salimah.

BACA JUGA: Lakukan 4 Hal Ini saat Mendengar Saudara Anda Dighibahi

Ibnu Hisyam berkata: Ja’far bin Abu Thalib saat itu sedang berada di Habasyah.

Ibnu Ishaq berkata: Abu Bakar Ash- Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid bin Abu Zuhair, saudara Bani Balharits bin Al-Khazraj. Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dipersaudarakan dengan ‘Itban bin Malik, saudara Bani Salim bin Auf bin Amr bin Auf bin AI-Khazraj. Abu Ubaidah bin Abdullah bin Al Jarrah -ia bernama asli Amir bin Abdullah- dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Muadz bin Nu’man, saudara Bani Abdul Asyhal.

Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’ saudara Bani Bal-harits bin Al-Khazraj. Az-Zubair bin Awwam dipersaudarakan dengan Salamah bin Salamah bin Waqs, saudara Bani Abdul Asyhal. Ada juga yang mengatakan bahwa Zubair bin Awwam dipersaudarakan dengan Abdullah bin Mas’iri sekutu Bani Zuhrah. Utsman bin Affan dipersaudarakan dengan Aus bin Tsabit bin AlMundzir, saudara Bani An-Najjar. Thalhah bin Ubaidillah dipersaudarakan dengan Ka’ab bin Malik, saudara Bani Salimah. Sa’id bin Zaid bin Amir bin Nufail dipersaudarakan dengan Ubay bin Ka’ab saudara Bani An-Najjar. Mush’ab bin Umair bin Hasyim dipersaudarakan dengan Abu Ayyub Khalid bin Zaid, saudara Bani An-Najjar. Abu Huzhaifah bin Utbah bin Rabi’ah dipersaudarakan dengan Abbad bin Bisyr bin Waqsy, saudara Bani Abdul Asyhal.

Ammar bin Yasir sekutu Bani Makhzum dipersaudarakan dengan Hudzaifah bin Al-Yaman, saudara Bani Absu sekutu Bani Ab-dul Asyhal. Ada juga yang mengatakan Tsabit bin Qais bin Asy-Syammas saudara Al-Harits bin Al-Khazraj khatib Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam dipersaudarakan dengan Ammar bin Yasir.

Abu Dzar yang bernama Barir bin Jinadah AI-Ghifari dipersaudarakan dengan Al-Mundzir bin Amr, saudara Bani Saidah bin Ka’ab bin Al-Khazraj.

Ibnu Hisyam berkata: Aku dengar dari sekian banyak ulama bahwa Abu Dzar adalah Jundab bin Junadah.

Ibnu Ishaq berkata: Hathib bin Abu Balta’ah sekutu Bani Asad bin Abdul Uzza dipersaudarakan dengan Uwaim bin Saidah saudara Bani Amr bin Auf.

Salman Al-Farisi dipersaudarakan dengan Abu Ad-Darda’ Uwaimir bin Tsa’labah, saudara Bani Balharits bin Al-Khazraj.

Ibnu Hisyam berkata: Uwaimir adalah anak Amir. Ada yang mengatakan Uwaimir adalah anak Zaid.

Ibnu Ishaq berkata: Bilal mantan budak Abu Bakar Radhiyallahu An/iuma dan muadzin Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam dipersaudarakan dengan Abu Ruwaihah Abdullah bin Abdurrahman Al-Khats’ami, salah seorang Faza’ yang sangat terkenal.

Demikianlah di antara nama-nama yang dipersaudarakan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam.

BACA JUGA: Siapakah Saudara yang dirindukan Nabi?

Ketika Umar bin Khaththab membuat departemen-departemen di Syam, Bilal berangkat ke sana dan menetap di sana sebagai seorang mujahid, Umar bin Khaththab berkata kepada Bilal: “Hai Bilal, engkau dengan siapa ditulis dalam surat persaudaraan itu?”

Bilal menjawab: “Dengan Abu Ruwaihah. Aku akan selalu bersama dengannya selama-lamanya, karena persaudaraan yang telah ditetapkan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam antara aku dengan dia.”

Umar bin Khaththab pun menggabungkan Bilal kepada Abu Ruwaihah dan menggabungkan departemen orang-orang Habasyah ke dalam departemen orang-orang Khatsam, karena kedudukan Bilal di tengah-tengah mereka. []

Referensi: Sirah Nabawiyah perjalanan lengkap Kehidupan Rasulullah/ Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani/ Akbar Media

Kirim tulisan Anda yang sekiranya sesuai dengan Islampos lewat imel ke: , paling banyak dua [2] halaman MS Word, ukuran font 12 Times New Roman. Untuk semua tulisan berbentuk opini, harap menyertakan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.


loading...

loading...


Oleh: Siti Nur RosifahMahasiswi Program Studi Ilmu Ekonomi Islam FEUI 2013, Peserta Program Pembinaan SDM Strategis [PPSDMS] Angkatan VII

PERMISALAN kaum mukminin dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling berlemah lembut seperti satu tubuh; apabila salah satu anggotanya sakit maka menjadikan seluruh tubuhnya demam dan tidak bisa tidur. [Muttafaqun ‘Alaihi]

Sendiri. Bayangkanlah ketika kita mengunjungi suatu tempat yang belum pernah kita kunjungi. Kita merasa sendiri dan tidak tahu harus berbuat apa di tempat itu dengan tanpa memiliki sedikitpun harta. Kita tidak mempunyai perbekalan, tidak mempunyai kawan, bahkan tidak mengetahui daerah dimana kita berada. Tiba-tiba, di saat yang seperti itu kita dipersaudarakan oleh seseorang yang begitu baiknya menganggap kita seperti saudaranya sendiri. Dia menawarkan setengah dari harta kekayaannya yang begitu banyak, bahkan menawarkan sesuatu yang amat dicintainya.

Adalah Abdurrahman bin Auf, sahabat Rasulullah yang hijrah dari Mekah ke Madinah tanpa membawa apapun. Sama seperti beberapa sahabat lainnya; Bilal dengan Abu Ruwaihah, Abu Bakar dengan Kharija bin Zaid, Umar dengan Itsban bin Malik, maka Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan [taakhi] dengan Sa’ad bin Rabi’ oleh Rasulullah. Di awal kedatangannya di Madinah, Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin. Persaudaraan itu dilakukan tanpa melihat apakah mereka itu kaya atau miskin, tua atau muda. Rasulullah mempersaudarakan mereka atas dasar akidah Islam yang sama-sama dianut. Dalam persaudaraan tersebut, mereka memiliki hak dan kewajiban untuk saling membantu dan mengingatkan dalam hal kebaikan yang diridhoi Allah. Saling mendukung ketika salah satu dari mereka mengalami kesulitan.

Abdurrahman bin Auf tentu merasa sangat bahagia dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’. Sa’ad sendiri merupakan salah satu dari kaum Anshar yang paling kaya di Madinah. Kebun kurma, gandum, hingga unta dan domba yang dimilikinya sangatlah banyak. Berbeda dengan kondisi Abdurrahman bin Auf yang tidak memiliki apa-apa kala itu.

Ketika tiba di Madinah dan dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf, Sa’ad menawarkan harta yang dimilikinya itu kepada Abdurrahman. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka kawinilah ia..” Kemudian Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?”.

Lihatlah betapa indahnya persaudaraan diantara mereka yang terjalin tanpa memandang harta. Sa’ad yang mempunyai banyak harta tidaklah merasa berat untuk membagi apa yang dimilikinya kepada saudaranya. Akan tetapi, dari sisi Abdurrahman yang ditawari harta tersebut pun tidak serta-merta menerima pemberian dari saudaranya dengan cuma-cuma. Abdurrahman lebih memilih untuk berusaha dengan meminta Sa’ad menunjukkan letak pasar.

Tidak mudah untuk bersikap seperti apa yang ditunjukkan oleh dua orang yang dipersaudarakan tersebut. Mengorbankan apa yang dimilikinya dan begitu dicintainya demi saudaranya. Dan tetap berusaha untuk bekerja dengan kemampuan kita sendiri dibanding menerima begitu saja pemberian saudaranya tanpa berusah, padahal pada saat itu Abdurrahman benar-benar tidak memiliki apapun dan tidak mengetahui daerah dimana ia berada. Abdurrahman tidak mau disuapi ikan terus menerus, ia hanya ingin diberi kail untuk memperoleh ikan dengan usahanya.

“Terimakasih saudaraku. Aku menghormati keputusanmu untuk membagi dua harta milikmu. Semoga Allah memberkahimu. Tapi aku tidak bisa menerimanya. Rasulullah mengajarkan ku untuk selalu hidup di atas kekuatan kaki ku sendiri. Sekarang aku hanya ingin kau mengantarkanku ke pasar. Aku akan berdagang,” kata Abdurrahman dengan santun. Kemudian Sa’ad mengantar Abdurrahman ke pasar Bani Qainuqa, pasar terbesar di kota Madinah.

Dalam kehidupan modern seperti saat ini, dimana banyak orang selalu melihat kedudukan orang lain berdasarkan harta yang dimiliki, sudah saatnya kita meneladani persaudaraan yang terjalin antara Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’. Persaudaraan yang memang dilandasi oleh keyakinan terhadap Allah yang begitu tinggi. Persaudaraan yang terjalin tanpa memandang materi. Persaudaraan yang membawa pada penguatan ukhuwah antarmuslim.

Ingatlah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Salah seorang diantara kalian baru sempurna imannya manakala ia mencintai kepentingan saudaranya seperti mencintai kepentingan dirinya sendiri.” Maka, sebagai seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti Indonesia ini sudah sepantasnya kita berusaha mencintai kepentingan saudara kita sesama muslim jika mereka membutuhkan pertolongan. Jika memungkinkan, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah untuk membuat taakhi dapat kita contoh di zaman ini. []

OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: , paling banyak dua [2] halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.

Kirim tulisan Anda yang sekiranya sesuai dengan Islampos lewat imel ke: , paling banyak dua [2] halaman MS Word, ukuran font 12 Times New Roman. Untuk semua tulisan berbentuk opini, harap menyertakan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.


loading...

loading...

Video yang berhubungan