Secara berurutan nama tokoh kerajaan Kutai yang disebutkan di dalam Prasasti Yupa adalah

Ditulis Oleh: .
25 Juni 2020

kaltimkece.id Kegemparan menyeruak di sebuah bukit bernama Berubus yang kini masuk wilayah administrasi Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Satu setengah abad silam, tepatnya pada 1879, sejumlah batu yang telah dipahat huruf-huruf asing ditemukan.

Semuanya ada tujuh batu. Aksara yang dipahat di atas permukaan batu tersebut adalah Pallawa, kadang disebut juga aksara Tamil Grantha. Bahasa yang dipakai untuk menulis prasasti ini adalah Sansekerta. Aksara dan bahasa tersebut dipakai di India Selatan pada abad kelima Masehi. Dengan demikian, prasasti di batu tersebut diperkirakan dibuat tidak jauh dari tarikh tadi. 

Tiang batu yang berukir prasasti ini disebut yupa. Setelah diteliti secara mendalam oleh sejumlah ahli, ketujuh yupa tersebut menguak peradaban Nusantara. Yupa ini adalah bukti sahih berakhirnya zaman pra-sejarah (masa ketika manusia belum mengenal aksara) di Nusantara. Sampai ditemukan bukti baru yang lebih kuno, yupa di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tetap yang paling tua di wilayah Indonesia hingga hari ini. 

Tertulis tiga nama raja dalam prasasti yupa yakni Kundunga, Aswawarman, dan Mulawarman. Ketiganya, secara berurutan, memimpin sebuah wilayah Kutai Kuno yang disebut Martapura (sebelum belakangan ini lebih populer disebut Martadipura). Kundunga adalah pemimpin pertama sekaligus ayah Aswawarman dan kakek dari Mulawarman. 

Sayangnya, prasasti yupa tidak banyak memberikan informasi tentang Kundunga. Wajar kiranya mengingat yupa ini dibuat pada masa Raja Mulawarman berkuasa. Kisah kebesaran Mulawarman yang lebih banyak disinggung di dalam yupa. Nama Kundunga, masih menyimpan banyak misteri.

Secara berurutan nama tokoh kerajaan Kutai yang disebutkan di dalam Prasasti Yupa adalah

Tentang Nama

Penulis termasuk orang yang tak mempersoalkan pilihan penyebutan nama Kundunga. Sebagai pembuka, nama Kundunga merujuk kepada pendapat Prof Boechari, seorang guru besar yang karyanya dipandang paling tinggi oleh ahli sejarah kuno dan epigrafi. Pengakuan ini tak hanya di Indonesia, tapi juga dunia. 

Dalam bukunya, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (2012), Boechari menulis bahwa Aswawarman adalah anak laki-laki Kundunga. Adapun Kundunga, adalah seorang kepala suku yang di dalam prasasti itu disebut narendra atau raja (hlm 551).

Para sejarawan kemudian sering menyebut Kundungga atau Kudungga. Nama Kundungga memang lebih populer dan lebih enak diucapkan dibanding Kundunga. 

Namun demikian, penyebutan nama dalam prasasti semestinya tidak sekadar merujuk kepada sejarawan melainkan kepada pakar epigrafi. Epigrafi adalah cabang ilmu arkeologi yang mempelajari benda-benda bertulis dari masa lalu, di antaranya prasasti. Bagian terpenting dari penyebutan nama ini adalah bunyi dari prasasti yupa yang ditemukan di Muara Kaman. Di dalam prasasti, tertulis nama Kundungasya, bukan Kundunggasya atau Kudunggasya.

Secara berurutan nama tokoh kerajaan Kutai yang disebutkan di dalam Prasasti Yupa adalah

Melacak Kundunga

Terlepas dari ragam sebutan namanya, sosok Kundunga masih berkalang misteri. Sejumlah ahli dan sejarawan telah berusaha menguaknya. Prof Boechari, misalnya, menguraikan sejumlah pendapat mengenai prasasti yupa. 

Meskipun tidak semua tertulis di dalam prasasti, Prof Boechari mengatakan, penemuan yupa dapat menjelaskan proses masuknya pengaruh kebudayaan India ke Nusantara. Pada awalnya, para kepala suku atau si 'orang besar' (the bigman) seperti Kundunga berkenalan dengan kebudayaan India. Para kepala suku lalu mendatangkan guru (pendeta) untuk mengajarkan bahasa Sanskerta dan kitab-kitab suci. 

Guru-guru dari India tersebut selanjutnya mengadakan upacara wratyastoma. Upacara ini menandakan seseorang masuk sebuah kasta dalam agama Hindu kuno. Kepala suku lokal biasanya masuk kasta ksatria. Upacara tersebut selanjutnya diikuti penobatan kepala suku tadi sebagai raja.

Kundunga diasumsikan sebagai kepala suku setempat tersebut. Ia mendapat pengaruh India dan dinobatkan sebagai raja. Menariknya, meskipun telah dinobatkan sebagai raja, Kundunga dianggap bukan pendiri kerajaan. Ada berita yang menyebutkan pendiri kerajaan atau dinasti (vansakartta/wangsakarta) ialah Aswawarman. Kemungkinan ini muncul karena baru sejak Aswawarman, derajat keluarga dianggap sejajar dengan kaum ksatria di India (Sejarah Nasional II Zaman Kuno Edisi Pemuktahiran, 2010).

Perkiraan ini dilandasi kepada kenyataan bahwa kata warman berasal dari bahasa Sanskerta. Akhiran ini biasanya digunakan untuk nama orang India bagian selatan. Warmman atau Warman berarti baju zirah, baju besi, atau baju perang. Makna itu merujuk kepada Dewa Surya (Angsuman). Dewa Surya dianggap sebagai dewa dengan baju zirah yang sempurna, kuat, lentur, dan bahkan menyatu dengan kulitnya. 

Penghormatan kepada Dewa Surya itu ditunjukkan melalui nama putra Kundunga, Aswawarman, yang bermakna kuda perang (aswa: kuda, warmman: baju zirah). Masyarakat Hindu kuno menganggap kuda sebagai representasi wahana atau kendaraan sang dewa matahari. Sementara nama Mulawarman yang berarti baju zirah yang permulaan adalah matahari yang dianggap permulaan alam semesta.

“Mulawarman adalah seorang Indonesia asli karena kakeknya masih menggunakan nama Indonesia asli, Kundungga,” demikian Poesponegoro dan Marwati Djoened dalam Sejarah Nasional II Zaman Kuno (2010, hlm 36). 

Nama Kundunga jelas bukan nama yang berbau India. Kundunga juga dianggap belum memeluk agama Hindu India. Menurut Poerbatjaraka dalam Riwajat Indonesia Djilid I (1951), Kundunga diyakini bukan pendatang dari India melainkan dari wilayah lain di Nusantara yang datang ke wilayah Kutai kuno (hlm 10).

Secara berurutan nama tokoh kerajaan Kutai yang disebutkan di dalam Prasasti Yupa adalah

Perkiraan Asal-Muasal Kundunga

“Jika kita ketahui bahwa pada saat ini ada nama Bugis yang mirip dengan Kundungga yaitu Kadungga, barangkali tidak terlalu jauh dari kebenaran seandainya Kundungga dianggap sebagai orang Indonesia asli yang untuk pertama kalinya menyentuh pengaruh India, tetapi belum sepenuhnya menganut pengaruh baru tersebut.” (Sejarah Nasional II Zaman Kuno, 2010, hlm 38). 

Prof Dr Agus Aris Munandar adalah seorang guru besar di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, yang sependapat dengan hipotesis di atas. Dalam bukunya, Kaladesa: Awal Sejarah Nusantara (2019), ia menulis bahwa nama yang agak mirip dengan Kundungga adalah Kadungga sebagai nama diri orang Bugis (hlm 48).

Saking miripnya, Amir Hasan Kiai Bondan dalam Suluh Sedjarah Kalimantan (1953) bahkan menulis Kudangga sebagai kakek dari raja Mulawarman alih-alih Kundunga.

“Menurut kitab pusaka Djawa, Sangkala anak Batara Angga Djali menyebut Pulau Kalimantan (Borneo) Pulau Kantjana. Pada kira-kira abad kelima, pengaruh bangsa Hindu yang beragama lain Brahma, di bawah pemerintahan Radja Mulawarman, anak oleh Acwawarman, dan cucu oleh Kudangga, telah mengembangkan pengaruh langsung sampai di Kalimantan, terutama di bagian sebelah Kalimantan Timur (Kutai).” (hlm 69)

Kundunga yang dianggap mirip dengan nama diri orang Bugis ini punya penjelasan khusus. Yang pertama, hubungan antara Kalimantan dan Sulawesi diperkirakan sudah berlangsung sejak lama, bahkan mungkin sejak prasejarah.

Secara berurutan nama tokoh kerajaan Kutai yang disebutkan di dalam Prasasti Yupa adalah

Ditelusuri lebih ke belakang lagi, hubungan antara orang Kalimantan dan Sulawesi dijelaskan dalam Manusia Bugis (2006) yang ditulis Christian Pelras. Menurut Pelras yang mengutip Mills selaku penulis Proto South Sulawesi, nenek moyang orang Sulawesi datang dari laut atau dari pulau lain. Teori ini mirip dengan tradisi lisan Toraja. 

Kedatangan nenek moyang orang Sulawesi kemungkinan melalui serangkaian perpindahan penduduk yang susul-menyusul. Mereka tidak datang dalam satu gelombang migrasi besar-besaran. Boleh jadi, leluhur orang Sulawesi berasal dari pulau mana saja di sebelah utara atau barat.

“Akan tetapi, jika anggapan Mills benar bahwa lokasi pertama yang ditempati para pendatang adalah di sekitar muara Sungai Saddang, kemungkinan besar asalnya dari Kalimantan Timur, yakni sekitar Kutei-Samarinda atau bagian tenggara Kalimantan, yakni Pagatan-Pulau Laut,” tulis Pelras (hlm 45-46). 

Pendek kata, teori ini menyebutkan bahwa nenek moyang orang Sulawesi adalah orang Kalimantan. Pelras meneruskan, “Jika belakangan ini di kedua wilayah tersebut ditemukan perkampungan Bugis, mungkin tanpa disadari, mereka (orang-orang Bugis) sebenarnya kembali ke tempat asal nenek moyangnya” (hlm 45-46). 

Yang kedua adalah jejak peradaban manusia. Jejak linguistik menghubungkan bahasa-bahasa di Kalimantan dan Sulawesi. Sama halnya dengan penemuan arkeologi seperti patung perunggu, sampai jejak gambar di gua prasejarah, baik di Kalimantan dan Sulawesi. 

Sebenarnya tidaklah mengherankan jika Kutai pada masa Kundunga menjalin perdagangan di daerah sekitar. Untuk datang dan pergi dari kedua pulau ini, hanya perlu satu sampai dua hari naik perahu layar. Logikanya, jika pada abad kelima saja orang-orang di Muara Kaman sudah berhubungan dengan India selatan, apatah lagi dengan Sulawesi yang lebih dekat. 

Lagi pula, Muara Sungai Saddang yang diperkirakan titik kedatangan pertama nenek moyang orang Sulawesi, adalah produsen besi dan emas. Begitu pula pantai Mandar yang merupakan jalur penghasil besi Seko dan Luwu' di utara Teluk Bone untuk memperoleh emas, besi, dan tembaga. Logam seperti ini diperlukan setidaknya sebagai alat menulis prasasti. Boleh jadi pula, peralatan logam untuk memahat prasasti yupa pada masa Mulawarman berasal dari Sulawesi. 

Victor T King dalam bukunya The People of Borneo (1993) memperkuat teori ini. Menurutnya, hubungan Bugis dan Kalimantan pada masa lalu terjalin karena kelompok Sulawesi selatan terkenal sebagai pandai perak yang berpindah dan dapat mengolah kuningan dan tembaga (hlm 48). 

Peninggalan dari hubungan ini juga masih bisa dilihat sekarang. Pada sulat atau hiasan perak, pengganti lilitan rotan di hulu atau gagang mandau di Kalimantan Timur sampai Serawak menggunakan gaya Bugis. 

Secara berurutan nama tokoh kerajaan Kutai yang disebutkan di dalam Prasasti Yupa adalah

Kundunga Tidak Berasal dari Jawa 

Sebenarnya ada teori lain seputar asal-usul Kundunga. Kesultanan Kutai Kertanegara --kerajaan yang lebih muda di hilir Sungai Mahakam yang menaklukkan Martapura-- pernah memiliki memori Kutai. Memori ini diberikan oleh Demang Kedaton kepada Kementerian Penerangan untuk keperluan menyusun buku Republik Indonesia Kalimantan yang terbit pada 1953. Di dalam buku itu disebutkan bahwa Mulawarman merupakan keturunan Maharadja Selendra Radjendra Warman dari Pulau Jawa.

Pernyataan tersebut segera dibantah Bupati Kutai, Ahmad Dahlan. Menurutnya, catatan dalam memori Kutai tidak mengandung kebenaran. Dahlan punya argumen yang kuat. Tarikh raja-raja keturunan Sailendra yang berkuasa di Jawa Tengah selama kurang lebih satu abad adalah 750-850 Masehi. 

“Padahal, menurut prasasti yupa, kerajaan Hindu di Kalimantan Timur disimpulkan berdiri sekitar tahun 400 Masehi,” tulis Adham, nama pena Ahmad Dahlan, dalam Salasilah Kutai Jilid II (1980, hlm 5). Dengan demikian, tidak mungkin kerajaan Hindu di Kutai Kuno dibangun dinasti Sailendra yang baru berdiri tiga abad selepas Kundunga berkuasa. (*)

(Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis)

Disunting oleh: Fel GM

Senarai Kepustakaan