Sebutkan tokoh teater pada periode awal perkembangan 1945 sampai 1960

Sebutkan tokoh teater pada periode awal perkembangan 1945 sampai 1960


Perkembangan Teater Modern Indonesia memiliki sejarah yg cukup panjang, yakni dimulai dari: 1. Teater Transisi 2. Teater  Indonesia tahun 1920-an 3. Teater Indonesia tahun 1940-an 4. Teater Indonesia Tahun 1950-an 5. Teater Indonesia Tahun 1970-an 6. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an, dan 7. Teater Kontemporer Indonesia

1. Teater Transisi

Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater kepada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yg masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak kepada cerita yg sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud  cerita ringkas alias outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung bersama dekorasi.  Mulai memperhitungkan teknik yg mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yg dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yg kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) bersama mengawali berdirinya gedung  Schouwburg kepada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Perkenalan masyarakat Indonesia kepada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboeldi Surabaya kepada tahun 1891, yg pementasannya secara teknik sudah pernah banyak mengikuti budaya bersama teater Barat (Eropa), yg kepada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yg pertama yg ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yangberjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, kepada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), bersama lain-lainnya, yg menggunakan bahasa Melayu Rendah. Setelah Komedie Stamboel didirikan  muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yg didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro kepada tanggal 21  Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan,  Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, bersama lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum berbahaya tumbuh; ada istilahteater. Yang ada adalahsandiwara. Karenanya rombongan teater kepada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yg disajikan dinamakan drama. Sampai kepada Zaman Jepang bersama permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.


2. Teater  Indonesia tahun 1920-an

Teater kepada masa kesusasteraaan angkatan  Pujangga Baru kurang berarti seandainya dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra bersama sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yg amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yg pertamakali menggunakan bahasa Indonesia bersama disusun dengan model dialog antar tokoh bersama berbentuk sajak adalah Bebasari(artinya kebebasan yg sesungguhnya alias inti kebebasan) karya Rustam Efendi(1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yg menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yg membebaskan puteri Bebasari dari niat berbahaya kurang ajar (cak) Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Panemenulis Kertajaya (1932) bersama Sandyakalaning  Majapahit (1933) Muhammad Yaminmenulis Ken Arok danKen Dedes (1934). Armiijn Panemengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama.  Nur Sutan Iskandarmenyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil.Imam Supardimenulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu.  Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, bersama harapan  serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia,  menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia bersama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, kepada tahun 1927 menulis bersama menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yg ditulisnya antara lain,  Rainbow, Krukut Bikutbi, bersama Dr. Setan.

3. Teater Indonesia tahun 1940-an

Semua unsur kesenian bersama kebudayaan kepada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yg sulit bersama genting serupa itu, dua orang tokoh, yaituAnjar Asmaradan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yg bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yg selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian berbahaya domestik Indonesia. Maka kepada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), bersama sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, bersama Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki bersama menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yg sudah pernah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia,  ternyata mengalami hambatan yg datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yg membentuk badan perfilman  dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yg dipimpin oleh orang Jepang S. Oya.Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yg ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil bersama drama Putra Asia,Ratu Asia, Pendekar Asia, yg kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yg mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni  hiburan yg berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna,dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor bersama aktris kenamaan, antara lain  Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, bersama sebagainya. Pengarang NyooCheong Seng, yg dikenal  dengan nama samarannya Mon Siour D’amour  ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija,  R.A Murdiati,dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti  pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, bersama Bolero, yaitu di antara satu bersama lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, bersama lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yg cantik-cantik . Menyusul kemudian berbahaya tumbuh; ada  rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Madadengan suaminya Ferry Kok, yg  sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena  Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yg dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, danRencong Aceh. Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola  pengusaha Cina alias dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian  Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik bersama membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yg mewah yg dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yg terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yg berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. cerita-cerita yg dipentaskan  antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani,dan lain sebagainya. Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yg digemari  rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang bersama berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yg mementaskan cerita-cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, bersama Kama Jaya kepada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan berbahaya yuvenil Matahari. Hanya kalangan terpelajar yg menyukai pertunjukan Matahari yg  menampilakan hiburan berupa tari-tarian kepada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yg lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut  mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yg ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, bersama Jauh di Mata.  Kama Jaya  menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yg sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malamdan Nusa Penida. Pertumbuhan sandiwara profesional  tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang  menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai  berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yg beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yg harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia bersama Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis  Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsenditerjemahkan bersama judulnya diganti  dengan Jinak-jinak Merpati oleh  Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya.  Para pemain tidak boleh menambah alias melebih-lebihkan dari apa yg sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal  dikenalkannya  naskah dalam setiap pementasan  sandiwara. Menjelang akhir pendudukan Jepang berbahaya tumbuh; ada rombongan sandiwara yg melahirkan karya ssatra yg berarti, yaitu Penggemar Maya (1944)  pimpinan Usmar Ismail, bersama D. Djajakusuma   dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, bersama Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis bersama para profesional (dokter, apoteker, bersama lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme bersama agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater berbahaya domestik dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran berbahaya domestik dengan cita-cita menuju humanisme bersama religiositas bersama memandang teater sebagai seni serius bersama ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu  dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi  pemicu berdirinya Akademi Teater NasionalIndonesia di Jakarta.

4. Teater Indonesia Tahun 1950-an

Setelah perang  kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang  kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka  merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian bersama nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan bersama tindakan pengecut, keiklasan sendiri bersama pengorbanan, bersama lain-lain. Peristiwa  perang secara khas dilukiskan dalam lakonFajar Sidik(Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir(Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yg bercerita tentang kekecewaan paska perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam bersama Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, bersama lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal bersama Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian bersama Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit  karyaAverchenko bersama Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karyaJohn Galsworthy. Utuy Tatang Sontani  dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yg sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon   Awal bersama Mira (1952)  tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia. Realisme konvensional bersama naturalisme tampaknya menjadi  pilihan generasi yg terbiasa dengan teater barat bersama dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen bersama Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat  dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)pada tahun 1955  oleh Usmar Ismaildan Asrul Sani. ATNI menggalakkan bersama memapankan realisme  dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya-karya Moliere, Gogol, bersama Chekov. Sedangkan metode pementasan bersama pemeranan yg dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yg pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yg menjadi aktor bersama sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, bersama Kasim Achmad. Di Yogyakarta  tahun 1955 Harymawan bersama Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama bersama Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

5. Teater Indonesia Tahun 1970-an

Jim lim  mendirikan Studiklub Teater Bandung bersama  mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, bersama dagelan dengan teater  Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik bersama para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal bersama Mira (Utuy T. Sontani) bersama Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The GlassMenagerie(Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung  Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda. Tahun 1962  Jim Lim menggabungkan unsur  wayang kulit bersama musik dalam karya penyutradaraannya yg berjudul  Pangeran Geusan Ulun(Saini KM., 1961). Mengadaptasi  lakon Hamlet bersama diubah judulnya menjadiJakaTumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi  isinya absurditas kepada lakon Caligula(Albert Camus, 1945), Badak-badak(Ionesco, 1960), bersama Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim  belajar teater bersama menetap di Paris. Suyatna Anirun,salah satu aktor bersama juga teman Jim Lim,melanjutkan apa yg sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis. Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan  realisme konvensional terjadi kepada tahun 1967, Ketika Rendrakembali ke Indonesia.  Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya  yangkemudian menciptakan  pertunjukan pendek improvisatoris yg tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi bersama eksplorasi bahasa tubuh bersama bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yg diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop bersama Rambate Rate Rata (1967,1968). Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu  meningkatnya aktivitas, bersama kreativitas  berteater  tidak hanya di Jakarta,  tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, bersama lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul  lakon yg ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur,  juga lokakarya bersama diskusi teater secara umum alias khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artauddan Grotowsky juga diperbincangkan. Di Surabaya berbahaya tumbuh; ada bentuk pertunjukan teater yg mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung bersama ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat  Malang).  Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro bersama Syubah Asa mendirikan Teater Muslim.  Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge bersama Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution bersama Burhan Piliang. Tokoh-tokoh teater yg berbahaya tumbuh; ada  tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi  Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yg kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum bersama verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yg meriah bersama vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan bersama aksi. Fokus tidak terletak kepada aktor tetapi gerombolan yg menciptakan situasi bersama aksi  sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yg mengutamakan tata artistik glamor.


6. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an

Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan  politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu berbahaya jasmani beberapa kelompok teater yg sebagian  merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yg diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yg digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati bersama Mukid F. Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta berbahaya tumbuh; ada Teater Dynasti, Teater Jeprik,  Teater Tikar, Teater Shima, bersama Teater Gandrik.  Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yg mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan  dan menyusun berita-berita yg aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yg dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, bersama Orde Tabung. Di  Solo (Surakarta) berbahaya tumbuh; ada Teater Gapit yg menggunakan bahasa Jawa bersama latar cerita yg meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di  Bandung berbahaya tumbuh; ada Teater Bel, Teater Re-publik, bersama Teater Payung Hitam. Di Tegal berbahaya jasmani teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang berbahaya tumbuh; ada Teater Lingkar. Di Medan berbahaya tumbuh; ada Teater Que bersama di Palembang berbahaya tumbuh; ada Teater Potlot. Dari Festival Teater Jakarta  muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yg berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula  Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, bersama Teater Kami yg berbahaya jasmani di luar produk festival (Afrizal Malna,1999). Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yg menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta kepada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yg memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater kepada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan bersama membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.

7. Teater Kontemporer Indonesia

Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yg sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80-an sampai saat ini. Konsep bersama gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yg terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yg lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas bersama kemungkinan bentuk garap semakin banyak.



Penulis: Indar Sabri, S.Sn, M.Pd (Unesa)


Page 2