Perkembangan Teater Modern Indonesia memiliki sejarah yg cukup panjang, yakni dimulai dari: 1. Teater Transisi 2. Teater Indonesia tahun 1920-an 3. Teater Indonesia tahun 1940-an 4. Teater Indonesia Tahun 1950-an 5. Teater Indonesia Tahun 1970-an 6. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an, dan 7. Teater Kontemporer Indonesia 1. Teater Transisi Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater kepada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yg masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak kepada cerita yg sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas alias outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung bersama dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yg mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yg dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yg kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) bersama mengawali berdirinya gedung Schouwburg kepada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Perkenalan masyarakat Indonesia kepada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboeldi Surabaya kepada tahun 1891, yg pementasannya secara teknik sudah pernah banyak mengikuti budaya bersama teater Barat (Eropa), yg kepada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yg pertama yg ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yangberjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, kepada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), bersama lain-lainnya, yg menggunakan bahasa Melayu Rendah. Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yg didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro kepada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, bersama lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum berbahaya tumbuh; ada istilahteater. Yang ada adalahsandiwara. Karenanya rombongan teater kepada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yg disajikan dinamakan drama. Sampai kepada Zaman Jepang bersama permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan. 3. Teater Indonesia tahun 1940-an Semua unsur kesenian bersama kebudayaan kepada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yg sulit bersama genting serupa itu, dua orang tokoh, yaituAnjar Asmaradan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yg bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yg selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian berbahaya domestik Indonesia. Maka kepada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), bersama sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, bersama Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki bersama menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yg sudah pernah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yg datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yg membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yg dipimpin oleh orang Jepang S. Oya.Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yg ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil bersama drama Putra Asia,Ratu Asia, Pendekar Asia, yg kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yg mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yg berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna,dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor bersama aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, bersama sebagainya. Pengarang NyooCheong Seng, yg dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati,dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, bersama Bolero, yaitu di antara satu bersama lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, bersama lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yg cantik-cantik . Menyusul kemudian berbahaya tumbuh; ada rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Madadengan suaminya Ferry Kok, yg sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yg dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, danRencong Aceh. Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina alias dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik bersama membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yg mewah yg dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yg terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yg berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. cerita-cerita yg dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani,dan lain sebagainya. Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yg digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang bersama berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yg mementaskan cerita-cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, bersama Kama Jaya kepada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan berbahaya yuvenil Matahari. Hanya kalangan terpelajar yg menyukai pertunjukan Matahari yg menampilakan hiburan berupa tari-tarian kepada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yg lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yg ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, bersama Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yg sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malamdan Nusa Penida. Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yg beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yg harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia bersama Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsenditerjemahkan bersama judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah alias melebih-lebihkan dari apa yg sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan sandiwara. Menjelang akhir pendudukan Jepang berbahaya tumbuh; ada rombongan sandiwara yg melahirkan karya ssatra yg berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, bersama D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, bersama Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis bersama para profesional (dokter, apoteker, bersama lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme bersama agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater berbahaya domestik dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran berbahaya domestik dengan cita-cita menuju humanisme bersama religiositas bersama memandang teater sebagai seni serius bersama ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater NasionalIndonesia di Jakarta.4. Teater Indonesia Tahun 1950-an Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian bersama nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan bersama tindakan pengecut, keiklasan sendiri bersama pengorbanan, bersama lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakonFajar Sidik(Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir(Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yg bercerita tentang kekecewaan paska perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam bersama Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, bersama lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal bersama Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian bersama Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karyaAverchenko bersama Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karyaJohn Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yg sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal bersama Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia. Realisme konvensional bersama naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yg terbiasa dengan teater barat bersama dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen bersama Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)pada tahun 1955 oleh Usmar Ismaildan Asrul Sani. ATNI menggalakkan bersama memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya-karya Moliere, Gogol, bersama Chekov. Sedangkan metode pementasan bersama pemeranan yg dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yg pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yg menjadi aktor bersama sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, bersama Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan bersama Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama bersama Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.5. Teater Indonesia Tahun 1970-an 7. Teater Kontemporer Indonesia Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yg sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80-an sampai saat ini. Konsep bersama gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yg terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yg lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas bersama kemungkinan bentuk garap semakin banyak. Page 2 |