Sebutkan sikap yang harus dimiliki ketika membantu orang lain

First thing first, kenapa kita harus menghargai orang lain? We may come with a thousand different reasons for why we have to pay enough respect for others, Sobat – entah alasan sebagai makhluk sosial, kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya. Namun satu hal yang pasti, sikap kita pada orang lain menunjukkan siapa kita sesungguhnya.

Kita dapat dengan mudah menanggapi sikap menyebalkan orang lain dengan perilaku yang sama menyebalkannya. Tapi bukankah dengan demikian berarti kita sama-sama menyebalkannya dengan orang tersebut? Tak ingin begitu bukan, Sobat? Jadi, bagaimana sebenarnya cara-cara sederhana yang dapat kita terapkan dalam menghargai orang lain?

1. Tidak Mengabaikan Sopan Santun

Selama berabad-abad budaya kita mengajarkan sopan santun. Nilai sopan santun boleh jadi berbeda antar daerah, tapi pada dasarnya sikap sopan dan santun yang diajarkan bertujuan agar kita mampu menghargai orang lain. Contoh sederhananya adalah dengan tidak melupakan kata maaf, tolong, dan terima kasih.

Mengucap maaf tak berarti kita berada pada posisi yang lebih rendah atau menunggu sampai kita benar-benar melakukan kesalahan yang fatal. Mengucap tolong juga baik diucapkan para setiap orang, siapapun dia, yang membantu kita. Dan ucapan terima kasih merupakan cara kita menghargai sekecil apapun kontribusi yang diberikan oleh orang lain.

Selain bahasa verbal, sopan santun juga tampak pada sikap badan atau bahasa tubuh kita. Again, our native culture is very subjective in such matter. Secara umum dalam budaya ketimuran, misalnya, menunjuk-nunjuk dengan jari pada orang yang berusia lebih tua dianggap tidak sopan.

Bagaimana bila kita menghadapi orang yang bersikap tidak sopan? Haruskah kita tetap bersikap sopan? Iya, Sobat. As it's mentioned earlier, the way we carry ourselves shows who we are – more than anything else. Jadi tetap saja tak ada ruginya bersikap sopan bagaimanapun reaksi orang yang tengah kita hadapi.

2. Terima Perbedaan pada Setiap Orang

Beda kepala, beda isi – pernah mendengarnya, Sobat? Adalah hal yang wajar bila masing-masing kita memiliki ide dan pendapat yang berbeda. Dalam banyak hal, yang semestinya dapat kita lakukan adalah menerima bahwa semua orang tak harus memiliki pendapat yang sama.

Perbedaan pula yang menuntun kita untuk tidak mengecilkan sesuatu. Misalnya, menganggap belajar menggambar tidak lebih penting dari belajar Matematika. Padahal, bagi orang lain mungkin memang passion-nya berada pada bidang seni dan ia dapat berbagi manfaat dengan orang lain pada bidang tersebut.

If it doesn't mean anything to you, something may mean the whole world for someone else. Therefore, it's worth every effort to always respect others' feelings and thoughts.

3. Mau Menyimak dan Menjadi Pendengar

Berapa banyak teman yang sering menceritakan masalahnya pada Sobat Pintar? Bila jumlahnya cukup banyak, besar kemungkinan Sobat adalah pendengar yang baik.

Persoalan yang lebih serius memang membutuhkan bantuan profesional, misalnya melalui Konseling. Akan tetapi, biasanya yang dibutuhkan teman kita hanya seseorang yang mau mendengar curahan perasaannya.

Bukan hanya teman yang sedang galau yang butuh disimak, Sobat. Pada dasarnya, hampir setiap orang yang mengutarakan sesuatu berharap untuk disimak, didengarkan dengan baik. Disisi lain, sikap kita yang mau diam menyimak merupakan wujud dari respek atau penghargaan kita pada orang lain.

Bukan hanya di kelas saat menyimak guru atau dosen, sikap diam dan mau mendengarkan sebenarnya lebih dibutuhkan dalam berinteraksi dengan orang lain – khususnya mereka yang berusia lebih tua dari kita. Bila belum terbiasa, memang dibutuhkan kesabaran yang luar biasa untuk tidak memotong seseorang yang sedang berbicara – tapi layak diusahakan, Sobat.

4. Menyadari Batasan

Manusia memang makhluk sosial, tapi kita juga memiliki ruang lingkup pribadi. Dalam ranah pribadi, setiap orang memiliki hak penuh atas dirinya sendiri. Batasan tersebut memberi panduan sejauh mana jangkauan ucapan, sikap, hingga tindakan kita.

Misalnya, ketika ada teman yang menceritakan masalah pribadinya, yang bisa kita lakukan hanya menyimak dan menyampaikan pendapat ketika diminta. Diterima atau tidaknya pendapat kita, apapun keputusan dan tindakan yang diambilnya, sepenuhnya berada dalam ranah pribadi teman tersebut.

Dengan kita menahan diri dari berkomentar tanpa diminta, memaksakan pendapat, hingga membuat seseorang melakukan sesuatu yang tak diinginkannya berarti kita mampu menghargai orang lain. Respek pada orang lain inilah yang turut memandu dan mengarahkan tindak tanduk dan tingkah laku kita.

Telah disebutkan diawal bahwa penghargaan, respek pada orang lain sebenarnya lebih menunjukkan siapa kita. Jadi, ketika tingkah laku kita baik pada orang lain, itu karena kita yang selalu berusaha untuk menjadi sosok yang lebih baik lagi. Siap melakukannya, Sobat?

Dua tahun yang lalu, kota kelahiran saya, Manchester di Inggris, mengalami serangan teroris. Setelah konser penyanyi Ariana Grande, seorang pria muda meledakkan bom yang diikat di dadanya, menewaskan 22 orang dan melukai beberapa ratus orang.

Di tengah serangan yang kejam ini, ada banyak kisah tentang kepahlawanan dan orang-orang yang rela berkorban.

Ada seorang dokter yang sedang tidak bertugas berlari ke area kejadian untuk membantu para korban. Lalu ada perempuan yang mengarahkan sekitar 50 remaja yang kebingungan dan ketakutan ke tempat aman di sebuah hotel terdekat; ia lalu membagikan nomor teleponnya di media sosial sehingga orang tua dapat datang dan menjemput anak-anak mereka.

Pengemudi taksi dari seluruh kota mematikan argo mereka untuk membawa penonton konser dan anggota masyarakat lainnya. Seorang paramedis di tempat kejadian bersaksi: “Banyak orang memberi pertolongan sebisa mereka… Saya belum pernah melihat orang-orang bergotong royong sedemikian rupa.”

Join 175,000 people who subscribe to free evidence-based news.

Dia menambahkan: “Saya mengenang sekali rasa kemanusiaan yang hadir. Orang-orang saling menatap mata, saling memastikan keadaan, menyentuh bahu, saling memperhatikan.”

Tindakan altruisme semacam itu hampir selalu ada dalam situasi darurat.

Pada sebuah jalan di London pada 2015, seorang pengendara sepeda terjebak di bawah bus tingkat. Sekitar 100 orang kemudian berkumpul, dan dengan kerelaan dan kerjasama luar biasa, mereka mampu mengangkat bus hingga pria itu bisa keluar.

Mengapa manusia kadang mempertaruhkan hidup mereka sendiri untuk menyelamatkan orang lain? Ini pertanyaan yang telah membingungkan para filsuf dan ilmuwan selama berabad-abad. Menurut pandangan Neo-Darwinian modern, manusia pada dasarnya egois, sebagai “pembawa” ribuan gen yang tujuannya hanya untuk bertahan hidup dan mereproduksi diri mereka sendiri.

Menurut pandangan ini, masuk akal bila kita membantu orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan kita secara genetik, seperti anggota keluarga atau sepupu jauh.

Apa yang tampak seperti pengorbanan diri sebenarnya bermanfaat bagi kumpulan gen kita. Tetapi bagaimana ketika kita membantu orang yang tidak kita kenal secara genetis, atau bahkan membantu binatang?

Berbagai penjelasan berbeda tentang hal ini telah dikemukakan. Seseorang menyatakan bahwa mungkin tidak ada sama sekali yang namanya altruisme “murni”. Ketika kita membantu orang asing (atau hewan), pasti selalu ada manfaat tertentu bagi diri kita sendiri: kita merasa sebagai orang baik, atau mendapatkan rasa hormat dari orang lain.

Atau mungkin altruisme adalah strategi investasi: kita melakukan perbuatan baik kepada orang lain dengan harapan bahwa mereka akan membalas budi (dikenal juga sebagai altruisme timbal balik).

Bahkan altruisme bisa jadi adalah cara untuk menunjukkan seberapa kaya atau mampu kita, sehingga kita menjadi lebih menarik di mata orang lain dan meningkatkan peluang kita dalam reproduksi.

Berakar pada empati

Saya tidak menafikan bahwa terkadang alasan-alasan tersebut nyata.

Banyak tindakan kebaikan bisa jadi terutama (atau hanya sebagian) dimotivasi oleh kepentingan pribadi. Tetapi apakah altruisme “murni” itu ada? Bahwa ketika kita melakukan tindakan altruistik, motivasi kita murni untuk meringankan penderitaan orang lain?

Dalam pandangan saya, altruisme murni berakar pada empati. Empati digambarkan sebagai kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Tetapi dalam arti terdalamnya, empati adalah kemampuan untuk merasakan (bukan hanya untuk membayangkan) apa yang orang lain alami.

Ini adalah kemampuan untuk benar-benar memasuki ruang pikiran orang lain (atau makhluk) sehingga kita dapat merasakan perasaan dan emosi mereka. Dengan cara ini, empati dapat dilihat sebagai sumber belas kasih dan altruisme.

Empati menciptakan hubungan sehingga kita merasakan belas kasih. Kita bisa merasakan penderitaan orang lain, dan ini menimbulkan dorongan untuk meringankan penderitaan mereka. Lalu selanjutnya memunculkan tindakan altruistik. Ketika kita dapat merasakan perasaan orang lain, kita terdorong untuk membantu mereka ketika mereka membutuhkan.

Sebutkan sikap yang harus dimiliki ketika membantu orang lain
Terhubung. Shutterstock/vectorfusionart

Seperti yang saya tulis dalam buku saya, Ilmu Pengetahuan Spiritual, anggapan bahwa manusia sebagai mahluk yang benar-benar terpisah satu sama lain, yang terdiri dari gen egois yang hanya peduli dengan kelangsungan hidup dan replikasi mereka sendiri, itu salah. Kapasitas untuk empati menunjukkan kita saling terhubung secara yang mendalam.

Kita bisa merasa bahwa kita adalah bagian dari suatu jaringan kesadaran bersama.

Inilah yang memungkinkan kita untuk mengenali diri kita dalam orang lain, merasakan penderitaan mereka, dan menanggapinya dengan tindakan altruistik.

Kita dapat merasakan penderitaan orang lain karena, dalam kadar tertentu, kita adalah mereka. Jadi kita merasakan keinginan untuk meringankan penderitaan orang lain–untuk melindungi dan membuat mereka lebih baik–seperti halnya kita menolong diri sendiri.

Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer menyebut:

Jiwa sejati saya ada dalam setiap makhluk … Inilah dasar belas kasih … yang dinyatakan lewat perbuatan baik.

Dengan kata lain, altruisme itu tidak perlu dijelaskan penyebabnya. Sebaliknya, kita harus merayakannya sebagai kemampuan untuk melampaui keterpisahan yang semu. Altruisme itu alami, altruisme adalah ekspresi dari sifat kita yang paling mendasar yaitu terhubung.

Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

If so, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. With the latest scientific discoveries, thoughtful analysis on political issues and research-based life tips, each email is filled with articles that will inform you and often intrigue you.

Editor and General Manager

Find peace of mind, and the facts, with experts. Add evidence-based articles to your news digest. No uninformed commentariat. Just experts. 90,000 of them have written for us. They trust us. Give it a go.

If you found the article you just read to be insightful, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. Each newsletter has articles that will inform and intrigue you.

Komentari artikel ini