Sebutkan 3 pilihan yang diberikan kepada kaum Quraisy atas Pelanggaran perjanjian Hudaibiyah

tirto.id - Isi perjanjian Hudaibiyah disepakati oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy Makkah pada bulan Dzulqa'dah, tahun ke-6 Hijriyah, atau sekitar bulan Maret 628 M. Salah satu poin isi perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum Quraisy selama 10 tahun.

Poin itulah yang kemudian dilanggar oleh kaum Quraisy, saat sekutu mereka Kabilah Bani Bakr menyerang Kabilah Khuza’ah yang beraliansi dengan umat Islam. Pelanggaran tersebut memicu peristiwa akbar dalam sejarah Islam di masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni Fathul Makkah.

Advertising

Advertising

Menyitir catatan Mahdi Rizqullah Ahmad, dalam terjemahan karyanya, Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik (2017:631), Hudaibiyah sebenarnya nama sebuah sumber air. Lokasi Hudaibiyah berjarak sekitar 22 km arah barat laut dari Kota Makkah. Di sekitar sumber air itu, tumbuh banyak taman dan berdiri masjid bernama Ar-Ridhwan.

Persitiwa terbentuknya Perjanjian Hudaibiyah terjadi setelah meletup rentetan bentrok militer antara umat Islam dengan kaum Quraisy, termasuk perang Badar, Uhud, hingga Khandaq. Sebelum perjanjian itu diteken, hubungan Madinah-Makkah dalam situasi menegangkan sehigga kedua kubu saling bersiaga.

Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah

Rangkaian peristiwa yang berujung pada perjanjian Hudaibiyah berawal dari mimpi Rasulullah SAW pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah ke Madinah. Dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW bersama para sahabat memasuki Makkah dengan aman, menginjakkan kaki di Masjidil Haram, mengambil kunci Ka'bah, dan melaksanakan ibadah umrah.

Rasulullah SAW lantas menceritakan mimpi itu kepada para sahabatnya. Nabi Muhammad SAW pun bilang ke para sahabat soal rencananya menunaikan ibadah umrah ke Makkah. Para sahabat setuju dan segera bersiap melakoni perjalanan yang penuh risiko itu.

Maka itu, pada awal bulan Dzulqa'dah tahun ke 6 Hijriyah, Rasulullah SAW bersama 1500-an sahabat berangkat ke Makkah. Adapun kepemimpinan di Madinah dipasrahkan untuk sementara kepada Abdullah bin Ummi Maktum.

Menyitir catatan Amin Iskandar dalam "Hikmah di Balik Perjanjian Hudaibiyah" yang termuat di Jurnal Studi Hadis Nusantara (Vol. 1, No. 1, 2019), Nabi Muhammad dan semua sahabatnya yang berangkat ke Makkah sama sekali tidak membawa senjata, kecuali pedang dan sarungnya sebagaimana para musafir di masa itu.

Baca juga:

Dalam rombongan Rasulullah SAW, juga ada puluhan unta dengan tanda di lambung kanannya sebagai petunjuk bahwa hewan-hewan itu untuk kurban, bukan kendaraan perang. Pesan terang benderang ditunjukkan Rasulullah SAW bahwa kedatangannya ke Makkah bukan untuk bertempur dengan kaum Qurays.

Bahkan saat sampai di tempat bernama Dzul Hulaifah, Rasulullah SAW meminta para sahabatnya segera memakai pakain ihram, berniat melaksanakan umrah, dan membaca talbiah sepanjang perjalanan.

Meskipun begitu, kaum Qurays di Makkah tetap curiga dan bahkan berusaha menghalangi rombongan Rasulullah SAW agar tidak bisa masuk ke Kota Makkah. Mereka pun sempat mengirim pasukan di bawah pimpinan Khalid bin Walid untuk melakukan pengadangan, tapi Rasulullah SAW memutuskan untuk melewati jalur berbeda agar tidak terjadi konfrontasi.

Peristiwa itu, seperti dikutip dari buku SKI

(Kemenag, 2019), terjadi beberapa bulan setelah berlangsung perang Khandaq yang terjadi pada tahun ke-5 Hijriyah. Artinya, situasi tegang antara kedua kubu belum mereda. Banyak kaum Qurays menganggap kedatangan Rasulullah SAW sebagai serbuan mendadak, meski ada sinyal jelas bahwa rombongan dari Madinah berniat menjalankan ibadah.

Baca juga:

Sementara itu, di tengah perjalanan menuju Makkah, Rasulullah SAW meminta rombongannya untuk berhenti dan berkemah di sebuah lembah yang lantas jadi lokasi perundingan Hudaibiyah. Di tempat itu pula, Nabi Muhammad SAW menerima beberapa utusan dari kaum Qurays.

Utusan-utusan itu dikirim oleh kaum Qurays untuk mengonfimasi maksud rombongan Rasulullah SAW datang ke Kota Makkah. Ada 4 utusan yang dikirim secara bergilir oleh kaum Qurays, yaitu Badil bin Warqa (Bani Khuzaah), Makraz bin Haf, Hulais (Kabilah Ahabsy), Urwah bin Mas’ud as-Saqaf. Namun, kaum Qurays masih tidak percaya bahwa rombongan Nabi Muhammad SAW datang ke Makkah untuk umrah.

Karena itu, Rasulullah SAW kemudian mengutus Khurasy bin Umayyah al-Khuza’i untuk menegaskan keterangan ke kaum Qurays bahwa tidak ada niat perang. Akan tetapi, unta yang dikendarai Khurasy dibunuh dan ia sendiri nyaris kehilangan nyawa.

Setelah insiden tersebut, dikutip dari situs Kemenag, Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan pesan kepada kaum Qurays terkait niat rombongan dari Madinah yang hendak melaksanakan umrah. Utsman jadi pilihan, terutama karena dia dikenal memiliki sikap yang lunak dan banyak kerabat berpengaruh di kalangan kaum Qurays Makkah.

Ketika tiba di Makkah, Utsman segera menemui perundingan yang alot. Sekalipun banyak pembesar kaum Qurays, seperti Abu Sufyan, adalah kerabat Utsman, izin bagi rombongan Rasulullah SAW untuk masuk Makkah tetap tidak diberikan. Akibat perundingan yang alot itu, Utsman terpaksa tinggal lebih lama di Makkah dari rencana semula.

Di tengah situasi yang demikian meresahkan para sahabat, tersiar isu bahwa Utsman dibunuh oleh kaum Quraisy. Mendengar kabar itu, Rasulullah SAW segera memerintahkan para sahabat untuk berkumpul dan menyampaikan sumpah setia, bahwa mereka tidak akan pulang sebelum memerangi kaum Qurays.

Maka, seluruh sahabat kemudian berikrar akan memerangi kaum Qurays. Usai baiat itu berlangsung, Utsman baru datang kembali dari Makkah, dan segera ikut berbaiat. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Bai’at ar-Ridwan itu diabadikan dalam firman Allah SWT QS Al-Fath ayat 48.

Baca juga:

Menyadari situasi semakin genting, Kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk membahas perjanjian damai dengan Rasulullah SAW. Perundingan Suhail dengan Nabi Muhammad yang disaksikan oleh para sahabat tersebut berlangsung lama. Apalagi, Suhail ngotot menyodorkan poin yang tidak bisa ditawar, seperti rombongan Rasulullah SAW harus kembali ke Madinah, dan baru boleh datang ke Makkah untuk umrah pada tahun berikutnya.

Akhirnya, dalam perundingan tersebut, muncul kesepakatan yang disebut dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Isi Perjanjian Hudaibiyah

Sebenarnya, banyak sahabat yang keberatan dengan sejumlah poin dalam Perjanjian Hudaibiyah. Meski demikian, Rasulullah SAW berbesar hati untuk menyetujuinya, demi tercipta perdamaian.

Bahkan, mengutip buku SKI (Kemenag, 2014), Rasulullah SAW tidak menolak saat Suhail meminta teks perjanjian Hudaibiyah tidak diawali kata Bismillaahirrahmanirrahiim, melainkan Bismika Allahumma (atas nama ya Allah).

Suhail juga menolak pencantuman nama "Muhammad Rasulullah" dan memintanya dengan diganti Muhammad bin Abdullah. Usul yang terakhir ini juga diterima oleh Rasulullah SAW, sekalipun banyak sahabat keberatan.

Dikutip dari buku SKI (Kemenag, 2014), isi perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun

2. Setiap orang diberi kebebasan bergabung dan mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad, atau dengan Kaum Quraisy.

3. Setiap orang Quraisy yang menyeberang ke kubu Nabi Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan, sedangkan jika pengikut Nabi Muhammad bergabung dengan Quraisy tidak dikembalikan.

4. Nabi Muhammad dan sahabatnya harus kembali ke Madinah dan tidak boleh masuk Makkah, dengan ketentuan bisa kembali pada tahun berikutnya. Mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama 3 hari di Makkah dan tidak dibenarkan membawa senjata kecuali pedang tersarung.

Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Awalnya sempat timbul kekhawatiran di kalangan para sahabat mengenai perjanjian Hudaibiyah. Mereka mengira perjanjian ini hanya menguntungkan kaum Quraisy dan merugikan umat Islam.

Namun, Rasulullah SAW menyikapi perjanjian ini dengan arif. Nabi Muhammad memanfaatkan situasi aman dan damai setelah perjanjian Hudaibiyah untuk semakin memperluas dakwah Islam.

Duta-duta Islam dikirim ke negara tetangga untuk mengajak mereka mengikuti seruan Nabi Muhammad. Ajakan itu diterima oleh beberapa penguasa negeri tetangga, meski ditolak oleh sebagian lainnya. Jumlah umat Islam pun segera bertambah banyak setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati.

Setidaknya ada 2 hikmah di balik perjanjian Hudaibiyah.

Pertama, pemerintahan Islam di Madinah mendapatkan legitimasi. Perjanjian Hudabiyah secara tidak langsung mengakui status Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat Islam dan Kota Madinah. Artinya, perjanjian itu mencerminkan pengakuan kaum Qurays terhadap pemerintahan Islam di Madinah.

Kedua, salah satu kesepakatan di perjanjian Hudaibiyah adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Kesepakatan ini memberi peluang kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk makin memperluas dakwah Islam tanpa harus disibukkan dengan urusan perang.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan menarik lainnya Nurul Azizah
(tirto.id - azz/add)

Penulis: Nurul Azizah Editor: Addi M Idhom Kontributor: Nurul Azizah

PELAJARAN hidup (lesson learning) dari Nabi Muhammad SAW tidak pernah kering. Keberhasilan Muhammad memperkenalkan misinya lebih banyak ditentukan kekuatan dan keunggulan diplomasi beliau, bukan karena kekuatan bala tentaranya.

Rasulullah lebih menonjol sebagai diplomat ketimbang seorang jenderal perang meskipun semasa di Madinah beliau disuguhi sejumlah peperangan dan beberapa kali memimpin langsung.

Salah satu contoh keunggulan diplomasi Nabi ialah Perjanjian Hudaibiyah. Keputusan Nabi dalam perjanjian ini sangat tidak populis. Bahkan sahabat terdekat seperti Umar tidak mau menuliskan perjanjian itu karena bukan hanya tidak adil, tetapi juga melecehkan simbol akidah Islam.

Ketika merundingkan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin lagsung delegasinya dan pihak kafir Quraisy dipimpin seorang diplomat ulung bernama Suhail. Sebagai preambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim. Namun, Suhail menolaknya karena menilai kalimat itu asing. Lalu dia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang populer di masyarakat Arab ketika itu.

Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata, Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Lagi-lagi Suhail menolak kalimat ini dan mengusulkan kata, Hadza ma qudhiya 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini ditetapkan Muhammad putra Abdullah). Pencoretan basmalah dan kata 'Rasulullah' membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu. Akan tetapi, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu.

Konon Rasulullah mengambil alih sendiri penulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah suatu prinsip dasar akidah Islam. Kelemahan lain dari segi substansi, menurut para sahabat Nabi, terdapat materi yang dinilai tidak adil karena kalau orang kafir Quraisy yang menyeberang batas di wilayah muslim, Madinah, segera dibebaskan dan segera dikembalikan ke Mekah. Adapun kalau yang melanggar batas umat Islam, orangnya ditahan di Mekah. Materi perjanjian seperti ini pun Rasulullah menyetujuinya.

Kelihatannya memang perjanjian ini tidak adil dan melanggar rambu-rambu akidah, yakni berupa pencoretan kata Bismillah dan Rasulullah yang dianggap prinsip dalam Islam. Namun, Nabi tetap menganggap itu batas maksimum yang dapat dilakukan terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan.

Nabi tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam jika tidak dilakukan gencatan senjata. Ia juga tahu langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan. Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan Nabi itu. Seandainya saja Nabi hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, sudah pasti tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Akan tetapi, para sahabat tahu bahwa Nabi di samping seorang kepala negara yang cerdas juga seorang Nabi sehingga para sahabat diam dan menurut.

Pada akhirnya, apa yang ditetapkan Nabi ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, sudah barang tentu akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Mekah. Sebaliknya, kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Mekah dibiarkan, karena pasti mereka itu para kader dan dapat melakukan upaya politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraish.

Pada saat bersamaan, Nabi terus menggalang pengaruh dengan kabilah-kabilah pinggiran dan karena kepiawaiannya, Nabi berhasil memukau sejumlah kabilah kecil dan bersatu di bawah kekuatan Nabi. Kabilah-kabilah yang tadinya terpecah belah di kawasan Yatsrib (Madinah) berhasil disatukan Nabi, terutama dua suku besar yaitu suku 'Aus dan suku Khazraj.

Akhirnya, kekuatan umat Islam yang juga didukung umat agama lain semakin besar.