Satu persatu sahabat pergi dan tak kan pernah kembali

Satu persatu sahabat pergi dan tak kan pernah kembali
Iwan Fals. ©2015 merdeka.com/dwi narwoko

Merdeka.com - Di kamar ini aku dilahirkan

Di balai bambu buah tangan bapakku

Di rumah ini aku dibesarkan

Dibelai mesra lentik jari ibu

Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede

Rimbun dan anggun ramah senyum penghuni dusun

Kambing sembilan motor tiga bapak punya

Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya

Sampai saat tanah moyangku

Tersentuh sebuah rencana

Dari serakahnya kota

Terlihat murung wajah pribumi

Terdengar langkah hewan bernyanyi

Di depan masjid samping rumah wakil pak lurah

Tempat dulu kami bermain mengisi cerahnya hari

Namun sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri

Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali

Sampai saat tanah moyangku

Tersentuh sebuah rencana

Dari serakahnya kota

Terlihat murung wajah pribumi

Terdengar langkah hewan bernyanyi

[did]

Satu persatu sahabat pergi dan tak kan pernah kembali

Iklan terakota

Terakota.id--Hampir setiap saat kita mendengar kabar orang yang meninggal. Entah melalui group WhatsApp (WA), pengumuman di masjid atau membaca informasi di media sosial. Bahkan beruntun. Setiap saat kita dihinggapi rasa cemas. Siapa lagi ini? Begitu pertanyaan dalam pikiran saya saat pengeras suara di masjid tiba-tiba siaran yang dimulai dengan tarji’, “Innalillahi wainna ilaihi rojiun”.

Setiap nada WA saya berdering saya juga sangat cemas. Bahkan saat sudah tidur. Nada pesan WA berbunyi malam hari saya jadi terbangun. Terpancing membaca  pesan, jika ada berita dari kerabat dan keluarga yang meninggal. Semua tak ada kepastian. Hampir setiap saat kita dilanda cemas. Kalau Anda mempunyai keluarga yang sedang sakit, orang tua atau keluarga inti yang sudah “berumur” perasaan itu akan campur aduk.

Itu juga pernah saya alami juga. Tangal 26 Juni 2021 telpon saya berdering. Panggilan dari Yogyakarta. Saya selalu cemas  akhir-akhir itu. Benar, mbah saya yang sudah berumur 98 tahun meninggal karena dicurigai kena covid-19. Om saya seminggu sebelumnya di rumah sakit karena terjangkit virus serupa. Sebagai orang tua yang sudah renta, maka mbah saya berkemungkinan besar ikut terpapar.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mbah saya dinyatakan meninggal. Mbah yang sudah sakit dan hanya bisa rebahan di tempat tidur selama 2 tahun itu harus dimakamkan dengan protokol kesehatan covid-19. Mbah saya sakit sudah hampir 2 tahun karena jatuh.

Beruntung selama 2 tahun itu saya sudah pulang ke rumah lebih dari 6 kali. Bahkan saat pandemi covid-19 saya sempatkan pulang, meski hanya mampir ke rumah 2-3 jam. Selama pandemi saya sudah pulang 4 kali. Pernah ketemu dengan mbah saya tetapi juga tidak perlu ketemu secara langsung.

Satu persatu sahabat pergi dan tak kan pernah kembali

Mbah saya yang mengajari saya ngaji itu memang dekat dengan saya. Bahkan saat sakit berat habis jatuh itu sempat bekomunikasi dengan saya.  Dia meminta maaf ke saya jika ada kesalahan. Saya tentu malah sedih. Sebagaimana orang desa, jika sudah merasa ajal tiba biasanya meminta maaf pada orang yang bisa dimintai maaf. Saat itu saya langsung pulang ke Yogya meskipun tensi darah saya sedang tinggi. Akhirnya mbah saya meninggal 2 tahun kemudian (2021).

Setelah dinyatakan meninggal 26 Juni 2021, saya tidak langsung bisa pulang. Saya baru bisa pulang besok paginya. Saya harus pulang karena ingin melaksanakan wasiat mbah. Wasiat yang sederhana tetapi sangat bermanfaat. Ia meminta saya ada di kuburan saat dimakamkan dan membacakan Al Fatihah untuknya. Cukup sederhana tetapi sangat bermakna dan berguna bagi almarhumah. Wasiat itu sampai dikatakan 2 kali saat dia masih sehat. Karena saya tinggal di luar kota, saya baru bisa melaksanakan wasiat itu besok paginya. Apalagi mbah saya dimakamkan dengan protokol kesehatan yang tidak setiap orang bisa berada di prosesi perawatan sampai penguburan jenazah.

Kabar Duka Setiap Saat

Lalu, setiap saat juga saya terus mendengarkan kabar ada keluarga lain yang terjangkit covid-19. Beberapa diantaranya meninggal. Yang tak kalah sering adalah para sahabat saya sekantor, teman kuliah, teman sekolah seolah menyusul silih berganti. Seolah memang kita disadarkan bahwa kematian itu memang nyata dan dekat dengan kita sendiri. Kita hanya menunggu giliran.

Covid-19 itu nyata, apalagi kematian. Kita boleh takut sama virus tersebut tetapi tidak boleh paranoid. Paranoid adalah separuh penurun imun tubuh. Itu yang juga saya kemukakan pada sahabat dan keluarga. Bahwa jika seseorang terinfeksi virus covid-19 yang harus dilawan adalah separuhnya soal psikologis.

Virus ini nyata dan harus dilawan. Virus tidak bisa dibunuh dengan obat. Obat digunakan hanya untuk mengatasi rasa sakit saja. Virus akan mati dengan daya tahan tubuh. Maka imun harus tetap dijaga dengan cukup.

Tuhan Maha Kuasa sudah menciptakan kondisi tubuh kita kuat melawan segala penyakit. Masalahnya penyakit muncul karena daya tahan tubuh kita sedang dalam keadaan rendah. Dalam keadaan itu ada “alarm” tubuh. Akhirnya virus muncul. Itu yang juga saya alami saat saya terinfeksi virus tersebut dan harus isolasi mandiri (Isoman) akhir 2020 sampai awal 2021 selama 12 hari.

Kita tidak usah berharap banyak pada pemerintah. Pemerintah juga sedang kewalahan untuk ikut mengatasinya. Penting kiranya kita memberdayakan diri sendiri agar kuat. Mengharapkan bantuan pemerintah memang penting karena itu sudah tugasnya, tetapi terlalu mengharapkan yang  akhirnya membuat kita kecewa adalah jangan.

Penting kiranya kita tetap bersyukur saat kita sedang sehat wal afiat. Tetapi jangan lupa virus ini bisa menyerang secara tiba-tiba. Sebab kita berhadapan dengan “makhluk” yang tidak kelihatan.

Skenario Tuhan

Pelajaran pentingnya adalah kita disadarkan betapa kesehatan itu penting. Maka menjaga kesehatan itu tak saja berguna bagi diri sendiri tetapi juga menjaga amanah Tuhan pada organ-organ tubuh yang diberikan pada kita. Organ itu amanah. Maka harus kita jaga. Suatu saat nanti kita kembalikan lagi kepadaNYA.

Maka, terhadap virus covid-19 kita perlu menjaga daya tahan tubuh. Pandemi ini menyadarkan pada kita betapa pentingnya mengonsumsi asupan makanan seimbang mengandung vitamin, protein dan mineral dan semacamnya. Tidak usah memakai obat-obatan. Tuhan sudah memberikan banyak obat-obatan secara alami yang disebut rempah. Apa itu rempah? Silakan googling di internet akan ketemu semua. Termasuk cara mendapatkan, membuat, dan mengonsumsinya. Jika daya tahan tubuh itu kuat, kita tak tergantung pada obat-obatan kimia.

Jika terjangkit virus-virus (termasuk covid-19) kita membutuhkan asupan makanan yang bisa membunuhnya. Maka, membunuh virus bisa dilakukan dengan memperhatikan pola makan, mengasup buah-buahan dan sayur-sayuran.

Soal itu tentu banyak informasi yang bisa didapatkan dari internet atau  penjelasan tenaga medis yang lain. Jika kita tak bisa membunuh virus dengan asupan makanan, maka biarkan virus itu mati dengan sendirinya. Jangan dikasih “makan”. Caranya? Mengurangi asupan yang membuat virus berkembang biak. Maka, berbahagialah Anda yang sudah terbiasa berpuasa. Puasa itu salah satu cara ampuh membunuh virus dengan tidak memberikan asupan makanan pada virus. Berpuasalah niscaya kita akan sehat.

Kemudian pelajaran lain kita disadarkan bahwa sebagai manusia itu makhluk yang lemah. Kita bukan apa-apa dihadapan Tuhan. Terhadap virus yang kecil dan tak kelihatan saja kita bisa kalah? Maka, saat ada orang yang tidak percaya pada virus, kita kadang geregetan dan ingin marah. Percaya pada Tuhan memang harus tetapi virus ini juga makhluk ciptaan Tuhan. Semua sudah kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah berkehendak, virus ini akan hilang cepat dan saat ini juga.

Mengapa Tuhan tidak melakukan itu semua? Tentu Tuhan punya perhitungan dan pertimbangan lain. Salah satunya, Tuhan sedang memberikan kesempatan manusia untuk memperbaiki diri atas segala kesalahan yang dibuat. Terhadap mereka yang meninggal karena covid-19 saja bisa digolongkan dengan mati syahid apalagi dengan yang masih hidup?

Tuhan memberikan kesempatan  banyak hal pada yang masih hidup. Tinggal manusia bisa mengambil pelajaran dan manfaat atau tidak. Apakah pandemi covid-19 ini tidak menyadarkan kita sebagai manusia?

Ikhtiar tetap wajib dilakukan. Berserah diri padaNYA juga penting. Misalnya melakukan vaksinasi. Itu sebuah ikhtiar. Atau apakah kita akan senang mendengar keluarga, handai taulan, teman kantor, kuliah dan sekolah meninggal? Tentu kita akan sedih mendengar syair lagu  Iwan Fals berjudul “Ujung Aspal Pondok Gede”; “Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali”

Satu persatu sahabat pergi dan tak kan pernah kembali

Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter  dan Instagram