Salah satu mitos dari kearifan lokal adalah hutan larangan yang merupakan kearifan lokal masyarakat apa?

(RIAUPOS.CO) - HUTAN larangan memang terkenal di Kabupaten Kampar. Hampir di  setiap desa memiliki hutan larangan atau yang dikenal juga dengan hutan adat. Di Kampar Kiri Hulu, hutan larangan juga banyak ditemukan. Hutan ini dikelola oleh masing-masing suku yang ada di desa tersebut, meski tidak semua suku memilikinya. Masing-masing suku juga mengelolanya dengan cara yang berbeda. Salah satunya Suku Bendang di Desa Pangkalan Serai. Suku ini menjaga hutannya sedemikian rupa sehingga masih terjaga utuh hingga sekarang.

Tidak sedikit, hutan larangan milik Suku Bendang ini seluas  200 hektare. Letaknya cukup jauh dari kampung, tepatnya di tepian Sungai Kunadi. Untuk sampai ke sana juga perlu waktu beberapa jam karena hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Hutan ini dibiarkan begitu saja.  Lebat dan sangat rimbun. Masih asli dan asri. Pohon-pohon besar berbagai jenis tumbuh di sini. Jarang pula masyarakat yang datang, apalagi menebang. Sangat  dilarang. Kondisi hutan larangan ini dibeberkan Tarmizi, tokoh masyarakat Desa Pangkalan Serai.

Salah satu mitos dari kearifan lokal adalah hutan larangan yang merupakan kearifan lokal masyarakat apa?


Baca Juga : Umbu, Humba, Wabah

Selain pohon-pohon besar, tanaman liar dan langka juga banyak tumbuh di sini. Layaknya hutan tropis, pohon-pohon yang hidup di hutan tropis lainnya juga tumbuh di sini. Kayu-kayu besar berkualitas tinggi seperti kulim, kempas, trembesi, klakok, bahkan gaharu, juga banyak tumbuh di sini. Kayu-kayu ini tidak akan pernah tercabut dari akarnya. Terjaga secara adat dan kesukuan.

Terjaganya hutan larangan ini secara baik, juga berpengaruh kepada kehidupan satwa yang ada di dalamnya. Tak heran jika di sini masih ditemukan banyak hewan langka seperti  burung merak, rangkong, gagak, enggang harimau dan masih banyak lainnya. Apalagi hewan lain seperti ular, monyet, siamang, katak daun, dan berbagai jenis burung lainnya. Masih banyak dan hidup dengan bebas tanpa ada yang mengganggu.  

Baca Juga : Rambut sang Pemantra

Tumbuhan kecil lainnya juga hidup  dengan subur dan liar. Lumut dengan berbagai jenis lumut, jamur, bangsa pakis bahkan anggrek hutan juga masih ada. Jenis buah hutan seperti nangka hutan, durian hutan, rambutan hutan dan masih banyak lainnya, dipastikan juga ada di tempat ini. Hutan lebat yang sangat hijau dan terjaga ini menjadi kebanggaan Suku Bendang.

Keragaman flora dan fauna di hutan larangan ini dijelaskan tokoh masyarakat Suku Bendang, di Desa  Pangkalan Serai. Katanya, di sebagian ruang yang lapang di tengah hutan ini, tersapu bersih dalam bentuk serupa setengah lingkaran. Ini adalah bekas sayap burung merak yang menyapu-nyapukan  sayapnya ke tanah. Bahkan, banyak juga bulu-bulu sayap yang lepas ditemukan masyarakat saat datang ke sana untuk mencari kayu bakar atau makanan hutan lainnya.


Ditebang Hanya untuk Rumah Baru

Sesuai dengan namanya; hutan larangan, maka hutan ini dilarang untuk diganggu. Pohon-pohonnya tidak boleh ditebang. Hanya ada satu cara agar masyarakat bisa mengambil atau memanfaatkan kayu tersebut, yaitu masyarakat yang hanya bersuku Bendang. Masyarakat itu kemudian baru menikah dan memerlukan rumah. Maka, masyarakat atau warga bersangkutan boleh mengambil kayu tersebut. Itu pun hanya secukupnya saja.

Selain untuk rumah, kayu-kayu dari hutan larangan dilarang keras untuk diambil. Hal ini diatur dalam peraturan Suku Bendang yang sudah ada sejak turun temurun, sejak nenek moyang hingga saat ini. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Jika dilanggar atau ada masyarakat yang menebang kayu secara diam-diam atau sembarangan, hukum adat Suku Bendang akan langsung berperan. Ninik mamaklah yang akan maju terlebih dahulu. Warga yang bersangkutan dipanggil dan diberikan hukuman sesuai kesepakatan ninik mamak.

Bendang, maka setiap warga yang baru menikah dan memerlukan kayu untuk rumah, akan dibantu bersama-sama. Masyarakat lain akan turun membantu dan bergotongroyong menebang kayu di hutan untuk warga bersangkutan. Termasuk mulai dari memilih kayu yang bagus, menebangnya, memotong dan mengangkutnya, semua dilakukan secara bergotongroyong. Tapi, warga bersangkutan juga dibolehkan mengambil kayu sendiri di hutan tersebut bersama keluarganya, bukan dengan masyarakat. Tergantung kondisi dan kemampuan warga terkait.

Kayu itu pun sama-sama diolah, dibelah dan ditegakkan menjadi rumah. Sempurna tegak sebagai rumah yang layak dihuni. Tidak ada bayar-membayar. Semua dilakukan secara sukarela dan bergotongroyong. Tuan rumah atau pihak keluarga yang baru menikah dan mendirikan rumah hanya menyediakan makanan dan minuman untuk warga yang bergotongroyong. Begitu juga dengan minuman dan kue seadanya.

Tidak cukup satu hari, pembangunan rumah secara bergotongroyong ini dilakukan hingga berhari-hari, bahkan berminggu. Tergantung besarnya rumah dan waktu yang dimiliki warga. Warga boleh datang menyesuaikan dengan waktu kerjanya. Tapi, biasanya, warga selalu menyediakan waktu untuk menyelesaikan pembangunan rumah itu sampai tuntas sehingga tidak terlalu memerlukan waktu yang lama.

Manfaatkan Sungai sebagai Sumber Lauk

Masyarakat yang tinggal di desa-desa di sepanjang Sungai Subayang memiliki kreatifitas tinggi. Bermula dari apa adanya, memanfaatkan sungai dan alam untuk keberlangsungan hidup keluarga dan tidak ingin membiarkan yang kecil tak berguna, maka masyarakat membuat satu makanan tradisi. Makanan ini sudah ada sejak nenek moyang mereka, turun temurun. Dari tahun ke tahun, dari zaman ke zaman. Makanan itu hingga kini masih menjadi makanan favorit masyarakat di sana. Makanan itu dikenal dengan Pakasam.

Pakasam bukanlah makanan tradisional biasa. Ia merupakan salah satu lauk yang dibuat dalam waktu yang lama dan tahan lama pula. Memang bahan dasarnya ikan sungai. Tapi bukan ikan spesial atau ikan khusus.  Ikan kecil-kecil yang tidak laku dijual, tapi sayang untuk dibuang, inilah yang paling banyak diolah menjadi pakasam. Atau, ikan besar dan ikan lain yang berhasil ditangkap, itulah yang dibuat pakasam.

Entah siapa penemu pertama pakasam. Sudah ada sejak zaman baholak (dahulu). Pakasam berarti dipermasamkan. Ikan segar yang dimasamkan. Jadi makanan yang diasamkan. Pakasam merupakan makanan yaang sangat cocok untuk keluarga. Selain mudah membuatnya, bahan dasarnya mudah ditemukan di sungai, juga tahan lama. Bisa dimasak begitu saja, bisa juga untuk campuran sayur lain. Kalau dicampur dengan sayur lain, maka ia menjadi penyedap rasa. Aroma dan rasa masamnya yang diambil untuk menyempurnakan masakan sayur tersebut.

Sambil menunggu waktu pulang dari ladang yang berharihari, pakasam bisa disimpan selama itu pula. Begitu pulang dari kebun, pakasam bisa langsung diolah menjadi lauk yang lebih sedap. Bisa ditumis, digoreng atau hanya sebagai penyedap rasa, tergantung selera. Kalau menjadi penyedap rasa, maka Pakasam bisa digunakan untuk beberapa kali masak sayur. Seperti untuk campuran sayur pucuk labu dan daun ubi. Kalau ditumis atau digoreng, tentu lebih cepat habisnya. Tergantung seberapa banyak pula pakasam itu dibuat.


Ikan segar yang ditangkap dengan jaring di sungai, dibersihkan. Setelah itu, bumbu atau rempah-rempah yang diperlukan pun, dipersiapkan, macam-macam. Semua bumbu tersebut digoreng tanpa minyak, dibolak balik sampai matang (direndang). Bahkan sampai menghitam. Ada kemiri rendang sampai hangus, beras rendang sampai menghitam dan kelapa rendang. Ketiganya digiling halus secara bergantian di atas lagan (piring lada). Satu persatu, tidak boleh dicampur.

Setelah digiling, rempah tersebut diletakkan di atas ikan yang Tumis pucuk labu yang dicampur  dengan pakasam. Sesudah dibersihkan dan diletakkan di satu tempat. Kemudian ditambah dengan daun pencong (sebutan masyarakat setempat) daun kunyit diiris halus, daun limau, serai yang sudah dipukul dan sedikit garam. Bumbu ini kemudian dilumurkan secara merata ke semua ikan. Setelah rata, ikan yang sudah dibumbui, dimasukkan ke dalam takagh (kendi) yang sudah dicuci bersih pula. Kendi itu kemudian ditutup dengan daun pisang atau plastik di bagian atasnya. Di atas daun pisang atau plastik itu, kemudian ditutup dengan sapu tangan atau kain. Kain ini kemudian diikat rapat dengan karet atau tali lainnya.

Baca Juga : Yang Kreatif di Laman Tuan Kadi

Intinya, ikan yang disimpan di dalam kendi selama berharihari itu tidak boleh masuk angin. Sedikit saja masuk angin, maka ikan itu akan berulat. Semakin lama ikan yang dibuat Pakasam dimasamkan, semakin enak dan sangat terasa aromanya. Semuanya tergantung kebutuhan juga. Kadang hanya ada yang tiga hari, seminggu, sepuluh hari bahkan setengah bulan.

Membuat pakasam, tidak semua orang bisa, apalagi saat ini. Sudah jarang yang pandai dan tepat. Tak heran jika kadang, pakasam yang dibuat tidak pas rasanya. Resepnya harus sesuai takaran. Ukuran dan cara olahnya juga harus tepat. Jika tidak, akan terasa lebih masam dan menimbulkan bau tidak sedap yang sangat kuat.  Tak heran pula jika banyak yang tidak suka dengan pakasam. Tapi bagi generasi dahulu, pakasam merupakan makanan paling favorit. Bukan hanya bagaimana menyajikan makanan yang sehat kepada keluarga, tapi juga sebagai salah satu cara memanfaatkan sungai untuk kehidupan keluarga.***


Page 2

Rambut nenek itu bukan rambut biasa. Orang-orang menyebutnya Gombak. Setiap tahun dicuci dan disakralkan, agar kampung bebas dari malapetaka.

(RIAUPOS.CO) - OPON adalah seorang perempuan yang sudah meninggal ratusan tahun silam. Pastinya ia bukan perempuan biasa. Dia merupakan dukun kampung yang terkenal, mampu mengusir harimau yang menyerbu kampung halaman dan sekitarnya pada waktu itu. Jasanya yang besar, membuat orang sekampung –sejak dulu hingga sekarang-, tidak pernah lupa begitu saja. Maka, rambutnya yang disebut gombak, dicuci setiap tahun agar kampung itu tetap selamat dari kejahatan binatang buas; harimau.

Salah satu mitos dari kearifan lokal adalah hutan larangan yang merupakan kearifan lokal masyarakat apa?


Baca Juga : Umbu, Humba, Wabah

Seiring berjalannya waktu, pencucian gombak sempat terhenti karena dianggap kampung tersebut benar-benar telah selamat. Beberapa waktu lalu, tradisi mencuci gombak dibuat kembali. Bukan lagi karena ulah harimau, tapi karena kampung tersebut dianggap dalam bencana besar. Terutama ketika banyak orang meninggal berdarah-darah seperti kecelakaan, jatuh dari pohon dan lain sebagainya.

Nenek Opon tinggal di Koto Lamo waktu itu. Sedangkan kampung yang sering diserang harimau itu kampung-kampung di empat kawasan Sungai Sitingkai. Empat kawasan itu berada empat desa, yakni, Desa Sungai Syarik, Sungai Raja, Sungai Rambai dan Lubuk Agung. Dulunya ada delapan desa, ditambah Desa Batu Kalang, Badadia, Baluang dan Sungai Asam. Empat desa terakhir tidak masuk lagi karena lebih dekat ke arah Muara Takus.

Baca Juga : Hutan Larangan

Cuci Gombak bermula dari sebuah nazar. Waktu itu, orang sekampung tahu kalau Nenek Opon merupakan orang pintar. Lalu Nenek Opon dipanggil, diminta membuat ritual membacakan doa-doa agar kampung-kampung tersebut selamat dari serangan harimau, padahal Nenek Opon tinggal di Koto Lamo. Warga sudah sangat resah dengan serangan harimau yang menyerang sekitar 40 orang dalam setahun. Bahkan jika sudah menjelang petang, atau sekitar pukul 16.00 WIB, tidak ada lagi warga yang membuka rumah. Harimau benar-benar banyak di kawasan hutan Bukit Rimbang Baling ketika itu. Nenek Opon pun tinggal di Sungai Rambai. Doa sang nenek dikabulkan. Kampung bebas dari harimau, dan nenek Opon kembali ke kampungnya di Koto Lamo, meninggal di sana.  

‘’Sebelum nenek Opon dijemput dan dibawa ke Sungai Rambai, orang sekampung bernazar kalau mereka akan selalu mengenang nenek Opon dan memotong kambing untuk dimakan bersama sambil berdoa sebagai tanda syukur lepas dari mara bahaya. Nenek Opon dukun pertama. Sekarang juga masih ada dukunnya, tapi keturunan nenek opon yang kelima, generasi kelima. Dan, kami tidak pernah lupa untuk berterimakasih sampai saat ini,’’ ungkap Abu Sihar, Datok Lelo Sati, tokoh Suku Pitopang Basah.


Setelah nenek Opon meninggal, ahli waris dan masyarakat memotong rambutnya. Rambut itulah yang disimpan hingga sekarang. Dulu, setiap tahun rambut ini dicuci. Tapi 26 tahun belakang tidak pernah dilakukan karena kampung sudah aman, harimau juga jauh berkurang. Tahun lalu, cuci Gombak nenek Opon dilakukan lagi. Tidak hanya karena banyak kecelakaan yang terjadi di kampung itu, tapi juga karena masyarakat bersama ninik mamak dan kepala desa ingin menghidupkan kembali tradisi tersebut, tradisi yang dianggap kekayaan dan warisan budaya nenek moyang.

 Diarak Keliling Kampung

Gombak nenek Opon disimpan di rumah Datok Lelo Sati selama ratusan tahun. Gombak dijemput Datok Markani, lelaki tua yang merupakan dukun dan keturunan nenek Opon dari generasinya yang kelima. Bisa dibayangkan, jika satu generasi berusia 60 tahun saja, maka rambut itu sudah berusia 350 tahun. Tapi rambut itu masih utuh layaknya sebuah rambut.

Datok Markani yang didampingi tokoh masyarakat, alim ulama dan ninik mamak, datang ke rumah Datok Lelo Sati untuk mengambil Gombak tersebut. Gombak kemudian digendong dengan kain panjang dan dipayungi dengan payung warna kuning, lalu diarak keliling kampug.  Persis menggendong seorang bayi, Datok Markani memegang erat gendongannya itu dengan kedua belah tangan penuh kehati-hatian.

Mengapa Gombak disimpan di rumah Datok Lelo Sati, karena ia adalah tokoh Suku Pitopang Basah, satu suku dengan Nenek Opon, juga masih kerabat nenek Opon yang merupakan generasi jauh. Bersama ninik mamak dan tokoh yang lain, Datok Lelo Sati juga ikut berkeliling kampung. Anak-anak, orang tua, remaja dan ibu-ibu yang menjunjung dulang suku di kepalanya, juga turut sama. Ramai. Sesampainya di ujung kampung, nenek Markani disambut dengan empat silat dari empat desa yang ada di sana. Silat Bunga menjadi pertanda rasa hormat dan mengagungkan sejarah dan jasa nenek moyang.

Cuci Gombak

Setelah diarak keliling kampung, Gombak kemudian dibawa kembali ke rumah Datok Lelo Sati. Inilah puncak rangkaian ritual tersebut, yakni mencuci gombak. Datok Markani, membuka gendongannya, meletakkan di lantai, beralas kain bersih. Mulutnya mulai komat-kamit. Entah apa yang dibacanya, tidak jelas. Tapi yang pasti itu doa. Lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah yang berisi air jeruk dan pandan. Kemudian mengusapkannya ke Gombak. Ia mencuci gombak itu dan kemudian mengusapkan air cucian ke kening dan leher bagian belakang.

Doa selesai, ritual berakhir, masyarakat lega. Semua yang hadir turut mengusapkan air cucian Gombak ke kening dan leher belakang, dengan harapan, mereka dan kampungnya tetap terjaga dari segala mara bahaya dan bencana besar. Sebagai ungkapan rasa syukur, terima kasih dan kebersamaan, semua masyarakat makan bersama dengan lauk kambing yang dipotong memang dikhususkan untuk ritual tersebut.

‘’Dulu ritual ini dilakukan setiap tahun. Setelah 26 tahun, baru ini dilakukan lagi. Kegiatan ini lebih kepada bagaimana kami ingin menghidupkan kembali budaya dan tradisi nenek moyang kami yang ada sejak lama agar anak cucu tahu bahwa ada sebuah kisah, ada sebuah sejarah besar dulunya di kampung ini dan sekitarnya. Apalagi bukti sejarah itu masih ada, Gombak itu masih ada dengan usianya yang ratusan tahun,’’ ujar tokoh masyarakat Desa Sungai Rambai, Madi yang mengawal pelaksanaan kegiatan tersebut sejak awal hingga akhir.

Disebutkan Madi, seiring perjalanan waktu dan musim, semua bisa berubah. ‘’Tapi lupa dengan masa lalu kita, sejarah kita, jangan sampai terjadi. Semoga kami menjadi generasi yang selalu menjaga tradisi dan warisan nenek moyang serta tahu berterimakasih,’’ sambungnya lagi.

Daerah Harimau

Tidak hanya di Desa Sungai Rambai saja ritual untuk menjaga kampung dari serangan harimau ini ada. Dulu, ratusan tahun lalu, hampir setiap kampung di kawasan Kampar Kiri Hulu, khususnya di kaki bukit Rimbang Baling yang merupakan bagian Bukit Barisan, memiliki tradisi ini. Lain desa, lain namanya, lain pula caranya. Tapi intinya tetap sama, yakni sebuah kegiatan yang membuktikan hubungan harmonis antara alam dan manusia. Tidak ada orang yang membunuh harimau, meski terancam nyawanya ketika itu. Mereka lebih suka melakukan pengusiran dengan cara tradisional, dengan doa-doa dan mantra.

Tidak hanya di Desa Sungai Raja dan sekitarnya, di desa lain di sepanjang tepian Sungai Subayang yang juga Kampar Kiri dan tidak jauh dari Sungai Sitingkai, ritual yang sama juga ada. Masih terjaga dan dilakukan hingga saat ini. Ritual itu disebut dengan Semah Rantau. Dari sepuluh desa yang ada di sepanjang Sungai Subayang, hanya dua desa saja lagi yang masih menjaga ritual tersebut, yakni Desa Aur Kuning dan Desa Tanjung Beringin. Hal ini terjadi karena pergeseran waktu dan perlu biaya besar untuk melaksanakan ritual tersebut.

Di kawasan Rimbang Baling, memang masih ada harimau. Dibandingkan hutan-hutan lain di Riau, kawasan ini memiliki jumlah terbanyak. Tapi, tentu saja tidak sebanyak dulu atau ratusan tahun lalu. Semakin banyak desa, semakin banyak kawasan terbuka, ini menjadi ancaman tersendiri bagi harimau sehingga jumlahnya terus berkurang.***

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar