37 Dari Filsafat Keindahan Menuju Komunikasi Seni Pertunjukan Jaeni B. Wastap Staf Pengajar Jurusan Seni Teater STSI Bandung Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD Abstrak Bobot seni akan dapat kita rasakan dan kita nilai dari aspek komunikasinya. Pesan-pesan atas seni pertunjukan yang dipergelarkan akan efektif dapat berkomunikasi dengan masyarakatnya apabila disampaikan dengan cara berkomunikasi yang baik. Komunikasi seni pertunjukan sering diidentifikasikan sebagai bentuk komunikasi antara pelaku seni pertunjukan dan masyarakat penikmatnya yang dimediasi oleh seni pertunjukan itu sendiri. Bentuk komunikasi semacam ini bisa dikatakan sebagai bentuk komunikasi publik. Akan tetapi dalam seni pertunjukan terdapat pula bentuk komunikasi intrapersonal, dimana bentuk ini dapat dirujuk dari filsafat keindahan (estetika) yang dimulai dari filsafat seni klasik sampai Hegel dan Kant. Pandangan-pandangan filosofis yang mengarah pada bentuk komunikasi intrapersonal tersebut bahwa pencipta seni manakala inspirasi dari kenyataan (kehidupan) telah mengalami pengendapan dan pengheningan lalu diekspresikan dalam karya seni. Kata Kunci : Filsafat Keindahan, Komunikasi Seni Pertunjukan Pendahuluan Estetika sebagai filsafat seni, ada tiga tema yang terus berdebat yaitu seniman sebagai subyektivitas; karya seni sebagai obyektivitas ungkapan seniman ke publik; dan penilaian seni yang tidak dalam apresiasi maupun kritik seni. Dari tiga tema tersebut terdapat benang merah pada bentuk keindahan seni sebagai hasil kreativitas yang harus dikomunikasikan, baik dalam proses penciptaan maupun pergelaran karya seni. Dari sisi ini kita melihat bahwa aspek komunikasi dalam seni (seni pertunjukan) amat sangat penting sebagai bentuk penyampaian maksud, tujuan, makna atau pesan dari pertunjukan tersebut. Bobot seni akan dapat kita rasakan dan kita nilai dari aspek komunikasinya. Pesan- pesan atas seni pertunjukan yang dipergelarkan akan efektif dapat berkomunikasi dengan masyarakatnya apabila disampaikan dengan cara berkomunikasi yang baik. Melihat uraian tersebut, seni pertunjukan merupakan media yang di dalamnya terdapat unsur instrinsik dan ekstrinsik yang mampu berkomunikasi dengan masyarakatnya. Unsur instrinsik adalah suatu unsur komunikasi seni pertunjukan yang menyampaikan seni itu sendiri. Dalam kai-tan ini, komunikasi seni pertunjukan akan menyampaikan pengalaman TOPIK UTAMA 38 estetis, menyampaikan pesan keindahan dari suatu pertunjukan seni, baik melalui dialog, dramatik, musik, tarian maupun tata rupa. Sementara unsur ekstrinsik adalah unsur komunikasi seni pertunjukan yang berkaitan dengan konteks seni. Dalam kaitan ini, komunikasi seni pertunjukan akan menyampaikan sesuatu yang diangkat oleh seni pertunjukan, baik dalam ranah psikologis, politik, budaya, kehidupan sosial, dan lain-lain melalui elemen-elemen simbolis yang ada dalam seni pertunjukan. Komunikasi seni pertunjukan sering diidentifikasikan sebagai bentuk komunikasi antara pelaku seni pertunjukan dan masyarakat penikmatnya yang dimediasi oleh seni pertunjukan itu sendiri. Bentuk komunikasi semacam ini bisa dikatakan sebagai bentuk komunikasi publik. Akan tetapi dalam seni pertunjukan terdapat pula bentuk komunikasi intrapersonal, dimana bentuk ini dapat dirujuk dari filsafat keindahan (estetika) yang dimulai dari filsafat seni klasik sampai Hegel dan Kant. Pandangan-pandangan filosofis yang mengarah pada bentuk komunikasi intrapersonal tersebut bahwa pencipta seni manakala inspirasi dari kenyataan (kehidupan) telah mengalami pengendapan dan pengheningan lalu diekspresikan dalam karya seni. Dalam peroses pengendapan dan pengheningan ini, seniman melakukan bentuk komunikasi intrapersonal. Estetika Menuju Komunikasi Seni Pertunjukan Seni pertunjukan merupakan salah satu ragam dalam karya seni yang didasarkan filsafat keindahan (aesthetic) atau dikenal dengan sebutan estetika. Berbicara masalah seni pertunjukan tak lepas dari keindahan, estetika yang mendasarinya sekaligus prinsip- prinsip komunikasi untuk dapat menikmati suatu keindahan tersebut. Berikut ini beberapa pemikiran filsafat tentang keindahan seni pertunjukan dari para filsuf zaman Yunani dan Roma, sampai dengan Thomas Aquinas yang melatari perspektif komunikasi seni pertunjukan. Menurut Plato (428-348), filsuf pertama di dunia Barat yang dalam seluruh karyanya mengemukakan pandangan yang meliputi hampir semua pokok estetika. Beberapa pandangannya tentang keindahan dan karya seni, ia menegaskan bahwa keindahan dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, keindahan mengingatkan kita pada dunia idea yang maha luas. Kedua, keindahan membatasi diri kita pada dunia nyata. Pandangan pertama, secara mengesankan dan dengan bahasa yang sangat indah Plato ungkapkan dalam wawancara Symposion sebagai pendirian Sokrates, yang mengatakan: Ajaran itu diterima dari seorang dewata bernama Diotima yang berasal dari Mantineia. Menurut pandangan ini, yang Acta diurnA Vol 6 No 1 2010 Dari Filsafat Keindahan Menuju Komunikasi Seni Pertunjukan 39 indah itu adalah benda material, umpamanya tubuh manusia. Jika selanjutnya melihat beberapa orang seperti itu, pengalaman akan keindahan meningkat. Lebih jauh lagi manusia merasa diajak untuk ingat pada yang lebih indah daripada tubuh manusia, yaitu jiwa. Lama kelamaan Sokrates mengajak pendengar untuk maju terus pada idea yang indah. Itulah yang paling indah, sumber segala keindahan. Semua keindahan lain hanya ikut ambil bagian pada yang indah dalam dunia idea itu, sama halnya seperti idea kebenaran, kebaikan, dan lain-lain. Pandangan kedua plato tentang keindahan ada dalam karyanya Philebus, yang menyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana. Kesederhanaan menjadi paham pokok bagi keindahan, misalnya nada yang sederhana, warna yang sederhana. Kesederhanaan yang dimaksud adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi. Dua pandangan Plato tentang keindahan mewarnai pendapat filosofisnya terhadap keindahan karya seni atau seni pertunjukan yang berkaitan dengan komunikasi, terutama pandangan yang kedua. Pandangan ini tidak melepaskan prinsip komunikasi intrapersona yang berkaitan dengan pengalaman inderawi, yang merupakan unsur konstitutif dari pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari, sekalipun penjabarannya sangat sedikit. Bagi Plato, karya seni atau seni pertunjukan termaktub dalam karyanya yang terbesar yaitu Politeia (Republik). Penilaian karya seni didasarkan pada dua unsur yakni teoretis dan praktis. Landasan penilaiannya terhadap karya seni didasarkan pada kenyataan karya seni di dunia ini sebagai suatu tiruan (mimesis) dari yang asli, yang terdapat di dunia idea dan jauh lebih unggul dari pada kenyataan dunia ini. Sementara menurut Aristoteles (384-322), murid Plato, mengemukakan pandangannya yang mirip dengan gurunya, tetapi dari sudut pandang yang sangat berbeda. Pandangan aristoteles tentang keindahan dan seni pertunjukan secara panjang lebar termuat dalam buku Poietike. Keindahan, baginnya menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini mirip dengan pandangan plato yang kedua dan berlaku untuk keindahan alam maupun bentuk seni pertunjukan buatan manusia. Pandangan tentang keindahan Aristoteles lebih ditujukan pada bentuk karya seni sastra dan drama. Dalam drama, ia menyoroti bentuk drama tragedi seperti yang dipentaskan dalam peran-peran yang diiringi dengan musik dan tarian. Karya seni memang suatu tiruan, yakni tiruan dunia alamiah dan dunia manusia. Aristoteles menolak pandangan Plato yang menyatakan bahwa karya seni hanya sekadar tiruan belaka, yang maksudnya ditujukan pada seni pertunjukan drama dan musik atau tari. Menurut Aristoteles, pembuatan karya seni (pietoke tekne) berbeda dari tugas sejarah atau tawarikh yang harus memantulkan dan mencerminkan peristiwa-peristiwa partikular yang pernah terjadi. Karya seni seharusnya memiliki Acta diurnA Vol 6 No 1 2010 Dari Filsafat Keindahan Menuju Komunikasi Seni Pertunjukan 40 keunggulan falsafati, yakni bersifat dan bernada universal. Kendati kemasan seni itu sangat khusus, peristiwa dan peran yang dipentaskan harus melambangkan dan mengandung unsur- unsur universal. Kekhususan yang universal tersebut adalah unsur khas manusiawi yang seolah- olah berlaku pada segala masa dan segala tempat. Dengan begitu, karya seni atau seni pertunjukan dalam hal ini diharapkan menjadi simbol yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penikmat seni, berdas |