Raja Balaputradewa menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan dengan raja Dewapaladewa dari India

KERAJAAN SRIWIJAYA

1). Latar Belakang

Nama “Sriwijaya” berasal dari bahasa Sansekerta. Berasal dari kata “Sri” yang artinya bercahaya dan “Wijaya” yang artinya kemenangan.

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang terletak di pulau Sumatra, tepatnya di Palembang. Menurut dugaan, kerajaan sriwijaya selalu berpindah-pindah. Awalnya berada di Minangatamwan (daerah sekitar Candi Muara Takus di Riau daratan). Kemudian dipindahkan ke Jambi, lalu ke Palembang. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya sebuah candi di Muara Takus. Dan di Palembang ditemukan arca Buddha Siguntang, karena pada abad ke 8 M, kerajaan Sriwijaya menjadi pusat ziarah dan belajar agama Budha.

Kerajaan ini berdiri sekitar awal abad ke 7 M. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Buddha terbesar di Asia Tenggara karena memiliki daeraah jajahan yang luas dan menguasai perdagangan laut. Daerah jajahannya meliputi: Laut Natuna, Semenanjung Malaya, Tanah genting Kra, Selat Malaka, Laut Jawa, Ligor, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Selat Sunda.

Perdagangan kerajaan Sriwijaya sangat besar dan maju disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

  1. Letak Sriwijaya strategis berada pada jalur perdagangan India-Cina.

  2. Armada laut Sriwijaya kuat sehingga mampu menjalin hubungan dan kerjasama dengan India dan Cina

  3. Sriwijaya telah menguasai daerah jajahan yang luas sebagai pusat-pusat perdagangan

  4. Sriwijaya mempunyai hasil bumi melimpah sebagai bahan dagang yang berharga, terutama rempah-rempah dan emas

Kerajaan sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 7 dan ke 8 M pada masa pemerintahan Balaputradewa. Menurut prasasti Nalanda di India, Balaputradewa adalah cucu raja di Jawa yang berasal dari keluarga Syailendra. Ayahnya bernama Samaratungga dan Ibunya adalah Dewi Taraputri, putri raja Dharmasetu (Sriwijaya).

Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan dengan Raja Dewapala (kerajaan Pala) di India. Hubungan ini punya 3 tujuan, yaitu:

    1. Membentengi kerajaan sriwijaya agar lebih kuat

    2. Meningkatkan hubungan perdagangan

    3. Memperdalam ilmu pengetahuan agama Budha karena di India telah berdiri perguruan tinggi Nalanda

Dalam prasasti Nalanda disebutkan bahwa sekitar tahun 860 M, Raja Dewapala membangun wihara (biara) bagi para pelajar dan pendeta kerajaan sriwijaya yang belajar di Nalanda.

2). Silsilah

Silsilah Raja Balaputradewa:

  1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)

  2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)

  3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)

  4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)

  5. Maharaja (berita Arab, 851 M)

  6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)

  7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)

  8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)

  9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)

  10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)

  11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)

Untuk menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya, ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

      1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya

      2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya

      3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya

3). Kehidupan Kerajaan Sriwijaya

Bidang Ekonomi

Kerajaan Sriwijaya menguasai perdagangan nasional dan internasional di wilayah perairan Asia Tenggara. Barang dagangannya berupa kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir, kapulaga, lada, gading, emas, perak, timah, kayu hitam, kayu sapan, penyu, dan rempah-rempah lainnya. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.

Bidang Politik

Untuk memperluas pengaruh kerajaan, cara yang dilakukan adalah melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki semenanjung malaya. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau jawa termasuk sampai ke Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Bidang Agama

Kerajaan Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Mahayana dan pernah pula menjadi pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Asia Tenggara. Seorang biksu dari Cina bernama I-tsing yang melakukan perjalanan, pada tahun 671 M berangkat dari Kanton ke India untuk belajar agama budha. Ia singgah di sriwijaya selama 6 bulan untuk belajar bahasa sansekerta. Di Sriwijaya, ia mengajar seorang guru agama budha terkenal bernama sakyakirti yang menulis buku Hastadandasastra. Pendeta yang terkenal di kerajaan Sriwijaya adalah Dharmakirti.

4). Sumber Sejarah Dan Peninggalan-Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Prasasti yang ditinggalkan oleh kerajaan sriwijaya bertuliskan dengan huruf pallawa dengan bahasa melayu kuno.

    1. Prasasti Kedukan Bukit (683 M)

Prasasti ini ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berukuran 45 x 80 cm dan terdiri dari 10 baris kalimat. Isinya menceritakan bahwa pada tahun 683 M raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukkan daerah Minangatamwan. Mereka menang dan berhasil mendirikan kota Sriwijaya. Berikut tulisan prasasti Kedukan Bukit:

svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu

apunta hiyaklapakşa vulan vaiśākha d<m> nāyik di

sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa

apunta hiyavulan jyeşţha d<m> maŕlapas dari minānga

vala dualakşa dangan ko-tāmvan mamāva yam

duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu

di mata japtlurātus sapulu dua vañakña dātam

sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula<n>….

marvuat vanua …..laghu mudita dātam

śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa …..

Terjemahan per baris:

  1. Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari ke sebelas

  2. paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyaŋ naik di

  3. perahu “mengambil siddhayātra”. Pada hari ke tujuh paro-terang

  4. bulan Jyestha Dapunta Hiyang bertolak dari Minanga

  5. sambil membawa 20.000 tentera dengan perbekalan

  6. sebanyak dua ratus (peti) berjalan dengan perahu dan yang berjalan kaki sebanyak seribu

  7. tiga ratus dua belas datang di Mukha Upaŋ

  8. dengan sukacita. Pada hari ke lima paro-terang bulan ………

  9. dengan cepat dan penuh kegembiraan datang membuat wanua (….)

  10. Śrīwijaya menang, perjalanan berhasil dan menjadi makmur senantiasa

    1. Prasasti Talang Tuo (684 M)

Prasasti ini ditemukan oleh L.C. Westenenk (Residen Palembang) pada tanggal 17 November 1920. Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50 x 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Śaka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan terdiri dari 14 baris. Isinya disebutkan bahwa atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanaso telah dibuat taman yang disebut Sriksetra untuk kemakmuran semua makhluk. Selain itu juga ada doa-doa yang bersifat Buddha Mahayana. Berikut ini terjemahan prasasti Talang Tuo:

“Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apapun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak menghianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Boddhi dan persahabatan (…) dari Tiga Ratna, dan semoga mereka tidak terpisah dari Tiga Ratna itu. Dan juga semoga senantiasa (mereka bersikap) murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan. Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya, bertubuh intan seperti para mahāsattwa berkekuatan tiada bertara, berjaya, dan juga ingat akan kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya, berindra lengkap, berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum, tenang, bersuara yang menyenangkan, suara Brahmā. Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-laki, dan keberadaannya berkat mereka sendiri; semoga mereka menjadi wadah Batu Ajaib, mempunyai kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma, kekuasaan atas noda, dan semoga akhirnya mereka mendapatkan Penerangan sempurna lagi agung.”

    1. Prasasti Kota Kapur (686 M)

Prasasti ini ditemukan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892. Prasasti ini dinamakan menurut tempat penemuannya yaitu sebuah dusun kecil yang bernama “Kotakapur” . Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak. Prasasti ini berisi permohonan kepada dewa agar menjaga keamanan dan keselamatan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat terhadap kekuasaan Sriwijaya. Berikut terjemahan prasasti tersebut:

  1. Keberhasilan !

  2. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !

  3. Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang memberon­tak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;

  4. yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka

  5. dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti meng­ganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,

  6. saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang

  7. supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut

  8. mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya

  9. dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebas­an dari bencana, kelimpahan segala­nya untuk semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Pebruari 686 Masehi), pada saat itulah

  10. kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya

Prasasti Telaga Batu ditemukan di daerah Sabokingking, Kel. 3 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan pada sekitar tahun 1950-an. Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah dibentuk sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala naga, dan di bagian bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pembasuh. secara garis besar isinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah dātu. Disebutkan juga pejabat-pejabat pemerintah mulai dari putra mahkota, hakim, jaksa, kapten bahari, pengrajin, tukang cuci, sampai tukang sapu kadātuan.

Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di tepi sungai Merangin, cabang sungai Batang, Hari, di daerah pedalaman Jambi, yang isinya menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.

Prasasti ini berangka 775 M, ditemukan di Tanah Genting Kra, Ligor. Isinya yaitu menyebutkan tentang ibu kota Ligor dengan tujuan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

Prasasti ini ditemukan di India, berangka 860 M. Isinya adalah tentang pendirian biara bagi pelajar dan pendeta Kerajaan Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Selain itu juga berisi tentang jatidiri Balaputradewa yang merupakan keturunan dari keluarga Syailendra di Jawa.

Candi ini terletak di desa Muara Takus, kecamatan XIII, Kota Kampar, Riau

Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi.

Arca yang ditemukan yaitu arca Buddha Siguntang di sebelah barat kota Palembang.

5). Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

Kemunduran dan keruntuhan Kerajaan Sriwijaya disebabkan oleh beberapa hal berikut.

  1. Serangan Raja Dharmawangsa pada tahun 990 M. Ketika itu yang berkuasa di Sriwijaya ialah Sri Sudamani Warmadewa. Walaupun serangan ini tidak berhasil, tetapi telah melemahkan Sriwijaya.

  2. Serangan dari Kerajaan Colamandala yang diperintah oleh Raja Rajendracoladewa pada tahun 1023 dan 1030. Serangan ini ditujukan ke Semenanjung Malaka dan berhasil menawan raja Sriwijaya. Serangan ketiga dilakukan pada tahun 1068 M dilakukan oleh Wirarajendra, cucu Rajendracoladewa.

  3. Pengiriman ekspedisi Pamalayu atas perintah Raja Kertanegara, 1275-1292, yang diterima dengan baik oleh Raja Melayu (Jambi), Mauliwarmadewa, semakin melemahkan kedudukan Sriwijaya.

  4. Muncul dan berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai yang mengambil alih posisi Sriwijaya.

  5. Serangan Kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1477 yang mengakibatkan Sriwijaya menjadi taklukan Majapahit.

Catatan Tambahan:

    • Pada saat Sriwijaya diperintah oleh Marawijaya Tunggawarman putra dari Sri Sudamaniwarmadewa telah terjalin hubungan dengan Kerajaan Colamandala (India Selatan). Hubungan itu semula baik. Namun, melihat perkembangan Sriwijaya yang sangat pesat di dunia perdagangan hal itu dianggap sebagai pesaing bagi Colamandala. Akibatnya, hubungan Sriwijaya dan Kerajaan Colamandala retak. Ketegangan hubungan ini terjadi ketika Kerajaan Colamandala diperintah oleh Rajendracoladewa dan Sriwijaya diperintah oleh Sri Sanggramawijayattunggawarman. Pada tahun 1023 Sriwijaya dan Kedah diserang oleh Rajendracoladewa I dari Kerajaan Colamandala, India. Serangan itu diulangi pada tahun 1030 M sehingga Raja Sriwijaya dapat ditawan. Hal itu diterangkan dalam Prasasti Cola yang berada di Tanjore (India Selatan).

    • . Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah.

    • Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan Melaka.