Perjanjian internasional yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia adalah brainly

Ratifikasi Perjanjian Internasional

Perlu tidaknya perubahan terhadap undang-undang ratifikasi yang konvensi aslinya diubah adalah tergantung dari materi yang terdapat dalam perubahan konvensi tersebut.

Ratifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia berarti:

pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.

Ratifikasi (pengesahan) sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UUPI”), dalam Pasal 1 Angka 2 UUPI dijelaskan bahwa:

Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.[1]

Terdapat dua bentuk ratifikasi yakni pengesahan menggunakan undang-undang dan pengesahan menggunakan keputusan presiden. Jika menggunakan pengertian ini maka semua perjanjian internasional memerlukan ratifikasi/pengesahan ke dalam hukum nasional. Ratifikasi dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (“KW 1969”) adalah persetujuan atau konfirmasi kesediaan untuk diikat oleh perjanjian internasional.

Dalam hukum internasional, menurut Sefriani dalam bukunya Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer (hal.102) ratifikasi bukan merupakan pengesahan tetapi persetujuan, konfirmasi, kesediaan Negara untuk tunduk (consent to be bound) dan diikat oleh suatu perjanjian internasional.[2]

Jadi dengan meratifikasi sebuah perjanjian internasional berarti Indonesia bersedia terikat dan menerima hak dan kewajiban yang timbul akibat perjanjian tersebut. Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang dilakukan apabila menyangkut hal-hal yang fundamental. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang menyebutkan bahwa:

  1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

  2. Persiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

  3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Pasal tersebut memang tidak menjelaskan proses pengesahan secara eksplisit, namun yang dijelaskan lebih pada prasyarat ratifikasi melalui undang-undang dalam hal menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. jika prasyarat ini terpenuhi maka Presiden memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) untuk meratifikasi.

Selanjutnya dijelaskan lebih terperinci dalam Pasal 10 UUPI bahwa:

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

  1. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara;

  2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.;

  3. kedaulatan atau hak berdaulat Negara;

  4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

  5. pembentukan kaidah hukum baru;

  6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Namun, terhadap perjanjian internasional yang tidak mengatur hal-hal pada pasal tersebut, maka tidak diperlukan ratifikasi menggunakan undang-undang terhadapnya, ratifikasi cukup dilakukan melalui Keputusasn Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 UUPI, yakni:

  1. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.

  2. Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

Pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018, kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya perlu mendapat persetujuan DPR diperluas dengan ditambahkan area perjanjian internasional lain yang menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Lalu putusan ini dapat juga dikatakan mempersempit lingkup ratifikasi dalam bentuk undang-undang karena tidak semua jenis perjanjian harus memperoleh persetujuan DPR.

Meskipun masuk dalam kategori sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUPI, masih perlu dilihat apakah perjanjian tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara atau tidak. Dalam pertimbangannya, Mahkamah mendasarkan pada semangat pembukaan UUD 1945, hakikat kekuasaan eksekutif, dan memperhatikan praktik negara-negara berdaulat, keterlibatan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat dalam proses pemberian persetujuan pembuatan perjanjian internasional umumnya tidak diberlakukan pada semua perjanjian internasional, melainkan hanya terhadap perjanjian internasional yang dianggap penting saja.

Perlukah Undang-Undang Ratifikasi Diubah Jika Perjanjian Internasional Berubah?

Maka dari itu menjawab pertanyaan Anda, perlu diperhatikan terlebih dahulu perihal materi apa yang diatur dalam perubahan konvensi internasional tersebut. Apakah perubahan konvensi tersebut mengatur perihal hal-hal yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUPI dan Putusan a quo Mahkamah Konstitusi. Jika terhadap perubahan konvensi internasional bertentangan dengan berbagai aspek yang fundamental sebagaimana prasyarat dalam UUPI dan putusan MK maka perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang ratifikasinya.

Sebaliknya, jika perubahan tersebut masih sejalan dengan dasar-dasar dan ideologi bangsa dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud UUPI dan Putusan MK maka undang-undang ratifikasinya tidak perlu diubah. Hal ini disebabkan karena perubahan terhadap undang-undang memerlukan tahapan yang tidak sederhana dan cenderung memakan waktu yang lama. Terhadap perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori berdampak luas maka dalam pengesahannya hanya diperlukan keputusan presiden saja.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermafaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018.

Referensi:

  1. Sefriani. 2016. Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer . Jakarta : Rajawali Pers.

[2] Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer ( Rajawali Pers: Jakarta, 2016) hlm. 102

Berikut adalah konvensi yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia:

  1. Konvensi ILO No: 19/1925 tentang Perlakuan yang Sama bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (Equality of Treatment for National And Foreign Workers as Regards to Workmen’s Compensation for Accident). Konvensi ini diratifikasi pada tahun 1927 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia staatsblad 1929 No: 53
  2. Konvensi ILO No: 27/1929 tentang Pemberian Tanda Berat Pada Pengepakan Barang-Barang Besar yang Diangkut Dengan Kapal (The Marking at The Weight On Heavy Packages Transported By Vessels) diratifikasi pada tahun 1933 Nederland staatsblad 1932 No: 185, Nederland staatblad 1933 No: 34 dan dinyatakan berlaku untuk Indonesia dengan Indonesia staatblad 1933 No: 117.
  3. Konvensi ILO No: 29/1930 tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib (Forced or Compulsory Labour) diratifikasi pada tahun 1933 (Nederland staatsblad 1933 No: 26 jo 1933 No: 236) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia staatsblad 1933 No: 261
  4. Konvensi ILO No: 45/1935 tentang Memperkerjakan Perempuan di Bawah Tanah dalam Berbagai Macam Pekerjaan Tambang (The Employnment of Women on Underground Work in Mines of All Kind), diratifikasi pada tahun 1937 (Nederland staatsblad 1937 No: 15) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatsblad 1937 No: 219
  5. Konvensi ILO No: 69/1946 tentang Sertifikasi Juru Masak Kapal (Certification of Ship’s Cook) dibuat pada tahun 1946 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No: 4 tahun 1992
  6. Konvensi ILO No: 81/1947 tentang Inspeksi Ketenagakerjaan (Labour Inspection) dibuat pada tahun 1947
  7. Konvensi ILO No: 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize)  dibuat pada tahun 1948 dan diratifikasi pada tahun 1998
  8. Konvensi ILO No: 88/1948) tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (Institute for Employment Service) dibuat pada tahun 1948
  9. Konvensi ILO No: 98/1949) tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (The Aplication of The Principles of The Right to Organize and to Bargain Collectively) dibuat pada tahun 1949 dan diratifikasi dengan Undang-undang nomor 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No: 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari pada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara No: 42 tahun 1956)
  10. Konvensi ILO No: 100/1951 tentang Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value) diratifikasi dengan Undang-undang nomor 80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No: 100 mengenai Pengupahan bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara No: 171 tahun 1957)
  11. Konvensi ILO No: 105/1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of forced labour) diratifikasi pada tahun 1999
  12. Konvensi ILO No: 106/1957 tentang Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor (Weekly Rest In Commerce and Offices) dibuat pada tahun 1957 dan diratifikasi dengan Undang-undang nomor 3 tahun 1961 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No: 106 mengenai Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor (Lembaran Negara No: 14 tahun 1961)
  13. Konvensi ILO No: 111/1958 tentang Diskriminasi dalam Kerja dan jabatan (Discrimination in Respect of Employment and Occupation) dibuat pada tahun 1958 dan diratifikasi pada tahun 1999
  14. Konvensi ILO No: 120/1964 tentang Kebersihan di Tempat Dagang dan Kantor (Hygiene in Commerce and Offices)  diratifikasi dengan Undang-undang nomor 3 tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No: 120 Mengenai Hygiene dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor (Tambahan Lembaran Negara No: 2889 tahun 1969)
  15. Konvensi ILO No: 138/1973) tentang Batas Usia Minimum untuk Bekerja (Minimum Age for Admission to Employment) dibuat pada tahun 1973 dan diratifikasi pada tahun 1999
  16. Konvensi ILO No: 144/1976) tentang Konsultasi Tripartit untuk Mempromosikan Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (Tripartite Consultations to Promote the Implementation of International Labour Standards), dibuat pada tahun 1976 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No: 26 tahun 2006
  17. Konvensi ILO No: 182/1999) tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Elimination of the Worst Forms of Child Labour) dibuat pada tahun 1999 telah diratifikasi pemerintah pada tahun 2000
  18. Konvensi ILO No: 185 tentang Dokumen Identitas Pelaut (Seafarers’ Identity Documents/SID) diratifikasi pada tahun 2008

8 Konvensi inti ILO (Core ILO Convention) yang merupakan hak-hak dasar pekerja:

  1. Konvensi ILO No. 29 Tentang Penghapusan Kerja Paksa.
  2. Konvensi ILO No. 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi.
  3. Konvensi ILO No. 98 Tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Bersama.
  4. Konvensi ILO No. 100 Tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para Pekerja Pria dan Wanita.
  5. Konvensi ILO No. 105 Tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerja Paksa.
  6. Konvensi ILO No. 111 Tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.
  7. Konvensi ILO No. 138 Tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja.
  8. Konvensi ILO No. 182 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Hits: 2104