Peristiwa Malari dipicu oleh dominasi ekonomi di Indonesia yang dilakukan oleh negara


#Jawaban di bawah ini, bisa saja salah karena si penjawab bisa saja bukan ahli dalam pertanyaan tersebut. Pastikan mencari jawaban dari berbagai sumber terpercaya, sebelum mengklaim jawaban tersebut adalah benar. Selamat Belajar..#


Answered by ### on Sun, 18 Sep 2022 04:51:55 +0700 with category Sejarah

Timor lestemaaf kalo salah

Baca Juga: 2.tentukan kuat medan listrik jika muatan sumber besar 0,2 uc,jarak antar muatan 10 cm (k=9x10*9)​


ask.dhafi.link Merupakan Website Kesimpulan dari forum tanya jawab online dengan pembahasan seputar pendidikan di indonesia secara umum. website ini gratis 100% tidak dipungut biaya sepeserpun untuk para pelajar di seluruh indonesia. saya harap pembelajaran ini dapat bermanfaat bagi para pelajar yang sedang mencari jawaban dari segala soal di sekolah. Terima Kasih Telah Berkunjung, Semoga sehat selalu.


#Jawaban di bawah ini, bisa saja salah karena si penjawab bisa saja bukan ahli dalam pertanyaan tersebut. Pastikan mencari jawaban dari berbagai sumber terpercaya, sebelum mengklaim jawaban tersebut adalah benar. Selamat Belajar..#


Answered by ### on Sun, 18 Sep 2022 04:51:57 +0700 with category Sejarah

Jepang , maaf klau salah

Baca Juga: Riba yang disebabkan karena terjadinya tukar menukar barang yang sejenis tetapi barang tersebut mempunyai ukuran yang berbeda, hal ini dinamakan riba….


ask.dhafi.link Merupakan Website Kesimpulan dari forum tanya jawab online dengan pembahasan seputar pendidikan di indonesia secara umum. website ini gratis 100% tidak dipungut biaya sepeserpun untuk para pelajar di seluruh indonesia. saya harap pembelajaran ini dapat bermanfaat bagi para pelajar yang sedang mencari jawaban dari segala soal di sekolah. Terima Kasih Telah Berkunjung, Semoga sehat selalu.

Liputan6.com, Jakarta Malapetaka 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Malari 1974, merupakan peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi usai kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.

Tanaka naik Pesawat Super DC-8 JAL yang mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, pukul 19.45. Tanpa upacara militer dan sambutan kenegaraan, hanya ada kalungan bunga.

Presiden Soeharto pun menemui Tanaka dan rombongannya di Istana Negara, 15 Januari 1974. Sementara ribuan mahasiswa dan pelajar SMA turun ke jalan menentang kedatangan Tanaka.

Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dilawan. Long march dari Kampus Universitas Indonesia Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol itu mengusung tiga tuntutan yakni pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden.

Berdasarkan Majalah Tempo: Lari Dari Malari edisi 4 Februari 2008, aksi ini berujung kerusuhan. Menurut Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) sekaligus pimpinan aksi massa, unjuk rasa mahasiswa usai pukul 14.30 WIB.

"Sedangkan kerusuhan terjadi satu jam kemudian," katanya.

Massa yang mengaku dari kalangan buruh pada akhirnya menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka menjarah serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko.

Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro sebelumnya sempat menghadang massa di Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berniat mengalihkan massa agar tidak mengarah ke Istana Presiden.

"Ayo, ikut saya, kita jalan sama-sama ke Kebayoran!," teriaknya. "Maksud saya, mau membuat tujuan mereka menyimpang, supaya jangan sampai ke arah Monas."

Dalam buku Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1996), orasi itu berhasil. Massa berangsur bubar dan kecemasan demonstran akan memasuki Monas pun hilang.

Dialog Jalanan Mahasiswa

Kepada Tempo, Soemitro mengaku menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa (DM) UI dengan Tanaka. Si Perdana Menteri Jepang sudah bersedia. Namun DM UI menjawab "dialog diganti dengan dialog jalanan."

Dalam buku Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 (1995), pada 16 Januari 1974 demonstrasi belum juga mereda. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin alias Bang Ali yang resah memutuskan pergi ke kampus UI Salemba.

"Saya masuk dari belakang, dari rumah sakit," ujar Bang Ali.

Kabar Bang Ali ada di UI pun sampai ke telinga Soemitro. Dia kemudian meminta Bang Ali meneruskan dialog ke mahasiswa dan berpesan, "Katakan kepada mahasiswa bahwa persoalan sudah selesai, usahakan supaya aksi mahasiswa mereda."

Malamnya, Bang Ali mengajak Hariman ke TVRI. Dalam siaran itu, Hariman mengumumkan bahwa permasalahan sudah selesai. Imbauan Hariman akhirnya mampu meredam aksi mahasiswa.

Hanya saja, pada akhirnya kerusuhan sudah terjadi. Tercatat 807 mobil dan motor buatan Jepang dibakar, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat, 160 kilogram emas hilang dari toko-toko perhiasan.

Atas kerawanan situasi kala itu, Soeharto bahkan mesti mengantar Tanaka menggunakan helikopter menuju Bandara Halim Perdanakusuma, sebelum kembali ke negaranya.

Hariman Siregar kemudian diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. Empat bulan sidang, vonis enam tahun penjara pun diketok. Selama dibui, ayahnya meninggal, istri sakit, dan anak kembarnya meninggal.

"Saya dianggap merongrong kewibawaan negara," kata Hariman.

Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan dalam sebuah artikelnya, peristiwa Malari mengubah perjalanan Indonesia. Soeharto melakukan represi secara sistematis.

Aparat menangkap total 750 orang, di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan seperti Hariman Siregar, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid.

"Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, tanggal 17 gue ditangkap," kenang Hariman.

Pada 11 Januari, Soeharto memang menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Dia bermaksud meredam aksi mahasiswa. Sjahrir, yang ikut ditahan setelah peristiwa tersebut, menilai Malari adalah bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto.

Oleh:

JIBI/Gigih M. Hanafi Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Jogja (FAM-I) melakukan aksi membakar ban serta membajak mobil di Pertigaan Kampus UIN, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (15/1/2014). Mereka mengenang 40 tahun kejadian tragedi Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.

Bisnis.com, JAKARTA -- Peristiwa 15 Januari 1974 atau lebih dikenal sebagai Malari, merupakan peristiwa pertama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru. Presiden Soeharto kemudian bertindak tegas, pencopotan pejabat di kalangan militer dan intelejen negara, serta penangkapan mahasiswa.

Beberapa analisis terkait peristiwa tersebut, pernah diutarakan Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam. Terdapat analisis yang mengaitkan peristiwa Malari sebagai gagalnya skema suksesi, friksi elit militer dalam hal ini Jenderal Soemitro versus Jenderal Ali Moertopo.

Analisis lain yaitu berakar dari tuntutan mahasiswa yang melakukan protes yakni persoalan kemandirian pembangunan ekonomi. Peristiwa Malari dipicu kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka pada 14-17 Januari 1974.

Beberapa slogan protes mahasiswa yang dimotori Dewan Mahasiswa (Dema), terutama tokohnya Ketua Dema Universitas Indonesia (UI) Hariman Siregar, antara lain menolak modal asing dan strategi pembangunan salah arah.

Seperti dicatat Almarhum Peter Kasenda dalam artikel “Peristiwa 15 Januari 1974”, kejadian tersebut adalah kulminasi dari serangkaian protes yang dilakukan sebelumnya. Sepanjang tahun sebelumnya, mahasiswa yang dimotori Dema menyelenggarakan berbagai kegiatan protes, mulai dari “Renungan Malam Keprihatinan” hingga “Tirakatan Nasional”.

Bahkan, beredar “Petisi 24 Oktober” yang isinya protes keras terhadap kebijakan Orde Baru. Pada Desember 1973, di halaman Fakultas Kedokteran (FK) UI Salemba, terlaksana malam tirakatan yang dihadiri perwakilan banyak mahasiswa serta tokoh, menyuarakan kritik terhadap modal asing.

Pada 15 Januari 1974, Dema berbagai perguruan tinggi membulatkan tekad untuk melakukan apel di depan kampus Universitas Trisakti, Grogol. Kebulatan tuntutan yaitu menolak modal asing serta secara demonstratif dilakukan berbarengan dengan kunjungan PM Tanaka.

Dalam konteks modal asing dan pembangunan ekonomi, peristiwa Malari 1974 adalah sebuah percobaan dari kalangan mahasiswa. Sebelumnya, angkatan ’66 telah berhasil mendongkel kekuasaan Orde Lama dengan harapan mendatangkan perbaikan kehidupan bangsa.

Namun, harapan itu pun luruh seiring dengan kebijakan ekonomi Orde Baru yang condong kepada eksploitasi modal asing. Bahkan, sebelum secara resmi menjabat presiden, Soeharto telah meneken UU Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967, yang secara regulasi mengesahkan masuknya Freeport dan berbagai investasi asing lainnya.

Di sisi lain, kalangan mahasiswa yang kala itu dominan sebagai kelompok penekan berpengaruh, sebagai wakil masyarakat sipil, cenderung melihat jalannya pembangunan Orde Baru berkebalikan 100% dari wacana Anti Nekolim era Orba. Lebih-lebih, masuknya modal asing itu dianggap telah mendikte banyak kebijakan negara.

Protes keras mahasiswa pada 15 Januari 1974 terkait strategi pembangunan dan modal asing itu pun mendapat pengesahan dengan kerusuhan yang menyusul. Produk-produk berbau Jepang dan modal asing dibakar, termasuk kantor Toyota Astra dan Coca Cola.

Peristiwa yang berkecamuk di depan hidung PM Tanaka lantas memberikan banyak perubahan dalam kebijakan Jepang selanjutnya. Setelah Malari 1974, Jepang buru-buru mengubah haluan kebijakan terhadap hubungannya dengan Indonesia.

Sebagaimana dicatat Asvi yang memperoleh informasi dari sejarawan wanita Jepang Aiko Kurosawa, sejak peristiwa tersebut Negeri Sakura meluncurkan banyak program penelitian terkait budaya dan agama di Indonesia. Maka, pada 1974 itu pula lahirlah Japan Foundation.

Lewat lembaga tersebut, Jepang kerap menyelenggarakan pertukaran budaya dengan mengirim dan menerima pelajar dari Indonesia atau sebaliknya. Studi-studi mengenai Asia Tenggara mulai digalakan di Jepang.

Bahkan, peristiwa Malari 1974 disebut-sebut mendorong berdirinya Toyota Foundation. Di Jepang, Toyota Foundation merupakan pionir dari lembaga penelitian yang didanai swasta, fokusnya terutama pemberian beasiswa penelitian bagi studi Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Peristiwa Malari 1974 juga memberikan banyak pelajaran. Secara statistik, sedikitnya 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 orang ditahan.

Kerugian materil antara lain 187 sepeda motor rusak dibakar, 807 mobil hangus, dan 144 bangunan rusak. Lebih jauh, pemerintah Orde Baru lebih menerapkan kebijakan ekstra represif hingga berujung pada pembubaran Dema di Perguruan Tinggi (PT).

Tak hanya itu, pelajaran menarik lain yaitu friksi elit yang ditengarai melibatkan Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo telah menggunakan kekuatan massa sipil untuk merealisasikan maksud kekuasaan.

Soemitro telah menggalang massa dari kalangan kampus. Begitupun Ali Moertopo yang menggunakan lembaga Center for Strategic and International Studies (CSIS) sebagai simpul gerakan.

Setidaknya hal itulah yang dicatat para sejarawan atas peristiwa Malari 1974. Waktu berlalu, hubungan Indonesia dengan Jepang, atau bahkan dengan investasi negara lain kian berkembang dan kompleks.

Namun, kritik terhadap Orde Baru yang membangun ekonomi lewat penyangga utama modal asing tanpa melakukan penguatan industri dalam negeri, patut dicatat dan menjadi perhatian saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini : investasi asing

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :