perbedaan hadis sunnah khabar dan atsar

perbedaan hadis sunnah khabar dan atsar
Hadis Sunnah Khabar dan Atsar

Hadispedia.id – Samakah istilah hadis, sunnah, khabar, dan atsar? Sebelum mengurai perbedaannya, ada baiknya penulis menjelaskan pengertian umum dari hadis. Ibn Hajar al-‘Atsqalani (852 H) dalam mukadimah Kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari menyebutkan bahwa hadis adalah :

المراد بالحديث في عرف الشرع ما يضاف إلى النبي صلى الله عليه وسلم.

“Yang dimaksud dengan hadis menurut istilah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw”.

Sementara itu Mahmud Thahhan menambahkan pengertian tersebut dengan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat. Berdasarkan pengertian ini hadis pada tataran selanjutnya dibagi menjadi hadis qauli (hadis yang berisi perkataan Nabi), hadis fi’li (hadis yang berisi perbuatan Nabi), hadis taqriri (hadis yang berisi ketetapan Nabi), dan hadis sifat (hadis yang berisi keterangan sifat-sifat Nabi).

Baca juga: Posisi Hadis dalam Hukum Islam

Sementara itu istilah sunnah, khabar dan atsar menurut mayoritas para ahli adalah sinonim dari hadis. Hanya saja sebagian yang lain ada yang membedakannya seperti yang pernah disajikan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi (911 H) dalam mukadimah kitab Tadrib al-Rawi–nya. Di antara perbedaan itu adalah :

Pertama, sunnah adalah istilah untuk tradisi yang hidup dan dicontohkan secara turun-temurun dari Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya. Biasanya sunnah dilakukan secara berulang dan tetap berdasarkan riwayat yang shahih. Sementara itu istilah hadis lebih umum karena mencakup segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi, sekalipun itu tidak menjadi tradisi atau dilakukan hanya sekali atau dua kali saja oleh Nabi Muhammad Saw. Dapat dibahasakan bahwa setiap sunnah adalah hadis dan tidak setiap hadis menjadi sunnah.

Kedua, khabar menurut sebagian ahli hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari selain Nabi, khususnya sahabat dan tabi’in. Ahli Fikih Khurasan menyebutkan secara khusus bahwa khabar adalah istilah lain untuk Hadis Marfu’. Sedangkan Mahmud Thahan mengutip sebuah pendapat dari segolongan ahli hadis bahwa khabar adalah sebuah riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad Saw dan juga selain Nabi, seperti sahabat-sahabat beliau serta para tabi’in yang menyampaikan sesuatu terkait ajaran agama.

Baca juga: Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis

Ketiga, atsar menurut sebagian ahli hadis adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada sahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Ahli Fikih Khurasan mengkhususkan atsar sebagai istilah lain untuk Hadis Mauquf. Sedangkan sekelompok ahli hadis menganggapnya sama dengan Hadis Marfu’ dan Mauquf. Sedangkan Jamaluddin al-Qasimi dalam karyanya Qawaid al-Tahdits mengutip pendapat yang menyebutkan bahwa atsar secara umum adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada sahabat atau Nabi secara mutlak.

Samakah istilah hadis, sunnah, khabar, dan atsar?. Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya tidak ada kata sepakat dalam perbedaan keempat istilah tersebut. Masing-masingnya dipahami secara berbeda tergantung siapa yang mendefinisikannya. Namun yang pasti semuanya merujuk kepada semua riwayat terkait ajaran agama Islam yang dinisbatkan kepada otoritas keagamaan, yaitu Nabi Muhammad Saw, sahabat dan para tabi’in yang hidup setelah mereka. Allahu A’lam


perbedaan hadis sunnah khabar dan atsar

Hadits adalah pedoman kedua dalam agama Islam setelah Al Quran. Mempelajari hadits begitu penting bagi kita sebagai umat Islam. Karena dengan mempelajarinya maka kita akan mengetahui apa yang disabdakan oleh Nabi kita. 

Mempelajari hadits juga merupakan konsekwensi dari syahadat kita terhadap kerasulan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari ilmu ini.

Secara umum ilmu hadits terbagi menjadi dua. Yaitu ilmu hadits dirayah dan ilmu hadits riwayah. Keduanya memiliki pembahasan yang berbeda namun intinya sama-sama membahas tentang hadits. 

Sebelum kita menginjak pada materi hadits yang lebih mendalam ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa itu hadits. Pada artikel ini insya Allah akan kita bahas bersama tentang pengertian hadits, sunnah, khabar, atsar dan hadits qudsi. Berikut pemaparannya :

Hadits (الحديث) secara bahasa berarti Al-Jadiid (الجديد) yang artinya adalah sesuatu yang baru; yakni kebalikan dari Al-Qadiim (القديم) yang artinya sesuatu lama. Sedangkan hadits menurut istilah para ahli hadits adalah :

مَا أُضِيْفُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ، أَوْ فِعْلٍ، أَوْ تَقْرِيْرٍ، أَوْ وَصْفٍ

Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik ucapan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.[1]

Dari definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, maupun kepribadiannya. 

Hingga gerak dan diamnya ketika terbangun maupun tertidur juga disebut sebagai hadits. Maka dari itu pengertian ini juga mencakup setiap keadaan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam menurut para ahli hadits.

Sunnah (السنة) secara bahasa berarti As-Siirah Al-Muttaba’ah (السيرة المتبعة) yang berarti jalan yang diikuti. Setiap jalan dan perjalanan yang diikuti dinamakan sunnah, baik itu jalan yang baik maupun jalan yang buruk.

Adapun sunnah menurut istilah para ahli hadits adalah : Segala sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, kepribadian, maupun perjalanan hidup, baik itu sebelum diutus maupun sesudah diutus.

Menurut prespektif ahli hadits, hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah kenabiannya. 

Sedangkan sunnah pengertiannya lebih menyeluruh dan lebih umum. Karena sunnah juga mencakup perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum kenabiannya dan setelah kenabiannya.

Setelah diuraikannya pengertian hadits, maka kita dapat mengetahui bahwa secara umum hadits itu ada yang berupa perbuatan, perkataan, maupun persetujuan atau penetapan. Agar lebih memudahkan dalam memahaminya, berikut ini contoh ketiga jenis hadits tersebut :

Adalah hadits yang berupa sabda atau ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Biasanya disebutkan lafadz qaala (قَالَ) dalam redaksinya. Contoh :

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

Dari Umar bin Khathab radliyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya amalan itu dengan niatnya.”[2]

Adalah hadits yang berupa perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Biasanya disebutkan lafadz kaana (كَانَ) dalam redaksinya. Contoh :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَائِمًا وَقَاعِدًا، فَإِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ قَائِمًا رَكَعَ قَائِمًا، وَإِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ قَاعِدًا رَكَعَ قَاعِدًا

Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sholat berdiri dan duduk. Ketika memulai sholat dengan berdiri maka ruku’ dengan berdiri. Dan ketika memulai sholat dengan duduk maka ruku’ dengan duduk.[3]

Adalah hadits yang berupa persetujuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan atau perilaku sahabat beliau. Contoh :

عَنْ مُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ التَّطَوُّعِ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَقَالَ: كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الْأَيْدِي عَلَى صَلَاةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ، وَكُنَّا نُصَلِّي عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ، فَقُلْتُ لَهُ: أَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهُمَا؟ قَالَ: كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا

Dari Mukhtar bin Fulful, ia berkata : Aku bertanya pada Anas bin Malik tetang shalat sunnah setelah asar, maka ia menjawab :

“Dahulu Umar memukul tanganku karena aku shalat setelah asar, dan dahulu di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kami shalat dua rakaaat setelah terbenamnya matahari sebelum shalat maghrib.”

Lalu aku bertanya pada nya : “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat itu?”

Anas bin Malik menjawab : “Beliau melihat kami melaksanakan shalat itu, dan beliau tidak memerintahkan dan juga tidak melarangnya.”[4]

Khabar (الخبر) secara bahasa berarti An-Naba’ (النبأ) yang berarti kabar atau berita. Adapun secara istilah khabar ini semakna dengan hadits sehingga memiliki definisi yang sama dengan hadits. 

Namun, menurut pendapat yang lain menyatakan bahwa khabar ini lebih umum dari pada hadits. Sehingga definisi khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan juga kepada selain beliau. Syaikh Utsaimin mengatakan :

الْخَبَرُ مَا أُضِيْفُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِلَى غَيْرِهِ

Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan juga disandarkan kepada selainnya.[5]

Atsar (الأثر) secara bahasa berarti Baqiyyatu Asy-Syaii’ (بقية الشيء) yang berarti sisa dari sesuatu, atau jejak. Adapun secara istilah, atsar adalah :

مَا أُضِيْفُ إِلَى الصَّحَابِي أَوْ التَّابِعِي

Segala sesuatu yang disandarkan pada sahabat atau tabi’in.[6]

Adakalanya atsar juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun biasanya penyebutannya disandarkan dengan redaksi “dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam” sehingga penyebutannya seperti ini :

وَفِي الْأَثَرِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dalam sebuah atsar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam . . .

Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Allah ta’ala. Hadits qudsi ini juga terkadang disebut dengan hadits rabbaaniy atau hadits ilaahiy. Syaikh Utsaimin mengatakan :

الْحَدِيْثُ الْقُدْسِي: مَا رَوَاهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَبِّهِ تَعَالَى

Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasllam dari Tuhannya ta’ala.[7]

Dengan demikian, hadits qudsi juga merupakan firman Allah ta’ala yang maknanya disampaikan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, namun redaksi yang disampaikan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Allah ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Aku di sisi persangkaan hamba-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di kumpulan orang, maka Aku mengingatnya di kumpulan orang banyak yang lebih baik dari mereka.”[8]

Perbedaan hadits nabawi, hadits qudsi dan Al Quran adalah dilihat dari penisbatan redaksi dan maknanya. Redaksi dan makna Al Quran dinisbatkan kepada Allah ta’ala. Sedangkan hadits nabawi, redaksi dan maknanya dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits qudsi, hanya maknanya saja yang dinisbatkan kepada Allah ta’ala, bukan redaksinya.

Maka dari itu, membaca hadits qudsi tidak dinilai sebagai ibadah, tidak dapat digunakan sebagai qiraat dalam shalat, tidak terdapat tantangan (bagi orang kafir untuk menandinginya), dan juga tidak dinukil secara mutawatir sebagaimana Al Quran. Sehingga hadits qudsi juga ada yang shahih, dha’if, bahkan palsu.[9]

[1] Shalih Al Utsaimin, Mustholah Al Hadits, (Kairo: Maktabah Ilmi, 1994), hlm. 5

[2] HR. Nasa’iy no. 75

[5] Shalih Al Utsaimin, Mustholah Al Hadits, (Kairo: Maktabah Ilmi, 1994), hlm. 5

[9] Shalih Al Utsaimin, Mustholah Al Hadits, (Kairo: Maktabah Ilmi, 1994), hlm. 5 – 6