Pahlawan yang gugur tenggelam di Laut Aru dalam usaha mengembalikan Irian Barat ke NKRI adalah

Pahlawan yang gugur tenggelam di Laut Aru dalam usaha mengembalikan Irian Barat ke NKRI adalah

Pahlawan yang gugur tenggelam di Laut Aru dalam usaha mengembalikan Irian Barat ke NKRI adalah
Lihat Foto

Wikipedia / Aday

KRI Macan Tutul

KOMPAS.com - Pertempuran Laut Aru adalah pertempuran yang terjadi di Laut Aru, Maluku pada 15 Januari 1962 antara Indonesia dengan Belanda.

Pertempuran terjadi ketika dua kapal jenis destroyer, pesawat jenis Neptune dan Firefly milik Belanda menyerang RI Macan Tutul (650), RI Matjan Kumbang (653), dan RI Harimau (654).

Armada Indonesia Matjan Tutul yang saat itu dipimpin Komodor Yos Sudarso, berhasil melakukan manuver untuk mengalihkan perhatian musuh.

Perhatian musuh lantas terfokus pada KRI Macaan Tutul.

Tidak lama kemudian, serangan menjatuhi KRI Macan Tutul. Kapal tersebut tenggelam beserta awaknya, sedangkan dua kapal lainnya berhasil selamat.

Baca juga: Pemberontakan Kuti: Penyebab dan Kronologinya 

Penyebab terjadinya pertempuran Laut Aru adalah adanya pengingkaran janji Belanda terhadap Konferensi Meja Bundar (KMB).

Belanda berjanji untuk membebaskan Papua Barat, tetapi Belanda mengingkarinya. 

Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) sebagai misi pembebasan Irian Barat.

Isi Trikora adalah:

  1. Gagalkan pembentukan "Negara Boneka Papua" buatan Belanda kolonial;
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia;
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Belanda kemudian memperkuat pertahanannya, sehingga Indonesia perlu membeli persenjataan massal dari Uni Soviet untuk memperkuat Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

tirto.id - Deru pesawat tempur Belanda membelah kesunyian malam di Laut Aru pada 15 Januari 1962, tepat hari ini 57 tahun lalu. Flare dijatuhkan, Samudra Pasifik yang semula gelap-gulita menjadi terang-benderang. Operasi senyap tiga Kapal Republik Indonesia (KRI) di perairan Maluku itu ketahuan!

Kubu lawan ternyata telah menyiapkan tiga kapal yang ukurannya lebih besar dari tiga KRI yang sedang menjalankan misi rahasia. KRI Harimau, KRI Macan Tutul, dan KRI Macan Kumbang yang semula berlayar tenang kini mulai waspada. Pertempuran di samudera barangkali segera terjadi.

Advertising

Advertising

Benar saja. Pihak Belanda yang juga bersiaga mengira tiga kapal Indonesia itu dilengkapi senjata, padahal tidak. Tembakan peringatan pertama pun dilepaskan dan jatuh di dekat KRI Harimau, ada Kolonel Sudomo dan sejumlah petinggi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) lainnya di atas kapal itu.

Sadar kalah perlengkapan tempur, Komodor Yos Sudarso yang memimpin KRI Macan Tutul memerintahkan ketiga kapal republik putar balik untuk mundur sementara. Belanda yang menyangka gerakan itu adalah manuver untuk menyerang segera melepaskan tembakan sebelum diserang duluan.

Malangnya, mesin KRI Macan Tutul mendadak mati. Yos Sudarso berpikir keras, harus ada kapal republik yang selamat. Dikisahkan dalam buku yang ditulis Moh. Oemar, Laksda TNI-AL Anumerta Yosaphat Soedarso (2006), Macan Tutul lantas pasang badan sebagai umpan, memberi peluang dua KRI lainnya meninggalkan medan laga.

KRI Macan Tutul harus berhadapan dengan kapal perang Belanda bernama Karel Doorman yang siap menembak. Tembakan pertama meleset. Namun, di kesempatan kedua, Macan Tutul kena telak. Kapal buatan Jerman Barat yang dibeli pada 1960 itu pun terbakar dan perlahan karam.

Pekik “kobarkan semangat pertempuran!" melengking dari saluran radio di dua KRI lainnya. Itu suara Yos Sudarso. Serangan pun berhenti, suasana kembali sunyi.

Baca juga: Karel Doorman Memilih Tenggelam bersama De Ruyter di Laut Jawa

Karier Mulus di AL

Sejak kecil Yos bercita-cita menjadi prajurit, setidaknya seperti ayahnya yang seorang polisi. Tapi, kedua orang tua Yos tidak menghendaki anak kesayangan mereka masuk militer, terlalu besar pertaruhannya di masa-masa yang memang rawan perang itu.

Nama aslinya adalah Yosaphat Soedarso, tapi orang-orang lebih sering menyapanya singkat: Yos. Ia adalah putra dari pasangan Sukarno Darmoprawiro dan Mariyam, lahir di sebuah kota kecil yang terletak di lereng timur Gunung Merbabu, Salatiga, Jawa Tengah, pada 24 November 1925.

Yos merampungkan pendidikan dasarnya di Hollandsch Inlandsch School (HIS), sekolah dasar bikinan Belanda untuk anak-anak pribumi, pada 1940. Setelah itu, Yos lanjut ke sekolah menengah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Semarang dan langsung lulus dalam waktu tiga tahun.

Orang tua Yos sempat girang karena sang putra diterima di Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Muntilan. Namun, situasi yang kala itu tidak kondusif membuat Yos gagal menyelesaikan studi gurunya. Saat itu memang sedang terjadi peralihan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang di tengah berlangsungnya Perang Dunia II.

Batal menjadi guru, Yos tak patah arang. Justru mimpinya menjadi prajurit kini berpeluang untuk diwujudkan. Apalagi pemerintahan militer Jepang di Indonesia memang sedang membutuhkan banyak tambahan tenaga untuk menghadapi Sekutu di Perang Asia Timur Raya.

Yos masuk Sekolah Tinggi Pelayaran di Semarang sekaligus mengikuti pendidikan militer angkatan laut Jepang. Hanya butuh setahun bagi Yos untuk lulus sekaligus menjadi salah satu siswa terbaik. Pada 1944, Yos bertugas di kapal milik Jepang bernama Goo Osamu Butai sebagai perwira di bawah kapten.

Usai Jepang kalah dan Indonesia merdeka pada 1945, karier Yos berjalan sangat mulus. Ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR, cikal-bakal TNI) Laut dan turut ambil bagian dalam berbagai operasi militer untuk mengatasi aksi letupan perlawanan di daerah.

Baca juga: TNI AL Pernah Berperang Tanpa Kapal Perang & Bermarkas di Gunung

Pada 1950, setelah Belanda secara penuh mengakui kedaulatan RI, Yos menjabat sebagai komandan dan memimpin cukup banyak kapal milik republik, dari KRI Alu, KRI Gajah Mada, KRI Rajawali, hingga KRI Pattimura. Yos juga sempat menjabat sebagai hakim pengadilan militer selama 4 bulan pada 1958.

Gejolak internal ALRI pada 1959 menjadi titik krusial dalam karier militer Yos Sudarso. Ia turut dalam rombongan Letnan Kolonel Ali Sadikin yang tidak sepakat dengan kepemimpinan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAU), Laksamana Subiyakto.

Konflik tersebut disebut-sebut terkait dengan perbedaan pandangan politik, juga idealisme, di kalangan perwira angkatan laut. Pada waktu itu, militer memang menjadi ajang kekuatan yang hebat antara berbagai golongan politik, seperti digambarkan oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia (1996).

Demi meredam polemik, Subiyakto mundur, digantikan R.E. Martadinata. Tak lama usai suksesi itu, Yos Sudarso naik pangkat berturut-turut dalam tempo singkat, dari Deputi I/Operasi, kemudian Letnan Kolonel, hingga Komodor (Laksamana Pertama).

Saat Yos gugur dalam Pertempuran Laut Aru pada 15 Januari 1962 itu, ia menjabat sebagai Deputi Operasi KSAL atau orang nomor dua di Angkatan Laut Republik Indonesia.

Baca juga: Jejak Tragis Sang Nakhoda R.E. Martadinata

Operasi Ilegal?

Pada 19 Desember 1961, Presiden RI Sukarno mendeklarasikan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Papua dari Belanda, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Yos Sudarso terlibat sentral dalam rangkaian operasi militer yang ternyata menjadi bakti terakhirnya untuk nusa dan bangsa itu.

Gugurnya Yos Sudarso di Laut Aru membuka tabir yang menyelimuti insiden tersebut. Operasi militer itu memang bersifat rahasia, dilakukan untuk mencari informasi tentang armada perang Belanda yang memang lebih banyak dan bersenjata lengkap di sekitar Irian Barat.

Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dituding sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas insiden tersebut. Seharusnya, pesawat-pesawat pengintai milik AURI memberikan informasi situasi terkini dari atas perairan Maluku, tapi itu ternyata tidak dilakukan, entah apa sebabnya.

Polemik yang semakin meruncing dan saling menyalahkan membuat Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma mundur dari jabatannya pada 19 Januari 1962 dan digantikan Letnan Kolonel Oemar Dhani.

Yang menjadi persoalan, pemerintah sama sekali tidak mengetahui rencana operasi yang dipimpin Kolonel Sudomo tersebut, termasuk Sukarno selaku presiden dan Menteri Keamanan Nasional Republik Indonesia saat itu, A.H. Nasution.

Baca juga: Algojo Orde Baru Itu Bernama Sudomo

Infografik Mozaik Yos Sudarso

tirto.id - Sejarah perjuangan negeri ini mengguratkan nama Yos Sudarso sebagai pahlawan nasional dari TNI Angkatan Laut. Komodor Yos Sudarso gugur dalam tugas bersama KRI Macan Tutul di pertempuran Laut Aru, perairan Maluku, tanggal 15 Januari 1962, melawan kapal perang Belanda.

Lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 24 November 1925, nama aslinya adalah Yosaphat Sudarso, putra dari Sukarno Darmoprawiro dan Mariyam. Sejak kecil, Yos Sudarso bercita-cita menjadi prajurit. Ayahnya, tulis Eddy Supangkat dalam Salatiga: Sketsa Kota Lama (2007), adalah pensiunan reserse polisi.

Akan tetapi, orang tua Yos Sudarso tidak menghendaki anak kesayangan mereka masuk ketentaraan. Yos Sudarso bahkan nyaris menjadi guru setelah setelah diterima di Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Muntilan.

Namun, situasi yang kala itu tidak kondusif membuat Yos Sudarso gagal menyelesaikan studi keguruannya. Kala itu, tahun 1942, memang sedang terjadi peralihan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang di tengah Perang Dunia II.

Baca juga:

  • Apa Itu On Eternal Patrol dalam Tragedi KRI Nanggala-402?
  • Sejarah DAMRI Bermula dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia
  • Sejarah Organisasi Bentukan Jepang di Indonesia & Contohnya

Meniti Karier Militer Angkatan Laut

Batal menjadi guru, Yos Sudarso tak patah arang. Justru mimpinya menjadi prajurit kini berpeluang untuk diwujudkan. Apalagi pemerintahan militer Jepang sedang membutuhkan banyak tambahan tenaga untuk menghadapi Sekutu di Perang Asia Timur Raya.

Yos Sudarso lantas masuk Sekolah Tinggi Pelayaran di Semarang sekaligus mengikuti pendidikan militer angkatan laut Jepang. Ia lulus sebagai salah satu siswa terbaik. Pada 1944, ia bertugas di kapal milik Jepang bernama Goo Osamu Butai sebagai perwira di bawah kapten.

Kemerdekaan RI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 seiring kekalahan Jepang dari Sekutu ternyata membuka jalan karier yang mulus bagi Yos Sudarso. Ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat di sektor kelautan (BKR Laut) yang merupakan cikal-bakal TNI-AL.

Baca juga:

  • Pemberontakan PRRI-Permesta di Sumatera dan Sulawesi
  • Sejarah Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
  • Dirgahayu HUT TNI 5 Oktober: Urutan Sejarah BKR hingga ABRI

Dikutip dari buku Sekali Merdeka Tetap Merdeka: Biografi Para Pejuang Bangsa Periode Revolusi Bersenjata (1985) karya Tugiyono Ks dan Enny Sukaeni, pada 1947, Yos Sudarso mengikuti pendidikan pelatihan opsir ALRI di Kalibakung, Tegal.

Tiga tahun kemudian atau selepas pengakuan kedaulatan Indonesia secara penuh oleh Belanda usai Konferensi Meja Bundar (KMB), Yos Sudarso menempuh pendidikan Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Surabaya pada 1950.

Dalam perjalanan karier selanjutnya, Yos Sudarso sering turut ambil bagian dalam serangkaian operasi militer untuk mengatasi berbagai pemberontakan yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Yos Sudarso pernah memimpin beberapa Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), dari KRI Alu, KRI Gajah Mada, KRI Rajawali, KRI Pattimura, hingga KRI Macan Tutul. Ia juga sempat menjadi hakim pengadilan militer selama 4 bulan pada 1958.

Baca juga:

  • Sejarah Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda
  • Sejarah Konferensi Meja Bundar (KMB): Latar Belakang, Tokoh, Hasil
  • Sejarah Operasi Trikora: Latar Belakang, Isi, Tujuan, dan Tokoh

Operasi Senyap di Laut Aru

Saat pertempuran di Laut Aru terjadi, Yos Sudarso menjabat sebagai Deputi Operasi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) atau orang nomor dua di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) kala itu.

Operasi di Laut Aru merupakan rangkaian dari misi membebaskan Papua Barat dari Belanda setelah Presiden Sukarno menyerukan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961. Urusan Papua Barat memang belum bisa dituntaskan di KMB.

Ada tiga Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) yang dilibatkan dalam operasi senyap di perairan Maluku pada malam 15 Januari 1962 itu, yakni KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau. Komodor Yos Sudarso adalah pemimpin KRI Macan Tutul.

Pergerakan Yos Sudarso dan tiga unit KRI yang beroperasi di Laut Aru itu ternyata tercium oleh armada perang Belanda. Ada tiga kapal perang berukuran besar dengan persenjataan yang lebih lengkap di kubu lawan.

Sadar kalah perlengkapan tempur, Komodor Yos Sudarso memerintahkan ketiga kapal republik putar balik agar mundur untuk sementara. Kapal Belanda yang menyangka gerakan itu adalah manuver untuk menyerang segera melepaskan tembakan.

Baca juga:

  • Ada Sejarah Apa Saja Tanggal 21 April 2021 Selain Hari Kartini?
  • Sejarah Perjuangan Ibu Kita Kartini untuk Kaum Wanita Indonesia
  • Sejarah Perundingan Renville: Latar Belakang, Isi, Tokoh, & Dampak

Pengorbanan Komodor Yos Sudarso

Moh. Oemar melalui buku Laksda TNI-AL Anumerta Yosaphat Soedarso (2006) mengisahkan, mesin KRI Macan Tutul mendadak mati di tengah upaya penyelamatan tersebut.

Yos Sudarso berpikir keras, harus ada kapal republik yang selamat. KRI Macan Tutul yang dipimpinnya lantas pasang badan sebagai umpan, memberi peluang dua kapal republik lainnya untuk menyelamatkan diri.

KRI Macan Tutul kini harus berhadapan dengan kapal perang Belanda yang siap menembak. Tembakan pertama meleset. Namun, di kesempatan kedua, KRI Macan Tutul kena telak. Kapal perang buatan Jerman Barat itu pun terbakar dan perlahan tenggelam.

Saluran radio sempat menangkap pekik kobarkan semangat pertempuran yang dilantangkan Komodor Yos Sudarso sebelum KRI Macan Tutul benar-benar karam bersama 24 orang yang gugur sebagai kusuma bangsa di Laut Aru.

Komodor Yos Sudarso yang mengorbankan nyawanya dalam tugas demi kepentingan negara wafat pada usia yang masih muda, 36 tahun.

Selain ditetapkan sebagai pahlawan nasional, namanya juga diabadikan menjadi nama kapal perang milik TNI-AL yakni KRI Yos Sudarso.

Baca juga:

  • Gugurnya Yos Sudarso & Benarkah Pertempuran Laut Aru Ilegal?
  • Masjid Sultan Suriansyah: Sejarah, Interior, & Arsitektur Bangunan
  • Sejarah Perjanjian Giyanti: Lahirnya Kerajaan Surakarta-Yogyakarta

Baca juga artikel terkait YOS SUDARSO atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/agu)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH

Subscribe for updates Unsubscribe from updates