Salatiga-Kalau pada masa penjajahan Belanda urusan agama ditangani berbagai instansi atau kementerian, pada masa kemerdekaan masalah-masalah agama secara resmi diurus satu lembaga yaitu Departemen Agama. Keberadaan Departemen Agama dalam struktur pemerintah Republik Indonesia melalui proses panjang. Sebagai bagian dari pemerintah negara Republik Indonesia; Kementerian Agama didirikan pada 3 Januari 1946. Dasar hukum pendirian ini adalah Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor I/SD tertanggal 3 Januari 1946. Show Apabila pada zaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang masalah-masalah Agama, terutama Islam, menjadi bagian dari pemerintahan penjajah, maka wajar dan dapat dipahami jika umat Islam pada masa kemerdekaan menuntut adanya lembaga yang secara khusus menangani masalah-masalah agama dalam bentuk Kementerian Agama. Mohammad Yamin adalah orang yang mula-mula mengusulkan dalam salah satu sidang BPUPKI agar pemerintah Republik Indonesia, di samping mempunyai kementerian pada umumnya, seperti luar negeri, dalam negeri, keuangan, dan sebagainya, membentuk juga beberapa kementerian negara yang khusus. Salah satu kementerian yang diusulkannya ialah Kementerian Islamiyah, yang katanya, memberi jaminan kepada umat Islam (masjid, langgar, surau, wakaf) yang di tanah Indonesia dapat dilihat dan dirasakan artinya dengan kesungguhan hati. Tetapi meskipun beberapa usulnya tentang susunan negara bisa diterima dan menjadi bagian dan UUD 1945, usulnya tentang ini tidak begitu mendapat sambutan. Mungkin karena ketika ia mengajukan usul ini Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dengan tujuh kata bertuah yang merupakan kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan telah tercapai. Bukankah ucapan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya telah mencakup semuanya? Hanya saja, setelah Proklamasi Kemerdekaan telah diucapkan dan konstitusi harus disahkan dalam rapat yang diadakan pada tanggal 18 Agustus, atas desakan Bung Hatta, PPKI mengganti tujuh kata bertuah itu, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam rapat tersebut, Latuharhary, seorang tokoh Kristen dari Maluku, mengusulkan kepada rapat agar masalah-masalah agama diurus Kementerian Pendidikan. Abdul Abbas, seorang wakil Islam dari Lampung, mendukung usul agar urusan agama ditangani Kementerian Pendidikan. Iwa Kusumasumatri, seorang nasionalis dari Jawa Barat, setuju gagasan perlunya Kementerian Agama tetapi karena pemerintah itu sifatnya nasional, agama seharusnya tidak diurus kementerian khusus. Ia sependapat dengan pikiran Latuharhary. Ki Hadjar Dewantoro, tokoh pendidikan Taman Siswa, lebih suka urusan-urusan agama mejadi tugas Kementerian Dalam Negeri. Dengan penolakan beberapa tokoh penting ini, usul Kementerian Agama akhirnya ditolak. Hanya enam dari 27 Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang setuju didirikannya Kementerian Agama. Ketika Kabinet Presidential dibentuk di awal bulan September 1945, jabatan Menteri Agama belum diadakan. Demikian halnya, di bulan Nopember, ketika kabinet Presidential digantikan oleh kabinet parlementer, di bawah. Perdana Menteri Sjahrir. Usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali diajukan kepada BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 11 Nopember 1946 oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro, yang semuanya merupakan anggota KNIP dari Karesidenan Banyumas. Usulan ini mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang semuanya juga merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh persetujuan BP-KNIP. Kelihatannya, usulan tersebut kembali dikemukakan dalam sidang pleno BP-KNIP, 25-28 Nopember 1945 bertempat di Fakultas Kedokteran UI Salemba. Wakil-wakil KNIP Daerah Karesidenan Banyumas dalam pemandangan umum atas keterangan pemerintah kembali mengusulkan, antara lain; Supaya dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambillalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri. Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan suara, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta, yang kemudian menyatakan, bahwa adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah. Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan ketetapan NO.1/S.D. yang antara lain berbunyi: Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama. Keputusan dan penetapan pemerintah ini dikumandangkan di udara oleh RRI ke seluruh dunia, dan disiarkan oleh pers dalam, dan luar negeri, dengan H. Rasjidi BA sebagai Menteri Agama yang pertama. Pembentukan Kementerian Agama segera menimbulkan kontroversi di antara berbagai pihak. Kaum Muslimin umumnya memandang bahwa keberadaan Kementerian Agama merupakan suatu keharusan sejarah. Ia merupakan kelanjutan dari instansi yang bernama Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa pendudukan Jepang, yang mengambil preseden dari Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi Islam pada masa kolonial Belanda. Bahkan sebagian Muslim melacak eksistensi Kementerian Agama ini lebih jauh lagi, ke masa kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan, yang sebagiannya memang memiliki struktur dan fungsionaris yang menangani urusan-urusan keagamaan. Tetapi argumen ini dibantah oleh dokumen resmi yang diterbitkan pemerintahan Soekamo. Dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid VII, dinyatakan bahwa di zaman kolonial Belanda, soal-soal yang bertalian dengan urusan agama diurus terpencar-pencar dalam beberapa departemen. Sebagai contoh soal urusan haji, perkawinan, pengajaran agama diurus oleh Departement van Binnenland sche Zaken sic, atau Departemen urusan-urusan Dalam Negeri). Soal Mahkamah Islam Tinggi, Raad Agama (peradilan agama) serta penasihat Pengadilan Negeri diurus oleh Departement van justitie dan lain sebagainya. Kemudian di zaman penjajahan Jepang, urusan agama itu dipegang oleh Shumubu, sebagai bagian dari Gunseikanbu, sedang di daerah-daerah diurus oleh Shumuka sebagai bagian dari pemerintah keresidenan. Oleh karena itu, keberadaan Departemen Agama adalah suatu departemen yang baru, yang tidak ada hubungannya dengan zaman penjajahan, karena ia dilahirkan seiring dengan Proklamasi Rakyat Indonesia menentang penjajahan itu. Ia ditampilkan ke tengah-tengah forum perjuangan oleh rakyat yang berjuang itu sendiri sebagai cermin jiwa dan kehendak aspirasi rakyat terbesar. Terlepas dari masalah pengaitan eksistensi Kementerian Agama dengan kelembagaan semacamnya yang pemah ada di masa sebelumnya, beberapa pengamat berargumen bahwa pembentukan Kementerian Agama merupakan bagian dari strategi Sjahrir untuk mendapatkan dukungan bagi kabinetnya dari kaum Muslimin. Rosihan Anwar, tokoh sosialis Muslim, misalnya, menyatakan, pandangan ini berdasarkan pada pengakuan Sjahrir bahwa kaum Muslimin merupakan mayoritas penduduk Indonesia, yang secara alamiah wajar memerlukan Kementerian khusus untuk mengelola masalah-masalah keagamaan mereka. Pada pihak lain, sejumlah pemimpin Indonesia, terutama dari kalangan non-Muslim dan nasionalis, memandang Kementerian Agama merupakan konsesi yang terIalu besar dari Republik yang baru berdiri kepada kaum Muslimin. Mereka khawatir, bahwa Kementerian akan didominasi pejabat-pejabat Muslim dan, dengan demikian, akan lebih memprioritaskan urusan-urusan Islam daripada urusan agama-agama lainnya yang ada di Indonesia. Lebih jauh lagi, di antara mereka ada yang menuduh bahwa Kementerian Agama merupakan langkah pertama kaum Muslimin untuk mewujudkan negara Islam di Indonesia, setelah mereka gagal dalam sidang BPUPKI untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Bentuk tipikal oposisi kalangan non Muslim terhadap eksistensi Kementerian Agama dapat terlihat dari pandangan JWM Bakker, pemimpin Katolik yang bermukim di Indonesia. Sebagaimana dikutip Boland (1982:106-7), Bakker menyatakan, bahwa sejak semula Kementerian Agama merupakan kubu Islam dan batu loncatan untuk pembentukan sebuah negara Islam. Dia lebih lanjut menuduh, bahwa pada perkembangan awalnya kementerian ini bersikap defensif, tetapi ketika ia semakin kuat dan sadar akan kekuatannya, ia mulai melancarkan propaganda (Islam) melewati batas-batas yang pernah diduga Sjahrir sendiri; bagian propaganda dari Kementerian Agama menjadi sekuat negara itu sendiri. Tuduhan ini tentu saja dijawab oleh para pemimpin Islam. Wahid Hasyim, pemimpin NU yang kemudian menjabat Menteri Agama pada 1950-1952 menyatakan, adalah pantas bagi Kementerian Agama untuk memberikan perhatian lebih besar kepada masalah-masalah Islam, karena jumlah penduduk Muslim jauh lebih banyak dibandingkan jumlah kaum non Muslim. Karena itu, ujarnya, tugas-tugas untuk pengelolaan masalah-masalah Islam dan kaum Mushmin tidak sama besarnya dengan penanganan masalah-masalah kaum non-Muslim. Jadi, perbedaan ini tidaklah didasarkan pada diskriminasi agama. Sumber:
Jepang menjajah Indonesia dalam kurun waktu yang singkat dibandingkan dengan Belanda. Jepang hanya menjajah selama kurang lebih 3,5 tahun, terhitung dari tahun 1942-1945. Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang setelah melalui proses yang cukup panjang. Pasukan Jepang memiliki sebuah cita-cita untuk membentuk imperium di Asia. Oleh karena itu, Jepang banyak melakukan intervensi ke berbagai wilayah. Pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang mulai melakukan penyerbuan ke Asia Tenggara dan membom Pearl Harbour yang merupakan pangkalan terbesar Angkatan Laut Amerika di Pasifik. Penyerangan yang dilakukan Jepang, menyulut kemarahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer. Perang antara Belanda dan Jepang pun dimulai. Jepang mulai menyerang Indonesia dan berusaha untuk menguasai wilayah yang ada, seperti di Kalimantan dan Jawa. Perang antara Belanda dan Jepang berakhir dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pihak Angkatan Perang Hindia Belanda melakukan kapitulasi[1] kepada Jepang. Sehingga berakhirlah pemerintahan Belanda dan digantikkan oleh kekuasaan Jepang. [2] Ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia, Jepang mempunyai kebijakan yang berbeda dari Belanda. Khususnya kebijakan Jepang untuk mengakomodasi dua kekuatan besar yang ada di Indonesia pada waktu itu, yaitu kaum Islam dan nasionalis sekuler. Jepang memahami bahwa Indonesia mayoritas beragama Islam, jadi ketika Jepang berhasil mengakomodasi kekuatan tersebut, maka akan mudah untuk melakukan kerja sama dengan para ulama yang memang memiliki pengaruh yang besar dikalangan masyarakat. Jepang banyak membentuk organisasi-organisasi dan membiarkan MIAI terus hidup. Umat Islam diperlakukan dengan layak dan diberi kebebasan menjalankan ibadah. Organisasi-organisasi yang ada kemudian berubah haluan dan melawan Jepang, khususnya umat Islam. Umat Islam senantiasa ikut serta dalam usaha-usaha kemerdekaan Indonesia. Masa Pendudukan Jepang di IndonesiaJepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942. Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang Pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia”.[3] Serangan Jepang ke Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour memicu perang antara Belanda dan Jepang. Sebelumnya, Jepang telah menyerbu Cina dan Indocina. Selanjutnya ke Muangtai, Burma, Malaya, Filipina, dan Hindia Belanda (Indonesia). Jepang pun memperoleh kekuasaan di Indonesia setelah berhasil melawan Belanda.[4] Pemboman di Pearl HarbourJepang memperoleh keberhasilan dalam menaklukan wilayah yang ada di Indonesia. Pertama-tama, Jepang menduduki Tarakan, selanjutnya menguasai Balikpapan, Pontianak, Banjarmasin, Palermbang, Batavia (Jakarta), Bogor, Subang, dan Kalijati. Setelah berkuasa, Jepang membentuk pemerintahan militer Jepang di Indonesia yang terbagi atas tiga wilayah kekuasaan:[5]
Jepang melakukan pendekatan-pendekatan kepada kaum Islam dan nasionalis sekuler. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menarik perhatian dan dukungan. Sebelumnya, tepatnya pada bulan September 1939, Jepang juga melakukan aktivitas untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang beragama Islam. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya pertemuan organisasi-organisasi Islam di Tokyo. Aktivitas tersebut merupakan pameran Islam yang diadakan di Tokyo dan Osaka pada tanggal 5-29 Nopember 1939.[6] Jepang membentuk lembaga-lembaga baru bagi golongan nasionalis sekuler dan Islam sebagai berikut:[7]
Cuo Sangi In Jawa Hokokai Pada 4 September 1942 MIAI bergerak, tetapi tidak memenuhi harapan Jepang. Hal ini dikarenakan, MIAI berusaha menolak Rancangan Undang-Undang Kolonial Belanda yang dalam beberapa hal bertentangan dengan hukum Islam serta menolak kolonialisme. Jepang khawatir semangat kolonialisme ini akan tumbuh. Disamping itu, MIAI memperkuat persaudaraan dengan Muslim luar negeri. Dikhawatirkan ide Pan-Islam akan terus berkembang dan mengancam ide Pan-Asia. MIAI berhenti sejenak dan kembali bergerak dengan program-program baru demi tercapainya tujuan sosio-religius. Perincian program ini yaitu:
Dalam pelaksanaannya, MIAI menjalankan tiga proyek, yaitu:
Baitul Mal yang melibatkan para ulama dikhawatirkan Jepang diniatkan untuk mencari ridha Allah semata, bukan demi membantu kepentingan Jepang. Dengan begitu, akan memotong hubungan antara MIAI dengan Shumubu[8]. Pada tanggal 1 April, di setiap karesidenan di Jawa telah dibuka kantornya dengan nama Shumuka[9]. Kepalanya adalah ulama terkemuka di setiap wilayah karesidenan. Pada tanggal 1 Oktober 1943, Kolonel Horie digantikan oleh Husein Djajadiningrat. Ketika Husein tidak bisa bekerja dengan baik, maka digantikan oleh K.H Hasyim Asy’ari. Selain sebagai ketua Shumubu, ia juga sebagai ketua Lembaga Majelis Syuro Muslimin Indonesia, atau dikenal dengan Masyumi yang disahkan pada 22 Nopember 1943. Wakilnya, K.H Chasbullah dari NU dan K.H Mas Mansur dari Muhammadiyah. [10] Adapun dampak dari pendudukan Jepang di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sebagai berikut:[11]
Pandangan dan Politik Jepang terhadap umat Islam IndonesiaIslam mendapatkan perhatian yang khusus pada masa pendudukan Jepang. Hal ini dapat dilihat ketika Jepang melakukan pendekatan-pendekatan khusus. Pada tahun 1943, tepatnya tujuh bulan pertama, Jepang sibuk untuk memobilisasikan Islam Indonesia pada tingkat rakyat pedesaan. Jepang memperlakukan para kiai yang ada di desa dengan sopan, karena Jepang sadar betul betapa besarnya pengaruh para kiai. Jepang berhasil mendamaikan antara kaum bertahan (ulama yang berpegang teguh pada madzhab) dengan kaum maju (ulama yang menolak taqlid), antara ulama dependen (penghulu) dengan ulama independen (kiai). Elite Islam diberikan bagian yang tentu lebih besar daripada masa Hindia Belanda dalam urusan politik-administratif yang baru, khususnya di Shumubu dan di Shumuka. [12] Di beberapa wilayah di Indonesia, ulama menduduki posisi keagamaan, sosial dan juga politik. Salah satunya di Minangkabau, yang mana posisi Tuanku lebih tinggi daripada kaum adat. Posisi dan peranan ulama pedesaan di Indonesia yang lebih besar dari penguasa yang hanya berlandaskan nasionalisme sehingga Jepang berusaha menarik para ulama ke pihak mereka. Sebelum pendaratan Jepang ke Indonesia, Jepang melakukan penyiaran yang isinya menyatakan bahwa mereka akan datang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan akan menghormati serta menjunjung tinggi Islam. Di Aceh, Jepang disambut dengan baik oleh PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang telah melakukan sabotase untuk memberi jalan bagi tentara Jepang yang lewat. Untuk meyakinkan umat Islam di Indonesia, Jepang mengambil tindakan keras terhadap gereja. Sekolah-sekolah dan rumah sakit yang dikelola oleh Belanda di tutup atau diletakkan dibawah pemerintahan Belanda. Berkaitan dengan upaya politik Jepang terhadap umat Islam di Indonesia, Jepang hendak menjadikan Indonesia seperti Mansyuria, Korea dan Formosa (sekarang Taiwan) sebelum Perang Dunia Kedua. Jepang berusaha me-niponisani Indonesia dengan cara membuat Jepang dominan dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kebudayaan Indonesia digantikan dengan kebudayaan Jepang. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh berikut:
a). mempunyai pengaruh yang luas, b).berpengetahuan luas, c). berposisi social yang baik, d). berkarakter tidak tercela. Kiai diwajibkan untuk berseikeirei, mereka juga tidak boleh berhubungan dengan publik selama mengikuti penataran. Mereka harus hidup dalam suasana, kebiasaan dan ideologi Jepang. Menurut Clifford Geertz (1960) beberapa orang ulama yang berusia muda dikrim ke Bragang untuk diajarkan bagaimana supaya berani mati seperti pasukan Kamikase yang berjuang demi kejayaan Dai Nippon dan Tenno Heika.
Perjuangan Umat Islam Pada Masa Pendudukan JepangKerja paksa pada jaman Jepang dinamakan Romusha. Banyak rakyat dipekerjakan secara paksa demi kepentingan perang Jepang. Selain itu, ada pula yang samapi dikirim jauh, dan hanya beberapa orang saja yang kembali. Gadis-gadis Indonesia dikerahkan hanya untuk menghibur tentara Jepang. Pada awalnya, mereka diberi embel-embel akan diberi pendidikan yang layak, tapi semua itu palsu. [15] Untuk melepaskan diri dari cengkraman Jepang, maka berbagai upaya perlawanan pun dilakukan, baik melalui perjuangan di bawah tanah maupun perjuangan bersenjata. Perjuangan bawah tanah terdiri dari para pegawai yang diam-diam menghimpun kerkuatan untuk mempersatukan rakyat berjuang mencapai kemerdekaan. Perjuangan bawah tanah dilakukan di berbagai daerah, salah satunya adalah di Jakarta:[16]
Perlakuan Jepang yang semakin menyengsarakan rakyat membuat mereka melakukan perlawanan dan menentang Jepang, bahkan dengan perlawanan bersenjata. Perlawanan tersebut juga terjadi di berbagai daerah:
Jepang terdesak dalam perang pasifik, sehingga menjanjikan kemerdekaan dalam waktu dekat, maka dibentuklah BPUPKI yang dilantik 28 Mei 1945. BPUPKI memiliki arti penting karena untuk pertama kalinya dalam sejarah, para pemimpin Indonesia berkumpul dalam suatu wadah membicarakan persiapan kemerdekaan bangsa. Dalam BPUPKI terdapat dua ideologi yang berbeda antara Islam dan nasionalis sekuler. Sidang BPUPKIPada 9 Agustus dibentuklah PPKI. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat dan kosong kekuasaan, hal ini dimanfaatkan pemimpin bangsa untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah proklamasi kemerdekaan datanglah utusan dari Indonesia Timur, ada yang mengatakan seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah yang dikuasai angkatan laut Jepang merasa keberatan dengan adanya sila pertama yang berbunyi ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sidang PPKIUsulan yang diterima bung Hatta kemudian disampaikan dalam sidang PPKI, bung hatta juga menemui beberapa pemimpin Islam untuk membicarakan hal tersebut, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan Teuku Muhammad Hasan. Akhirnya golongan Islam menerima perubahan Piagam Jakarta , keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangat singkat itu , sungguh mencerminkan sikap kenegarawaan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia. Adapun alasan golongan Islam adalah:
DAFTAR PUSTAKABenda. Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj Daniel Dhakidae. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1958. Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Offset, 2010. Listiyani, Dwi Ari. Sejarah. Jakarta: Pusat Perbukuan , Departemen Pendidikan Nasional, 2009. Notosusanto, Marwati Djoened & Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1984. Shiddiqi, Nourouzzaman. Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis. Jakarta: PT Djaya Pirusa, 1984. Suryanegra, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995. [1]Kapitulasi adalah penyerahan kekuasaan sebagai akibat kekalahan dalam peperangan kepada pihak yang menang. [2]Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1984), hlm. 1-5. [3]Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma Offset, 2010), hlm. 35. [4]Dwi Ari Listiyani, Sejarah (Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009), hlm. 174. [5]Ibid, 174-175. [6]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj Daniel Dhakidae (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1958), hlm. 134. [7] Dwi Ari, Sejarah, hlm. 176. [8]Shumubu adalah Departemen Agama pusat buatan Jepang. Dibentuk pada bulan Maret, yang mana tugasnya dibebankan pada tiga orang haji Jepang, yaitu: Haji Abdul Muniam Inada, Haji Abdul Hamid Ono dan Haji Muhammad Saleh Suzuki. Mereka didaratkan ke Indonesia dipimpin oleh Kolonel Horie, seorang Jepang non Muslim. [9] Shumuka adalah Departemen Agama di tingkat karesidenan. [10] Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis (Jakarta: PT Djaya Pirusa, 1984), hal. 111-119. [11] Dwi Ari, Sejarah,, 179-183. [12] Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis, hlm. 94-95 [13] Ahmad Mansur Suryanegra, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hal. 258. [14] Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis, hal. 91-111 [15] Ibid, hal. 124. [16]Dwi Ari, Sejarah,hlm. 176-179. Similar Posts:
|