Orang yang dapat berkomsumsi dengan makhluk gaib menurut suku petalangan disebut *

Suku Petalangan hidup di Kabupaten Pelalawan, provinsi Riau. Desa-desa pemukiman orang Petalangan terletak sekitar 60-95 kilometer dari kota Pekanbaru. Kebanyakan orang Petalangan mencari nafkah dari hutan karet dan sbg nelayan.

Istilah Petalangan berasal dari kata talang, yang merupakan sejenis bambu. Suku ini juga menyebut diri mereka sbg orang darat. Banyak orang Petalangan dianggarkan sebanyak 58.400 jiwa (1993).

Sejarah

Menurut tombo Orang Petalangan datang dari Johor menggunakan perahu, dan buka hutan di pemukiman mereka sekarang ini. Mereka kemudian menjadi kawula Kerajaan Kampar, dan kemudian Pelalawan. Di bawah pemerintahan Kesultanan Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh kepala hukum budaya yang dikenal dengan sebutan batin. Orang Petalangan menjual hasil hutan dan jasa untuk Kesultanan Pelalawan.

Dengan kemerdekaan Indonesia kehidupan orang Petalangan mengalami perubahan. Kesultanan Pelalawan digabungkan ke dalam Republik Indonesia, dan pemerintahan tradisional oleh batin digantikan oleh kepala desa yang dinaikkan oleh pemerintah Republik.

Sistem hukum budaya

Hukum budaya Petalangan merupakan paduan dari sistem Minangkabau yang matrilineal dan sistem Melayu yang patriarkis. Walaupun mayoritas warga Petalangan mencetuskan diri mereka berasal dari Semenanjung Malaya, beberapa mengaku berasal dari Minangkabau. Berlandaskan sistem matrilineal warga Petalangan dibagi atas beberapa suku (klan), seperti Sengerih, Lubuk, Pelabi, Medang, Piliang, Melayu, Penyabungan dan Pitopang. Harta diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Walaupun begitu bagian keluarga laki-laki mengendalikan praktek hukum budaya.

Kepemimpinan

Pimpinan suku adalah ninik-mamak, yang dipilih melewati musyawarah bagian keluarga laki-laki. Ninik-mamak ini berperan menyilakan duduk sengketa dalam suatu suku, dan karenanya diharapkan memiliki ilmu mendalam tentang adat-istiadat. Bila hadir konflik selang orang-orang dari dua suku atau lebih ninik-mamak dari masing-masing klan akan berjumpa dan berunding sebagai memecahkan masalah.

Batin pada awal mulanya berperan sbg pimpinan politik, yang mengepalai suatu desa (pebatinan). Kepala semua batin orang Petalangan disebut sbg monti ajo (menteri raja), gelar yang berasal dari letaknya di Kesultanan Pelalawan. Monti ojo dipilih dari dan oleh para batin. Dalam sistem administrasi Indonesia pimpinan adalah kepala desa, dan batin hanyalah letak simbolis.

Perkawinan

Dalam hukum budaya suku Petalangan perkawinan selang bagian satu klan matrilineal (suku) dilarang. Perkawinan yang dianjurkan adalah yang dinamakan sbg pulang ke bako. Dalam pulang ke bako seorang lelaki menikahi anak perempuan paman dari garis ibu. Lelaki yang sudah menikah tinggal di rumah akrab orang tua istrinya.

Walaupun perkawinan selang bagian satu klan dilarang, orang Petalangan lebih menyukai perkawinan dengan orang sekampung (endogami).

Ninik-mamak memegang peranan penting dalam merencanakan perkawinan. Ninik-mamak pihak laki-laki mengajukan lamaran untuk keluarga perempuan, yang kemudian ditemani dengan perundingan dengan ninik-mamak pihak perempuan. Mereka kemudian memutuskan kala dan tempat perayaan perkawinan.

Agama

Suku Petalangan menganut agama Islam. Namun mereka juga memiliki sistem keyakinan sendiri, yang menganggap kehadiran makhluk halus pada binatang dan tumbuh-tumbuhan. Namun keyakinan ini diasumsikan tidak bertentangan dengan Islam.

Bahasa dan Sastra

Orang Petalangan menggunakan dialek Melayu Kampar. Bahasa Indonesia kadang-kadang digunakan oleh kepala kampung atau sebagai berhubungan dengan orang luar. Bahasa dan dialek-dialek pautan yang berdekatan yang memengaruhi adalah : Pelalawan, V Koto Kampar, Kuantan dan Minangkabau.

Bentuk-bentuk sastra yang dikenal orang Petalangan ditengahnya pidato hukum budaya (cakap hukum budaya), pantun, dan nyanyi panjang, mantera ( monto), belian, dan menumbai

Pustaka

  • (Inggris) Ethnographic background of the Petalangan society

edunitas.com


Page 2

Suku Petalangan hidup di Kabupaten Pelalawan, provinsi Riau. Desa-desa pemukiman orang Petalangan terletak sekitar 60-95 kilometer dari kota Pekanbaru. Kebanyakan orang Petalangan mencari nafkah dari hutan karet dan sbg nelayan.

Istilah Petalangan berasal dari kata talang, yang merupakan sejenis bambu. Suku ini juga menyebut diri mereka sbg orang darat. Banyak orang Petalangan dianggarkan sebanyak 58.400 jiwa (1993).

Sejarah

Menurut tombo Orang Petalangan datang dari Johor menggunakan perahu, dan buka hutan di pemukiman mereka sekarang ini. Mereka kemudian menjadi kawula Kerajaan Kampar, dan kemudian Pelalawan. Di bawah pemerintahan Kesultanan Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh kepala hukum budaya yang dikenal dengan sebutan batin. Orang Petalangan menjual hasil hutan dan perbuatan yang berguna untuk Kesultanan Pelalawan.

Dengan kemerdekaan Indonesia kehidupan orang Petalangan mengalami perubahan. Kesultanan Pelalawan digabungkan ke dalam Republik Indonesia, dan pemerintahan tradisional oleh batin digantikan oleh kepala desa yang dinaikkan oleh pemerintah Republik.

Sistem hukum budaya

Hukum budaya Petalangan merupakan paduan dari sistem Minangkabau yang matrilineal dan sistem Melayu yang patriarkis. Meskipun mayoritas warga Petalangan mencetuskan diri mereka berasal dari Semenanjung Malaya, sebagian mengaku berasal dari Minangkabau. Berlandaskan sistem matrilineal warga Petalangan dibagi atas beberapa suku (klan), seperti Sengerih, Lubuk, Pelabi, Medang, Piliang, Melayu, Penyabungan dan Pitopang. Harta diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Meskipun begitu bagian keluarga laki-laki mengendalikan praktek hukum budaya.

Kepemimpinan

Pimpinan suku adalah ninik-mamak, yang dipilih melewati musyawarah bagian keluarga laki-laki. Ninik-mamak ini berperan menyilakan duduk sengketa dalam suatu suku, dan karena itu diharapkan memiliki ilmu mendalam tentang adat-istiadat. Bila hadir konflik selang orang-orang dari dua suku atau lebih ninik-mamak dari masing-masing klan akan berjumpa dan berunding sebagai memecahkan masalah.

Batin pada awalnya berperan sbg pimpinan politik, yang mengepalai suatu desa (pebatinan). Kepala semua batin orang Petalangan disebut sbg monti ajo (menteri raja), gelar yang berasal dari letaknya di Kesultanan Pelalawan. Monti ojo dipilih dari dan oleh para batin. Dalam sistem administrasi Indonesia pimpinan adalah kepala desa, dan batin hanyalah letak simbolis.

Perkawinan

Dalam hukum budaya suku Petalangan perkawinan selang bagian satu klan matrilineal (suku) dilarang. Perkawinan yang dianjurkan adalah yang dinamakan sbg pulang ke bako. Dalam pulang ke bako seorang lelaki menikahi anak perempuan paman dari garis ibu. Lelaki yang sudah menikah tinggal di rumah akrab orang tua istrinya.

Meskipun perkawinan selang bagian satu klan dilarang, orang Petalangan lebih menyukai perkawinan dengan orang sekampung (endogami).

Ninik-mamak memegang peranan penting dalam merencanakan perkawinan. Ninik-mamak pihak laki-laki mengajukan lamaran untuk keluarga perempuan, yang kemudian ditemani dengan perundingan dengan ninik-mamak pihak perempuan. Mereka kemudian memutuskan saat dan tempat perayaan perkawinan.

Agama

Suku Petalangan menganut agama Islam. Namun mereka juga memiliki sistem keyakinan sendiri, yang menganggap kehadiran makhluk halus pada binatang dan tumbuh-tumbuhan. Namun keyakinan ini diasumsikan tidak bertentangan dengan Islam.

Bahasa dan Sastra

Orang Petalangan menggunakan dialek Melayu Kampar. Bahasa Indonesia kadang-kadang digunakan oleh kepala kampung atau sebagai berhubungan dengan orang luar. Bahasa dan dialek-dialek pautan yang berdekatan yang memengaruhi adalah : Pelalawan, V Koto Kampar, Kuantan dan Minangkabau.

Bentuk-bentuk sastra yang dikenal orang Petalangan ditengahnya pidato hukum budaya (cakap hukum budaya), pantun, dan nyanyi panjang, mantera ( monto), belian, dan menumbai

Pustaka

  • (Inggris) Ethnographic background of the Petalangan society

edunitas.com


Page 3

Polahi adalah julukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo. Menurut kisah yang beredar di warga, polahi adalah warga pelarian masa waktu seratus tahun dahulu yang melaksanakan eksodus ke hutan karena takut dan tak mau dijajah oleh Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini. Mereka hidup di pedalaman hutan kawasan Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo.

Konon orang Polahi adalah pelarian pada masa waktu seratus tahun Belanda, yang katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, aturan 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi warga Polahi dengan Kumpulan 9, Kumpulan 18, Kumpulan 21, Kumpulan 70, dsb-nya, berlandaskan jumlah bagian kumpulan dalam satu "kampung".

Literatur mengenai warga ini tak ada. Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan sarana prasarana kesehatan modern. Untuk sampai Kumpulan 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.

Mereka terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak ada pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan mereka tak dikenal hitung-menghitung dan tak dikenal hari. Atas bantuan para peneliti, saya dapat berjumpa dengan tiga orang Polahi yang sudah turun dari gunung. Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". Sebelumnya saya mendengar bahwa orang Polahi hanya mengenal dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".

Kawin dengan saudara kandung adalah biasa. Sesepuh pada Kumpulan 9 adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia mengawini kedua saudara kandungnya ini. Istrinya yang satu tak ada anak, sedangkan satu lagi ada enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Dengan gampang dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan warga ini, mengintegrasikannya dengan pembangunan di Indonesia[1].

Referensi

  1. ^ http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/01/13/0003.html


edunitas.com


Page 4

Polahi adalah julukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo. Menurut kisah yang beredar di warga, polahi adalah warga pelarian masa waktu seratus tahun dahulu yang melaksanakan eksodus ke hutan karena takut dan tak mau dijajah oleh Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini. Mereka hidup di pedalaman hutan kawasan Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo.

Konon orang Polahi adalah pelarian pada masa waktu seratus tahun Belanda, yang katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, aturan 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi warga Polahi dengan Kumpulan 9, Kumpulan 18, Kumpulan 21, Kumpulan 70, dsb-nya, berlandaskan jumlah bagian kumpulan dalam satu "kampung".

Literatur mengenai warga ini tak ada. Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan sarana prasarana kesehatan modern. Untuk sampai Kumpulan 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.

Mereka terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak ada pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan mereka tak dikenal hitung-menghitung dan tak dikenal hari. Atas bantuan para peneliti, saya dapat berjumpa dengan tiga orang Polahi yang sudah turun dari gunung. Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". Sebelumnya saya mendengar bahwa orang Polahi hanya mengenal dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".

Kawin dengan saudara kandung adalah biasa. Sesepuh pada Kumpulan 9 adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia mengawini kedua saudara kandungnya ini. Istrinya yang satu tak ada anak, sedangkan satu lagi ada enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Dengan gampang dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan warga ini, mengintegrasikannya dengan pembangunan di Indonesia[1].

Referensi

  1. ^ http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/01/13/0003.html


edunitas.com


Page 5

Polahi adalah julukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo. Menurut kisah yang beredar di warga, polahi adalah warga pelarian masa waktu seratus tahun dahulu yang melaksanakan eksodus ke hutan karena takut dan tak mau dijajah oleh Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini. Mereka hidup di pedalaman hutan kawasan Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo.

Konon orang Polahi adalah pelarian pada masa waktu seratus tahun Belanda, yang katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, aturan 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi warga Polahi dengan Kumpulan 9, Kumpulan 18, Kumpulan 21, Kumpulan 70, dsb-nya, berlandaskan jumlah bagian kumpulan dalam satu "kampung".

Literatur mengenai warga ini tak ada. Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan sarana prasarana kesehatan modern. Untuk sampai Kumpulan 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.

Mereka terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak ada pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan mereka tak dikenal hitung-menghitung dan tak dikenal hari. Atas bantuan para peneliti, saya dapat berjumpa dengan tiga orang Polahi yang sudah turun dari gunung. Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". Sebelumnya saya mendengar bahwa orang Polahi hanya mengenal dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".

Kawin dengan saudara kandung adalah biasa. Sesepuh pada Kumpulan 9 adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia mengawini kedua saudara kandungnya ini. Istrinya yang satu tak ada anak, sedangkan satu lagi ada enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Dengan gampang dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan warga ini, mengintegrasikannya dengan pembangunan di Indonesia[1].

Referensi

  1. ^ http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/01/13/0003.html


edunitas.com


Page 6

Polahi adalah julukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo. Menurut kisah yang beredar di warga, polahi adalah warga pelarian masa waktu seratus tahun dahulu yang melaksanakan eksodus ke hutan karena takut dan tak mau dijajah oleh Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini. Mereka hidup di pedalaman hutan kawasan Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo.

Konon orang Polahi adalah pelarian pada masa waktu seratus tahun Belanda, yang katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, aturan 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi warga Polahi dengan Kumpulan 9, Kumpulan 18, Kumpulan 21, Kumpulan 70, dsb-nya, berlandaskan jumlah bagian kumpulan dalam satu "kampung".

Literatur mengenai warga ini tak ada. Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan sarana prasarana kesehatan modern. Untuk sampai Kumpulan 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.

Mereka terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak ada pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan mereka tak dikenal hitung-menghitung dan tak dikenal hari. Atas bantuan para peneliti, saya dapat berjumpa dengan tiga orang Polahi yang sudah turun dari gunung. Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". Sebelumnya saya mendengar bahwa orang Polahi hanya mengenal dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".

Kawin dengan saudara kandung adalah biasa. Sesepuh pada Kumpulan 9 adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia mengawini kedua saudara kandungnya ini. Istrinya yang satu tak ada anak, sedangkan satu lagi ada enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Dengan gampang dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan warga ini, mengintegrasikannya dengan pembangunan di Indonesia[1].

Referensi

  1. ^ http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/01/13/0003.html


edunitas.com


Page 7

Suku Petalangan hidup di Kabupaten Pelalawan, provinsi Riau. Desa-desa pemukiman orang Petalangan terletak sekitar 60-95 kilometer dari kota Pekanbaru. Kebanyakan orang Petalangan mencari nafkah dari hutan karet dan sbg nelayan.

Istilah Petalangan berasal dari kata talang, yang merupakan sejenis bambu. Suku ini juga menyebut diri mereka sbg orang darat. Banyak orang Petalangan dianggarkan sebanyak 58.400 jiwa (1993).

Sejarah

Menurut tombo Orang Petalangan datang dari Johor menggunakan perahu, dan buka hutan di pemukiman mereka sekarang ini. Mereka kemudian menjadi kawula Kerajaan Kampar, dan kemudian Pelalawan. Di bawah pemerintahan Kesultanan Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh kepala hukum budaya yang dikenal dengan sebutan batin. Orang Petalangan menjual hasil hutan dan perbuatan yang berguna untuk Kesultanan Pelalawan.

Dengan kemerdekaan Indonesia kehidupan orang Petalangan mengalami perubahan. Kesultanan Pelalawan digabungkan ke dalam Republik Indonesia, dan pemerintahan tradisional oleh batin digantikan oleh kepala desa yang dinaikkan oleh pemerintah Republik.

Sistem hukum budaya

Hukum budaya Petalangan merupakan paduan dari sistem Minangkabau yang matrilineal dan sistem Melayu yang patriarkis. Meskipun mayoritas warga Petalangan mencetuskan diri mereka berasal dari Semenanjung Malaya, sebagian mengaku berasal dari Minangkabau. Berlandaskan sistem matrilineal warga Petalangan dibagi atas beberapa suku (klan), seperti Sengerih, Lubuk, Pelabi, Medang, Piliang, Melayu, Penyabungan dan Pitopang. Harta diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Meskipun begitu bagian keluarga laki-laki mengendalikan praktek hukum budaya.

Kepemimpinan

Pimpinan suku adalah ninik-mamak, yang dipilih melewati musyawarah bagian keluarga laki-laki. Ninik-mamak ini berperan menyilakan duduk sengketa dalam suatu suku, dan karena itu diharapkan memiliki ilmu mendalam tentang adat-istiadat. Bila hadir konflik selang orang-orang dari dua suku atau lebih ninik-mamak dari masing-masing klan akan berjumpa dan berunding sebagai memecahkan masalah.

Batin pada awalnya berperan sbg pimpinan politik, yang mengepalai suatu desa (pebatinan). Kepala semua batin orang Petalangan disebut sbg monti ajo (menteri raja), gelar yang berasal dari letaknya di Kesultanan Pelalawan. Monti ojo dipilih dari dan oleh para batin. Dalam sistem administrasi Indonesia pimpinan adalah kepala desa, dan batin hanyalah letak simbolis.

Perkawinan

Dalam hukum budaya suku Petalangan perkawinan selang bagian satu klan matrilineal (suku) dilarang. Perkawinan yang dianjurkan adalah yang dinamakan sbg pulang ke bako. Dalam pulang ke bako seorang lelaki menikahi anak perempuan paman dari garis ibu. Lelaki yang sudah menikah tinggal di rumah akrab orang tua istrinya.

Meskipun perkawinan selang bagian satu klan dilarang, orang Petalangan lebih menyukai perkawinan dengan orang sekampung (endogami).

Ninik-mamak memegang peranan penting dalam merencanakan perkawinan. Ninik-mamak pihak laki-laki mengajukan lamaran untuk keluarga perempuan, yang kemudian ditemani dengan perundingan dengan ninik-mamak pihak perempuan. Mereka kemudian memutuskan saat dan tempat perayaan perkawinan.

Agama

Suku Petalangan menganut agama Islam. Namun mereka juga memiliki sistem keyakinan sendiri, yang menganggap kehadiran makhluk halus pada binatang dan tumbuh-tumbuhan. Namun keyakinan ini diasumsikan tidak bertentangan dengan Islam.

Bahasa dan Sastra

Orang Petalangan menggunakan dialek Melayu Kampar. Bahasa Indonesia kadang-kadang digunakan oleh kepala kampung atau sebagai berhubungan dengan orang luar. Bahasa dan dialek-dialek pautan yang berdekatan yang memengaruhi adalah : Pelalawan, V Koto Kampar, Kuantan dan Minangkabau.

Bentuk-bentuk sastra yang dikenal orang Petalangan ditengahnya pidato hukum budaya (cakap hukum budaya), pantun, dan nyanyi panjang, mantera ( monto), belian, dan menumbai

Pustaka

  • (Inggris) Ethnographic background of the Petalangan society

edunitas.com


Page 8

Suku Petalangan hidup di Kabupaten Pelalawan, provinsi Riau. Desa-desa pemukiman orang Petalangan terletak sekitar 60-95 kilometer dari kota Pekanbaru. Kebanyakan orang Petalangan mencari nafkah dari hutan karet dan sbg nelayan.

Istilah Petalangan berasal dari kata talang, yang merupakan sejenis bambu. Suku ini juga menyebut diri mereka sbg orang darat. Banyak orang Petalangan dianggarkan sebanyak 58.400 jiwa (1993).

Sejarah

Menurut tombo Orang Petalangan datang dari Johor menggunakan perahu, dan buka hutan di pemukiman mereka sekarang ini. Mereka kemudian menjadi kawula Kerajaan Kampar, dan kemudian Pelalawan. Di bawah pemerintahan Kesultanan Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh kepala hukum budaya yang dikenal dengan sebutan batin. Orang Petalangan menjual hasil hutan dan jasa untuk Kesultanan Pelalawan.

Dengan kemerdekaan Indonesia kehidupan orang Petalangan mengalami perubahan. Kesultanan Pelalawan digabungkan ke dalam Republik Indonesia, dan pemerintahan tradisional oleh batin digantikan oleh kepala desa yang dinaikkan oleh pemerintah Republik.

Sistem hukum budaya

Hukum budaya Petalangan merupakan paduan dari sistem Minangkabau yang matrilineal dan sistem Melayu yang patriarkis. Walaupun mayoritas warga Petalangan mencetuskan diri mereka berasal dari Semenanjung Malaya, beberapa mengaku berasal dari Minangkabau. Berlandaskan sistem matrilineal warga Petalangan dibagi atas beberapa suku (klan), seperti Sengerih, Lubuk, Pelabi, Medang, Piliang, Melayu, Penyabungan dan Pitopang. Harta diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Walaupun begitu bagian keluarga laki-laki mengendalikan praktek hukum budaya.

Kepemimpinan

Pimpinan suku adalah ninik-mamak, yang dipilih melewati musyawarah bagian keluarga laki-laki. Ninik-mamak ini berperan menyilakan duduk sengketa dalam suatu suku, dan karenanya diharapkan memiliki ilmu mendalam tentang adat-istiadat. Bila hadir konflik selang orang-orang dari dua suku atau lebih ninik-mamak dari masing-masing klan akan berjumpa dan berunding sebagai memecahkan masalah.

Batin pada awal mulanya berperan sbg pimpinan politik, yang mengepalai suatu desa (pebatinan). Kepala semua batin orang Petalangan disebut sbg monti ajo (menteri raja), gelar yang berasal dari letaknya di Kesultanan Pelalawan. Monti ojo dipilih dari dan oleh para batin. Dalam sistem administrasi Indonesia pimpinan adalah kepala desa, dan batin hanyalah letak simbolis.

Perkawinan

Dalam hukum budaya suku Petalangan perkawinan selang bagian satu klan matrilineal (suku) dilarang. Perkawinan yang dianjurkan adalah yang dinamakan sbg pulang ke bako. Dalam pulang ke bako seorang lelaki menikahi anak perempuan paman dari garis ibu. Lelaki yang sudah menikah tinggal di rumah akrab orang tua istrinya.

Walaupun perkawinan selang bagian satu klan dilarang, orang Petalangan lebih menyukai perkawinan dengan orang sekampung (endogami).

Ninik-mamak memegang peranan penting dalam merencanakan perkawinan. Ninik-mamak pihak laki-laki mengajukan lamaran untuk keluarga perempuan, yang kemudian ditemani dengan perundingan dengan ninik-mamak pihak perempuan. Mereka kemudian memutuskan kala dan tempat perayaan perkawinan.

Agama

Suku Petalangan menganut agama Islam. Namun mereka juga memiliki sistem keyakinan sendiri, yang menganggap kehadiran makhluk halus pada binatang dan tumbuh-tumbuhan. Namun keyakinan ini diasumsikan tidak bertentangan dengan Islam.

Bahasa dan Sastra

Orang Petalangan menggunakan dialek Melayu Kampar. Bahasa Indonesia kadang-kadang digunakan oleh kepala kampung atau sebagai berhubungan dengan orang luar. Bahasa dan dialek-dialek pautan yang berdekatan yang memengaruhi adalah : Pelalawan, V Koto Kampar, Kuantan dan Minangkabau.

Bentuk-bentuk sastra yang dikenal orang Petalangan ditengahnya pidato hukum budaya (cakap hukum budaya), pantun, dan nyanyi panjang, mantera ( monto), belian, dan menumbai

Pustaka

  • (Inggris) Ethnographic background of the Petalangan society

edunitas.com


Page 9

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 2, 2 Lacertae, 2 Letters of John, 2 Maret, 2 Mei, 2005 UEFA Champions League Final, 2005 UEFA Super Cup, 2006, 2006 African Cup, 2013 Qatar motorcycle Grand Prix, 2013-14 UEFA Women 's Champions League, 2014, 2014 (film), 2181, 2182, 2183, 2184, 2340, 2341, 2342, 2343


Page 10

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 2, 2 Lacertae, 2 Letters of John, 2 Maret, 2 Mei, 2005 UEFA Champions League Final, 2005 UEFA Super Cup, 2006, 2006 African Cup, 2013 Qatar motorcycle Grand Prix, 2013-14 UEFA Women 's Champions League, 2014, 2014 (film), 2181, 2182, 2183, 2184, 2340, 2341, 2342, 2343


Page 11

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan


Page 12

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan


Page 13

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) B, B17, B20, B22, B25, Babirik, Beruntung Baru, Banjar, Babirik, Hulu Sungai Utara, Babirusa, Babirusa Buru, Badan Liga Indonesia, Badan Meteorologi Australia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Jepang, Bagik Payung, Suralaga, Lombok Timur, Bagik Polak, Labu Api, Lombok Barat, Baginda, Sumedang Selatan, Sumedang, Bagindo Aziz Chan, Bahasa Bawean, Bahasa Belanda, Bahasa Belanda di Indonesia, Bahasa Belarus


Page 14

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) B, B17, B20, B22, B25, Babirik, Beruntung Baru, Banjar, Babirik, Hulu Sungai Utara, Babirusa, Babirusa Buru, Badan Liga Indonesia, Badan Meteorologi Australia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Jepang, Bagik Payung, Suralaga, Lombok Timur, Bagik Polak, Labu Api, Lombok Barat, Baginda, Sumedang Selatan, Sumedang, Bagindo Aziz Chan, Bahasa Bawean, Bahasa Belanda, Bahasa Belanda di Indonesia, Bahasa Belarus


Page 15

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Cairate, Cairina scutulata, Cairn Terrier, Cairns, Calung, Calungbungur, Sajira, Lebak, Caluso, Caluya, Antique, Canadian dollar, Canadian Football League, Canadian Grand Prix, Canadian Hot 100, Cane Toa, Rikit Gaib, Gayo Lues, Cane Uken, Rikit Gaib, Gayo Lues, Canellales, Canero


Page 16

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Cairate, Cairina scutulata, Cairn Terrier, Cairns, Calung, Calungbungur, Sajira, Lebak, Caluso, Caluya, Antique, Canadian dollar, Canadian Football League, Canadian Grand Prix, Canadian Hot 100, Cane Toa, Rikit Gaib, Gayo Lues, Cane Uken, Rikit Gaib, Gayo Lues, Canellales, Canero


Page 17

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) H, H.H.H. Tower, H.M.A. Tihami, H.O.S. Tjokroaminoto, H.O.T., Hak LGBT di Oseania, Hak LGBT di Pakistan, Hak LGBT di Republik Tiongkok, Hak LGBT di Rumania, Halte Cinango, Halte Cisomang, Halte Cisomang layout, Halte Citaliktik, Handil Labuan Amas, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Maluka, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Negara, Kurau, Tanah Laut, Handil Purai, Beruntung Baru, Banjar, Harapan, Tanah Pinem, Dairi, Harapankarya, Pagelaran, Pandeglang, Harappa, Harara, Dusun Timur, Barito Timur


Page 18

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) H, H.H.H. Tower, H.M.A. Tihami, H.O.S. Tjokroaminoto, H.O.T., Hak LGBT di Oseania, Hak LGBT di Pakistan, Hak LGBT di Republik Tiongkok, Hak LGBT di Rumania, Halte Cinango, Halte Cisomang, Halte Cisomang layout, Halte Citaliktik, Handil Labuan Amas, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Maluka, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Negara, Kurau, Tanah Laut, Handil Purai, Beruntung Baru, Banjar, Harapan, Tanah Pinem, Dairi, Harapankarya, Pagelaran, Pandeglang, Harappa, Harara, Dusun Timur, Barito Timur


Page 19

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) I, I Got a Boy, I Got a Boy (lagu), I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, I Gusti Ketut Jelantik, Ibrahim al-Imam, Ibrahim al-Jaafari, Ibrahim al-Maimuni, Ibrahim al-Marhumi, Ie Mirah, Pasie Raja, Aceh Selatan, Ie Relop, Pegasing, Aceh Tengah, Ie Rhob Babah Lueng, Simpang Mamplam, Bireuen, Ie Rhob Barat, Simpang Mamplam, Bireuen, Ikatan non kovalen, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Pencak Silat Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Ilyas, Ilyas Karim, Ilyas Ruhiat, Ilyas Ya'kub


Page 20

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) I, I Got a Boy, I Got a Boy (lagu), I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, I Gusti Ketut Jelantik, Ibrahim al-Imam, Ibrahim al-Jaafari, Ibrahim al-Maimuni, Ibrahim al-Marhumi, Ie Mirah, Pasie Raja, Aceh Selatan, Ie Relop, Pegasing, Aceh Tengah, Ie Rhob Babah Lueng, Simpang Mamplam, Bireuen, Ie Rhob Barat, Simpang Mamplam, Bireuen, Ikatan non kovalen, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Pencak Silat Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Ilyas, Ilyas Karim, Ilyas Ruhiat, Ilyas Ya'kub


Page 21

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) J, J. Willard Marriott, J.A.K.Q. Dengekitai, J.A.K.Q. Dengekitai vs. Goranger, J.B. Jeyaretnam, Jagson Airlines, Jaguar, Jaguar (perusahaan otomotif), Jaguar Cars, Jalan Dago, Jalan dan Jembatan, Jalan dan Jembatan Kelok Sembilan, Jalan di Kota Surakarta, Jalur kereta api di Indonesia, Jalur kereta api di Sydney, Jalur kereta api Duri-Tanahabang, Jalur kereta api Eritrea, Jambu Kulon, Ceper, Klaten, Jambu Luwuk, Ciawi, Bogor, Jambu mawar, Jambu mede


Page 22

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) J, J. Willard Marriott, J.A.K.Q. Dengekitai, J.A.K.Q. Dengekitai vs. Goranger, J.B. Jeyaretnam, Jagson Airlines, Jaguar, Jaguar (perusahaan otomotif), Jaguar Cars, Jalan Dago, Jalan dan Jembatan, Jalan dan Jembatan Kelok Sembilan, Jalan di Kota Surakarta, Jalur kereta api di Indonesia, Jalur kereta api di Sydney, Jalur kereta api Duri-Tanahabang, Jalur kereta api Eritrea, Jambu Kulon, Ceper, Klaten, Jambu Luwuk, Ciawi, Bogor, Jambu mawar, Jambu mede


Page 23

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) O, OB Shift 2, Oba Selatan, Tidore Kepulauan, Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Oba Utara, Tidore, Oda Nobunaga, Odair Fortes, Odalengo Grande, Odalengo Piccolo, Oktaf, Oktaf Paskah, Oktal, Oktan, Olivia Dewi, Olivia Lubis Jensen, Olivia Newton John, Olivia Newton-John, Onozalukhu You, Moro O, Nias Barat, Onozalukhu, Lahewa, Nias Utara, Onozitoli Sawo, Sawo, Nias Utara, Onta


Page 24

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) O, OB Shift 2, Oba Selatan, Tidore Kepulauan, Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Oba Utara, Tidore, Oda Nobunaga, Odair Fortes, Odalengo Grande, Odalengo Piccolo, Oktaf, Oktaf Paskah, Oktal, Oktan, Olivia Dewi, Olivia Lubis Jensen, Olivia Newton John, Olivia Newton-John, Onozalukhu You, Moro O, Nias Barat, Onozalukhu, Lahewa, Nias Utara, Onozitoli Sawo, Sawo, Nias Utara, Onta


Page 25

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) P, Pa Padi, Krayan, Nunukan, Pa Pala, Krayan, Nunukan, Pa' Amai, Krayan Selatan, Nunukan, Pa' Dalan, Krayan Selatan, Nunukan, Padang Barat, Bintauna, Bolaang Mongondow Utara, Padang Barat, Padang, Padang Baru, Labuhan Haji, Aceh Selatan, Padang Baru, Merapi Selatan, Lahat, Padi (band), Padi (disambiguasi), Padi (grup musik), Padi emas, Pahae Julu, Pahae Julu, Tapanuli Utara, Pahala, Pahala Tambunan, Pakpahan, Onan Runggu, Samosir, Pakpahan, Pangaribuan, Tapanuli Utara, Pakpak, Pakpak Bharat


Page 26

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) P, Pa Padi, Krayan, Nunukan, Pa Pala, Krayan, Nunukan, Pa' Amai, Krayan Selatan, Nunukan, Pa' Dalan, Krayan Selatan, Nunukan, Padang Barat, Bintauna, Bolaang Mongondow Utara, Padang Barat, Padang, Padang Baru, Labuhan Haji, Aceh Selatan, Padang Baru, Merapi Selatan, Lahat, Padi (band), Padi (disambiguasi), Padi (grup musik), Padi emas, Pahae Julu, Pahae Julu, Tapanuli Utara, Pahala, Pahala Tambunan, Pakpahan, Onan Runggu, Samosir, Pakpahan, Pangaribuan, Tapanuli Utara, Pakpak, Pakpak Bharat