Meninggalkan sesuatu yang syubhat karena khawatir akan membahayakannya di akhirat disebut

metrouniv.ac.id – 10/02/2022

Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur Pascasarjana IAIN Metro)

Kehidupan di muka bumi ini secara sunatullah ditetapkan berada diantara dua kutub atau dua pasangan yang berbeda. Inilah  dualisme realitas kehidupan. Laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, benar dan salah,  pintar dan bodoh, boleh dan larang, kiri dan kanan, dosa dan pahala, halal dan haram, dan seterusnya. Namun dalam kenyataan diantara dualisme itu selalu saja ada bagian yang berada diantara dua kutub ekstrim itu. Misalnya, diantara hitam dan putih ada abu-abu, diantara laki-laki dan perempuan ada waria (wanita setengah pria), serta diantara halal dan haram ada perkara yang dinamakan syubhat (samar-samar atau tidak jelas halal dan haramnya).

Bagian yang terakhir dari yang tersebut di atas telah ditegaskan oleh Nabi SAW dalam sebuah hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

Dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya  yang halal itu jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan diantaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum) nya. Barangsiapa menghindari perkara syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang syubhat, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan (undang-undang). Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR.Bukhari dan Muslim)

Kalimat syubhat atau mutsyabihat  yang maknanya samar-samar juga terdapat di dalam Al-qur’an. Para mufassir menyatakan bahwa di dalam Al-qur’an terdapat ayat-ayat yang  muhkamat  (maknanya jelas) dan mutasyabihat (samar-sama, memiliki banyak arti). Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang dapat diketahui maksudnya secara  jelas karena mengandung satu pengertian sehingga tidak membutuhkan penjelasan. Sementara ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung banyak pengertian dan tidak berdiri sendiri sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (QS. Ali Imron (3): 7).

Betapa pentingnya menghindarkan diri dari perkara syubhat sampai-sampai Rasulullah menyatakan bahwa  seseorang yang dapat menghindari perkara syubhat dinyatakan sebagai orang telah membersihkan agamanya. Diantara banyak contoh dari perkara syubhat ini adalah sebagaimana dicontohkan sendiri oleh Nabi ketika ia menemukan sebuah kurma di atas tikarnya. Beliau tidak mau memakan kurma tersebut karena khawatir kalau kurma itu adalah kurma shadaqah. Rasulullah SAW bersabda; “Ketika masuk rumah, aku mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk aku makan, akan tetapi Aku membatalkannya, karena takut kurma itu berasal dari kurma shadaqah. (HR. Bukhari dan Muslim).

Prinsip utama dalam hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya  atau perkara yang syubhat adalah berusaha untuk berhati-hati. Salah satu wujud kehati-hatiannya adalah dengan tidak melakukan, menggunakan atau memakan sesuatu yang syubhat tersebut. Pertanyaannya adalah apakah selama ini kita sudah berperilaku seperti itu? Tidak mudah memang, karena kebanyakan manusia jangankan untuk yang syubhat, untuk hal yang jelas haram saja terkadang diterjang dan dilakukannya. Padahal jelas-jelas hati dan pikirannya mengetahui bahwa perkara itu adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan. Karena hawa nafsu manusia memperturutkannya.

Bersikap Wara’

Dalam ilmu tasawuf orang yang senantiasa berusaha untuk meninggalkan segala perkara syubhat disebut dengan orang yang memiliki sifat Wara’. Sifat wara’ dinilai sebagai sifat utama, karena dengan sifat itu secara rasional orang lain akan dapat menilai akhlak seseorang. Logikanya kalau orang bersikap wara’, jangankan untuk melakukan hal yang haram, pada hal yang belum jelas halal dan haramnya saja, atau yang samar-samar, ia sudah menghindarinya. Maka untuk hal yang jelas haram pasti ia akan meninggalkannya. Sebab itu para sahabat Nabi dahulu sampai menyatakan bahwa mereka sudah mulai meninggalkan hal-hal yang halal (boleh) hingga hitungan tujuh puluh kali, jika pada yang ketujuh puluh satu khawatir akan menyebabkan melakukan tindakan yang dilarang oleh Allah.

Gambaran sikap wara’ sebagaimana dicontohkan oleh para sufi adalah sebagaimana diilustrasikan dalam cerita berikut:

Alkisah, dahulu kala ada seorang pemuda bernama Hamzah. Ia termasuk seorang pemuda yang sudah cukup berumur untuk tidak menyebut sebagai bujang lapuk. Hamzah tinggal bersama ibunya yang sudah cukup renta. Sebenarnya ibunya selalu berharap semoga anaknya itu segera menikah, sehingga sebelum ajal tiba ia bisa menyaksikan satu-satunya anak kesayangannya menikah dan ia masih sempat menimang cucu. Namun apa boleh dikata, Hamzah belum juga  mau menikah, entah apa penyebabnya, hanya Hamzah yang tahu.

Untuk menopang kehidupan keluarga sederhananya, Hamzah bekerja menjual air dengan cara dipikulnya dan dijajakan kepada siapa saja yang membutuhkan air bersih. Air itu dia ambil dari sebuah sungai yang airnya mengalir sangat jernih.

Suatu hari di tengah matahari yang sudah sangat tinggi, di tengah panas menerpa yang melahirkan rasa dahaga, Hamzah kembali mengambil air di sungai. Ketika ia dalam posisi jongkok untuk mengambil air, melintaslah di aliran air beberapa buah jambu yang masih ranum dan segar. Tanpa berpikir panjang dan didorong rasa dahaga yang sangat, maka spontan dia ambil buah jambu tersebut satu buah dan dimakannya. Ketika setengah bagian jambu itu sudah ia makan, maka tiba-tiba badannya menggigil panas dingin dan penuh rasa takut. Ia baru sadar bahwa ia sudah secara lancang memakan buah jambu yang bukan miliknya. Menjalar rasa takut dalam dirinya karena telah melakukan sebuah perbuatan dosa karena memakan sesuatu yang bukan haknya.

Dengan serta merta ia berusaha mengeluarkan dari mulutnya buah jambu yang sudah hancur ia kunyah-kunyah, dan sebagian lagi yang masih utuh, dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah sapu tangan. Tujuannya? Hamzah ingin mengembalikan buah jambu yang sudah dia makan tersebut kepada empunya seraya meminta maaf karena telah secara lancang memakannya. Maksudnya, agar si empunya jambu bisa memaafkan dan merelakan jambu yang sudah ia makan.

Tetapi akan dikembalikan kepada siapa? Jambu itu kan hanyut di sungai, tidak ada yang memiliki dan jikapun ada yang memiliki, pasti yang punya sudah tidak menghiraukannya. Bagi kebanyakan orang tentu apalah artinya sebuah jambu yang sudah hanyut dibawa arus sungai, ujung-ujungnya membusuk. Namun tidak bagi bujang lapuk yang bernama Hamzah ini. Dia merasa sangat berdosa akibat dari memakan buah jambu yang hanyut di sungai tersebut, dan dosa itu senantiasa menghantuinya. Ia belum merasa lega jika belum bertemu dengan pemilik jambu dan memohon keikhlasannya.

Karena jambu itu hanyut di sungai, maka bisa dipastikan berasal dari sebuah pohon jambu  di pekarangan milik orang yang sebagian dahannya menjulur ke sungai. Maka Hamzah berusaha menelusuri sungai itu ke atas, ke hulu sungai. Setelah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan akhirnya ia menemukan sebuah pohon jambu yang sedang berbuah dan sebagian dahannya menjulur ke sungai. Dia lihat setengah jambu yang belum ia makan, lalu dibandingkan dengan buah jambu yang ada. Dalam hati ia menyatakan, persis. Ia yakin jambu yang ia makan pasti berasal dari pohon jambu tersebut. Maka Hamzah kemudian mencari pemilik pekarangan dimana pohon jambu itu tumbuh.

Kisah ini masih cukup panjang, tidak elok rasanya jika penulis ceritakan semuanya pada ruang yang sangat terbatas ini. Saya nukilkan kisah ini dari sebuah buku kumpulan cerita yang berjudul Dihembus Angin Surga, buku yang sudah cukup lama terbitan Bulan Bintang. Secara singkat, Hamzah kemudian mencari pemilik jambu dan ternyata pemilik pohon jambu tersebut adalah tiga orang bersaudara. Hamzah harus mendatangi ketiga pemilik pohon jambu tersebut dan setiap pemilik tidak akan memaafkan Hamzah dari memakan jambu miliknya jika Hamzah tidak mau memenuhi beberapa persyaratan. Ketiga pemilik jambu mempunyai persyaratan yang cukup berat. Namun karena ia ingin terbebas dari rasa berdosa dari memakan sesuatu yang bukan haknya semua persyaratan ia penuhi. Last but not least  akhir dari cerita ini, dipungkasi dengan happy ending, karena  akhirnya Hamzah dinikahkan dengan seorang gadis cantik dan sholehah, anak dari salah satu pemilik pekarangan dimana pohon jambu itu tumbuh.

Perjalanan kisah Hamzah untuk terbebas dari perasaan salah dan dosa akibat memakan buah jambu yang dia yakini bukan miliknya sudah cukup untuk menggambarkan suatu sifat yang disebut dengan wara’. Begitulah sikap kehati-hatiannya para sufi dalam memasukkan makanan di dalam tubuhnya. Sangat selektif dan memastikan bahwa yang dimakan harus betul-betul sesuatu makanan yang halal, bukan yang syubhat apalagi yang haram.

Pesan moralnya, jika seseorang yang berusaha membersihkan dirinya dari perkara yang syubhat dan haram, maka ia akan mendapatkan ganjaran berupa kebaikan dan pahala. Mendapatkan pungkasan yang baik dan membahagiakan. Sebagaimana ilustrasi dalam cerita Hamzah, kebahagiaan itu disimbolkan dengan mendapatkan pasangat hidup yang cantik dan sholihah. Harapan yang selama ini diidam-idamkan oleh ibunya. Semoga bisa menjadi muhasabah dan otokritik bagi diri sendiri. (mh.09/02/2022)